LOGIN
"Maaf, Na. Jatah seragamnya habis, gimana kalau pakai bekas waktu nikahan Sofia dulu itu? Masih bagus, kan? Atau sudah usang gara-gara sering di pakai?" ucap Tante Gina, saudaraku yang akan menikahkan anaknya yang kedua.
Aku hanya pasrah ketika semua anggota keluarga mendapatkan seragam baru berwarna pastel sedang keluargaku tak mendapatkannya. Ayah, Ibu dan aku hanya mengiyakan perkataannya karena biasanya memang seperti itu. Kami selalu dinomor sekiankan dari seluruh keluarga karena kami paling miskin.
"Iya nggak apa-apa, Tante. Seragamnya masih, kok."
"Mbak Na, tapi aku pengen yang kaya itu. Warnanya bagus," celoteh Arum, adik perempuanku.
Aku hanya menatapnya sendu, lalu mengelus puncak kepalanya. Sedangkan Tante Gina terlihat pura-pura tak mendengar dengan sibuk mengemasi seragam-seragam milik keluarga yang lain.
"Sudah, nggak apa-apa. Seragam yang itu kan masih bagus. Yuk kita lanjutkan beres-beres, terus pulang," kataku menenangkan Arum, lalu kembali membantu beberapa asisten rumah tangga Tante Gina membereskan ruangan bekas rapat keluarga.
Meskipun kami saudara, tapi jika ada acara atau rapat keluarga, keluargaku hanya mendapatkan bagian memasak dan membereskan sisa-sisanya saja. Kami hanya terima jadi atas semua keputusan yang mereka bicarakan.
Tak jarang aku protes pada ayah ataupun ibu, tapi mereka hanya menjawab agar aku dan Arum bersabar. Katanya, pekerjaan ini justru akan membuat kami lebih mandiri dan lebih berjasa karena membantu saudara yang sedang kerepotan.
"Nana, Arum. Sudah? Ayo kita pulang, Nak. Hari sudah semakin sore," ucap ibu dari arah dapur, ia baru saja membantu beberapa asisten rumah tangga Tante Gina cuci piring.
Aku dan Arum hanya mengangguk, lalu mendekat ke arahnya. Ayah pun juga terlihat baru saja datang dari arah belakang rumah, sepertinya ia baru saja membuang semua sampah yang telah kami kumpulkan.
Hatiku miris ketika melihat semua anggota keluarga pulang ke rumah mereka masing-masing menggunakan mobil dan sepeda motor, sedangkan kami memilih jalan kali ke jalan raya depan dan menunggu angkutan umum. Tak ada satupun dari mereka yang memberikan kami tumpangan meski kendaraan mereka tak penuh.
"Sudah, nggak usah diliatin. Yuk kita jalan," kata ayah yang seolah paham dengan yang kupikirkan.
Kami lantas jalan berempat setelah berpamitan dengan Tante Gina dan suaminya. Langkah kaki kami selalu di dahului oleh para keluarga yang lain hingga berangkat paling awal pun pasti akan sampai rumah paling akhir.
Sesampainya di rumah, wajah Arum masih saja tak berubah. Masih masam. Aku tahu dia sangat kesal karena lagi-lagi keluarga kami tak dianggap oleh mereka, padahal ayah adalah saudara kandung Tante Gina.
"Yah, seharusnya Ayah bisa protes. Kenapa kita selalu tak mendapatkan jatah apapun, bahkan kita juga selalu mendapatkan tugas masak dan bersih-bersih. Memangnya kita itu pembantu?" tutur Arum terlihat jengkel, sedangkan ayah hanya memilih diam dan mendudukkan tubuhnya di ruangan yang kami sebut ruang tamu.
"Sudahlah, Nduk. Itu bukan perkara sulit, kan? Tak apa, yang penting kita sudah membantu saudara kita yang sedang kerepotan."
"Apa karena kita paling miskin?" ungkap Arum spontan membuat kami menatap seketika ke arahnya.
"Arum, jaga bicaramu. Bagaimanapun keadaan kita, kita tetap sama di mata Tuhan. Jangan membawa kata-kata miskin atau kaya," tuturku dengan nada sedikit tinggi.
Kuakui memang kami paling miskin, tapi aku tidak ingin melihat kedua orangtuaku bersedih dengan keadaan kami. Aku yakin mereka sudah berusaha sekuat tenaga untuk membuat kehidupan kami jauh lebih baik. Namun apa boleh dikata jika takdir Tuhan memang mengharuskan kita seperti ini?
"Tapi, Mbak ... Itu adalah hal yang memang terjadi. Mereka membandingkan kita karena kita miskin. Seharusnya mereka bisa adil, atau setidaknya Tuhanlah yang adil, membuat kita kaya juga seperti mereka!"
Plak!
Kutampar adik kesayanganku itu. Kata-katanya sungguh membuatku marah. Aku tahu dia sedang terbawa emosi, tapi tidak seharusnya menyebut Tuhan seperti itu.
Arum menangis, lalu berlari menuju kamar yang ia tempati bersamaku. Sedangkan aku hanya terdiam dan ikut duduk di samping ayah. Kedua orangtuaku terlihat sedih dengan apa yang baru saja terjadi ini, terlebih ibu, ia menangis sesegukan dengan sikap kedua anaknya.
Kami memang miskin, tapi tak seharusnya menyalahkan Tuhan.
...
[Assalamualaikum, Nana. Ijinkan saya untuk meminangmu. Besok, saya dan keluarga akan datang ke rumahmu untuk meminta restu kepada kedua orangtuamu. Mohon niat baik kami di terima. Terimakasih]
Kedua mataku membulat ketika membaca pesan dari Zaki, anak dari Tuan Muh, pemilik ladang terbesar di daerah kami. Kami memang sering bertukar pesan, tapi hanya sekedar untuk membahas jadwal pengajian yang kami ikuti bersama.
Apakah pesan ini nyata, atau hanya aku saja yang terlalu berharap bahwa ini nyata? Atau mungkin, ini memang jawaban Tuhan atas semua doa adikku kemarin. Dia mendoakanku untuk segera menikah, dan dengan orang yang sangat kaya dan terpandang. Aku tak sengaja mendengarnya berdoa beberapa malam yang lalu, tepat di sepertiga malam.
9Pagi datang terlalu cepat. Aku hampir tidak tidur sama sekali. Setiap beberapa menit, aku membuka mata dan memastikan pintu kamar masih terkunci, memastikan tidak ada tanda-tanda Alex kembali mengetuk atau mencoba masuk.Saat matahari mulai masuk lewat celah gorden, aku duduk di tepi ranjang dengan kepala berat. Rasanya seperti ada batu besar yang menindih dadaku, tapi entah bagaimana aku tahu ini harus kulalui.Ini hari terakhirku di rumah ini. Aku sudah memutuskan untuk pergi dan berpisah dari Alex. Aku membuka lemari, memasukkan baju-baju seperlunya ke dalam koper kecil. Aku tidak merasa hancur seperti dulu. Justru ada sesuatu yang terasa lebih ringan, seperti aku melepaskan beban besar yang selama ini mengikat leherku.Saat aku menuruni tangga, aku mendapati Alex duduk di sofa ruang tamu. Rambutnya acak-acakan, matanya merah, entah karena tidak tidur atau karena mabuk.Dia menatapku lama. “Kamu mau ke mana?”Aku menggerakkan koperku ke bawah dengan langkah mantap.“Pergi.”“Perg
Aku memejamkan mata beberapa detik. Nafasku tersengal, bukan karena lelah, tapi karena rasa takut yang merayap dari ujung kaki hingga tengkukku.Hantu-hantu masa lalu itu seperti membawa langkahku kembali ke malam ketika Alex menyeretku keluar dari kamar hanya karena aku memintanya berhenti mabuk. Malam ketika aku dipukul sampai bibirku robek, lalu ia meminta maaf keesokan harinya seolah semua itu sekadar kejadian kecil yang bisa dilupakan.Kini, saat suaranya kembali meninggi, tubuhku bereaksi lebih cepat daripada pikiranku.Namun ada sesuatu yang berbeda malam ini. Bukan hanya rasa takut. Ada juga amarah yang perlahan naik, seperti lava yang menolak dibendung.“A-lika.” Nadanya lebih keras lagi.Aku berhenti di anak tangga pertama menuju lantai dua. Jemariku meremas pagar tangga kayu sampai rasanya seperti akan patah. Seluruh tubuhku gemetar, tapi aku tak menoleh. Jika aku menoleh, jika aku melihat sorot matanya, mungkin aku akan kembali ciut seperti dulu.“Kenapa kamu selalu pergi
Aku mundur begitu Alex berkata demikian. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Kemarin dia memintaku untuk kembali dan rujuk dengannya. Aku kira, itu artinya dia juga akan mau menerima bayi ini dengan senang hati."Alika. Kamu bohong, kan?" Lagi, pertanyaan itu diajukan oleh Alex.Namun kali ini aku sudah tidak kuasa menjawabnya. Kulangkahkan kakiku mundur dari hadapannya dan berjalan ke teras.Satu persatu ingatanku soal Gibran terulang. Ia memakiku karena aku bisa secepat ini percaya lagi pada Alex. Bukan perkara mudah, aku melakukan semua ini karena ada janin di dalam rahimku. Aku pikir, dengan adanya bayi ini maka Alex akan semakin baik. Dan juga, aku tidak mungkin egois dengan tetap mengajukan perceraian karena di dalam rahimku ada darah dagingnya.Lantas sekarang, saat semua sudah berubah seperti ini aku bisa apa?"Alika. Jawab! Kenapa kamu justru pergi?"Aku menghela nafas panjang, lalu menatapnya. "Aku? Bohong? Lalu kamu pikir ini anak siapa?"Kali ini dia mengalihkan pand
"Dia itu jahat, Alika. Jahat." Entah sudah kata keberapa yang diucapkan Gibran kali ini.Hari ini tiba-tiba saja dia mengajakku bertemu dan tanpa kuduga dia justru berkata demikian. Ini masih soal orang yang sama, Alex.Kali ini bukan aku yang mengatakan jika Alex jahat, tapi justru Gibran. Awalnya aku tak percaya dengan apa yang dia katakan, tapi ketika dia menyodorkan sebuah foto dihadapanku anggapanku sedikit berubah."Tapi, dia sangat baik di depanku, Gibran. Aku yakin dia sudah berubah. Siapa tahu ini hanya temannya, atau kebetulan bertemu saja dan kamu beranggapan lain," ujarku masih berusaha membela Alex.Gibran mengacak rambutnya kasar, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi. "Terserah jika kamu tidak percaya. Yang terpenting aku sudah mengatakan yang sebenarnya padamu, bahwa Alex itu masih sama jahatnya." Dia seperti sudah menyerah, tapi aku memang sudah percaya lagi dengan Alex. Aku yakin dia sudah berubah."Tidak. Buktinya dia sekarang tidak pernah main tangan kepadaku. Bahkan
Rasa penasaranku masih tinggi saat Alex tak kunjung menyahut panggilanku. Entah karena dia tak mendengar atau sengaja tak menjawab."Alex ...." ucapku lagi dengan setengah berteriak agar dia mendengar panggilanku.Aku masih menunggu di luar kamar, karena jujur saja aku takut jika dia marah ketika aku bertanya banyak soal yang dia lakukan di dalam. Terlebih aku sangat takut jika dia kembali memukuliku ketika aku berusaha masuk tanpa seijinnya.Namun sepertinya dugaanku salah, beberapa saat setelah aku meneriakinya, Alex menyembulkan kepalanya di pintu dengan senyuman lebar. Hal itu benar-benar di luar dugaanku."Ya, ada apa? Kamu tadi memanggilku?" ucapnya dengan lantas membuk pintu kamar lebar-lebar."Em, iy-iya. Kamu sedang apa?" tanyaku dengan hati-hati."Oh, aku sedang memasang foto pernikahan kita kembali. Maaf, seingatku dulu aku melepasnya dari dinding."Ya, saat itulah yang membuatku sekarang sangat trauma. Saat itu aku memaksa masuk dan bertanya perihal ia yang melepas beberap
Kedua mata kami bertemu, rasanya di dalam relung hati sana masih ada getaran untuknya. Meski yang bagaimanapun dia tetap ayah dari janin yang kukandung dan kami pernah saling mencintai dengan sangat dalam."Aku sudah pernah mencintaimu dengan sangat, begitu juga sudah pernah kecewa dengan sikapmu. Rasanya aku hampir tak bisa mengenali kata-katamu lagi. Apakah itu serius, atau tidak," jawabku dengan mengatur nafasku, karena sejujurnya saja aku takut jika dia akan melayangkan pukulan atau tamparan kepadaku.Bukan karena apa, aku hanya takut jika bayi dalam kandunganku kenapa-kenapa. Meskipun dia belum tahu, tapi aku wajib melindunginya sampai dia lahir di dunia.Beberapa detik kemudian dia mengalihkan pandangannya dan menjambaki rambutnya. "aarrghh! Sudah cukup Alika. Aku memang pernah bersalah, dan kedatanganku sekarang ingin menebusnya. Tolong, percaya lah."Dia berjalan menjauh dariku dengan memakai baju yang ia ambil dengan kasar. Aku tak tahu harus percaya dengan kata-katanya atau







