Share

Seragam Bekas Milik Keluargaku
Seragam Bekas Milik Keluargaku
Penulis: Jingga Amelia

Bab 1

"Maaf, Na. Jatah seragamnya habis, gimana kalau pakai bekas waktu nikahan Sofia dulu itu? Masih bagus, kan? Atau sudah usang gara-gara sering di pakai?" ucap Tante Gina, saudaraku yang akan menikahkan anaknya yang kedua.

Aku hanya pasrah ketika semua anggota keluarga mendapatkan seragam baru berwarna pastel sedang keluargaku tak mendapatkannya. Ayah, Ibu dan aku hanya mengiyakan perkataannya karena biasanya memang seperti itu. Kami selalu dinomor sekiankan dari seluruh keluarga karena kami paling miskin.

"Iya nggak apa-apa, Tante. Seragamnya masih, kok."

"Mbak Na, tapi aku pengen yang kaya itu. Warnanya bagus," celoteh Arum, adik perempuanku.

Aku hanya menatapnya sendu, lalu mengelus puncak kepalanya. Sedangkan Tante Gina terlihat pura-pura tak mendengar dengan sibuk mengemasi seragam-seragam milik keluarga yang lain.

"Sudah, nggak apa-apa. Seragam yang itu kan masih bagus. Yuk kita lanjutkan beres-beres, terus pulang," kataku menenangkan Arum, lalu kembali membantu beberapa asisten rumah tangga Tante Gina membereskan ruangan bekas rapat keluarga.

Meskipun kami saudara, tapi jika ada acara atau rapat keluarga, keluargaku hanya mendapatkan bagian memasak dan membereskan sisa-sisanya saja. Kami hanya terima jadi atas semua keputusan yang mereka bicarakan.

Tak jarang aku protes pada ayah ataupun ibu, tapi mereka hanya menjawab agar aku dan Arum bersabar. Katanya, pekerjaan ini justru akan membuat kami lebih mandiri dan lebih berjasa karena membantu saudara yang sedang kerepotan.

"Nana, Arum. Sudah? Ayo kita pulang, Nak. Hari sudah semakin sore," ucap ibu dari arah dapur, ia baru saja membantu beberapa asisten rumah tangga Tante Gina cuci piring.

Aku dan Arum hanya mengangguk, lalu mendekat ke arahnya. Ayah pun juga terlihat baru saja datang dari arah belakang rumah, sepertinya ia baru saja membuang semua sampah yang telah kami kumpulkan.

Hatiku miris ketika melihat semua anggota keluarga pulang ke rumah mereka masing-masing menggunakan mobil dan sepeda motor, sedangkan kami memilih jalan kali ke jalan raya depan dan menunggu angkutan umum. Tak ada satupun dari mereka yang memberikan kami tumpangan meski kendaraan mereka tak penuh.

"Sudah, nggak usah diliatin. Yuk kita jalan," kata ayah yang seolah paham dengan yang kupikirkan.

Kami lantas jalan berempat setelah berpamitan dengan Tante Gina dan suaminya. Langkah kaki kami selalu di dahului oleh para keluarga yang lain hingga berangkat paling awal pun pasti akan sampai rumah paling akhir.

Sesampainya di rumah, wajah Arum masih saja tak berubah. Masih masam. Aku tahu dia sangat kesal karena lagi-lagi keluarga kami tak dianggap oleh mereka, padahal ayah adalah saudara kandung Tante Gina.

"Yah, seharusnya Ayah bisa protes. Kenapa kita selalu tak mendapatkan jatah apapun, bahkan kita juga selalu mendapatkan tugas masak dan bersih-bersih. Memangnya kita itu pembantu?" tutur Arum terlihat jengkel, sedangkan ayah hanya memilih diam dan mendudukkan tubuhnya di ruangan yang kami sebut ruang tamu.

"Sudahlah, Nduk. Itu bukan perkara sulit, kan? Tak apa, yang penting kita sudah membantu saudara kita yang sedang kerepotan."

"Apa karena kita paling miskin?" ungkap Arum spontan membuat kami menatap seketika ke arahnya.

"Arum, jaga bicaramu. Bagaimanapun keadaan kita, kita tetap sama di mata Tuhan. Jangan membawa kata-kata miskin atau kaya," tuturku dengan nada sedikit tinggi.

Kuakui memang kami paling miskin, tapi aku tidak ingin melihat kedua orangtuaku bersedih dengan keadaan kami. Aku yakin mereka sudah berusaha sekuat tenaga untuk membuat kehidupan kami jauh lebih baik. Namun apa boleh dikata jika takdir Tuhan memang mengharuskan kita seperti ini?

"Tapi, Mbak ... Itu adalah hal yang memang terjadi. Mereka membandingkan kita karena kita miskin. Seharusnya mereka bisa adil, atau setidaknya Tuhanlah yang adil, membuat kita kaya juga seperti mereka!"

Plak!

Kutampar adik kesayanganku itu. Kata-katanya sungguh membuatku marah. Aku tahu dia sedang terbawa emosi, tapi tidak seharusnya menyebut Tuhan seperti itu.

Arum menangis, lalu berlari menuju kamar yang ia tempati bersamaku. Sedangkan aku hanya terdiam dan ikut duduk di samping ayah. Kedua orangtuaku terlihat sedih dengan apa yang baru saja terjadi ini, terlebih ibu, ia menangis sesegukan dengan sikap kedua anaknya.

Kami memang miskin, tapi tak seharusnya menyalahkan Tuhan.

...

[Assalamualaikum, Nana. Ijinkan saya untuk meminangmu. Besok, saya dan keluarga akan datang ke rumahmu untuk meminta restu kepada kedua orangtuamu. Mohon niat baik kami di terima. Terimakasih]

Kedua mataku membulat ketika membaca pesan dari Zaki, anak dari Tuan Muh, pemilik ladang terbesar di daerah kami. Kami memang sering bertukar pesan, tapi hanya sekedar untuk membahas jadwal pengajian yang kami ikuti bersama.

Apakah pesan ini nyata, atau hanya aku saja yang terlalu berharap bahwa ini nyata? Atau mungkin, ini memang jawaban Tuhan atas semua doa adikku kemarin. Dia mendoakanku untuk segera menikah, dan dengan orang yang sangat kaya dan terpandang. Aku tak sengaja mendengarnya berdoa beberapa malam yang lalu, tepat di sepertiga malam.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Hallo author ijin baca ceritanya.Baru awal sudah nyesek bacanya
goodnovel comment avatar
Fernando Kanine
bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
Mul Yani
kenapa author tak mau kasih judul di stiap part , agar pembaca tak boring ? jujur saya pribadi sebelum membaca akan melihat ada judul apa tidak di setiap part, jika tak ada saya malas untuk membaca , sebagus apa pun cerita klo tak ada judul di setiap part akan terasa mati cerita itu .
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status