Empat Belas Kilometer (tiga)
Liku-liku menjadi setrika jalanan(karena setiap hari melewati jalan yang sama hingga disebut setrika jalanan) banyak banget suka dan dukanya meski baru tiga tahun berjalan. Suatu malam, aku pulang sendirian. Pulang malam karena kelas berakhir jam 18.45. Otomastis matahari sudah kembali ke peraduannya.Bergantidengan gemintang yang menjadi cahaya temaram teman pejalan malam seperti Maharani.
Jika beruntung, sedang bulan purnama misalnya. Sorot cahaya malam dari bulan akan menambah syahdu perjalanan mengayuh sepeda onthel.
Malam ini beruntung sekali. Hujan turun sejak siang hari. Dikiranya akan reda jika malam telah tiba.Minimal ketika Rani menyelesaikan kelasnya dan pulang.Maharani tipe mahasiswi yang kupu-kupu. Alias kuliah pulang, kuliah pulang.Sama seperti hari-hari biasa, setelah kelas berakhir jam berapapun Rani akan langsung pulang.
Meski jarum jam yang panjang ber
“ assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuuh”.“Mari kita mulai rapat ini dengan membaca basmalah”. Seisi ruangan mengikuti instruksi Haji Mahmud malam ini.“ Sebelum kita memulai pembahasan kita pada rapat bulanan, perkenalkan ada pengasuh baru di asrama kita yang berasal dari dataran tinggi. Untuk lebih lengkapnya silahkan memperkenalkan diri. Padanya saya persilahkan pengasuh baru”.Haji mahmud meghentikan pembicaraannya kemudian dilempar ke aku.Huuuh main lempar aja nih, kaya kiper memberikan bola ke temannya.Ok. Baik!Tarik nafas dalam dalam… dan keluarkan perlahan. Tapi jangan sampai keluar dari bawah."Huft baru kali ini aku memperkenalkan diri di hadapan banyak orang setelah dulu memperkenalkan diri pas acara mos. Biasanya memperkenalkan diri di depan satu orang. Paling mentok tiga orang nggak lebih". Sambil memajukan mulut beberapa centi, Maharani meng
Hajah Sriyani melihat sesosok anak kecil yang tengah mengamen di lampu merah. Ada rasa iba dalam diri Hj Sriyani. Rasa iba Hj Sriyani tidak hanya sekedar iba seorang pengemudi jalan dengan pengamen, ada yang lain dalam diri pengamen tersebut. Dari situ Hj Sriyani ingi Suatu hari Hajah Sriyani menyempatkan diri melintas di lampu merah tempat dimana pengamen tersebut berada. Tidak sulit bagi Hajah Sriyani untuk menemukan pengamen itu. setelah di negosiasi akhirnya pengamen tersebut bersedia untuk di interogasi, eits… menyeramkan bukan interogasi, tapi di tanya. Hehehe. Dari hasil wawancaranya dengan sang pengamen Hajah Sriyani mendapatkan data sebagai berikut. Dari data yang diperoleh, nama anak itu adalah Cahyo Adi Saputro Jika ditanya alamat anak itu akan menjawab Klaten (saat ditanya alamat lengkapnya Cahyo kebingungan menjawab. Sepertinya sudah lama banget tidak pulang kerumah)Usia Cahyo empat belas tahun
Haji Mahmud Soleh tipe orang supel dan ramah. Salah satu bukti nyata kesupelan beliau adalah saat punya hajat nikahan, yang datang orang dua gedung. Bayangkan, biasanya hanya satu gedung ini dua gedung hehe. Nggak usah dipikir, nanti kurus.Maksudnya orang yang diundang satu gedung kapasitas seribu orang di hajatan Haji Mahmud duaribu orang jadi dua gedung deh, heheheLanjutHaji Mahmud bersikap ramah kepada siapa saja. Termasuk dengan anak kecil sekalipun. Beliau merangkul semua kalangan. Baik dari kalangan pejabat maupun bukan pejabat. Ketika berbicara akan melihat siapa lawan bicaranya.Pokoknya super deh…“ andai saja ayahku Haji Mahmud”. Pikiran nakalku mampir ke otak.Ups!! Tampar pipi kanan tampar pipi kiri.Tidak boleh menghayal yang tidak mungkin terjadi.Beliau pernah menjabat menjadi dekan pada fakultasnya. Saat beliau menjabat jadi dekan, fakultas yang beliau
Mayra tidak akan pernah menyangka jika dirinya akan bisa sekolah sampai jenjang SMA. Anak pelosok Kebumen ini tinggal di APPI sejak usia Sekolah Dasar, lebih tepatnya kelas tiga. Dulu di desa May (begitu sapaan akrabnya) ada penawaran sekolah masal. Sekolah massal itu gini, anak-anak nanti akan sekolah di luar daerah bareng-bareng.“Bagi siapa saja yang ingin sekolah silahkan datang ketempat pak lurah”. Begitu pengumuman dari petinggi desa setempat. Dengan senang hati ibu Mayramendaftarkan anaknya ditempat pak lurah. Dan ternyata peminatnya cukup luar biasa banyak. Akhirya seluruh anak yang minat sekolah dibawa ke tujuan masing-masing. Kebetulan Mayra nyangkut di APPI. Nyangkut… kayak jemuran kebawa angin ajah. Dan sejak masih duduk di bangku sekolah dasar Mayra meninggalkan kampung halaman demi menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Alasan utama ibu Mayra untuk mendaftarkannya ke pak lu
Anggi ini kelas dua SMP. Di sudah sejak kecil ditinggalkan ibunya. Dia hidup dengan adik dari ayahnya. Karena ayah terlalu sibuk untuk mengurusi Anggi sendiri.“ Mbak, nitip Anggi ya, saya berharap nantinya Anggi bisa menjadi anak yang baik. Kalau dirumah kerjaannya nonton tv terus mbak”.“Iya buk, kami akan bantu sebisa mungkin dengan sekuat tenaga. Mohon doanya juga buat mbak Anngi. Dengan di ditempatkannya mbak Anggi di APPI bisa menjadi anak yang lebih baik sebelumnya”.Meskipun bukan pondok, APPI juga berusaha mendidik anak-anaknya menjadi anak yang sholih sholihah,berbakti kepada orang tua. Berguna bagi nusa, bangsa dan agama.Cieh… kayak lampiran di acara aqiqohan anak ajah.Teringat saat setahun yang lalu saat buleknya Anggi menitipkan kepada kami. Rasanya tidak menyangka jika sekarang dia akan meleset dari jalur. Anggi yang dulu bukan Anggi yang sekarang. Dia sangat berbeda dengan saat pertama kali datang
Vita ini anak orang kaya. Bapaknya salah satu anggota TNI. Asli Yogyakarta. Ayah sekarang tugas di Kalimantan Barat. Bersama adik dan ibunya ayahnya tinggal di Kalaimantan. Sedangkan Vita di Yogyakarta bersama saudara dari ayahnya.Alasan Vita ditinggal di Yogya adalah agar tidak berkali-kali pindah sekolah. Selama kelas dua SMP sudah tiga kali pindah sekolah. Ini yang ketiga kalinya. Ayahnya nggak mau nanti Vita ketinggalan gara-gara sering pindah sekolah. Dan juga ayah memikirkan sikap Vita yang kurang supel terhadap orang. Jadi terlalu susah untuk adaptasi.Dia ke APPI atas kemauan orang tua. Apapun yang Vita minta selalu di kasih. Uang spp sekolah tiga tahun dibayar lunas sudah. Uang asrama tiga tahun dibayar luas sudah.Supel sekali… pak Mariono hoho…. Bukan pak Mario Teguh. Karena orang terlalu kaya apa aja yang di inginkan tinggal di kedipin aja. Nanti datang sendiri. Hush… sulap kaleee.sekali kedip bisa terwujud. ***
Salwa tinggal di asrama karena keinginannya sendiri. Bukan karena paksaan. Dia memilih tinggal di asrama karena sekolahnya dekat dengan asrama dan yang jelas sekolah salwa satu yayasan dengan APPI.Si Salwa yang sedikit berisi badannya, ia selalu ceria memberikan warna tersendiri bagiku. Dia tidak pernah mebantah apa yang diperintahkan pengasuhnya. Dia juga tidak pernah melanggar aturan-aturan asrama.Salwa sekarang kelas dua SMK. Kebetulan di sekolah salwa hanya ada dua jurusan. Masak dan menjahit. “Hah? Masak aja pake sekolah. Aku nggak sekolah bisa masak”. Celetuk si Nisa anak kelas satu SMP.“Masaknya disekolah itu bukan sekedar masak biasa seperti ibumu yang masak. Kalau ibumu yang masak mentok-mentoknya gulai ayam. Ini sekolah masak nantinya masakan di jual. Diajarin juga cara jualnya gimana kalau disekolahku. Yang dimasak juga bukan cuma masakan-masakan standar. Masakan internasional juga nasional dipela
Nia Saraswati. Anak semata wayang dari ibu Suminah ini masuk ke APPI karena keinginan ibunya. Ibu dan ayahnya sudah berpisah sejak Nia berumur tiga tahun. Sejak itu ibunya kerja keras banting tulang untuk menghidupi keluarganya.Ahhh tulang di banting-banting. Nggak kasihan tuh. Rusak nggak ada yang produksi tuh.Hoho… nggak ada maksud.Lupakan saja.Sejak saat itulah Nia dirawat neneknya. Sejak dirawat nenek, Nia selalu dimanja. Apapun yang diminta Nia, selalu di turuti. Dengan prinsip neneknya “apapun dikasih yang penting anaknya nggak nangis” Nia menjadi anak yang selalu ingin dituruti segala permintaannya.Namun kali ini masuk APPI menjadi keputusan ibunya. Hanya ibu yang dia takuti petuahnya. Karena takut jika tidak dikasih uang.Makdsud ibunya masukkan ke APPI agar Nia bisa menjadi anak yang tahu aturan dan bisa menjadi anak yang dapat dibanggakan orangtua. Tahu at