Share

Chapter 3

Author: nesitara
last update Last Updated: 2025-11-10 14:19:56

“Rin, lo dicariin tuh sama Pak Garda,” ucap Melisa santai sambil ikut bergabung dengan Karina yang sedang duduk di bangku kantin.

Pagi itu, Karina sengaja melewatkan kelas dan berdiam diri di kantin sambil menunggu teman-temannya selesai menghadiri kelas Garda. Sendok yang sedang dipegang Karina untuk menyantap semangkuk bakso pun tertahan di depan mulutnya. Gadis itu seketika mematung.

Kehilangan napsu makannya, Karina menyimpan sendok ke dalam mangkuk dan coba mengatur napas yang selalu saja menderu secara otomatis setiap mendengar nama Garda disebut.

“Lo masih dendam sama dia karena mempermalukan lo di kelas minggu lalu? Nggak usah dipikirin lah, daripada lo nggak lulus matkul dia,” ujar Nala menutur Melisa.

Jika Karina bisa jujur, bukan itu masalah utamanya. Ya, ia memang kesal karena Garda mempermalukannya, namun ia tidak ambil pusing.

Bukan, bukan masalah itu yang membuat Karina bolos di kelas Garda hari ini. Semua itu karena tiap kali ia melihat Garda, ingatan tentang malam itu seketika memenuhi kepala Karina yang membuatnya tidak bisa lagi fokus. Ditambah Karina merasa Garda ini sebenarnya menyadari siapa Karina dan secara sengaja menargetkannya.

“Gue beneran dicariin?” tanya Karina memastikan, berharap kedua temannya itu hanya bercanda.

Melisa mengangguk. “Lo dan orang-orang yang nggak mengumpulkan tugas dia sih sebenarnya. Tapi lo dipanggil juga ke kantornya.”

“Jangan bercanda!” kilah Karina panik.

“Serius!” Nala menimpali. “Kita juga bingung kenapa lo sampai dipanggil. Mungkin dia mau minta maaf?”

“Nggak yakin gue dia mau minta maaf. Lo tahu sendiri dia gimana di kelas. Arogan dan dingin banget. Ganteng-ganteng tapi galak,” keluh Melisa.

Nala menyikut Melisa sambil mencibir. “Tapi kenapa lo tetap naksir dia?”

Melisa yang tadinya mengerucutkan bibir mendadak tersenyum lebar sambil terkekeh. “Hehe. Iya gimana ya? Iya sih dia galak, tapi dia ganteng banget! Nggak apa-apa deh digalakin kalau tiap hari bisa menikmati wajah sama badannya yang kekar itu.”

“Dasar pikiran lo kotor mulu!” Nala mengejek. Ia kemudian menoleh pada Karina. “Lo mending ke kantornya deh sekarang, Rin, sebelum di-blacklist beneran dari kelasnya.”

“Gue ikut boleh, nggak, Rin?” rajuk Melisa sebelum Karina sempat menjawab.

Karina tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Pikirannya sudah sibuk menduga-duga alasan Garda hanya memanggilnya. Ia jadi semakin yakin pria itu pasti akan mempermasalahkan kejadian di malam itu. Pria itu pasti akan mengancam Karina, atau mungkin melaporkannya kepada pihak kampus?

Jantung Karina berdegup semakin cepat. Perutnya terasa mual dan diremas. Bayangan Garda yang marah memenuhi bayangan Karina. Jika dalam kondisi normal saja pria itu dianggap galak dan arogan, bagaimana jika dalam keadaan marah? Akankah Karina bisa keluar dengan selamat?

Tapi mau tidak mau, Karina harus menghadapinya. Bagaimanapun juga, paling tidak ia harus menjelaskan kejadian yang sebenarnya malam itu. Pria itu mungkin akan marah besar, namun Karina yakin semua hal bisa dibicarakan baik-baik. Kalaupun tidak, Karina tinggal menawarkan nominal yang mana pasti akan dengan segera menyelesaikan masalah apa pun. Gaji dosen tidak sebesar arogansi pria itu di kelas, ‘kan?

Dengan satu tarikan napas, Karina berdiri. “Doakan gue!” serunya sambil merapikan tas.

“Lo rekam aja obrolan lo sama dia, Rin. Kalau dia marah-marah sampai di luar batas atau macam-macam, lo bisa viralin dia.” Nala memberi ide.

Ide bagus. Namun dalam situasi Karina, rekaman suara itu hanya akan menjadi bukti kebodohan yang membuatnya terseret dalam situasinya sekarang. Ia tidak mau rekaman itu menjadi bukti yang bisa semakin menjerumuskannya dalam masalah.

***

“Masuk!” suara dingin Garda terdengar dari luar ruangan.

Ragu-ragu, Karina memutar knob pintu dan mendorongnya pelan. Saat pintu terbuka, terlihat Garda sedang berdiri menghadap ke jendela besar di belakang meja kerjanya. Pria itu lalu menoleh dan tatapannya lurus ke arah Karina.

“Permisi, Pak,” ucap Karina pelan. Gugup menyerangnya.

“Silakan duduk, Karina.” Garda mempersilakan Karina ke arah kursi di hadapannya. Pria itu masih berdiri, menunggu Karina berjalan dan duduk.

Karina menelan ludah. Kini saat Garda sudah duduk di hadapannya, jantungnya terasa hendak melompat dari tempatnya. Iris pria itu menatap Karina dengan tatapan paling dingin yang pernah dilihatnya. Rahang pria itu mengatup keras. Tubuhnya tegak, kontras dengan Karina yang duduk dengan bahu turun dan kedua tangan yang saling memilin dalam pangkuannya.

“Teman saya bilang, Bapak memanggil saya…” Karina memberanikan diri bersuara.

Garda mengangguk. “Ya, ada yang ingin saya bicarakan.”

“Tentang apa, Pak?”

Tubuh Garda bergerak. Pria itu bersandar ke sandaran kursinya dan menjadi lebih rileks sedangkan Karina menjadi dua kali lipat lebih gugup. “Hm, mana dulu yang harus saya bahas?”

Karina menahan napas.

Dingin merayap dengan udara yang memberat di sekitar. Hanya suara jam dinding terdengar jelas mengisi kosongnya ruangan. Karina tidak berani bicara lagi. Ia merasa serba salah. Jika ia lebih dulu mengungkit kejadian malam itu, maka ia harus dihadapkan dengan situasi rumit. Namun jika ia pura-pura lupa sedangkan ia yakin bahwa Garda tidak melupakannya, ia akan terjebak dalam sangkalan tiada akhir.

Setelah beberapa detik menyiksa, Garda akhirnya bicara. “Tentang perkuliahanmu … Saya lihat dari catatan dosen sebelumnya, kamu memang sering bolos dan mengabaikan tugas.”

Batin Karina berhembus lega. Setidaknya Garda tidak membahas kejadian malam itu.

“Maaf, Pak. Akan saya selesaikan—”

“Saya tidak suka mahasiswa yang melalaikan kewajiban,” tegas Garda, suaranya berat dan penuh penekanan.

“I-iya, Pak.” Karina hanya bisa menunduk.

“Apa alasanmu hingga sering mengabaikan kuliahmu?” tanya Garda tanpa basa-basi.

Karina tidak bisa berpikir untuk mencari alasan. Ia tentu tidak mungkin menjawab jujur karena ia malas dan merasa kuliah membuatnya pusing, hal itu pasti hanya akan memantik amarah Garda.

“Um… saya membantu ayah saya di kantor, Pak,” dusta Karina. Padahal ia mati-matian berusaha menghindari hal-hal yang berkaitan dengan perusahaan keluarga.

Menjadi anak tunggal keluarga Yudistira membuat Karina otomatis akan jadi penerus usaha keluarga. Perusahaan keluarga Karina sangat besar di dalam maupun luar negeri. Sejak lama ayahnya terus memaksa agar Karina bersiap masuk ke dalam bisnis keluarga, namun gadis itu selalu menolak. Ia tidak suka dengan drama dan hal-hal rumit yang membuatnya kehilangan kesempatan untuk bersenang-senang selayaknya mahasiswa pada umumnya.

Tapi Garda tentu saja tidak tahu akan hal itu. Berbohong sedikit demi menghindari masalah tidak apa-apa, bukan?

“Termasuk malam itu juga?” todong Garda yang seketika membuat Karina mengangkat wajah dan menatap sang pria dengan mata membelalak.

Garda mengulangi lagi. “Malam itu, apakah kamu ada di bar karena membantu ayahmu bekerja?”

Karina membeku, tidak lagi bisa berpikir.

Suara jam dinding terasa semakin melambat. Tiap detiknya bagai siksaan bagi Karina. Telapak tangannya sudah basah oleh keringat. Darah dalam tubuhnya semakin deras mengalir hingga Karina takut cairan merah itu akan keluar dari salah satu lubang di wajahnya.

Tidak ada jawaban dari Karina. Hal itu membuat Garda berkata lagi, “Kamu tidak bisa hadir di kelas namun bisa menghabiskan waktu hingga larut malam di bar.”

“I-itu…”

Garda memotong. “Saya bukan dosen yang senang mengurusi urusan pribadi mahasiswa. Sebenarnya itu hak-mu untuk menghabiskan waktu di manapun. Tapi jika urusan itu mengganggu kuliah, maka saya terpaksa harus ikut campur.”

Karina mengangguk kikuk. Ada baiknya ia menurut saja dan tidak membantah. “Maaf, Pak. Mulai sekarang saya akan berubah.”

“Saya pegang omongan kamu,” sahut Garda masih dengan nada dingin.

“Baik, Pak.” Karina tidak berani menatap wajah Garda. Ia takut dengan tatapan tajam milik sang pria. Selain itu, ia takut jika tatapan mereka bertemu, ingatan yang seharusnya dihilangkan dari kepalanya itu muncul tanpa bisa ditahan.

“Untuk tugasmu, saya ingin selesai hari ini juga,” ucap Garda lagi.

Hari ini? Tapi mana mungkin…

“Kamu keberatan?” sela Garda seakan bisa membaca perubahan wajah Karina.

Karina menggeleng cepat. “Tidak, Pak,” jawabnya tanpa berpikir. Lalu kemudian ia berkata lagi dengan suara lirih. “Tapi apa boleh tenggatnya nanti malam? Saya butuh waktu untuk mengerjakannya.”

Garda melirik arlojinya. Hal itu membuat Karina teringat bahwa ia masih menyimpan arloji milik sang pria dari kejadian malam itu. “Jam delapan malam harus sudah dikirim ke email saya.”

Oke, Karina masih bisa menyelesaikannya sebelum tenggat. Ia mengangguk untuk menyanggupi. “Kalau begitu saya permisi mengerjakan tugasnya, Pak.”

“Silakan,” ucap Garda mempersilakan Karina untuk meninggalkan ruangan.

Namun baru saja Karina hendak bangkit, Garda bersuara lagi yang membuat ia kembali duduk.

“Omong-omong, saya rasa kamu menyimpan barang milik saya malam itu. Jika ada waktu, tolong kembalikan. Benda itu cukup berharga bagi saya,” ucapnya tenang tanpa menunjukkan emosi.

Namun Karina tahu pasti benda apa yang Garda maksud dan kejadian apa yang sedang mereka bicarakan. Dugaannya benar, pria itu masih mengingat kejadian panas mereka.

“Oh…” sahut Karina kelu. “S-saya akan kembalikan—”

“Baik,” sela Garda. Ia melirik lagi arlojinya. “Sebenarnya saya ingin bahas masalah itu, tapi saya ada pekerjaan lain. Mungkin kita bahas saja lain kali.”

“Malam itu…” Karina bergumam dengan kalimat menggantung.

“Saya bilang lain kali saja,” tegas Garda. “Silakan pergi jika sudah tidak ada yang ingin ditanyakan.”

Kalimat itu bagai kebebasan bagi Karina. Dengan gerakan cepat ia beranjak dari kursinya dan berjalan menuju pintu keluar yang terasa dua kali lebih jauh.

Apakah Garda sedang bermain-main dengannya? Karina sudah mempersiapkan diri jika Garda marah besar dan melampiaskan kekesalannya atas kejadian malam itu. Tapi sebaliknya, sikap tenang sang pria justru malah membuat Karina lebih takut.

Apa yang sebenarnya ada dalam benak pria itu?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sentuhan Terlarang Dosen Killer   Chapter 36

    Garda tidak langsung menyilakan Nala duduk. Ia berdiri di dekat jendela ruang dosennya, satu tangan di saku celana, mata mengarah ke luar seolah sedang memperhatikan halaman fakultas, padahal pikirannya sudah bersiap menimbang setiap kata yang akan keluar dari mulut mahasiswi di depannya.Jika Nala sengaja menemuinya, pasti ada kaitannya dengan Karina. “Ada apa?” kata Garda singkat.“Ini tentang Karina,” jawab Nala tegang.Dugaan Garda benar. “Ceritakan,” ujar Garda tipisNala menarik napas. Ia tahu betul bagaimana berbicara dengan pria di depannya. Terlalu berputar-putar hanya akan membuat Garda memotong.“Karina sedang jadi bahan pembicaraan di kampus,” ujar Nala akhirnya. “Bukan cuma gosip biasa. Ini sudah menjalar ke kelas dan angkatan lain. Ada yang bilang dia menyalahgunakan koneksi pribadi dan memanfaatkannya untuk keuntungan pribadi, ada yang bilang dia dapat perlakuan khusus dari dosen. Ada juga yang membahas tentang pria yang terlihat bersama dia di Puncak kemarin.”Garda

  • Sentuhan Terlarang Dosen Killer   Chapter 35

    Lobi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mahardika tidak pernah benar-benar sunyi, apalagi di waktu pergantian kelas seperti sekarang. Para mahasiswa bercengkrama di lorong, duduk-duduk di lobi sambil mengerjakan tugas yang sudah mepet deadline, dan sisanya berjalan terburu-buru mengejar kelas selanjutnya. Karina yang baru keluar dari kelas Garda, melangkahkan kakinya dengan malas ke arah pintu keluar gedung. Namun belum setengah perjalanan, Bu Vivian yang baru keluar dari ruangan, menghadangnya. “Karina,” ujar wanita itu. “Tunggu, ada yang mau saya bicarakan.” “Ada apa, Bu?” Karina gugup. Jika ada dosen yang ingin bicara dengannya, biasanya hal itu menyangkut masalah akademik atau apa pun hal yang buruk. Rahang Karina hampir jatuh saat Vivian mengatakan sesuatu yang sama sekali di luar dugaannya. “Saya sudah selesai baca laporan penelitian kelompokmu, cukup bagus. Kalian submit penelitian itu ke simposium nasional ya? Kalau nanti lolos seleksi dan terbit, biar biaya

  • Sentuhan Terlarang Dosen Killer   Chapter 34

    Karina menyadari ada yang salah bahkan sebelum kelas benar-benar dimulai. Bukan karena materi. Bukan karena suasana kelas. Melainkan karena cara Garda berdiri di depan kelas hari itu. Tidak, pria itu tidak berbeda. Ia tetap tegak seperti biasa. Nada suaranya sama—tenang, jelas, terukur. Slide presentasi berjalan rapi, setiap poin dijelaskan tanpa cela. Namun Karina merasa ada sesuatu yang hilang. Karina duduk di barisan tengah, iPad di depannya menyala, ia memutar-mutar pensil otomatisnya tanpa sadar. Matanya fokus menatap layar, kemudian ke arah papan tulis, lalu tanpa sadar, menatap Garda. Jauh dalam dirinya, Karina mendesah kecewa. Setiap kelas, tatapan mereka biasanya selalu bertemu meski itu hanya sepersekian detik. Hal itu seakan menjadi rahasia kecil di antara mereka. Di antara banyaknya manusia, mereka seolah berkomunikasi lewat kerlingan mata yang hanya sekelebat. Tapi kali ini, untuk pertama kalinya sejak ia bisa mengingat, tatapan itu tidak pernah dibalas. Biasanya, me

  • Sentuhan Terlarang Dosen Killer   Chapter 33

    Keesokan paginya, matahari muncul malu-malu dari balik kabut pegunungan. Udara masih segar, rumput basah oleh embun. Di lapang, berkumpul beberapa warga dan mahasiswa. Warga mengajak rombongan kampus untuk bermain permainan tradisional yang membutuhkan kerja sama dan menimbulkan banyak tawa.Karina sudah ikut lebih dulu, duduk bersama beberapa warga dan mahasiswa, ikut bermain bakiak panjang.“Ayo, ayo! Satu-dua-tiga! Langkahnya harus kompak!” seru warga yang memimpin permainan.Karina tertawa pelan, kakinya bergetar karena kesulitan mengikuti ritme. Tapi ia mencoba.Sampai akhirnya sebuah suara terdengar dari belakang.“Pak Garda! Ikut sini! Kekurangan satu orang!”Karina menegang seketika. Ia tahu suara itu. Ia tahu nama itu.Saat menoleh… Garda sudah berjalan mendekat.“Maaf, saya cuma lewat—”“Tapi Pak, satu orang lagi biar genap! Ayo, sekalian menghangatkan badan,” mahasiswa yang lain bersikeras saling bersahutan.Mahasiswa lain bersorak. Garda tidak bisa menolak. Dan tiba-tiba i

  • Sentuhan Terlarang Dosen Killer   Chapter 32

    Malam turun dengan perlahan, seperti kabut tipis yang menyelimuti desa kecil di Puncak Bogor. Lampu-lampu kuning digantung di sepanjang lapangan, bergetar pelan diterpa angin gunung yang sejuk. Warga sudah berkumpul, beberapa anak kecil berlari-larian sambil memegang jagung bakar dan balon. Musik tradisional dari speaker tua mengalun rendah, menciptakan suasana hangat.Namun di tengah kehangatan itu, ruang ketegangan masih menggelayuti, sejak tadi tidak mau pergi dari dada Karina maupun Garda.Karina berdiri di antara mahasiswa lain, mengenakan sweater rajut tipis yang menghadangnya dari dingin udara pegunungan. Pipinya memerah bukan karena dingin, tapi karena ia terus memikirkan pria yang berdiri beberapa meter darinya.Garda.Pria itu sedang duduk bersama para dosen lain. Wajahnya tampak sangat… tenang. Terlalu tenang. Berbahaya-tenang. Seolah ia datang ke acara penutupan hanya sebagai pengamat, padahal tatapannya sesekali melesat ke arah Karina seperti refleks yang tidak bisa ia ke

  • Sentuhan Terlarang Dosen Killer   Chapter 31

    Angin sore di desa itu dinginnya bukan main, sebagaimana dinginnya sesuatu yang belum selesai antara dua orang yang pura-pura baik-baik saja. Langit baru saja kehilangan cahaya terakhirnya, menyisakan warna tembaga di balik gunung yang jauh. Selepas kegiatan pengabdian hari itu, semua mahasiswa sibuk merapikan alat dan materi. Beberapa masih berdiskusi di depan aula, tertawa kecil meski wajah mereka terlihat lelah.Sementara itu, Karina melangkah keluar dari aula dengan kedua tangan penuh. Tripod, box alat tulis, map data, dan kotak peraga materi kesehatan mental, semuanya ia bawa kembali ke posko. Pundaknya nyeri, dan kakinya pegal di sana-sini karena seharian ini sering berjalan dan bolak-balik posko–aula desa untuk menyiapkan kegiatan.Ia hanya ingin ke posko, membersihkan diri dan beristirahat. Ketika ia melewati jalan kecil berkerikil menuju posko yang berupa rumah panggung sederhana yang disiapkan untuk tim tiga hari ini, siluet seseorang muncul dari tikungan.Seseorang dengan b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status