Share

Bab 6

Author: Jingga Amelia
last update Last Updated: 2023-03-13 21:23:20

[Percuma kasih tanda cinta kalau cuma dikit, mending nggak usah. Terimakasih untuk saudara-saudaraku yang lain, kalian memang the best]

Dadaku panas, aku yakin status Tante Gina itu ditujukan untuk keluargaku. Untuk siapa lagi kalau bukan untuk keluargaku? Memang mereka sangat benci dengan kami, entah apa alasannya.

[Maaf, Tante. Memang kami hanya bisa memberikan sedikit. Kalau tak berkenan lebih baik di berikan kepada yang membutuhkan saja, tidak perlu diumbar di sosial media]

Satu balasan untuk postingan Tante Gina kukirimkan. Jari-jariku begitu gatal ketika membaca postingan-postingan yang ia unggah. Hanya saja kemarin-kemarin aku tak ingin menanggapinya, tapi kali ini ia sudah sangat keterlaluan.

Terlebih subuh tadi aku juga melihat jika Laras pun mengunggah sebuah ejekan untukku. Dia berkata jika keluarga miskin tak akan bisa bersanding dengan konglomerat, apalagi sampai menikahi anak juragan ladang.

Baiklah, Tante Gina, Laras, dan semua keluarga yang sudah merendahkanku, akan segera kubuktikan jika Zaki memang benar-benar serius denganku dan aku pun akan segera menjadi menantu Tuan Muh. Aku yakin, jika saat itu tiba pasti mereka semua akan sangat terkejut.

"Mbak, udah di tunggu Mas Zaki di luar." Teriakan Arum membuatku lantas melupakan postingan Tante Gina.

Gegas aku memakai jilbab, lalu keluar menemui Zaki yang ternyata sudah menungguku di ruang tamu. Dia sedang berbincang dengan Ayah, kebetulan Ayah belum berangkat kerja.

"Na, sudah di tunggu Zaki. Kok kamu lama banget," ucap Ayah membuatku sedikit gugup. Rasanya beberapa unggahan keluarga Tante Gina sangat mengganggu pikiranku meski aku sudah berusaha untuk tak memikirkannya.

"Nggak apa-apa, Pak. Saya tidak terburu-buru, kok. Biarkan Adinda Nana menyelesaikan urusannya dulu."

Astaga, aku hampir meleleh ketika Zaki memanggilku dengan sebutan adinda. Aku merasa panggilan seperti itu terdengar sangat manis.

"Yasudah, kalian segera berangkat keburu matahari naik," kata Ayah dengan diikuti anggukan kepala oleh Zaki.

Ia lantas mencium punggung tangan ayahku penuh takzim, begitu juga denganku. Hari ini Arum bersedia membantu Ibu di ladang karena Ayah harus bekerja, kebetulan hari ini akhir pekan jadi aku dan Arum memang sedang libur.

Kami lantas berangkat menggunakan mobil pajero warna hitamnya. Menyusuri jalanan pedesaan yang sangat asri dengan ditemani sholawat yang ia lantunkan pada audio mobilnya. Sungguh, suasananya sangat menenangkan. Hatiku sangat tenang dan damai jika sudah mendengar sholawat nabi.

Zaki mengajakku berkeliling ladang, dia juga mengenalkanku pada beberapa pekerja di sana sebagai calon istrinya. Meskipun aku masih sangat canggung, tapi dia berusaha untuk tak membuatku gugup.

"Wah, calonnya cantik sekali, Den. Sepertinya dia tak hanya cantik di wajahnya saja, tapi juga hatinya," ucap salah satu pekerja membuatku tersipu.

"Iya, Anda memang benar, Pak. Wanita ini sangat spesial, dia tak hanya cantik di luar, tapi hatinya pun demikian," jawab Zaki.

Andai Zaki tahu jika aku bisa berubah menjadi singa ketika berhadapan dengan Tante Gina dan keluarga Ayah yang lain, mungkin prasangka dan kekagumannya padaku itu akan sirna. Pada dasarnya aku memang tak bisa mempertahankan sikap lemah lembutku ketika sudah berhadapan dengan mereka, terutama Tante Gina.

"Aa, jangan terlalu memujiku seperti itu. Aku tak sebaik yang Anda kira," ujarku ketika telah berlalu dari pekerja itu.

"Lalu? Aku harus bagaimana? Memang seperti itulah dirimu yang kukenal, Na. Kamu sangat baik dan lembut. Terlebih jika sudah berhadapan dengan anak-anak. Hal itu juga yang membuatku sangat mengagumimu," tutur Zaki yang lagi-lagi membuatku melambung tinggi.

Aku adalah salah satu orang yang ditugaskan oleh Ustadz untuk mengajar anak-anak di mushola. Sedangkan Zaki, ia salah satu pengajar juga di sana. Kami sering bertemu, dan mungkin itulah yang membuat benih-benih cinta itu muncul.

"Yasudah, ayo kita ke toko. Aku sudah membuat janji dengan Tante Lusi untuk mencoba baju pernikahan kita," ucap Zaki ketika kami sudah setengah hari di ladang.

Tanpa menunggu lama kami pun lantas melesat ke tempat yang ia sebut toko milik Tante Lusi. Kini aku tak meragukannya lagi, karena Zaki memang sudah kukenal sangat baik selama ini. Hanya saja aku tak berani menaruh harapan terlalu banyak karena sekali lagi aku sadar dimana derajatku.

Zaki disambut baik oleh perempuan yang ia panggil Tante Lusi itu. Tokonya besar, tak hanya baju saja yang ia jual di sini. Melainkan ada berbagai tas mahal, sepatu dan beberapa aksesoris yang sangat cantik. Aku yakin, orang-orang yang datang kemari hanyalah orang-orang yang memiliki uang banyak.

"Kamu nggak salah milih calon istri, Zaki. Dia sangat pantas memakai baju ini, cantik sekali," ucapnya ketika aku baru mencoba satu model baju yang ia sodorkan.

Zaki tersenyum, begitu juga denganku. Hari ini aku sudah mendapatkan beberapa pujian dari orang-orang disekitar Zaki. Syukurlah aku mendapatkan respon yang baik dari mereka semua. Tak ada satupun yang membahas derajatku di sisi Zaki.

Namun tiba-tiba aku dikejutkan oleh seorang yang sangat kukenal. Dia masuk bersama beberapa temannya yang juga terlihat kaya sepertinya.

Dia adalah saudaraku yang telah menyindirku pagi tadi. Ya, dia Laras. 

"Eh, Aa Zaki. Kebetulan sekali kita bertemu. Jodoh kali, ya," ujarnya percaya diri ketika berpapasan dengan Zaki yang masih memilih baju pengantin untukku.

"Wah, kok milih baju pengantin. Emangnya Aa Zaki mau menikah? Dengan siapa, A? Bolehkah aku masuk dalam daftar calon pengantinnya?" Lagi, Laras seperti tak punya malu dengan merendahkan dirinya sendiri di hadapan Zaki.

"Iya Laras, aku mau menikah sebulan lagi. Mohon doanya, ya. Dengar-dengar calon istriku itu saudaramu juga. Apakah benar Dinda Nana?"

Aku yang semula masih membelakangi mereka karena bajuku di benarkan oleh Tante Lusi lantas menoleh ke arahnya. Rasa canggung seketika menjalar di tubuhku karena aku benar-benar merasa tidak pantas untuk Zaki.

"Iy-iya. Dia saudaraku," jawabku singkat.

Sekilas kulirik Laras begitu terkejut ketika mendengar suaraku. Dia bahkan sampai menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Mungkin dia tak mengira jika apa yang dikatakan Arum tempo hari adalah suatu kebenaran.

"Hai, Laras. Aku calon istri Zaki," lanjutku ketika aku sudah bisa mengatur nafasku. Ada rasa senang dalam hatiku begitu melihat wajah Laras yang pucat pasi usai mengetahui kenyataan ini. Aku yakin, setelah ini dia pasti akan melaporkan hal ini kepada ibunya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Laras gak punya malu menawarkan diri kepada Zaki
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Seragam Bekas Milik Keluargaku    Bab 9

    9Pagi datang terlalu cepat. Aku hampir tidak tidur sama sekali. Setiap beberapa menit, aku membuka mata dan memastikan pintu kamar masih terkunci, memastikan tidak ada tanda-tanda Alex kembali mengetuk atau mencoba masuk.Saat matahari mulai masuk lewat celah gorden, aku duduk di tepi ranjang dengan kepala berat. Rasanya seperti ada batu besar yang menindih dadaku, tapi entah bagaimana aku tahu ini harus kulalui.Ini hari terakhirku di rumah ini. Aku sudah memutuskan untuk pergi dan berpisah dari Alex. Aku membuka lemari, memasukkan baju-baju seperlunya ke dalam koper kecil. Aku tidak merasa hancur seperti dulu. Justru ada sesuatu yang terasa lebih ringan, seperti aku melepaskan beban besar yang selama ini mengikat leherku.Saat aku menuruni tangga, aku mendapati Alex duduk di sofa ruang tamu. Rambutnya acak-acakan, matanya merah, entah karena tidak tidur atau karena mabuk.Dia menatapku lama. “Kamu mau ke mana?”Aku menggerakkan koperku ke bawah dengan langkah mantap.“Pergi.”“Perg

  • Seragam Bekas Milik Keluargaku    Bab 8

    Aku memejamkan mata beberapa detik. Nafasku tersengal, bukan karena lelah, tapi karena rasa takut yang merayap dari ujung kaki hingga tengkukku.Hantu-hantu masa lalu itu seperti membawa langkahku kembali ke malam ketika Alex menyeretku keluar dari kamar hanya karena aku memintanya berhenti mabuk. Malam ketika aku dipukul sampai bibirku robek, lalu ia meminta maaf keesokan harinya seolah semua itu sekadar kejadian kecil yang bisa dilupakan.Kini, saat suaranya kembali meninggi, tubuhku bereaksi lebih cepat daripada pikiranku.Namun ada sesuatu yang berbeda malam ini. Bukan hanya rasa takut. Ada juga amarah yang perlahan naik, seperti lava yang menolak dibendung.“A-lika.” Nadanya lebih keras lagi.Aku berhenti di anak tangga pertama menuju lantai dua. Jemariku meremas pagar tangga kayu sampai rasanya seperti akan patah. Seluruh tubuhku gemetar, tapi aku tak menoleh. Jika aku menoleh, jika aku melihat sorot matanya, mungkin aku akan kembali ciut seperti dulu.“Kenapa kamu selalu pergi

  • Seragam Bekas Milik Keluargaku    Bab 7

    Aku mundur begitu Alex berkata demikian. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Kemarin dia memintaku untuk kembali dan rujuk dengannya. Aku kira, itu artinya dia juga akan mau menerima bayi ini dengan senang hati."Alika. Kamu bohong, kan?" Lagi, pertanyaan itu diajukan oleh Alex.Namun kali ini aku sudah tidak kuasa menjawabnya. Kulangkahkan kakiku mundur dari hadapannya dan berjalan ke teras.Satu persatu ingatanku soal Gibran terulang. Ia memakiku karena aku bisa secepat ini percaya lagi pada Alex. Bukan perkara mudah, aku melakukan semua ini karena ada janin di dalam rahimku. Aku pikir, dengan adanya bayi ini maka Alex akan semakin baik. Dan juga, aku tidak mungkin egois dengan tetap mengajukan perceraian karena di dalam rahimku ada darah dagingnya.Lantas sekarang, saat semua sudah berubah seperti ini aku bisa apa?"Alika. Jawab! Kenapa kamu justru pergi?"Aku menghela nafas panjang, lalu menatapnya. "Aku? Bohong? Lalu kamu pikir ini anak siapa?"Kali ini dia mengalihkan pand

  • Seragam Bekas Milik Keluargaku    Bab 6

    "Dia itu jahat, Alika. Jahat." Entah sudah kata keberapa yang diucapkan Gibran kali ini.Hari ini tiba-tiba saja dia mengajakku bertemu dan tanpa kuduga dia justru berkata demikian. Ini masih soal orang yang sama, Alex.Kali ini bukan aku yang mengatakan jika Alex jahat, tapi justru Gibran. Awalnya aku tak percaya dengan apa yang dia katakan, tapi ketika dia menyodorkan sebuah foto dihadapanku anggapanku sedikit berubah."Tapi, dia sangat baik di depanku, Gibran. Aku yakin dia sudah berubah. Siapa tahu ini hanya temannya, atau kebetulan bertemu saja dan kamu beranggapan lain," ujarku masih berusaha membela Alex.Gibran mengacak rambutnya kasar, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi. "Terserah jika kamu tidak percaya. Yang terpenting aku sudah mengatakan yang sebenarnya padamu, bahwa Alex itu masih sama jahatnya." Dia seperti sudah menyerah, tapi aku memang sudah percaya lagi dengan Alex. Aku yakin dia sudah berubah."Tidak. Buktinya dia sekarang tidak pernah main tangan kepadaku. Bahkan

  • Seragam Bekas Milik Keluargaku    Bab 5

    Rasa penasaranku masih tinggi saat Alex tak kunjung menyahut panggilanku. Entah karena dia tak mendengar atau sengaja tak menjawab."Alex ...." ucapku lagi dengan setengah berteriak agar dia mendengar panggilanku.Aku masih menunggu di luar kamar, karena jujur saja aku takut jika dia marah ketika aku bertanya banyak soal yang dia lakukan di dalam. Terlebih aku sangat takut jika dia kembali memukuliku ketika aku berusaha masuk tanpa seijinnya.Namun sepertinya dugaanku salah, beberapa saat setelah aku meneriakinya, Alex menyembulkan kepalanya di pintu dengan senyuman lebar. Hal itu benar-benar di luar dugaanku."Ya, ada apa? Kamu tadi memanggilku?" ucapnya dengan lantas membuk pintu kamar lebar-lebar."Em, iy-iya. Kamu sedang apa?" tanyaku dengan hati-hati."Oh, aku sedang memasang foto pernikahan kita kembali. Maaf, seingatku dulu aku melepasnya dari dinding."Ya, saat itulah yang membuatku sekarang sangat trauma. Saat itu aku memaksa masuk dan bertanya perihal ia yang melepas beberap

  • Seragam Bekas Milik Keluargaku    Bab 4

    Kedua mata kami bertemu, rasanya di dalam relung hati sana masih ada getaran untuknya. Meski yang bagaimanapun dia tetap ayah dari janin yang kukandung dan kami pernah saling mencintai dengan sangat dalam."Aku sudah pernah mencintaimu dengan sangat, begitu juga sudah pernah kecewa dengan sikapmu. Rasanya aku hampir tak bisa mengenali kata-katamu lagi. Apakah itu serius, atau tidak," jawabku dengan mengatur nafasku, karena sejujurnya saja aku takut jika dia akan melayangkan pukulan atau tamparan kepadaku.Bukan karena apa, aku hanya takut jika bayi dalam kandunganku kenapa-kenapa. Meskipun dia belum tahu, tapi aku wajib melindunginya sampai dia lahir di dunia.Beberapa detik kemudian dia mengalihkan pandangannya dan menjambaki rambutnya. "aarrghh! Sudah cukup Alika. Aku memang pernah bersalah, dan kedatanganku sekarang ingin menebusnya. Tolong, percaya lah."Dia berjalan menjauh dariku dengan memakai baju yang ia ambil dengan kasar. Aku tak tahu harus percaya dengan kata-katanya atau

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status