LOGIN
Pintu hotel bahkan belum sepenuhnya tertutup saat tubuh Karina dihimpit antara sosok pria bertubuh kekar dan dinding. Bulu halus di seluruh tubuh Karina meremang begitu jarak antara dirinya dan pria asing yang baru ditemuinya dua puluh menit lalu di bar ini begitu dekat. Napas pria itu hangat menerpa wajah Karina.
“Sebaiknya kamu pergi,” kata pria itu lirih. Suaranya yang rendah menggema dalam ruangan. Tapi kontras dengan apa yang dikatakan, tangannya justru menahan pinggang Karina. Tubuh pria itu semakin condong ke arah sang gadis. Wajah mereka hanya berjarak beberapa inci hingga Karina menahan napasnya karena gugup tiba-tiba menyerang.
Karina terpaku, matanya menangkap iris sang pria. Tatapannya bagai kelaparan, seakan membutuhkan sesuatu yang hanya pria itu bisa berikan.
Pria itu mengangkat tangan dan menyentuh pipinya. Karina membeku. Sentuhan itu ringan, tapi membuat seluruh tubuhnya bergetar. Jarinya lembut menelusuri pipi, dagu, dan berhenti di rahang Karina, membuat sang gadis mengerang karena menginginkan lebih.
“Kita sudah terlanjur ada di sini,” ucap Karina pelan dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
Pria itu mengunci tatapannya pada iris Karina, lalu turun ke bibirnya. Sedikit kewarasan dan kesadaran masih muncul saat ia berkata, “Kamu tahu ini tidak benar, ‘kan?”
Karina mengangguk kecil. Penyangkalan dari pria itu menguap begitu saja di udara. Entah siapa yang memulai, jarak mereka semakin habis. Tanpa menunggu, napas mereka bertemu dan waktu berhenti. Tidak ada kata-kata lagi, hanya intensitas yang menggantung di udara. Keduanya menyerahkan diri pada gairah yang mengundang meski akal sehat menolak.
Tubuh Karina semakin terhimpit antara dinding di punggungnya, dan pria asing di hadapannya yang kini sibuk melumat bibirnya dengan buas. Pinggang gadis itu ditarik lagi, seakan masih ada jarak yang tersisa padahal keduanya sudah menempel erat. Kedua kaki Karina dilingkarkan ke pinggang sang pria, membuat sang gadis terkesiap.
“Ah,” desahnya dalam mulut sang pria. Bibir keduanya masih menyatu, saling mencari, saling melumat. Suara mereka yang saling bersahutan dalam irama erotis mengisi kosongnya udara yang kian memanas.
Tidak memberikan kesempatan untuk Karina berpikir, pria itu mengangkat tubuhnya dengan mudah. Punggung karina menyentuh empuknya kasur sebelum kembali disibukkan dengan sang pria yang kembali mengerjai tubuhnya.
Sentuhan-sentuhan itu membuat kepala Karina berdenyut, menginginkan lebih, menginginkannya lebih keras. Siapa pria ini dan kenapa ia bisa dibuat gila seperti ini?
Pria itu bergerak tanpa suara, namun sukses membuat Karina menggeliat kewalahan di bawah kukungannya. Perut Karina terasa semakin diremas, suara-suara yang tertahan itu tidak bisa lagi ia kendalikan.
Hingga Karina menyadari dirinya hampir sampai di puncak, ia menyerahkan tubuh sepenuhnya. Kedua tangannya dilingkarkan di bahu sang pria, menancapkan kuku-kukunya, menahan tubuhnya agar tidak hancur dalam ledakan gairah yang semakin dekat dirasakannya. Tubuhnya menggelinjang, diiringi dengan jeritan dan napas yang terengah-engah.
Karina memejamkan mata, tidak lagi bisa berpikir. Logikanya habis tak bersisa, tersapu ombak gairah yang baru saja menerjang seluruh tubuhnya.
***
Satu minggu kemudian, kehidupan Karina kembali berjalan normal. Ia kembali ke rutinitas kuliah, kelas-kelas yang padat, dosen yang cerewet, dan tugas-tugas yang tidak kunjung berhenti silih berganti. Tapi di sela-sela kesibukan itu, bayangan malam di hotel terus muncul di kepalanya seperti film rusak yang berulang-ulang.
Kamar hotel yang temaram, tangan besar yang menelusuri tiap jengkal tubuhnya, erangan yang memenuhi telinganya, semua itu terus diputar dalam kepala Karina tanpa diminta. Perutnya selalu tergelitik tiap ia mengingatnya.
“Hei,” panggil Nala begitu ia duduk di samping teman-temannya di kelas. “Dengar-dengar, kelas Behavioral Analysis nanti dosennya ganti, ya?”
Karina mendongak dari ponselnya. “Ganti? Bukannya masih Pak Candra?”
“Lo nggak tahu kabarnya apa? Pak Candra berhenti dari kampus karena sakit parah. Ada dosen pengganti dari luar kampus,” kata Nala sambil mengeluarkan tab keluaran terbaru dari tasnya. “Rumornya galak banget. Kayaknya bakal jadi dosen killer nih.”
Melisa menimpali, “Yang penting jangan tua dan bawel.”
“Kalau tampan?” tanya Nala sambil terkikik.
“Lebih bahaya,” jawab Karina tanpa sadar.
Jam satu siang, kelas sudah hampir penuh. Mahasiswa duduk berserakan dengan laptop terbuka, sebagian masih bergosip. Karina duduk di barisan tengah, hanya menatap layar ponsel dengan malas sambil menunggu kelas dimulai.
“Dengar-dengar dosen barunya lulusan dari luar negeri,” bisik Melisa.
“Yang bener?”
“Iya, dan katanya masih muda.”
Karina hanya menonton konten random di ponsel, memilih untuk tidak peduli. Tapi begitu pintu kelas terbuka, seluruh ruangan langsung hening.
Langkah sepatu formal terdengar mendekat. Karina tidak menoleh dulu, masih sibuk merapikan barang-barang dan mengeluarkan iPad dari dalam tas. Sampai suara itu terdengar.
“Selamat siang.”
Suara itu rendah, dalam, dan tenang, namun cukup untuk membuat Karina berhenti melakukan kegiatannya.
Karina terpaku. Dengan ragu ia mengangkat kepala dari iPad-nya, berusaha memastikan dan berharap pendengarannya salah.
Karina tiba-tiba mengenali suara itu. Mungkin suara itu terdengar lebih jelas, tidak lirih dan serak seperti sebelumnya. Namun suara itu jelas milik pria yang selama satu minggu ini menghantui alam bawah sadarnya. Suara yang ia harap tidak akan pernah lagi ia dengar di manapun.
Ingatan tentang malam itu seketika berkelebat dalam kepala Karina. Kebodohannya menyetujui taruhan Melisa dan Nala. Saat itu ketiganya sedang berada di bar, merayakan ulang tahun Melisa ke-20.
“Taruhan sama gue, lo pasti nggak akan berani deketin cowok itu, apalagi godain dia,” tantang Melisa menunjuk seorang pria di VIP lounge yang sedang sibuk dengan kegiatannya.
“Siapa bilang?” Karina memekik.
Melisa tertawa lagi. “Akui aja, lo itu terlalu polos, Rin. Mana mungkin lo berani hook-up sama cowok random.”
Entah karena merasa tersinggung atau karena efek minuman keras yang dihabiskannya, ia kemudian balik menantang. “Kalau gue bisa, kalian mau kasih gue apa?”
“Mobil gue,” ucap Melisa. “Check in sama cowok itu, sebagai gantinya lo boleh ambil mobil gue.”
Karina setuju. Sepanjang langkahnya mendekati sang pria, pikirannya terbagi dua. Apakah sepadan mobil milik Melisa dengan apa yang akan dihadapinya? Namun pikiran lain menyerang Karina. Ia tidak mau dianggap cupu oleh teman-temannya hanya karena gagal dalam taruhan konyol. Ia harus berhasil membuktikan bahwa dirinya bukan perempuan polos yang tidak bisa bersenang-senang.
“Hai, boleh duduk?” Karina membuka obrolan, hanya saja pria asing itu terlihat tidak peduli pada kehadiran Karina.
Kesulitan mendapatkan perhatian pria itu, Karina mengeluarkan botol kecil milik Melisa yang biasa dipakai Melisa “buat becandaan” dan memasukannya sedikit ke dalam gelas milik sang pria saat ada kesempatan.
Tidak lama pria itu terhuyung dan merasa lemah. Karina segera membawa pria itu ke kamar hotel yang menyatu dengan bar dan kejadian selanjutnya berjalan tanpa kendali.
Setelah malam panas penuh gairah itu, esok paginya Karina cepat-cepat pergi dari kamar, berharap pria itu tidak mengenalnya dan mereka tidak pernah bertemu lagi. Begitu sadar sepenuhnya, Karina menyadari bahwa dirinya telah melakukan kesalahan besar.
Setiap detik hidup Karina kini seakan selalu diingatkan akan kejadian itu. Belum lagi sebuah jam tangan berinisial G.B milik sang pria yang terbawa secara tidak sengaja dan kini tersimpan di lacinya. Benda itu seakan menjadi pengingat bahwa malam itu benar-benar terjadi, menambah kemelut dalam diri Karina
Setiap malam Karina berdoa agar kejadian itu hanya berakhir menjadi sejarah kenakalannya saja. Kini, seluruh tubuhnya bahkan berdoa lebih keras dan berharap Tuhan mengabulkannya.
“Gila, Rin. Ganteng banget!” suara Melisa yang antusias melihat dosen baru di kelas mereka menyadarkan kembali Karina dari ingatannya.
Karina mengangkat wajah dan melihat ke depan kelas, napasnya berhembus pelan. Tubuhnya terkulai lemas. Dunia seolah berhenti. Ia perlahan menoleh lagi, masih coba memastikan. Dan di sana, di depan kelas, berdiri pria itu. Berjas hitam, wajah dingin, tatapan tajam yang tak mungkin ia salah kenali.
Tidak. Ini tidak mungkin. Dunia terlalu besar untuk kebetulan seperti ini.
Garda tidak langsung menyilakan Nala duduk. Ia berdiri di dekat jendela ruang dosennya, satu tangan di saku celana, mata mengarah ke luar seolah sedang memperhatikan halaman fakultas, padahal pikirannya sudah bersiap menimbang setiap kata yang akan keluar dari mulut mahasiswi di depannya.Jika Nala sengaja menemuinya, pasti ada kaitannya dengan Karina. “Ada apa?” kata Garda singkat.“Ini tentang Karina,” jawab Nala tegang.Dugaan Garda benar. “Ceritakan,” ujar Garda tipisNala menarik napas. Ia tahu betul bagaimana berbicara dengan pria di depannya. Terlalu berputar-putar hanya akan membuat Garda memotong.“Karina sedang jadi bahan pembicaraan di kampus,” ujar Nala akhirnya. “Bukan cuma gosip biasa. Ini sudah menjalar ke kelas dan angkatan lain. Ada yang bilang dia menyalahgunakan koneksi pribadi dan memanfaatkannya untuk keuntungan pribadi, ada yang bilang dia dapat perlakuan khusus dari dosen. Ada juga yang membahas tentang pria yang terlihat bersama dia di Puncak kemarin.”Garda
Lobi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mahardika tidak pernah benar-benar sunyi, apalagi di waktu pergantian kelas seperti sekarang. Para mahasiswa bercengkrama di lorong, duduk-duduk di lobi sambil mengerjakan tugas yang sudah mepet deadline, dan sisanya berjalan terburu-buru mengejar kelas selanjutnya. Karina yang baru keluar dari kelas Garda, melangkahkan kakinya dengan malas ke arah pintu keluar gedung. Namun belum setengah perjalanan, Bu Vivian yang baru keluar dari ruangan, menghadangnya. “Karina,” ujar wanita itu. “Tunggu, ada yang mau saya bicarakan.” “Ada apa, Bu?” Karina gugup. Jika ada dosen yang ingin bicara dengannya, biasanya hal itu menyangkut masalah akademik atau apa pun hal yang buruk. Rahang Karina hampir jatuh saat Vivian mengatakan sesuatu yang sama sekali di luar dugaannya. “Saya sudah selesai baca laporan penelitian kelompokmu, cukup bagus. Kalian submit penelitian itu ke simposium nasional ya? Kalau nanti lolos seleksi dan terbit, biar biaya
Karina menyadari ada yang salah bahkan sebelum kelas benar-benar dimulai. Bukan karena materi. Bukan karena suasana kelas. Melainkan karena cara Garda berdiri di depan kelas hari itu. Tidak, pria itu tidak berbeda. Ia tetap tegak seperti biasa. Nada suaranya sama—tenang, jelas, terukur. Slide presentasi berjalan rapi, setiap poin dijelaskan tanpa cela. Namun Karina merasa ada sesuatu yang hilang. Karina duduk di barisan tengah, iPad di depannya menyala, ia memutar-mutar pensil otomatisnya tanpa sadar. Matanya fokus menatap layar, kemudian ke arah papan tulis, lalu tanpa sadar, menatap Garda. Jauh dalam dirinya, Karina mendesah kecewa. Setiap kelas, tatapan mereka biasanya selalu bertemu meski itu hanya sepersekian detik. Hal itu seakan menjadi rahasia kecil di antara mereka. Di antara banyaknya manusia, mereka seolah berkomunikasi lewat kerlingan mata yang hanya sekelebat. Tapi kali ini, untuk pertama kalinya sejak ia bisa mengingat, tatapan itu tidak pernah dibalas. Biasanya, me
Keesokan paginya, matahari muncul malu-malu dari balik kabut pegunungan. Udara masih segar, rumput basah oleh embun. Di lapang, berkumpul beberapa warga dan mahasiswa. Warga mengajak rombongan kampus untuk bermain permainan tradisional yang membutuhkan kerja sama dan menimbulkan banyak tawa.Karina sudah ikut lebih dulu, duduk bersama beberapa warga dan mahasiswa, ikut bermain bakiak panjang.“Ayo, ayo! Satu-dua-tiga! Langkahnya harus kompak!” seru warga yang memimpin permainan.Karina tertawa pelan, kakinya bergetar karena kesulitan mengikuti ritme. Tapi ia mencoba.Sampai akhirnya sebuah suara terdengar dari belakang.“Pak Garda! Ikut sini! Kekurangan satu orang!”Karina menegang seketika. Ia tahu suara itu. Ia tahu nama itu.Saat menoleh… Garda sudah berjalan mendekat.“Maaf, saya cuma lewat—”“Tapi Pak, satu orang lagi biar genap! Ayo, sekalian menghangatkan badan,” mahasiswa yang lain bersikeras saling bersahutan.Mahasiswa lain bersorak. Garda tidak bisa menolak. Dan tiba-tiba i
Malam turun dengan perlahan, seperti kabut tipis yang menyelimuti desa kecil di Puncak Bogor. Lampu-lampu kuning digantung di sepanjang lapangan, bergetar pelan diterpa angin gunung yang sejuk. Warga sudah berkumpul, beberapa anak kecil berlari-larian sambil memegang jagung bakar dan balon. Musik tradisional dari speaker tua mengalun rendah, menciptakan suasana hangat.Namun di tengah kehangatan itu, ruang ketegangan masih menggelayuti, sejak tadi tidak mau pergi dari dada Karina maupun Garda.Karina berdiri di antara mahasiswa lain, mengenakan sweater rajut tipis yang menghadangnya dari dingin udara pegunungan. Pipinya memerah bukan karena dingin, tapi karena ia terus memikirkan pria yang berdiri beberapa meter darinya.Garda.Pria itu sedang duduk bersama para dosen lain. Wajahnya tampak sangat… tenang. Terlalu tenang. Berbahaya-tenang. Seolah ia datang ke acara penutupan hanya sebagai pengamat, padahal tatapannya sesekali melesat ke arah Karina seperti refleks yang tidak bisa ia ke
Angin sore di desa itu dinginnya bukan main, sebagaimana dinginnya sesuatu yang belum selesai antara dua orang yang pura-pura baik-baik saja. Langit baru saja kehilangan cahaya terakhirnya, menyisakan warna tembaga di balik gunung yang jauh. Selepas kegiatan pengabdian hari itu, semua mahasiswa sibuk merapikan alat dan materi. Beberapa masih berdiskusi di depan aula, tertawa kecil meski wajah mereka terlihat lelah.Sementara itu, Karina melangkah keluar dari aula dengan kedua tangan penuh. Tripod, box alat tulis, map data, dan kotak peraga materi kesehatan mental, semuanya ia bawa kembali ke posko. Pundaknya nyeri, dan kakinya pegal di sana-sini karena seharian ini sering berjalan dan bolak-balik posko–aula desa untuk menyiapkan kegiatan.Ia hanya ingin ke posko, membersihkan diri dan beristirahat. Ketika ia melewati jalan kecil berkerikil menuju posko yang berupa rumah panggung sederhana yang disiapkan untuk tim tiga hari ini, siluet seseorang muncul dari tikungan.Seseorang dengan b







