Share

Bab 2

"Iya, seragam keluarga Mas Tohir memang beda. Kemarin habis, jadi aku suruh pakai bekas waktu nikahan Sofia."

"Habis, atau kamu memang sengaja tak memberinya, Bu?"

"Sudahlah, Pak. Mereka memang pantas kok. Nggak usah terlalu di spesialkan karena mereka memang tidak spesial."

Perbincangan antara Tante Gina dan suaminya kudengar jelas ketika aku dan keluarga hendak pulang siang tadi. Sampai sekarang perkataan demi perkataan pedas Tante Gina masih kuingat jelas hingga sampai dini hari pun aku tak mampu memejamkan mata. Begitu rendahnya mereka memandang keluargaku, padahal Tante Gina dan Ayah keluar dari rahim yang sama.

"Mbak, kok belum tidur?" ucap Arum mengagetkanku.

Aku lantas menoleh ke arahnya, lalu tersenyum. "Belum ngantuk, udah kamu istirahat sana. Besok sekolah," ujarku dengan membetulkan letak selimutnya.

Arum sudah membaik sejak sore tadi, sepertinya dia sudah mulai menyadari bahwa perkataannya siang tadi keliru. Sedangkan aku juga belum mengatakan pada Ayah dan Ibu mengenai niat baik Zaki yang ia sampaikan lewat pesan singkat siang tadi.

Tante Gina dan seluruh keluarga tidak boleh memandangku rendah. Mereka harus tahu jika keluargaku bisa bangkit dan tak seharusnya direndahkan terus menerus seperti ini.

..

"Yah, Bu. Sore nanti Zaki dan keluarganya akan datang kemari."

Perkataanku sontak membuat semua anggota keluargaku terkejut. "Zaki? Anak Tuan Muh maksudmu?"

Aku mengangguk. "Iya, Yah. Boleh kan?"

"Untuk apa, Nak? Jangan main-main dengan mereka, mereka orang kaya."

"Zaki mau meminangku, Yah, Bu."

"Apa?" Mereka bertiga berseru bersamaan. Terlihat jelas jika mereka sangat terkejut dengan kabar yang kubawa.

"Nak, kamu tidak salah? Kita orang miskin, mana mungkin bersanding dengan keluarga mereka?" tutur Ayah seperti biasanya. Ia selalu merendah meskipun banyak orang merendahkan harga diri keluarga kami. Ayah selalu menerapkan rasa rendah hati, tapi terkadang hal itu membuat kami sangat di rendahkan oleh orang lain.

"Pak, Bu. Setidaknya biarkan mereka berkunjung kemari, kita harus tetap menjaga silaturahmi kan?"

Mereka terdiam, tapi tak lama berselang Ayah menyetujui perkataanku. Aku tersenyum lega, semoga saja niat baik Zaki bisa di terima dengan baik oleh Ayah dan Ibu.

"Oh iya, hari ini kita diundang lagi ke rumah Gina. Katanya calon besannya mau kesana," ucap Ayah setelah kami selesai sarapan.

"Alah, pasti cuma di suruh bersih-bersih, Yah. Mending nggak usah datang," celetuk Arum dengan nada sinis.

Memang benar sebetulnya, mereka pasti hanya menginginkan tenaga keluarga kami, bukan murni kehadiran kami. 

"Arum, nggak boleh begitu. Walau bagaimanapun dia itu Tantemu." Ibu berkomentar, tapi kali ini aku memilih diam karena rasanya juga sudah muak dengan perbuatan keluarga Tante Gina yang selalu merendahkan keluargaku.

"Perkataan Arum ada benarnya, Pak, Bu. Kita tidak boleh di rendahkan terus menerus. Bagaimanapun juga kita punya harga diri meskipun lebih miskin dari mereka," tuturku geram, karsna selama ini aku juga selalu mengalah seperti Bapak.

"Tapi, Na ...."

"Pak, Nana punya ijazah SMK, biarkan setelah ini Nana mencari pekerjaan yang lebih baik dari sebelumnya. Doakan Nana," ucapku pelan memohon restu.

Mereka semua terdiam, sepertinya mulai menyadari bahwa perkataanku dan Arum adalah benar. Hatiku sudah terlalu sakit dengan perkataan Tante Gina kemarin, mereka begitu merendahkan kami karena miskin.

..

Pada akhirnya aku memutuskan untuk ikut Ayah dan Ibu ke rumah Tante Gina lagi tanpa Arum. Aku tidak ingin jika mereka direndahkan lagi oleh keluarga yang lain.

"Mas Tohir, tolong dong siapin kursi-kursinya, nanti keburu besanku datang," ucap Tante Gina ketika dia baru saja keluar dari kamar.

"Dan Mbak Rita, bantu Mbok Sum di dapur, ya. Banyak yang belum selesai kayaknya." Lagi, Tante Gina memerintahkan kedua orangtuaku bak pesuruhnya.

Kami masih terdiam, ikut duduk bersama keluarga yang lain yang baru datang. Namun Tante Gina tak hentinya menyuruh Ayah dan Ibu tanpa henti.

"Nana, kamu juga bantu ibumu, ya. Sana ke dapur, nanti di sini bakal buat tamu."

"Maaf, Tante. Kenapa hanya keluargaku saja? Kenapa keluarga Om Burhan, Budhe Siti, atau yang lain tidak disuruh bantu-bantu?" ujarku setengah menantang.

"Apa? Ya mana mungkin aku menyuruh mereka, mereka kan ...."

"Karena mereka kaya? Dan keluargaku miskin?" tuturku sontak membuat semua orang menatap kami.

"Nana!" bentak Tante Gina.

"Kenapa, Tante? Benar kan? Selama ini kami diam, tapi justru semakin diinjak-injak. Maaf, saya tidak akan membiarkan keluargaku di rendahkan terus menerus," kataku dengan tegas membuat wajah Tante Gina merah padam.

"Kamu anak bau kencur tahu apa? Ha?"

"Ayo Pak, Bu. Kita pulang saja. Percuma kita di sini jika hanya dijadikan babu dadakan," ujarku lagi dengan menarik lengan kedua orangtuaku.

Dadaku bergemuruh ketika semua orang menatapku dengan pandangan aneh. Terutama Tante Gina, terlihat jelas sorot kebencian di matanya. Padahal kami sama sekali tidak pernah mencari masalah dengannya, tapi dia selalu saja memandang rendah keluarga kami.

"Pak, Bu. Nana janji, akan mengangkat derajat keluarga kita. Doakan semua usaha Nana berhasil, dengan atau tanpa bantuan Zaki," ucapku ketika kami bertiga berjalan ke arah jalan raya.

Kedua orangtuaku terdiam, sepertinya mereka juga masih terkejut dengan sikapku yang berubah seratus delapan puluh derajat. Biar saja, aku memang tidak suka jika harga diri kedua orangtuaku diinjak-injak.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Suka dengan ketegasan Nana
goodnovel comment avatar
Fernando Kanine
tambah seru
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status