"Iya, seragam keluarga Mas Tohir memang beda. Kemarin habis, jadi aku suruh pakai bekas waktu nikahan Sofia."
"Habis, atau kamu memang sengaja tak memberinya, Bu?"
"Sudahlah, Pak. Mereka memang pantas kok. Nggak usah terlalu di spesialkan karena mereka memang tidak spesial."
Perbincangan antara Tante Gina dan suaminya kudengar jelas ketika aku dan keluarga hendak pulang siang tadi. Sampai sekarang perkataan demi perkataan pedas Tante Gina masih kuingat jelas hingga sampai dini hari pun aku tak mampu memejamkan mata. Begitu rendahnya mereka memandang keluargaku, padahal Tante Gina dan Ayah keluar dari rahim yang sama.
"Mbak, kok belum tidur?" ucap Arum mengagetkanku.
Aku lantas menoleh ke arahnya, lalu tersenyum. "Belum ngantuk, udah kamu istirahat sana. Besok sekolah," ujarku dengan membetulkan letak selimutnya.
Arum sudah membaik sejak sore tadi, sepertinya dia sudah mulai menyadari bahwa perkataannya siang tadi keliru. Sedangkan aku juga belum mengatakan pada Ayah dan Ibu mengenai niat baik Zaki yang ia sampaikan lewat pesan singkat siang tadi.
Tante Gina dan seluruh keluarga tidak boleh memandangku rendah. Mereka harus tahu jika keluargaku bisa bangkit dan tak seharusnya direndahkan terus menerus seperti ini.
..
"Yah, Bu. Sore nanti Zaki dan keluarganya akan datang kemari."
Perkataanku sontak membuat semua anggota keluargaku terkejut. "Zaki? Anak Tuan Muh maksudmu?"
Aku mengangguk. "Iya, Yah. Boleh kan?"
"Untuk apa, Nak? Jangan main-main dengan mereka, mereka orang kaya."
"Zaki mau meminangku, Yah, Bu."
"Apa?" Mereka bertiga berseru bersamaan. Terlihat jelas jika mereka sangat terkejut dengan kabar yang kubawa.
"Nak, kamu tidak salah? Kita orang miskin, mana mungkin bersanding dengan keluarga mereka?" tutur Ayah seperti biasanya. Ia selalu merendah meskipun banyak orang merendahkan harga diri keluarga kami. Ayah selalu menerapkan rasa rendah hati, tapi terkadang hal itu membuat kami sangat di rendahkan oleh orang lain.
"Pak, Bu. Setidaknya biarkan mereka berkunjung kemari, kita harus tetap menjaga silaturahmi kan?"
Mereka terdiam, tapi tak lama berselang Ayah menyetujui perkataanku. Aku tersenyum lega, semoga saja niat baik Zaki bisa di terima dengan baik oleh Ayah dan Ibu.
"Oh iya, hari ini kita diundang lagi ke rumah Gina. Katanya calon besannya mau kesana," ucap Ayah setelah kami selesai sarapan.
"Alah, pasti cuma di suruh bersih-bersih, Yah. Mending nggak usah datang," celetuk Arum dengan nada sinis.
Memang benar sebetulnya, mereka pasti hanya menginginkan tenaga keluarga kami, bukan murni kehadiran kami.
"Arum, nggak boleh begitu. Walau bagaimanapun dia itu Tantemu." Ibu berkomentar, tapi kali ini aku memilih diam karena rasanya juga sudah muak dengan perbuatan keluarga Tante Gina yang selalu merendahkan keluargaku.
"Perkataan Arum ada benarnya, Pak, Bu. Kita tidak boleh di rendahkan terus menerus. Bagaimanapun juga kita punya harga diri meskipun lebih miskin dari mereka," tuturku geram, karsna selama ini aku juga selalu mengalah seperti Bapak.
"Tapi, Na ...."
"Pak, Nana punya ijazah SMK, biarkan setelah ini Nana mencari pekerjaan yang lebih baik dari sebelumnya. Doakan Nana," ucapku pelan memohon restu.
Mereka semua terdiam, sepertinya mulai menyadari bahwa perkataanku dan Arum adalah benar. Hatiku sudah terlalu sakit dengan perkataan Tante Gina kemarin, mereka begitu merendahkan kami karena miskin.
..
Pada akhirnya aku memutuskan untuk ikut Ayah dan Ibu ke rumah Tante Gina lagi tanpa Arum. Aku tidak ingin jika mereka direndahkan lagi oleh keluarga yang lain.
"Mas Tohir, tolong dong siapin kursi-kursinya, nanti keburu besanku datang," ucap Tante Gina ketika dia baru saja keluar dari kamar.
"Dan Mbak Rita, bantu Mbok Sum di dapur, ya. Banyak yang belum selesai kayaknya." Lagi, Tante Gina memerintahkan kedua orangtuaku bak pesuruhnya.
Kami masih terdiam, ikut duduk bersama keluarga yang lain yang baru datang. Namun Tante Gina tak hentinya menyuruh Ayah dan Ibu tanpa henti.
"Nana, kamu juga bantu ibumu, ya. Sana ke dapur, nanti di sini bakal buat tamu."
"Maaf, Tante. Kenapa hanya keluargaku saja? Kenapa keluarga Om Burhan, Budhe Siti, atau yang lain tidak disuruh bantu-bantu?" ujarku setengah menantang.
"Apa? Ya mana mungkin aku menyuruh mereka, mereka kan ...."
"Karena mereka kaya? Dan keluargaku miskin?" tuturku sontak membuat semua orang menatap kami.
"Nana!" bentak Tante Gina.
"Kenapa, Tante? Benar kan? Selama ini kami diam, tapi justru semakin diinjak-injak. Maaf, saya tidak akan membiarkan keluargaku di rendahkan terus menerus," kataku dengan tegas membuat wajah Tante Gina merah padam.
"Kamu anak bau kencur tahu apa? Ha?"
"Ayo Pak, Bu. Kita pulang saja. Percuma kita di sini jika hanya dijadikan babu dadakan," ujarku lagi dengan menarik lengan kedua orangtuaku.
Dadaku bergemuruh ketika semua orang menatapku dengan pandangan aneh. Terutama Tante Gina, terlihat jelas sorot kebencian di matanya. Padahal kami sama sekali tidak pernah mencari masalah dengannya, tapi dia selalu saja memandang rendah keluarga kami.
"Pak, Bu. Nana janji, akan mengangkat derajat keluarga kita. Doakan semua usaha Nana berhasil, dengan atau tanpa bantuan Zaki," ucapku ketika kami bertiga berjalan ke arah jalan raya.
Kedua orangtuaku terdiam, sepertinya mereka juga masih terkejut dengan sikapku yang berubah seratus delapan puluh derajat. Biar saja, aku memang tidak suka jika harga diri kedua orangtuaku diinjak-injak.
[Dasar sombong. Miskin saja belagu]Itulah pesan Tante Gina yang baru saja masuk ke dalam ponselku. Aku hanya menghela nafas, lalu meletakkan benda pipih itu ke atas nakas lagi. Setengah jam lagi keluarga Zaki, anak dari pemilik ladang terbesar di daerahku, akan segera tiba di rumahku, jadi aku tidak ingin merusak suasana hatiku dengan meladeni pesan Tante Gina."Pesan dari siapa, Nduk? Kok nggak di balas? Zaki?" tanya Ibu ketika ia baru saja meletakkan beberapa makanan di atas meja sebagai jamuan untuk keluarga Zaki.Aku terkejut, lalu menggeleng pelan. "Bukan, Bu. Dari orang salah kirim. Nggak penting."Dengan sengaja, aku memang menyembunyikan semua itu dari Ibu. Alasannya masih sama, aku tidak ingin melihatnya bersedih. Karena pernah suatu ketika aku menyampaikan pesan seperti itu kepada kedua orangtuaku, tapi dua hari setelah itu Ibu sakit karena terlalu banyak memikirkan hal itu. Jadi sekarang, aku lebih memilih menyimpan pesan tak enak dibaca itu dari kedua orangtuaku.Triingg
"Apa kita akan tetap datang ke acara pernikahan anak Tante Gina setelah kita hanya disuruh pakai seragam bekas, Yah? Kita sudah tidak di hargai, kalaupun datang pasti hanya akan dijadikan bahan candaan," ujarku ketika kami berempat sedang makan malam."Betul, Yah. Arum yakin sebetulnya bukan seragamnya yang habis, tapi memang kita tidak dikasih," sambung adik perempuanku.Benar apa yang dikatakan oleh Arum, hanya saja aku tidak ingin mengatakan hal itu kepada kedua orangtuaku. Bisa-bisa ibuku akan jatuh sakit nantinya."Sudah, jangan berdebat di meja makan. Pamali," jawab Ayah tanpa berniat menyambungi pembicaraan kami.Memang begitulah Ayah, tak pernah mau berdebat ataupun menjelek-jelekkan saudaranya. Padahal sudah jelas terlihat bahwa mereka tidak suka dengan kita. Sedangkan Ibu? Dia juga hanya diam dan menuruti semua yang dikatakan oleh Ayah.Awalnya kami juga begitu, tapi lambat laun kami tahu jika sikap Tante Gina sudah diluar batas. Mereka tak hanya ingin kami membantunya, tapi
"Hahaha ... Mana mungkin anak Tuan Muh yang kaya itu mau sama kakakmu, Arum. Mereka itu keluarga terhormat, sedangkan kalian, hanya mampu pakai seragam bekas," tutur Laras, anak bungsu Tante Gina yang kudengar juga sedang menyukai Zaki.Arum bersiap hendak berteriak, tapi aku segera mencegahnya. "Iya, memang benar adikku bergurau. Dia hanya sedang berhalusinasi. Namun jangan salahkan takdir jika sampai suatu saat nanti derajat kita akan sama, atau bahkan lebih tinggi keluargaku, keluarga Pak Tohir," ucapku dengan lantang sembari menatap ayahku yang hanya menunduk pasrah.Adikku menganggukkan kepala dengan sangat mantap, membuat semangatku berkobar dua kali dari sebelumnya. Ayah dan Ibu terlihat sedih, mungkin mereka menyayangkan sikapku dan Arum yang arogan. Padahal mereka sama sekali tidak pernah mengajarkan hal itu, mereka selalu mengajarkan kami dengan tutur kata yang baik dan harus menghormati orang yang lebih tua dari kami.Namun sekarang, kondisinya berbeda. Mereka sudah terlalu
[Percuma kasih tanda cinta kalau cuma dikit, mending nggak usah. Terimakasih untuk saudara-saudaraku yang lain, kalian memang the best]Dadaku panas, aku yakin status Tante Gina itu ditujukan untuk keluargaku. Untuk siapa lagi kalau bukan untuk keluargaku? Memang mereka sangat benci dengan kami, entah apa alasannya.[Maaf, Tante. Memang kami hanya bisa memberikan sedikit. Kalau tak berkenan lebih baik di berikan kepada yang membutuhkan saja, tidak perlu diumbar di sosial media]Satu balasan untuk postingan Tante Gina kukirimkan. Jari-jariku begitu gatal ketika membaca postingan-postingan yang ia unggah. Hanya saja kemarin-kemarin aku tak ingin menanggapinya, tapi kali ini ia sudah sangat keterlaluan.Terlebih subuh tadi aku juga melihat jika Laras pun mengunggah sebuah ejekan untukku. Dia berkata jika keluarga miskin tak akan bisa bersanding dengan konglomerat, apalagi sampai menikahi anak juragan ladang.Baiklah, Tante Gina, Laras, dan semua keluarga yang sudah merendahkanku, akan se
Saudara yang terlihat benci dan selalu merendahkan keluargaku karena miskin itu terlihat terkejut ketika tahu bahwa aku calon istri Zaki, anak dari juragan ladang. Mungkin dia masih berfikir, bagaimana bisa aku yang miskin ini akan bersanding dengan lelaki kaya itu."Laras, kenapa diam?" ucapku lagi ketika dia masih terlihat membeku.Baju brukat warna putih masih menempel di badanku. Tante Lusi sangat pandai dalam memadupadankan baju dan aksesoris. Meskipun baru mencoba, tapi aku sudah telihat sangat cantik sebagai pengantin.Laras tak menjawab perkataanku, tapi dia justru tertawa lantang. Dia memang terlihat aneh."Mana mungkin aku percaya, Nana? Sudahlah ... Kalian jangan bergurau," tuturnya membuatku mengernyitkan dahi.Bagaimana dia bisa tidak percaya? Padahal aku sudah mencoba baju pengantin bersama Zaki."Aa Zaki, aku tahu Anda sedang bergurau. Mana mungkin Anda sekeluarga mau meminang gadis miskin seperti dia. Mungkin Nana hanya Anda suruh untuk mencoba baju pengantin untuk ist
"Maaf, Yah. Arum nggak mau datang. Bukan begitu, Mbak? Kami nggak mau datang ke tempat orang yang sudah merendahkan keluarga kita," tutur Arum secara tiba-tiba.Aku yang masih terdiam lantas ikut mengangguk. "Iya, Yah. Nana juga tidak mau ke sana. Nana tidak tahan dengan sikap keluarga yang lain, terutama Tante Gina dan anak-anaknya. Biar saja kita dibilang tak tahu diri, yang penting harga diri kita tak diinjak-injak terus menerus."Ayah terlihat sedih, mungkin dia menyayangkan sikapku dan Arum yang menolak di ajak ke rumah Tante Gina lagi. Biar saja, kami sudah bosan di hina."Yasudah kalau itu mau kalian, biar Ayah dan Ibu saja yang kesana," tutur Ayah membuatku lagi-lagi saling berpandangan dengan Arum.Ayah tetap akan berangkat meski aku dan Arum sudah memberinya nasehat. Bagi kami, semiskin-miskinnya kami, harga diri tetap yang utama. Namun bagi Ayah, keutuhan saudaranya lah yang paling utama. Memang, ayah kami terlalu polos sehingga tidak ingin jika saudara-saudaranya terpecah
"Sudah, pulang sana, Mas. Tapi jangan harap setelah ini kamu sekeluarga bisa kumpul lagi bersama kita. Iya kan Mbak Risma?" tutur Tante Gina membuatku semakin murka.Kupandangi Ayah dalam, aku ingin dia melihat kesungguhan dalam manik matanya. Akankah dia tetap membela saudaranya, atau kami keluarga kecilnya."Cukup. Ini pilihan yang sulit. Apa kalian tidak bisa berdamai? Kita hidup rukun seperti dulu lagi?" tutur Ayah tak memberikan jawaban."Bisa. Kami bisa berdamai seperti dulu lagi asal semua saudara Ayah memperlakukan kita layaknya saudara, bukan pembantu!" tandasku tajam dengan menatap Tante Gina dan Budhe Risma bergantian.Lagipula aku heran, apa suami-suaminya tidak mengajarkan bagaimana bersikap baik kepada saudara? Kenapa aku lihat saudara-saudara ayahku ini seakan menerkam Ayah hidup-hidup. Seharusnya mereka menasehati istri-istrinya, bukan malah mendukung apa yang mereka lakukan."Siapa yang memperlakukan kalian seperti pembantu, Nana? Bukankah dari kamu kecil, memang suda
Semua anggota keluargaku masih terdiam usai orang suruhan Tuan Muh mengutarakan maksud dan tujuannya datang ke rumahku. Ya, dia datang untuk menyampaikan jika pernikahanku dengan Zaki di majukan."A-apa. Bagaimana, Pak? Apa Anda serius?" ucap Ayah terbata."Iya, Pak. Saya serius. Bu Halimah sedang sakit dan beliau ingin segera menyaksikan anaknya menikah dihadapannya," ucap tangan kanan Tuan Muh yang seingatku bernama Pak Lukas."Tapi kami belum memiliki persiapan apapun, Pak. Bagaimana kami akan datang kesana." Kali ini Ibu yang mengatakan demikian.Pak Lukas tersenyum, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku jaket hitamnya. "Pak, Bu. Saya mendapatkan amanah dari Tuan Muh. Mohon di terima."Diserahkannya sebuah plastik hitam yang lumayan besar, aku tak tahu apa isinya. Namun jika kuterka sepertinya berisi sejumlah uang."Apa ini?" tanya Ayahku lagi tanpa berani menyentuhnya."Ini ada sejumlah uang untuk kalian gunakan untuk bersiap-siap. Kata Tuan Muh ini kurang lebih dua puluh juta rupi