LOGIN"Hahaha ... Mana mungkin anak Tuan Muh yang kaya itu mau sama kakakmu, Arum. Mereka itu keluarga terhormat, sedangkan kalian, hanya mampu pakai seragam bekas," tutur Laras, anak bungsu Tante Gina yang kudengar juga sedang menyukai Zaki.
Arum bersiap hendak berteriak, tapi aku segera mencegahnya. "Iya, memang benar adikku bergurau. Dia hanya sedang berhalusinasi. Namun jangan salahkan takdir jika sampai suatu saat nanti derajat kita akan sama, atau bahkan lebih tinggi keluargaku, keluarga Pak Tohir," ucapku dengan lantang sembari menatap ayahku yang hanya menunduk pasrah.
Adikku menganggukkan kepala dengan sangat mantap, membuat semangatku berkobar dua kali dari sebelumnya. Ayah dan Ibu terlihat sedih, mungkin mereka menyayangkan sikapku dan Arum yang arogan. Padahal mereka sama sekali tidak pernah mengajarkan hal itu, mereka selalu mengajarkan kami dengan tutur kata yang baik dan harus menghormati orang yang lebih tua dari kami.
Namun sekarang, kondisinya berbeda. Mereka sudah terlalu jauh merendahkan keluargaku, dan sudah menjadi kewajibanku untuk membela kedua orangtuaku sampai titik darah penghabisan.
"Ayo Yah, Bu. Sepertinya kehadiran kita di tempat ini sudah cukup. Tante Gina, Om Burhan, Tari, selamat atas pernikahannya. Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawadah dan warohmah. Maaf jika keluargaku ada kesalahan, semoga setelah ini tak ada yang saling menjatuhkan diantara kita," tandasku dengan menatap mereka satu persatu.
Arum berjalan lebih dulu tanpa bersalaman pada Tante dan Omnya. Begitu juga denganku yang lantas mengikuti langkah Arum. Bukan kami bersikap tidak sopan, tapi mereka yang lebih dulu bersikap seperti itu kepada kami.
Ayah terlihat berat meninggalkan kediaman saudaranya. Mungkin ia tidak ingin ada perpecahan dalam keluarganya, tapi apa boleh buat jika kami terus menerus di rendahkan seperti ini. Bukankah semua manusia mempunyai derajat yang sama di mata Tuhan? Kenapa keluarga Ayah yang lain harus membandingkan kami?
"Dek, seharusnya tadi kamu nggak kasih tahu mereka kalau aku mau menikah sama Zaki," ujarku ketika kami sudah sampai di rumah.
"Habisnya aku benci, Mbak. Mereka merendahkan kita banget. Mbak rela kalau Ayah sama Ibu di injak-injak gitu?" tuturnya membela diri.
Ayah dan Ibu terdiam, mereka terlihat sedih dan terpukul usai kejadian ini. Dan aku paham betul bagaimana perasaan mereka.
"Nana, Arum. Sudah, jangan bertengkar. Kami tidak apa-apa, Ayah dan Ibu baik-baik saja. Bukankah begitu, Bu?" ujar Ayah meleraiku dan Arum yang berdebat.
"Benar, Nak. Biarkan saja mereka merendahkan kita, yang terpenting kita di mata Allah. Jangan lupa sholat, sedekah, insyaallah kita akan lebih tinggi dihadapan Allah," ujar Ibu ikut menasehati.
Memang, begitulah kedua orangtuaku mengajarkan. Kami tidak boleh membalas kejahatan oranglain, atau berbuat jahat terlebih dahulu. Meskipun hal itu tetap kupegang teguh, tapi aku juga tidak bisa terima jika kedua orangtuaku di rendahkan seperti itu. Walau bagaimanapun mereka semua juga harus tahu jika kekayaan dan kedudukan mereka tidak kekal di dunia ini.
"Yah, Bu. Terimakasih atas semua nasehat dan didikan yang baik kalian untuk kami. Hanya saja, biarkan kali ini aku dan Arum membuktikan kepada dunia jika kita masih punya harga diri dan wajib untuk tidak di injak-injak seperti itu. Arum ... Kamu sekolah yang bener, jadi anak pandai, setelah lulus cari kerja yang baik agar bisa membantu Ayah dan Ibu. Dan aku sendiri, sebisa mungkin akan berusaha demi kalian. Setelah menikah dengan Zaki aku ingin berusaha sekuat tenaga untuk mencari uang yang banyak dan mengangkat derajat kalian," ungkapku dengan kedua mata berkaca-kaca.
..
[Assalamualaikum, Nana. Ijinkan aku untuk membawamu ke ladang besok pagi. Kamu libur, kan? Aku ingin mengenalkan kepada para pekerja bahwa sebentar lagi kamu lah yang akan memegang dua ladang milik Ayah. Sekalian aku ingin mengajakmu ke toko untuk mencoba baju pernikahan kita.]
Lagi, kedua mataku mengembun setelah siang tadi aku juga sudah bersedih usai dari kediaman Tante Gina. Namun kali ini aku bukan bersedih, melainkan sangat bersyukur dan senang dengan pesan yang disampaikan oleh Zaki. Semoga saja ini jawaban dari doa-doaku selama ini.
[Waalaikumsalam, Aa. Maaf, apakah saya pantas untuk dibawa ke sana? Saya hanya dari keluarga miskin yang tak memiliki apa-apa]
[Jangan begitu, Nana. Saya sudah mantap untuk memilihmu menjadi pendampingku. Saya juga yakin kamu bisa mengurus semua usaha ini dan kita bisa sukses bersama-sama. Jangan hiraukan perkataan orang, yang terpenting bagiku adalah hatimu.]
Sungguh, aku sangat tersentuh dengan pesan yang dikirimkan oleh Zaki. Dia terlihat sangat tulus. Lagipula aku yakin jika Zaki dan keluarganya memang tulus, karena mereka berlatarbelakang dari keluarga yang taat agama.
[Baik, Aa. Saya akan menurutimu, semoga langkah kita selalu diberkahi oleh Allah]
Gegas kuletakkan gawaiku, lalu mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat Isya. Rasanya hatiku tak bisa kugambarkan, antara sedih dan senang bercampur jadi satu.
Sebenarnya aku adalah wanita yang lemah, tapi ketika menghadapi Tante Gina aku tidak akan lemah. Sebisa mungkin aku akan melawan dan terus mempertahankan harga diri keluargaku. Aku tidak sabar, sampai mereka semua mendapatkan undangan pernikahanku dan Zaki. Akan seperti apa responnya nanti.
9Pagi datang terlalu cepat. Aku hampir tidak tidur sama sekali. Setiap beberapa menit, aku membuka mata dan memastikan pintu kamar masih terkunci, memastikan tidak ada tanda-tanda Alex kembali mengetuk atau mencoba masuk.Saat matahari mulai masuk lewat celah gorden, aku duduk di tepi ranjang dengan kepala berat. Rasanya seperti ada batu besar yang menindih dadaku, tapi entah bagaimana aku tahu ini harus kulalui.Ini hari terakhirku di rumah ini. Aku sudah memutuskan untuk pergi dan berpisah dari Alex. Aku membuka lemari, memasukkan baju-baju seperlunya ke dalam koper kecil. Aku tidak merasa hancur seperti dulu. Justru ada sesuatu yang terasa lebih ringan, seperti aku melepaskan beban besar yang selama ini mengikat leherku.Saat aku menuruni tangga, aku mendapati Alex duduk di sofa ruang tamu. Rambutnya acak-acakan, matanya merah, entah karena tidak tidur atau karena mabuk.Dia menatapku lama. “Kamu mau ke mana?”Aku menggerakkan koperku ke bawah dengan langkah mantap.“Pergi.”“Perg
Aku memejamkan mata beberapa detik. Nafasku tersengal, bukan karena lelah, tapi karena rasa takut yang merayap dari ujung kaki hingga tengkukku.Hantu-hantu masa lalu itu seperti membawa langkahku kembali ke malam ketika Alex menyeretku keluar dari kamar hanya karena aku memintanya berhenti mabuk. Malam ketika aku dipukul sampai bibirku robek, lalu ia meminta maaf keesokan harinya seolah semua itu sekadar kejadian kecil yang bisa dilupakan.Kini, saat suaranya kembali meninggi, tubuhku bereaksi lebih cepat daripada pikiranku.Namun ada sesuatu yang berbeda malam ini. Bukan hanya rasa takut. Ada juga amarah yang perlahan naik, seperti lava yang menolak dibendung.“A-lika.” Nadanya lebih keras lagi.Aku berhenti di anak tangga pertama menuju lantai dua. Jemariku meremas pagar tangga kayu sampai rasanya seperti akan patah. Seluruh tubuhku gemetar, tapi aku tak menoleh. Jika aku menoleh, jika aku melihat sorot matanya, mungkin aku akan kembali ciut seperti dulu.“Kenapa kamu selalu pergi
Aku mundur begitu Alex berkata demikian. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Kemarin dia memintaku untuk kembali dan rujuk dengannya. Aku kira, itu artinya dia juga akan mau menerima bayi ini dengan senang hati."Alika. Kamu bohong, kan?" Lagi, pertanyaan itu diajukan oleh Alex.Namun kali ini aku sudah tidak kuasa menjawabnya. Kulangkahkan kakiku mundur dari hadapannya dan berjalan ke teras.Satu persatu ingatanku soal Gibran terulang. Ia memakiku karena aku bisa secepat ini percaya lagi pada Alex. Bukan perkara mudah, aku melakukan semua ini karena ada janin di dalam rahimku. Aku pikir, dengan adanya bayi ini maka Alex akan semakin baik. Dan juga, aku tidak mungkin egois dengan tetap mengajukan perceraian karena di dalam rahimku ada darah dagingnya.Lantas sekarang, saat semua sudah berubah seperti ini aku bisa apa?"Alika. Jawab! Kenapa kamu justru pergi?"Aku menghela nafas panjang, lalu menatapnya. "Aku? Bohong? Lalu kamu pikir ini anak siapa?"Kali ini dia mengalihkan pand
"Dia itu jahat, Alika. Jahat." Entah sudah kata keberapa yang diucapkan Gibran kali ini.Hari ini tiba-tiba saja dia mengajakku bertemu dan tanpa kuduga dia justru berkata demikian. Ini masih soal orang yang sama, Alex.Kali ini bukan aku yang mengatakan jika Alex jahat, tapi justru Gibran. Awalnya aku tak percaya dengan apa yang dia katakan, tapi ketika dia menyodorkan sebuah foto dihadapanku anggapanku sedikit berubah."Tapi, dia sangat baik di depanku, Gibran. Aku yakin dia sudah berubah. Siapa tahu ini hanya temannya, atau kebetulan bertemu saja dan kamu beranggapan lain," ujarku masih berusaha membela Alex.Gibran mengacak rambutnya kasar, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi. "Terserah jika kamu tidak percaya. Yang terpenting aku sudah mengatakan yang sebenarnya padamu, bahwa Alex itu masih sama jahatnya." Dia seperti sudah menyerah, tapi aku memang sudah percaya lagi dengan Alex. Aku yakin dia sudah berubah."Tidak. Buktinya dia sekarang tidak pernah main tangan kepadaku. Bahkan
Rasa penasaranku masih tinggi saat Alex tak kunjung menyahut panggilanku. Entah karena dia tak mendengar atau sengaja tak menjawab."Alex ...." ucapku lagi dengan setengah berteriak agar dia mendengar panggilanku.Aku masih menunggu di luar kamar, karena jujur saja aku takut jika dia marah ketika aku bertanya banyak soal yang dia lakukan di dalam. Terlebih aku sangat takut jika dia kembali memukuliku ketika aku berusaha masuk tanpa seijinnya.Namun sepertinya dugaanku salah, beberapa saat setelah aku meneriakinya, Alex menyembulkan kepalanya di pintu dengan senyuman lebar. Hal itu benar-benar di luar dugaanku."Ya, ada apa? Kamu tadi memanggilku?" ucapnya dengan lantas membuk pintu kamar lebar-lebar."Em, iy-iya. Kamu sedang apa?" tanyaku dengan hati-hati."Oh, aku sedang memasang foto pernikahan kita kembali. Maaf, seingatku dulu aku melepasnya dari dinding."Ya, saat itulah yang membuatku sekarang sangat trauma. Saat itu aku memaksa masuk dan bertanya perihal ia yang melepas beberap
Kedua mata kami bertemu, rasanya di dalam relung hati sana masih ada getaran untuknya. Meski yang bagaimanapun dia tetap ayah dari janin yang kukandung dan kami pernah saling mencintai dengan sangat dalam."Aku sudah pernah mencintaimu dengan sangat, begitu juga sudah pernah kecewa dengan sikapmu. Rasanya aku hampir tak bisa mengenali kata-katamu lagi. Apakah itu serius, atau tidak," jawabku dengan mengatur nafasku, karena sejujurnya saja aku takut jika dia akan melayangkan pukulan atau tamparan kepadaku.Bukan karena apa, aku hanya takut jika bayi dalam kandunganku kenapa-kenapa. Meskipun dia belum tahu, tapi aku wajib melindunginya sampai dia lahir di dunia.Beberapa detik kemudian dia mengalihkan pandangannya dan menjambaki rambutnya. "aarrghh! Sudah cukup Alika. Aku memang pernah bersalah, dan kedatanganku sekarang ingin menebusnya. Tolong, percaya lah."Dia berjalan menjauh dariku dengan memakai baju yang ia ambil dengan kasar. Aku tak tahu harus percaya dengan kata-katanya atau







