Share

Masalah

last update Last Updated: 2023-06-21 05:52:55

#Sepupu _dari_Kampung

Bab 3

Masalah

"Pah, kenapa beberapa hari ini kok Papa jadi lebih pendiam, kenapa? Tanya Sania pada Purwanto Suaminya.

Purwanto menghela nafas. Memang akhir-akhir ini, pikirannya tak tenang. Penyebabnya adalah, dia bingung dengan keputusan Pak Hendri yang telah memutuskan kontrak kerja dengannya. Sesuai kontrak kerja yang telah disepakati, apabila perusahaan Purwanto gagal memenuhi deadline, maka dia harus membayar denda dan semua kerugian. Purwanto bingung harus mendapatkan uang dari mana. Utang yang harus dia tanggung, jumlahnya tidak main-main. Puluhan Milyar!

"Aku sedang bingung, mah ..." Ucap Purwanto akhirnya. Dia memang harus bicara dengan istrinya.

"Kenapa?" Sania mendudukkan pantat di tepi tempat tidur, sebelah Suaminya.

"Perusahaan Pak Hendri memutuskan kontrak. Kita terkena penalti, Ma. Aku harus mengganti semua denda dan kerugian yang terjadi." Ucap Purwanto dengan lesu.

"Hah! Kok bisa, Pah?" Ujar Sania kaget.

"Aku tidak bisa menyelesaikan sesuai deadline yang ditentukan, Ma. Itu sebabnya aku terkena penalti dan harus membayar ganti rugi." Purwanto menepuk jidatnya.

"Kita mau bayar pakai uang apa, Pah?" Sania berteriak panik. Terbayang di benaknya uang milyaran untuk mengganti rugi Pak Hendri.

"Aku sedang memikirkannya. Tanah di desa sudah aku tawarkan untuk dijual. Tapi, harganya tidak sampai 1 M. Masih kurang banyak. Rencana tanah yang di Bogor juga akan aku jual, Ma."

"Wah! Habis dong tanah kita, Pah?" Sania tampak kecewa.

"Huh, itu pun sepertinya masih kurang, Ma." Gumam Purwanto lirih.

"Masih kurang? Terus gimana Pah?" Netra Sania melotot melihat Suaminya. Purwanto menatap lurus ke depan.

"Aku mau minta tolong padamu, Ma ..."

"Apa?"

"Kau jual dulu perhiasan emas, permata dan berlian milikmu untuk menutup hutang ini," Purwanto menatap istrinya dengan pandangan memelas.

Kembali mata Sania membelalak. Menjual perhiasan emas dan permata miliknya? Yang benar saja! Tentu saja Sania akan menolak mentah-mentah. Perhiasan itu adalah gengsinya, harga dirinya ada di materi yang dikenakannya itu. Apa kata teman-teman hedonnya nanti? Pasti dia akan dicemooh dan dihina kere alias bangkrut. Meski kenyataannya begitu.

"Ah! Aku tidak mau, Pah!" Sania menggeleng kuat.

"Tolong lah, Mah. Nanti kalau ada rejeki kita beli lagi."

Sania tetap menggeleng. Membuat Purwanto menjadi frustrasi. Bagaimana lagi caranya mendapatkan uang. Istrinya sama sekali tidak mau bekerja sama.

"Kalau begitu, terpaksa aku akan menjual rumah ini!" Ucap Purwanto sembari menatap Sania.

"Menjual rumah gimana?! Terus kita mau tinggal di mana? Pakai otak Pah kalau ngomong. Emang kita mau jadi gelandangan?!" Sania mendelik dan marah-marah pada Suaminya. Purwanto terhenyak mendengar omelan istrinya yang tak ada akhlak ini.

"Kamu ini keterlaluan, Mah! Hanya mau saat aku senang saja. Sekarang aku susah kau tidak mau membantu malah mengomel dan mengataiku nggak punya otak! Apa maksudmu?!" Purwanto terengah-engah. Dia mulai sesak nafas. Lelaki itu memang memiliki riwayat penyakit jantung.

"Cari cara lain, Pah. Jangan sampai menjual rumah dan perhiasanku pokoknya."

Purwanto mengelus dadanya yang terasa nyeri. Ternyata percuma ngomong dengan Sania. Tak ada solusi. Dia tetep harus berpikir sendiri.

Drrrrrt drrrrrt

Ponsel Purwanto berbunyi. Lelaki itu mengulurkan tangannya untuk mengambil benda pipih itu dari nakas di samping tempat tidur. Tertera nama Pak Arman di layar. Purwanto segera mengangkatnya. Arman adalah sekretaris Pak Hendri.

"Hallo Pak Arman?"

"Oh ya, jam berapa, Pak?"

"Baik, saya akan datang."

Setelah itu Purwanto menggenggam ponsel di tangannya. Nafasnya terasa semakin sesak. Barusan Pak Arman menelepon dan memberitahu kalau malam ini, Purwanto dan istrinya dipanggil ke rumah Pak Hendri Susilo.

"Ada apa, Pak?" Sania mencium gelagat tidak menyenangkan dari raut wajah Suaminya.

"Pak Hendri mengundang kita ke rumahnya malam ini ..." Purwanto lesu.

Jantung Sania pun mendadak berdebar. Pasti mau menagih utang! begitu pikiran Sania.

**

Huweeeeek

Huweeeeek

Untuk kesekian kali, Neni muntah-muntah di toilet kamarnya. Beberapa hari ini, dia merasa tak enak badan. Mual, letih dan pusing menderanya.

Sudah minum obat flu, tapi tidak reda juga. Neni sudah bercerita pada Ega, tapi pacarnya itu tidak banyak komentar. Dia bilang cuma masuk angin katanya.

Ughh, ughh

Neni berasa mau muntah lagi tapi nggak bisa keluar. Kepalanya jadi pusing. Dengan terhuyung, Neni kembali ke kamarnya dan berbaring.

"Kenapa aku ini? Apakah aku hamil?"

Kepala Neni menggeleng. Dia berusaha menepis pikirannya sendiri. Tak mungkin dia hamil. Secara dia baru beberapa kali berhubungan badan dengan Ega. Masih bisa dihitung dengan jari.

Diambilnya ponsel dari bawah bantal. Neni menelepon Ega, ada yang harus dia tanyakan.

"Hallo, Ga. Tolong lo ke sini dong. Beliin gua testpack,"

"Testpack apaan?"

"Itu lho yang buat tes orang hamil!" Kening Neni mengerut. Nggak tahu kenapa juga, akhir-akhir ini perasaannya juga jadi sensitif.

"Ooh, emang siapa yang hamil?"

"Gua mau testpack, Ga! Gua mau tahu hamil atau nggak!" Hihh! Neni jadi geram.

"Lo hamil?"

"Mau tes dulu, bego!"

"Oke, oke."

Huh! Dasar dodol! Neni menutup ponsel dengan menggerutu.

Satu jam kemudian ...

"Sstttt ... Sstttt!"

Riri yang sedang menyapu halaman depan menoleh. Seperti mendengar suara orang. Mata Riri mencari-cari.

"Heh, babu, sini!"

Pandangan Riri berhenti pada sosok yang bersembunyi di balik pohon di depan pagar rumah.

"Itu kan Ega. Ngapain dia sembunyi-sembunyi?"

Berjalan pelan, Riri mendekat.

"Ada apa, Mas?" Tanya Riri dari balik pagar. Ega celingak-celinguk, kemudian keluar dari persembunyiannya.

"Kasihkan ini sama Neni, cepat!" Ucap Ega dengan menyodok plastik kecil berwarna putih.

"Apa ini, Mas?"

"Nggak usah banyak tanya, cepat kasihkan Neni!" Bentak Ega. Riri mengangguk. Segera Ega berlari kecil menjauh. Netra Riri mengikuti ke mana pemuda itu pergi. Ternyata, Ega memarkirkan motor sportnya jauh di sana.

Riri meremas plastik kecil dalam genggamannya. "Apa ini, ya?" Dia bergumam. Karena hanya dimasukkan plastik putih, Riri jadi bisa melihat benda itu.

"Testpack? Buat Mbak Neni?"

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sepupu dari Kampung    End// Bahagia untuk Riri

    #Sepupu _dari_KampungBab 50Bahagia untuk RiriDi sebuah hotel yang tidak begitu mewah, dua orang berbadan atletis dan berpostur tinggi tampak mendatangi. Keduanya berpakaian sama yaitu setelah jas dan celana berwarna hitam. Rambut mereka disisir rapi semua hingga menampakkan wajah yang tampan. Dua perempuan penjaga resepsionis berdiri menyambut. Mereka bertanya tanya siapa sebenarnya tamu yang tak biasa ini. Dinar yang kebetulan incharge siang ini tiba-tiba merasa was-was. "Selamat siang ada yang bisa dibantu?" Anita menyapa dengan ramah. Anton mendekat ke meja resepsionis. "Kami detektif swasta, sedang mencari informasi. Mohon Anda berdua menjawab pertanyaan kami dengan jujur," kata Anton dengan suara tegas. Anita dan Dinar berdiri sejajar dengan tegang, mereka sempat saling menatap tadi. Lewat pandangan mata, Dinar dan Anita seperti saling bertanya, "ada apa?""Apakah orang ini pernah menginap di hotel ini?" Arman menunjukkan foto wajah Vivian. Anita dan Dinar mendekat dan m

  • Sepupu dari Kampung    Tak ada ampun

    #Sepupu _dari_KampungBab 49Pembalasan segera datang Vivian berlari dan terus berlari. Dia telah dibebaskan oleh anak buah Arman dan dilepas begitu saja di jalanan yang sepi. Tanpa berbekal hp dan tas dan tentu saja uang Vivian hanya diberikan kunci mobilnya saja. Sedangkan jarak dia diturunkan ke mobilnya masih sekitar enam kilo lagi. Vivian mengumpat sepanjang jalan. Paling tidak empat jam lagi dengan jalan kaki Vivian baru akan sampai di mobilnya. "Sialan kau Arman!" Hih! Vivian mengumpat dengan mengepalkan tangan. Dia kesal dengan anak buah Arman yang tidak berperikemanusiaan ini. "Aku dilepas seperti binatang! Semoga mobilmu selalu bau taik kau Arman gila!" Vivian mengomel sendiri sepanjang jalan. Sebenarnya dia sendiri yang seperti orang gila. Berjalan sambil mengomel dan pakai baju mini kurang bahan. Orang-orang yang melewatinya pun tertawa. Bahkan ada yang memberi suara klakson besar dan membuat Vivian melompat kaget. Sampai di mobilnya Vivian langsung tancap gas. Dia la

  • Sepupu dari Kampung    Mendukung Suami

    #Sepupu _dari_KampungBab 48Dukungan Riri untuk suaminya "Zi, sebaiknya kita selesaikan masalah ini besok saja. Ini sudah malam," kata Arman saat menyetir mobil. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam lebih. Zian bergeming, dia bernafsu ke rumah Purwanto untuk membuat perhitungan dengan istrinya. Sania telah mengakui bahwa dia ingin menghancurkan Riri istrinya. Itu tidak bisa dibiarkan. Menghancurkan Riri harus berhadapan dengan Zian. "Aku ingin semuanya beres saat ini juga!" Kata Zian bersemangat. Selangkah lagi dia akan berhasil mengungkap siapa di balik video palsu murahan yang viral itu. "Sebaiknya kamu pulang dulu, Zi. Istrimu menunggu di rumah, jangan sampai dia bertambah curiga karena kamu pulang terlambat," kata Arman lagi menasehati. Zian terdiam. Tiba-tiba dia kangen sama istrinya itu, "baiklah, antar aku pulang," kata Zian akhirnya. Arman memutar mobil dan kembali ke arah rumah Zian. Arman tidak mampir, lelaki itu langsung berpamitan pada Zian dan menjalankan lagi

  • Sepupu dari Kampung    Mereka Jahat

    #Sepupu _dari_KampungBab 47Semangat, Riri!Vivian dibawa paksa memasuki sebuah rumah oleh orang yang menculiknya. Gadis itu hanya bisa menurut karena memberontak juga percuma hanya akan menyakiti dirinya sendiri saja. Tiga orang yang menculiknya mendudukkan Vivian di sebuah kursi di sebuah ruangan luas yang kosong dan tidak ada perabotannya sama sekali. Vivian mengedarkan pandangan,"tempat apa ini, mirip sebuah kantor yang kosong." Pikirnya. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Vivian menajamkan mata untuk melihat siapa yang datang. Mata Vivian tidak berkedip menatap dua sosok pria berpostur tinggi yang menghampirinya. "Zi_Zian?" Desis Vivian sambil menelan ludah. Zian dan Arman semakin dekat. Dada Vivian berdetak tak karuan karena menyadari dirinya dalam bahaya. Tetapi bukan Vivian kalaupun tidak segera menemukan solusi untuk berkelit. Vivian dengan cepat sudah memutar otaknya apa bila Zian mencecarnya dengan pertanyaan seputar video viral. "Zian, Zian, tolongin aku!" Seru V

  • Sepupu dari Kampung    Wajah asli keluarga Budhe

    #Sepupu _dari_KampungBab 46Terbuka semuanya Agus menarik tangan Dinar menjauh dari teman-temannya. "Kalau lu tutup mulut, polisi nggak bakalan tahu, bego!" Ucapnya tepat di depan muka Dinar. Dinar tetap menatap dengan mata sedikit melebar. "Meskipun gue tutup mulut, kalau ada orang yang merasa dirugikan, dia pasti akan mengusut tuntas. Hati-hati aja lu!" Dinar melotot, "asal lu tahu, Itu orang lakinya adalah anak pengusaha properti terkenal Pak Hendri Susilo, dan dia sudah beristri. Lu tahu artinya? Perempuan bernama Vivian itu mungkin selingkuhannya!" Agus terdiam dan mikir. Dinar berjalan cepat menjauhinya. "Benar juga kata Dinar, bagaimana kalau perempuan bernama Vivian itu menjebak Suami orang? Wah! Gawat ini." Bola mata Agus bergerak memutar, seperti otaknya yang sekarang dapat memutar dengan benar.**Zian tak jenak di kantor. Sepertinya semua orang sedang mengawasi dan membicarakan tentang dirinya. Zian merasa malu dan tertampar dengan kasus ini. Menyesal telah pergi den

  • Sepupu dari Kampung    Jangan Pergi

    #Sepupu _dari_KampungBab 45Tak ada yang percaya Zian!Zian berpikir sejenak, "kenapa Papa sudah ada di rumah? Bukannya pulangnya nanti sore?"Bergegas Zian keluar dan menemui Alissa sekretarisnya. "Lisa, aku dipanggil Bapak. Tolong kamu re-schedule semua jadwal aku hari ini," kata Zian. "Baik, Pak," sahut Alissa mengangguk.Melewati deretan area meja karyawan kembali Zian menjadi pusat perhatian. Para staf perempuan bahkan ada yang tertawa tertahan. Mereka saling mrlir atau pun melempar pandangan denga kode-kode yang seolah mengolok- olok bosnya. "Ssst, body Pak Zian keren ih, hihi," ucap salah seorang staf perempuan dengan mengedipkan sebelah matanya genit kemudian semuanya terkekeh. Sungguh Zian bahkan sudah menjadi bulan bulanan netizen. Menyetir sendri pulang ke rumah Zian masih belum sadar apa yang terjadi. Lelaki itu memang jarang bahkan hampir tidak pernah bermain medsos. Main game iya tapi, sudah tidak mencandu lagi seperti jamannya kuliah. Dengan tenang Zian memarkirka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status