[Dasar sombong. Miskin saja belagu]
Itulah pesan Tante Gina yang baru saja masuk ke dalam ponselku. Aku hanya menghela nafas, lalu meletakkan benda pipih itu ke atas nakas lagi. Setengah jam lagi keluarga Zaki, anak dari pemilik ladang terbesar di daerahku, akan segera tiba di rumahku, jadi aku tidak ingin merusak suasana hatiku dengan meladeni pesan Tante Gina.
"Pesan dari siapa, Nduk? Kok nggak di balas? Zaki?" tanya Ibu ketika ia baru saja meletakkan beberapa makanan di atas meja sebagai jamuan untuk keluarga Zaki.
Aku terkejut, lalu menggeleng pelan. "Bukan, Bu. Dari orang salah kirim. Nggak penting."
Dengan sengaja, aku memang menyembunyikan semua itu dari Ibu. Alasannya masih sama, aku tidak ingin melihatnya bersedih. Karena pernah suatu ketika aku menyampaikan pesan seperti itu kepada kedua orangtuaku, tapi dua hari setelah itu Ibu sakit karena terlalu banyak memikirkan hal itu. Jadi sekarang, aku lebih memilih menyimpan pesan tak enak dibaca itu dari kedua orangtuaku.
Triingg
Satu pesan lagi masuk ke dalam gawaiku. Aku lantas mengambilnya, takut jika itu adalah pesan Zaki yang akan membatalkan kunjungannya.
Namun aku keliru, itu adalah pesan dari Tante Gina lagi.
[Lihat, masih ada banyak stok seragam di kamar. Hanya saja aku memang sengaja tak ingin memberikan pada keluargamu. Kalian orang miskin, tak pantas mendapatkan barang bagus seperti ini]
Astaga ... Aku mengelus dadaku sendiri ketika membaca pesan dari tanteku itu. Entah sebenarnya apa yang menyebabkan Tante Gina begitu membenci keluargaku. Padahal Ayah selalu tak pernah absen jika Tante Gina membutuhkan bantuannya.
..
Setengah jam berlalu hingga akhirnya sebuah mobil besar dan mewah masuk ke area pekaranganku yang kecil. Jantungku tak hentinya berdebar ketika kulihat satu persatu anggota keluarga Zaki turun dari mobil itu.
Aku yakin, kedua orangtuaku pun juga merasakan hal yang sama. Pasti mereka juga sedang berdebar kali ini.
"Mbak, Mas Zaki ganteng banget," celetuk Arum lirih di sampingku.
"Hush, jangan keras-keras. Nggak enak," jawabku dengan senyuman lebar ketika kedua orangtua Zaki telah sampai di depan pintu rumahku.
Kami semua lantas masuk, ada lima orang anggota keluarga Zaki yang ikut serta termasuk dirinya. Sepertinya dua orang yang lain adalah kakak dan pamannya.
"Pak Tohir, maksud dan tujuan kami datang kemari adalah selain untuk silaturahmi, kami juga ingin meminta ijin untuk meminang anak Anda, Nana Sadea, untuk anak kami Zaki. Apakah Anda sekeluarga berkenan menerima kami sebagai besan Anda?" ucap Tuan Muh ketika kami telah berbincang.
Ayah terlihat sangat gugup dan pucat, aku tahu dia sangat terkejut dengan apa yang terjadi saat ini. "Maaf, Tuan. Anak kami ini dari keluarga miskin, tidak pantas bersanding dengan Den Zaki," ujar Ayah membuat kedua mataku mengembun.
Rupanya status ekonomi itu sangat berpengaruh dalam segala hal. Itulah mengapa kini aku sadar jika bekerja keras itu pantas kita lakukan agar tak terlalu dipandang sebelah mata oleh orang lain.
"Pak Tohir, kami sama sekali tidak membeda-bedakan soal itu. Justru karena hal itulah Zaki merasa mantap dan yakin dengan Nana. Nana adalah gadis yang baik, pandai, dia pandai mengaji, semangatnya luar biasa. Kami ingin anak kami Zaki bisa belajar banyak dengan semangat Nana," tutur Tuan Muh membuatku sedikit tersentuh.
"Benar, Pak. Saya tulus mencintai Nana. Saya ingin menjadikan dia sebagai pendamping hidup, bukan hanya sekedar melihat dari segi ekonomi. Justru setelah ini saya berniat ingin memulai semuanya dari nol lagi, bersama Nana tentunya. Saya tidak ingin membawa nama ayah saya dalam urusan rumah tangga saya nanti."
Aku kembali tertegun, Zaki yang kukenal sangat rajin beribadah itu rupanya memiliki pemikiran yang sangat dewasa dan terlihat sangat pantas dijadikan imam. Semoga saja, keputusanku dan keluargaku ini tidak akan salah.
Kami sepakat untuk menerima pinangan Zaki, dan rencananya pernikahan akan dilakukan sebulan kemudian setelah acara pernikahan anak dari Tante Gina.
"Oh iya, Pak Tohir. Saya ingin menyampaikan sekalian. Jadi setelah menikah nanti saya ingin jika Nana yang memegang urusan keuangan di ladang. Saya dengar dia adalah lulusan SMK dengan jurusan akuntansi," ucap Tuan Muh membuatku semakin terkejut.
"Tapi, Tuan ...."
"Sudah, anggap saja kamu bekerja di ladangku. Aku sangat kewalahan mengurus keuangan dari seluruh ladang di daerah sini. Mulai dari bibit, pupuk dan hasil penjualan. Dan Zaki juga sudah kuberi warisan dua buah ladang siap panen di utara untuk kalian setelah menikah. Semoga saja setelah itu, kalian bisa mengembangkan dengan baik. Dan juga, aku ingin mengajak Pak Tohir untuk ikut serta dalam pengolahan lahan di selatan. Kami kekurangan orang, Pak. Saya ingin Anda jadi pengawas."
Kali ini aku tak hanya berkaca-kaca, melainkan aku benar-benar meneteskan air mata. Begitu juga dengan kedua orangtuaku. Mereka menangis, begitu mendengar penjelasan dari Tuan Muh dan Zaki.
Setelah harga diri keluargaku diinjak-injak oleh Tante Gina, kini seakan Tuhan membalikkan seluruhnya dengan sangat cepat. Tak butuh waktu lama, Tuhan mengirimkan sebuah rezeki yang tiada tara untuk kami.
Semoga saja, setelah ini kehidupan keluargaku akan segera membaik dan aku bisa membuktikan pada Tante Gina bahwa roda itu berputar dan aku siap berguling ke atas.
"Apa kita akan tetap datang ke acara pernikahan anak Tante Gina setelah kita hanya disuruh pakai seragam bekas, Yah? Kita sudah tidak di hargai, kalaupun datang pasti hanya akan dijadikan bahan candaan," ujarku ketika kami berempat sedang makan malam."Betul, Yah. Arum yakin sebetulnya bukan seragamnya yang habis, tapi memang kita tidak dikasih," sambung adik perempuanku.Benar apa yang dikatakan oleh Arum, hanya saja aku tidak ingin mengatakan hal itu kepada kedua orangtuaku. Bisa-bisa ibuku akan jatuh sakit nantinya."Sudah, jangan berdebat di meja makan. Pamali," jawab Ayah tanpa berniat menyambungi pembicaraan kami.Memang begitulah Ayah, tak pernah mau berdebat ataupun menjelek-jelekkan saudaranya. Padahal sudah jelas terlihat bahwa mereka tidak suka dengan kita. Sedangkan Ibu? Dia juga hanya diam dan menuruti semua yang dikatakan oleh Ayah.Awalnya kami juga begitu, tapi lambat laun kami tahu jika sikap Tante Gina sudah diluar batas. Mereka tak hanya ingin kami membantunya, tapi
"Hahaha ... Mana mungkin anak Tuan Muh yang kaya itu mau sama kakakmu, Arum. Mereka itu keluarga terhormat, sedangkan kalian, hanya mampu pakai seragam bekas," tutur Laras, anak bungsu Tante Gina yang kudengar juga sedang menyukai Zaki.Arum bersiap hendak berteriak, tapi aku segera mencegahnya. "Iya, memang benar adikku bergurau. Dia hanya sedang berhalusinasi. Namun jangan salahkan takdir jika sampai suatu saat nanti derajat kita akan sama, atau bahkan lebih tinggi keluargaku, keluarga Pak Tohir," ucapku dengan lantang sembari menatap ayahku yang hanya menunduk pasrah.Adikku menganggukkan kepala dengan sangat mantap, membuat semangatku berkobar dua kali dari sebelumnya. Ayah dan Ibu terlihat sedih, mungkin mereka menyayangkan sikapku dan Arum yang arogan. Padahal mereka sama sekali tidak pernah mengajarkan hal itu, mereka selalu mengajarkan kami dengan tutur kata yang baik dan harus menghormati orang yang lebih tua dari kami.Namun sekarang, kondisinya berbeda. Mereka sudah terlalu
[Percuma kasih tanda cinta kalau cuma dikit, mending nggak usah. Terimakasih untuk saudara-saudaraku yang lain, kalian memang the best]Dadaku panas, aku yakin status Tante Gina itu ditujukan untuk keluargaku. Untuk siapa lagi kalau bukan untuk keluargaku? Memang mereka sangat benci dengan kami, entah apa alasannya.[Maaf, Tante. Memang kami hanya bisa memberikan sedikit. Kalau tak berkenan lebih baik di berikan kepada yang membutuhkan saja, tidak perlu diumbar di sosial media]Satu balasan untuk postingan Tante Gina kukirimkan. Jari-jariku begitu gatal ketika membaca postingan-postingan yang ia unggah. Hanya saja kemarin-kemarin aku tak ingin menanggapinya, tapi kali ini ia sudah sangat keterlaluan.Terlebih subuh tadi aku juga melihat jika Laras pun mengunggah sebuah ejekan untukku. Dia berkata jika keluarga miskin tak akan bisa bersanding dengan konglomerat, apalagi sampai menikahi anak juragan ladang.Baiklah, Tante Gina, Laras, dan semua keluarga yang sudah merendahkanku, akan se
Saudara yang terlihat benci dan selalu merendahkan keluargaku karena miskin itu terlihat terkejut ketika tahu bahwa aku calon istri Zaki, anak dari juragan ladang. Mungkin dia masih berfikir, bagaimana bisa aku yang miskin ini akan bersanding dengan lelaki kaya itu."Laras, kenapa diam?" ucapku lagi ketika dia masih terlihat membeku.Baju brukat warna putih masih menempel di badanku. Tante Lusi sangat pandai dalam memadupadankan baju dan aksesoris. Meskipun baru mencoba, tapi aku sudah telihat sangat cantik sebagai pengantin.Laras tak menjawab perkataanku, tapi dia justru tertawa lantang. Dia memang terlihat aneh."Mana mungkin aku percaya, Nana? Sudahlah ... Kalian jangan bergurau," tuturnya membuatku mengernyitkan dahi.Bagaimana dia bisa tidak percaya? Padahal aku sudah mencoba baju pengantin bersama Zaki."Aa Zaki, aku tahu Anda sedang bergurau. Mana mungkin Anda sekeluarga mau meminang gadis miskin seperti dia. Mungkin Nana hanya Anda suruh untuk mencoba baju pengantin untuk ist
"Maaf, Yah. Arum nggak mau datang. Bukan begitu, Mbak? Kami nggak mau datang ke tempat orang yang sudah merendahkan keluarga kita," tutur Arum secara tiba-tiba.Aku yang masih terdiam lantas ikut mengangguk. "Iya, Yah. Nana juga tidak mau ke sana. Nana tidak tahan dengan sikap keluarga yang lain, terutama Tante Gina dan anak-anaknya. Biar saja kita dibilang tak tahu diri, yang penting harga diri kita tak diinjak-injak terus menerus."Ayah terlihat sedih, mungkin dia menyayangkan sikapku dan Arum yang menolak di ajak ke rumah Tante Gina lagi. Biar saja, kami sudah bosan di hina."Yasudah kalau itu mau kalian, biar Ayah dan Ibu saja yang kesana," tutur Ayah membuatku lagi-lagi saling berpandangan dengan Arum.Ayah tetap akan berangkat meski aku dan Arum sudah memberinya nasehat. Bagi kami, semiskin-miskinnya kami, harga diri tetap yang utama. Namun bagi Ayah, keutuhan saudaranya lah yang paling utama. Memang, ayah kami terlalu polos sehingga tidak ingin jika saudara-saudaranya terpecah
"Sudah, pulang sana, Mas. Tapi jangan harap setelah ini kamu sekeluarga bisa kumpul lagi bersama kita. Iya kan Mbak Risma?" tutur Tante Gina membuatku semakin murka.Kupandangi Ayah dalam, aku ingin dia melihat kesungguhan dalam manik matanya. Akankah dia tetap membela saudaranya, atau kami keluarga kecilnya."Cukup. Ini pilihan yang sulit. Apa kalian tidak bisa berdamai? Kita hidup rukun seperti dulu lagi?" tutur Ayah tak memberikan jawaban."Bisa. Kami bisa berdamai seperti dulu lagi asal semua saudara Ayah memperlakukan kita layaknya saudara, bukan pembantu!" tandasku tajam dengan menatap Tante Gina dan Budhe Risma bergantian.Lagipula aku heran, apa suami-suaminya tidak mengajarkan bagaimana bersikap baik kepada saudara? Kenapa aku lihat saudara-saudara ayahku ini seakan menerkam Ayah hidup-hidup. Seharusnya mereka menasehati istri-istrinya, bukan malah mendukung apa yang mereka lakukan."Siapa yang memperlakukan kalian seperti pembantu, Nana? Bukankah dari kamu kecil, memang suda
Semua anggota keluargaku masih terdiam usai orang suruhan Tuan Muh mengutarakan maksud dan tujuannya datang ke rumahku. Ya, dia datang untuk menyampaikan jika pernikahanku dengan Zaki di majukan."A-apa. Bagaimana, Pak? Apa Anda serius?" ucap Ayah terbata."Iya, Pak. Saya serius. Bu Halimah sedang sakit dan beliau ingin segera menyaksikan anaknya menikah dihadapannya," ucap tangan kanan Tuan Muh yang seingatku bernama Pak Lukas."Tapi kami belum memiliki persiapan apapun, Pak. Bagaimana kami akan datang kesana." Kali ini Ibu yang mengatakan demikian.Pak Lukas tersenyum, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku jaket hitamnya. "Pak, Bu. Saya mendapatkan amanah dari Tuan Muh. Mohon di terima."Diserahkannya sebuah plastik hitam yang lumayan besar, aku tak tahu apa isinya. Namun jika kuterka sepertinya berisi sejumlah uang."Apa ini?" tanya Ayahku lagi tanpa berani menyentuhnya."Ini ada sejumlah uang untuk kalian gunakan untuk bersiap-siap. Kata Tuan Muh ini kurang lebih dua puluh juta rupi
Pagi-pagi buta semua anggota keluargaku sudah disibukkan dengan persiapan pernikahanku yang diadakan sangat mendadak. Setelah kemarin tangan kanan Tuan Muh datang dan meminta hari ini agar aku dapat menikah dengan Zaki karena ibunya sakit.Aku tak terlalu sibuk, karena sejujurnya saja aku justru sibuk menata hati dan pikiranku yang sedikit kalut. Antara tak percaya dengan apa yang akan kujalani, juga sangat gugup karena sebentar lagi statusku akan berubah."Nana, kok malah diem aja. Buruan siap-siap," ucap Ibu yang baru saja melintas di depan kamarku dan melihatku masih terduduk di atas sajadah sembari melamun.Tanpa menjawabnya, aku lantas melipat sajadah yang telah kugunakan beribadah setengah jam yang lalu. Rasanya duduk dan melamun di atas sajadah seusai sholat sangat menenangkan jiwa."Bu, Arum pakai baju ini saja, ya. Yang masih terlihat bagus hanya ini," teriak Arum dari dalam kamar ketika aku memilih membuka jendela ruang tamu."Bu, jangan sampai ada yang ketinggalan, ya. Kasi