Share

Bab 7

Saudara yang terlihat benci dan selalu merendahkan keluargaku karena miskin itu terlihat terkejut ketika tahu bahwa aku calon istri Zaki, anak dari juragan ladang. Mungkin dia masih berfikir, bagaimana bisa aku yang miskin ini akan bersanding dengan lelaki kaya itu.

"Laras, kenapa diam?" ucapku lagi ketika dia masih terlihat membeku.

Baju brukat warna putih masih menempel di badanku. Tante Lusi sangat pandai dalam memadupadankan baju dan aksesoris. Meskipun baru mencoba, tapi aku sudah telihat sangat cantik sebagai pengantin.

Laras tak menjawab perkataanku, tapi dia justru tertawa lantang. Dia memang terlihat aneh.

"Mana mungkin aku percaya, Nana? Sudahlah ... Kalian jangan bergurau," tuturnya membuatku mengernyitkan dahi.

Bagaimana dia bisa tidak percaya? Padahal aku sudah mencoba baju pengantin bersama Zaki.

"Aa Zaki, aku tahu Anda sedang bergurau. Mana mungkin Anda sekeluarga mau meminang gadis miskin seperti dia. Mungkin Nana hanya Anda suruh untuk mencoba baju pengantin untuk istri Anda, kan? Sudah, jangan halusinasi terlalu tinggi, Nana. Lagipula selama janur kuning belum melengkung, Aa Zaki masih milik bersama. Jadi kamu tenang saja, halusinasimu masih boleh dilakukan juga, kok."

Laras masih tertawa, lalu berbalik dan mengajak teman-teman keluar dari toko. Aku dan Zaki nasih tertegun dengan reaksi Laras, lebih tepatnya bingung karena dia tidak percaya dengan perkataanku dan Zaki.

"Na, kenapa dia menyebut kata miskin?"

Aku tersadar, lalu menoleh ke arahnya. Mungkin dia tidak tahu jika aku sekeluarga selalu di rendahkan karena status ekonomi kami.

"Em, tidak ... Memang begitu kenyataannya, kan? Kami ini miskin, maka dari itu tidak pantas untukmu, Aa Zaki."

Zaki tersenyum, lalu mendekat ke arah Tante Lusi. "Tante, aku mau baju yang sangat spesial ya. Tolong siapkan segala sesuatunya agar semua terlihat indah saat hari H nanti," ujar Zaki tanpa menanggapi perkataanku.

Tante Lusi menyanggupi, lalu kami keluar dari toko dengan membawa satu gamis untukku. Gamis yang Zaki pilih, harganya juga terdengar sangat mahal bagiku, yaitu lima ratus ribu rupiah.

Berulang kali aku menolak, tapi Zaki memaksaku untuk membawanya pulang. Katanya itu sebagai tanda cintanya padaku.

Memang dia terlihat sangat manis, padahal sebelum ini kami sama-sama saling dingin. Selain tak terlalu akrab, aku juga menjaga batasan antara lelaki dan perempuan yang belum menikah.

..

[Dasar Halu! Menjijikkan sekali]

[Mana mungkin seorang pangeran mau sama pelayan? Jangan mimpi]

[Pungguk merindukan bulan]

Ada sekitar tujuh unggahan status Laras yang memenuhi layar ponselku. Rupanya dia masih tak percaya jika aku ini adalah memang calon istri Zaki, anak dari Tuan Muh yang kaya itu.

"Mbak, status Mbak Laras itu buat kamu, ya?" tanya Arum tiba-tiba ketika aku masih memegang ponsel.

Aku hanya mengangkat kedua bahuku, lalu menatapnya yang ikut duduk di sisiku. Kamar kecil yang sudah kami huni sejak kecil ini rasanya sangat nyaman, meskipun harus berdesak-desakan dengab beberapa barang Arum yang mulai banyak juga.

"Aku nggak mau terlalu menanggapi, Arum. Biar saja," jawabku masa bodoh.

"Ish, kalau aku mah langsung kujapri aja. Statusnya pedes banget sih, Mbak."

Sebenarnya perkataan Arum tak salah. Orang seperti Laras memang sekali-kali harus diberi pelajaran, apalagi sebenarnya umurnya masih di bawahku tapi dia sungguh tidak punya sopan santun kepadaku.

Aku lantas mengambil ponselku lagi ketika Arum kembali keluar kamar. Kupandangi satu persatu unggahan status Laras yang sangat menusuk hati. Meskipun dia tak menyebut namaku, tapi ada nama Zaki di sana. Dan aku yakin itu memang untukku.

[Jangan salah, Laras. Roda itu berputar. Bisa saja si pungguk suatu suatu saat nanti memang menjadi seorang ratu yang bahkan akan mengalahkan pesonamu]

Dadaku bergemuruh, selama aku hidup, baru kali ini membalas berbagai hinaan dan cemoohan keluargaku yang lain, terutama keluarga Tante Gina. Bagiku mereka sangat keterlaluan, hanya harta, kekayaan dan kedudukan saja yang membuat mereka bisa menghargai sesama.

[Hahaha ... Sekali miskin yasudah miskin saja, Nana. Nggak usah mimpi terlalu tinggi. Beli baju baru saja nggak sanggup, bisanya hanya pakai baju seragam bekas yang warnanya sudah pudar. Memalukan sekali!]

Kukepalkan kedua tanganku, umurnya dua tahun di bawahku, tapi mulutnya seakan merasa dialah yang paling tinggi. Rupanya dia telah mewarisi sisi buruk ibunya, suka merendahkan orang lain yang lebih miskin darinya.

"Nana, sini, Nak. Ayah mau bicara," teriak Ayah dari arah luar membuatku mau tak mau gegas meletakkan ponsel dan keluar dari kamar untuk menemuinya.

Ayah duduk di kursi kayu ruang tamu, sedangkan Ibu terlihat sedang di dapur bersama Arum. Mungkin mereka tengah menyiapkan hidangan makan malam untuk kami.

"Ya, ada apa, Ayah?"

"Besok, ada syukuran pernikahan Tari. Semua anggota keluarga diminta untuk kesana. Kamu dan Arum akan hadir juga, kan?"

Seketika aku menajamkan pandanganku pada lelaki yang kusebut ayah itu. Bisa-bisanya Ayah masih berfikiran untuk datang kesana lagi setelah harga diri kami tak dihargai berkali-kali.

"Ayah masih berniat kesana? Bahkan setelah tragedi beberapa hari yang lalu?"

Ayah menghela nafas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya yang mulai menua pada kursi kayu reot itu. Kedua tangannya saling bergenggaman, sedang raut wajahnya terlihat sedih.

"Na, justru Ayah sedih jika keutuhan keluarga Ayah terpecah belah seperti itu. Ayah merindukan keutuhan yang dulu meskipun kita harus merendah dan terkesan tak dihargai. Walau bagaimanapun mereka itu saudara kita, haram hukumnya untuk memutuskan tali silaturahmi." Penjelasan Ayah begitu menyentil hatiku, meskipun apa yang ia katakan benar tapi hatiku masih sangat berat untuk menerimanya.

"Kamu paham dengan penjelasan Ayah, kan? Kamu mau membujuk Arum untuk datang kesana juga, kan? Siapa tahu kini mereka telah sadar dengan kesalahannya, dan meminta maaf kepada kita," tutur Ayah terdengar bijak.

Aku terdiam, bimbang dengan jawaban yang hendak kusampaikan untuknya. Haruskah aku menuruti kemauan Ayah, atau justru berpegang teguh pada pendirianku bahwa aku sudah tidak ingin menginjakkan kaki di rumah Tante Gina lagi?

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Ayahnya terlalu baik hingga direndahkan terus menerus
goodnovel comment avatar
Nur Inaya
bagus sayang banyak banget koin yg dibutuh lan setiap bab
goodnovel comment avatar
Linda Yvette
bagus tapi bisa gak jumlah bab untuk setiap koin dipanjangin
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status