"Bagaimana Budhe Risma? Sudah bisa di hubungi?" tanyaku pada Arum ketika aku bertandang ke rumah orangtuaku.Ayah belum pulang kerja, sedangkan Ibu masih berkutat di dapur. Sepertinya ia sedang menyiapkan makanan untukku karena memang aku selalu rindu dengan masalah ibuku itu.Arum menggeleng, "belum, tapi sepertinya mereka jadi berpisah," jawabnya membuatku tercengang."Ckck ... Aku tak habis pikir dengan pola pikir Budhe Risma. Sebenarnya apa yang ia cari? Jika hanya harta yang ada di kepalanya, bukankah hal itu bisa ia cari lagi bersama Pakde Irwan. Umur sudah semakin tua, anak-anak sudah beranjak dewasa, apa lagi yang ia harapakan. Seharusnya ia hanya perlu menikmati masa tua bersama Pakde Irwan."Miris memang, ketika seorang perempuan meminta perpisahan dari suaminya hanya perkara ekonomi. Memang, tak kupungkiri jika di dunia ini segalanya butuh uang. Namun jika kita mau berusaha dan berdiri bersama-sama bukankah semuanya akan terasa ringan?Sedari dulu prinsip itulah yang kupega
Sampai detik ini aku masih belum tahu bagaimana caranya bisa bertemu Alika. Selain aku tak memiliki nomornya yang bisa dihubungi, aku juga tak memiliki siapapun yang bisa menghubungkanku dengannya.Rencana demi rencana sebenarnya sudah terkumpul di otakku, tapi sedikitpun aku belum bisa merealisasikan. Zaki pun juga tak terlihat lagi sejak meminta foto itu. Entah, dia benar-benar membuang foto itu atau justru menyimpannya lagi tanpa sepengetahuanku.Ini merupakan bulan kedua pernikahan kami, dan masalah demi masalah mulai muncul kepermukaan. Hubungan yang kukira akan semulus harapanku, nyatanya tak benar-benar terjadi.Wajar saja, pernikahan ini terjadi secara mendadak dalam posisi aku belum begitu mengenal Zaki. Kami hanya dipertemukan dalam majelis yang sering kami datangi bersama, dan juga sama-sama menjadi guru pengajian di salah satu masjid di lingkungan kami.Kegiatan mengajar sudah kami serahkan kepada para santri yang kebetulan datang ke desa kami, sehingga setelah menikah aku
Bagaimana aku tak tertegun, ketika mendengar penuturan halus tapi menyakitkan yang dilontarkan oleh Alika. Dia adalah wanita berhijab, parasnya cantik dan terlihat sangat lemah lembut. Namun nyatanya, dia justru lebih berbahaya dari yang kupikirkan.Dengan terang-terangan dia menyuruhku untuk melepaskan Zaki agar dia bisa kembali dengan suamiku itu. Bagaimana mungkin? Sedang benih cintaku saja baru saja muncul. Dan juga seluruh hidupku baru kuserahkan kepadanya. Apakah aku mungkin memberikan lelakiku pada Alika?"Kenapa diam? Lakukan apa yang aku katakan, karena bersamanya pun kamu hanya akan lebih sakit hati karena Zaki masih mencintaiku," tandasnya lagi."Tidak mungkin, jika memang dia lebih memilihmu, saat kami akan kembali ke sini pasti Zaki lebih membelamu," terangku percaya diri, karena memang seperti itulah keadaannya, kan?Alika justru tertawa saat aku mengatakan demikian. Ternyata benar, tak selamanya yang luarnya mulus itu akan baik."Kamu tidak tahu saja, Nana. Dua malam se
"Seharusnya jika kisah masalalumu belum selesai, jangan berkomitmen dengan orang lain. Jika sudah seperti ini, aku harus apa!" gumamku seraya memukuli kepalaku sendiri karena merasa jengkel dengan Zaki.Bagaimana bisa, Zaki bersikap demikian? Padahal sebelum ini dia bagaikan malaikat untukku. Tak hanya untukku, tapi juga untuk keluargaku.Dengan bangganya aku menerima pinangannya yang kukira adalah sebuah keindahan. Namun nyatanya, semua itu hanya semu. Belum genap satu tahun pernikahan kami, fakta demi fakta terbongkar begitu saja."Kamu bodoh, Nana! Bisa-bisanya terperangkap dengan permainan lelaki itu!" Aku terus meracau dengan lelehan air mata di kedua pipiku. Bohong jika aku mengatakan tidak sakit hati atas apa yang baru saja kudengar itu. Rasanya aku begitu hancur dan kembali terpuruk ketika tahu jika suami yang kubanggakan selama ini nyatanya belum bisa menghapus masalalunya.Selama ini aku begitu gelap mata dengan tidak mencari tahu mengenai seluk beluk Zaki dan tujuannya men
Aku sudah menikah dengan Zaki, dan itu artinya aku lah yang berhak atas dirinya beserta cintanya. Jika ada wanita lain yang menginginkan dirinya, bukankah dia harus melangkahiku terlebih dahulu? Dan aku tidak akan melepaskan suamiku begitu saja!Setelah aku membaca pesan Alika, aku bertekad untuk tetap mempertahankan Zaki dan akan merebut hatinya. Walau bagaimanapun, aku yang lebih berhak atas lelaki itu, bukan siapapun.Kuhirup nafasku dalam berulang kali, rasanya masih sesak tapi aku tidak akan melepaskan Zaki begitu saja. Perjuangan yang sudah kujalani selama ini membuatku yakin jika pada akhirnya aku lah yang akan memenangkan hatinya.Terserah jika Alika bersikeras akan merebut Zaki dariku, tapi aku juga akan sekuat tenaga mempertahankan lelaki itu untuk menjadi suamiku. Lagipula, kebersamaanku dengan Zaki selama ini begitu indah, aku yakin rasa cinta akan tumbuh dengan seiring berjalannya waktu.Aku mulai memantapkan hatiku untuk memaafkan dan memberikan kesempatan kedua untuk Za
"Bagaimana kabar Budhe Risma dan Tante Gina, Yah?" tanyaku pada Ayah ketika kami sudah mengobrol beberapa saat.Pulang kerja aku sengaja singgah sebentar di rumah orangtuaku. Selain melepas rindu, aku juga ingin menanyakan soal keluargaku itu. Bagaimana nasibnya sekarang.Ayah dan Ibu saling berpandangan, sepertinya memang ada berita yang aku belum tahu. Kemarin saat keluar bersama Arum aku juga tak sempat menanyakannya, karena aku sendiri sudah sangat suntuk dengan pertemuanku dengan Alika.Mengenai Alika, aku sudah mewanti-wanti pada Arum kalau jangan sampai Ayah ataupun Ibu tau soal ini. Biarkan masalah ini aku selesaikan sendiri, karena bagaimanapun juga aku tidak ingin melibatkan orangtua dalam masalah rumahtanggaku."Tante Gina baik, kalau Budhe Risma ... Dia sudau pulang juga."Kedua mataku berbinar, meskipun dulu mereka kerap menyakiti hati kami tapi mereka tetap saudara kami. Semoga saja dengan adanya cobaan demi cobaan itu mereka sudah mulai bertobat dan tak menganggap kami
Dengan sedikit membusungkan dada aku melewati kedua sahabat yang masih berdiri di sebelah meja yang kududuki tadi. Alika tampak melirikku tajam sedang Erina melihatku dan Alika secara bergantian ketika aku melewatinya. Entah, apa yang sebenarnya mereka pikirkan, yang jelas aku tidak ingin jika mereka berdua berfikiran jika aku ini adalah wanita lemah yang akan mengalah begitu saja.I"Permisi. Saya duluan," ucapku sopan, karena bagaimanapun aku tetap mengedepankan rasa sopan santunku meski salah satu diantara mereka telah menyakitiku."Tunggu ...." Langkahku terhenti ketika salah satu dari mereka meneriakiku.Aku berhenti tanpa membalikkan badan, Alika sepertinya mendekat ke arahku setelah menyuruhku untuk berhenti. Kulirik jam di pergelangan tangan, sudah lewat Maghrib dan Zaki pasti sudah menungguku."Apa kamu tidak bisa membaca pesanku? Jauhi Zaki!" katanya dengan penuh penekanan.Tanpa menjawab, aku hanya tersenyum lalu melanjutkan langkah. Bukannya takut, aku hanya tidak ingin be
Aku melirik Zaki, dan dia pun menunjukkan ekspresi tidak tahu dengan perkataan orangtuanya. Apa semua ini ada hubungannya dengan hubungan kami? Tapi sejauh ini aku maupun Zaki selalu berusaha menunjukkan keharmonisan ketika di hadapan kedua orangtua kami."Em, bi-bicara apa, Pak, Bu?" tanyaku pada mereka berdua karena mereka pun terlihat sangat serius.Jujur saja jantungku berdetak sangat cepat saat ini, karena berhadapan dengan mereka dalam keadaan serius seperti ini terlihat sangat menyeramkan. Mereka dulunya adalah orang yang paling aku segani, bukan berarti sekarang tidak, hanya saja dulu aku menganggap mereka dalah orang yang tak bisa kujangkau. Berpapasan dengannya saja rasanya sangat sungkan, tak pernah terbayangkan jika saat ini aku bisa duduk di hadapan mereka dengan status sebagai seorang menantu."Kemarin ada seorang wanita datang ke rumah, katanya temanmu, Zaki. Dia bilang kamu menjanjikan sesuatu padanya. Apa itu benar?" tanya Tuan Muh, ayah mertuaku.Zaki melepas tangann