Share

Bab 6

[Percuma kasih tanda cinta kalau cuma dikit, mending nggak usah. Terimakasih untuk saudara-saudaraku yang lain, kalian memang the best]

Dadaku panas, aku yakin status Tante Gina itu ditujukan untuk keluargaku. Untuk siapa lagi kalau bukan untuk keluargaku? Memang mereka sangat benci dengan kami, entah apa alasannya.

[Maaf, Tante. Memang kami hanya bisa memberikan sedikit. Kalau tak berkenan lebih baik di berikan kepada yang membutuhkan saja, tidak perlu diumbar di sosial media]

Satu balasan untuk postingan Tante Gina kukirimkan. Jari-jariku begitu gatal ketika membaca postingan-postingan yang ia unggah. Hanya saja kemarin-kemarin aku tak ingin menanggapinya, tapi kali ini ia sudah sangat keterlaluan.

Terlebih subuh tadi aku juga melihat jika Laras pun mengunggah sebuah ejekan untukku. Dia berkata jika keluarga miskin tak akan bisa bersanding dengan konglomerat, apalagi sampai menikahi anak juragan ladang.

Baiklah, Tante Gina, Laras, dan semua keluarga yang sudah merendahkanku, akan segera kubuktikan jika Zaki memang benar-benar serius denganku dan aku pun akan segera menjadi menantu Tuan Muh. Aku yakin, jika saat itu tiba pasti mereka semua akan sangat terkejut.

"Mbak, udah di tunggu Mas Zaki di luar." Teriakan Arum membuatku lantas melupakan postingan Tante Gina.

Gegas aku memakai jilbab, lalu keluar menemui Zaki yang ternyata sudah menungguku di ruang tamu. Dia sedang berbincang dengan Ayah, kebetulan Ayah belum berangkat kerja.

"Na, sudah di tunggu Zaki. Kok kamu lama banget," ucap Ayah membuatku sedikit gugup. Rasanya beberapa unggahan keluarga Tante Gina sangat mengganggu pikiranku meski aku sudah berusaha untuk tak memikirkannya.

"Nggak apa-apa, Pak. Saya tidak terburu-buru, kok. Biarkan Adinda Nana menyelesaikan urusannya dulu."

Astaga, aku hampir meleleh ketika Zaki memanggilku dengan sebutan adinda. Aku merasa panggilan seperti itu terdengar sangat manis.

"Yasudah, kalian segera berangkat keburu matahari naik," kata Ayah dengan diikuti anggukan kepala oleh Zaki.

Ia lantas mencium punggung tangan ayahku penuh takzim, begitu juga denganku. Hari ini Arum bersedia membantu Ibu di ladang karena Ayah harus bekerja, kebetulan hari ini akhir pekan jadi aku dan Arum memang sedang libur.

Kami lantas berangkat menggunakan mobil pajero warna hitamnya. Menyusuri jalanan pedesaan yang sangat asri dengan ditemani sholawat yang ia lantunkan pada audio mobilnya. Sungguh, suasananya sangat menenangkan. Hatiku sangat tenang dan damai jika sudah mendengar sholawat nabi.

Zaki mengajakku berkeliling ladang, dia juga mengenalkanku pada beberapa pekerja di sana sebagai calon istrinya. Meskipun aku masih sangat canggung, tapi dia berusaha untuk tak membuatku gugup.

"Wah, calonnya cantik sekali, Den. Sepertinya dia tak hanya cantik di wajahnya saja, tapi juga hatinya," ucap salah satu pekerja membuatku tersipu.

"Iya, Anda memang benar, Pak. Wanita ini sangat spesial, dia tak hanya cantik di luar, tapi hatinya pun demikian," jawab Zaki.

Andai Zaki tahu jika aku bisa berubah menjadi singa ketika berhadapan dengan Tante Gina dan keluarga Ayah yang lain, mungkin prasangka dan kekagumannya padaku itu akan sirna. Pada dasarnya aku memang tak bisa mempertahankan sikap lemah lembutku ketika sudah berhadapan dengan mereka, terutama Tante Gina.

"Aa, jangan terlalu memujiku seperti itu. Aku tak sebaik yang Anda kira," ujarku ketika telah berlalu dari pekerja itu.

"Lalu? Aku harus bagaimana? Memang seperti itulah dirimu yang kukenal, Na. Kamu sangat baik dan lembut. Terlebih jika sudah berhadapan dengan anak-anak. Hal itu juga yang membuatku sangat mengagumimu," tutur Zaki yang lagi-lagi membuatku melambung tinggi.

Aku adalah salah satu orang yang ditugaskan oleh Ustadz untuk mengajar anak-anak di mushola. Sedangkan Zaki, ia salah satu pengajar juga di sana. Kami sering bertemu, dan mungkin itulah yang membuat benih-benih cinta itu muncul.

"Yasudah, ayo kita ke toko. Aku sudah membuat janji dengan Tante Lusi untuk mencoba baju pernikahan kita," ucap Zaki ketika kami sudah setengah hari di ladang.

Tanpa menunggu lama kami pun lantas melesat ke tempat yang ia sebut toko milik Tante Lusi. Kini aku tak meragukannya lagi, karena Zaki memang sudah kukenal sangat baik selama ini. Hanya saja aku tak berani menaruh harapan terlalu banyak karena sekali lagi aku sadar dimana derajatku.

Zaki disambut baik oleh perempuan yang ia panggil Tante Lusi itu. Tokonya besar, tak hanya baju saja yang ia jual di sini. Melainkan ada berbagai tas mahal, sepatu dan beberapa aksesoris yang sangat cantik. Aku yakin, orang-orang yang datang kemari hanyalah orang-orang yang memiliki uang banyak.

"Kamu nggak salah milih calon istri, Zaki. Dia sangat pantas memakai baju ini, cantik sekali," ucapnya ketika aku baru mencoba satu model baju yang ia sodorkan.

Zaki tersenyum, begitu juga denganku. Hari ini aku sudah mendapatkan beberapa pujian dari orang-orang disekitar Zaki. Syukurlah aku mendapatkan respon yang baik dari mereka semua. Tak ada satupun yang membahas derajatku di sisi Zaki.

Namun tiba-tiba aku dikejutkan oleh seorang yang sangat kukenal. Dia masuk bersama beberapa temannya yang juga terlihat kaya sepertinya.

Dia adalah saudaraku yang telah menyindirku pagi tadi. Ya, dia Laras. 

"Eh, Aa Zaki. Kebetulan sekali kita bertemu. Jodoh kali, ya," ujarnya percaya diri ketika berpapasan dengan Zaki yang masih memilih baju pengantin untukku.

"Wah, kok milih baju pengantin. Emangnya Aa Zaki mau menikah? Dengan siapa, A? Bolehkah aku masuk dalam daftar calon pengantinnya?" Lagi, Laras seperti tak punya malu dengan merendahkan dirinya sendiri di hadapan Zaki.

"Iya Laras, aku mau menikah sebulan lagi. Mohon doanya, ya. Dengar-dengar calon istriku itu saudaramu juga. Apakah benar Dinda Nana?"

Aku yang semula masih membelakangi mereka karena bajuku di benarkan oleh Tante Lusi lantas menoleh ke arahnya. Rasa canggung seketika menjalar di tubuhku karena aku benar-benar merasa tidak pantas untuk Zaki.

"Iy-iya. Dia saudaraku," jawabku singkat.

Sekilas kulirik Laras begitu terkejut ketika mendengar suaraku. Dia bahkan sampai menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Mungkin dia tak mengira jika apa yang dikatakan Arum tempo hari adalah suatu kebenaran.

"Hai, Laras. Aku calon istri Zaki," lanjutku ketika aku sudah bisa mengatur nafasku. Ada rasa senang dalam hatiku begitu melihat wajah Laras yang pucat pasi usai mengetahui kenyataan ini. Aku yakin, setelah ini dia pasti akan melaporkan hal ini kepada ibunya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Laras gak punya malu menawarkan diri kepada Zaki
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status