Selenia kembali ke kamarnya setelah sarapan. Wanita itu duduk di depan meja rias, menyisir rambut putihnya yang indah. Tangannya terhenti sejenak, melihat bekas tusukan kecil yang telah lama ada di leher jenjangnya.Bekas gigitan Raven.Wanita itu bergidik ngeri, segera mengenyahkan pikiran tentang iblis berwujud manusia itu. Tiba-tiba Lucas memasuki kamar, masih dengan jubah mandi pink milik sang istri."Len, aku mau mandi" Ucap pria itu. Selenia mengangkat sebelah alis."Kau belum mandi saat sarapan tadi? Dasar jorok" Ejek Selenia."Kau meninggalkanku. Kau mandi duluan." Lucas berjalan mendekati istrinya, meletakkan dagu di bahu mungil itu. Bibirnya mengerucut sebal.Lucu."Makanya jangan pemalas, kau bangun siang terus" Selenia menggeleng pelan. Matanya terpejam merasakan suaminya menduselkan wajah ke bahunya. Saat membuka mata, tahu-tahu ia sudah digendong oleh Lucas."Ayo mandi bersama" Ucap Lucas nakal, membawa tubuh Selenia ke kamar mandi."H-Hey, apa!? Aku sudah mandi! LUCAAAS
Waktu hanya memberi jeda, tak membebaskan.---Lucas mengecup puncak kepala Selenia, mengusap lembut rambut putih istrinya yang berantakan."Kau benar-benar wanita pemberani," gumamnya, memeluk tubuh mungil itu lebih erat."Tapi tetap saja, aku tidak bisa memaafkan bajingan itu karena telah menyentuhmu."Selenia tertawa kecil, mengangkat wajahnya untuk menatap suaminya."Sudahlah, Lucas. Aku lebih suka kita menghabiskan malam ini dengan tenang. Tak perlu membahas si vampir itu lagi."Lucas memang sudah menebak bahwa Raven bukanlah manusia biasa. Namun mendengar kata 'vampir' masih saja terasa asing di zaman modern ini. Pria itu mendengus pelan, tetapi kemudian matanya berbinar."Baiklah, kalau begitu kita harus melakukan sesuatu untuk merayakan kepulanganmu!"Selenia memiringkan kepalanya, menatap suaminya dengan curiga."Jangan bilang kau ingin-"Tiba-tiba Lucas melompat turun dari ranjang, menarik tangan Selenia hingga wanita itu tersentak."Ikut aku!" katanya penuh semangat."Apa?
Sementara itu, di lain sisi.... "Jadi dia SERING MENGGIGITMU?!" Tanya Lucas dengan amarah yang meluap. Selenia mengusap pelan dada suaminya, keduanya kini berada di dalam mobil yang melaju menuju kediaman Vanderbilt. "Yah, begitulah. Lagipula-" "AKU AKAN MEMBUNUHNYA! BERANINYA DIA MENYENTUH ISTRIKU!" "Sudahlah, Luke. Dia sudah tersegel. Oh iya!" Selenia merogoh saku mantel hitamnya, mengeluarkan sebuah syal berwarna biru tua dengan paduan putih. Syal yang rampung dengan sempurna, dirajut dengan cinta dan sepenuh hati. Bukan seperti milik Raven, yang bahkan tak rampung. "Untuk suamiku tercinta" Selenia tersenyum tulus. Lucas menerima pemberian istrinya dengan mata berkaca-kaca. Pria itu segera memeluk istri yang selama ini diculik, jauh darinya. "Terimakasih sayang" Pria itu memeluk hangat istrinya, mendekap wajah putih itu di dadanya. Sementara tatapannya tajam, memandang ponsel di tangan kanan. Sebuah perintah pada bawahannya terkirim dan baru saja akan dilaksanakan.
Raven memperhatikannya tanpa suara. Nafasnya nyaris tak terdengar, tubuhnya tetap membatu di tempatnya berdiri. Ia tidak percaya pada permohonan, pada harapan, atau pada keajaiban. Tapi melihat Selenia berdiri di tengah hamparan putih, dengan mata terpejam dan tangan yang tertangkup seperti seorang suci yang tengah berdoa—ia tak bisa mengalihkan pandangan. "Apa yang kau harapkan, Selenia?" suara beratnya akhirnya pecah dalam dinginnya udara. Selenia tidak langsung menjawab. Ia tetap dalam posisi itu, membiarkan angin menyentuh wajahnya, membiarkan dingin merayapi kulitnya. Lalu, perlahan, bibirnya yang merah ceri bergerak. "Sebuah keajaiban," katanya pelan. Mata birunya terbuka, bertemu dengan sepasang mata merah yang masih mengawasinya. "Sesuatu yang bisa mengembalikanku pada hidupku yang dulu." Raven menatapnya lama, lalu tersenyum miring. "Kau selalu memohon hal yang mustahil?" Selenia terkekeh pelan. "Boleh saja, kan?" Wanita itu segera menatap Raven dengan waj
Raven mendengus, separuh geli, separuh kesal. "Kalau butuh satu tahun, aku bisa saja membekukanmu di ruang bawah tanah sampai selesai," gumamnya dengan nada setengah bercanda. Selenia mendelik tajam."Silakan coba," tantangnya, meski tubuhnya sudah sedikit bergidik membayangkan kemungkinan itu. Raven hanya tersenyum miring."Aku lebih suka melihatmu meringkuk di sofa seperti anak kucing kedinginan." Selenia menghela napas panjang, memilih untuk mengabaikan ucapannya. Ia kembali merajut, sementara Raven tetap bersandar, memperhatikannya dengan mata yang berkilat-kilat dalam gelapnya malam.Keheningan menyergap. Selenia merasa tak nyaman menyadari vampir itu masih memperhatikan kegiatannya."Kau mau aku menambahkan detail kecil di syalmu?" Tanyanya, memecah keheningan.Raven mengangkat sebelah alisnya, sedikit terkejut karena Selenia yang lebih dulu membuka percakapan. "Detail kecil?" ulangnya, suaranya terdengar malas namun tetap penuh perhatian. Selenia mengangguk, jari-ja
"Ingin... Melarikan diri?" Selenia membeo ucapan Raven. "Maunya sih begitu, tapi aku yakin itu sia-sia. Aku tahu kau akan menikmatinya, dan aku tak ingin memberimu kepuasan saat memburuku" Selenia menatap dedaunan yang gugur. Matanya menunjukkan kesenduan. "Aku akan bertanya satu hal yang serius padamu" Wanita itu menatap langsung ke mata merah delima pria di hadapannya, mata yang selalu membuatnya bergidik ngeri. "Apa sejauh ini... kau memiliki niat untuk membunuhku? Atau memanfaatkanku?" Raven terdiam, menatap Selenia dengan sorot mata yang sulit ditebak. Sejenak, hanya ada suara angin yang berhembus pelan, menggoyangkan dahan-dahan pohon yang mulai gundul. Lalu, pria itu menyeringai tipis. "Sebuah pertanyaan yang menarik," katanya, suaranya terdengar seperti seseorang yang sedang menikmati permainan catur yang menantang. "Tapi apakah jawaban yang jujur akan membuatmu lebih tenang atau justru lebih takut?" Selenia tetap menatapnya, tak bergeming. Raven menghela nap