Saudara yang terlihat benci dan selalu merendahkan keluargaku karena miskin itu terlihat terkejut ketika tahu bahwa aku calon istri Zaki, anak dari juragan ladang. Mungkin dia masih berfikir, bagaimana bisa aku yang miskin ini akan bersanding dengan lelaki kaya itu.
"Laras, kenapa diam?" ucapku lagi ketika dia masih terlihat membeku.
Baju brukat warna putih masih menempel di badanku. Tante Lusi sangat pandai dalam memadupadankan baju dan aksesoris. Meskipun baru mencoba, tapi aku sudah telihat sangat cantik sebagai pengantin.
Laras tak menjawab perkataanku, tapi dia justru tertawa lantang. Dia memang terlihat aneh.
"Mana mungkin aku percaya, Nana? Sudahlah ... Kalian jangan bergurau," tuturnya membuatku mengernyitkan dahi.
Bagaimana dia bisa tidak percaya? Padahal aku sudah mencoba baju pengantin bersama Zaki.
"Aa Zaki, aku tahu Anda sedang bergurau. Mana mungkin Anda sekeluarga mau meminang gadis miskin seperti dia. Mungkin Nana hanya Anda suruh untuk mencoba baju pengantin untuk istri Anda, kan? Sudah, jangan halusinasi terlalu tinggi, Nana. Lagipula selama janur kuning belum melengkung, Aa Zaki masih milik bersama. Jadi kamu tenang saja, halusinasimu masih boleh dilakukan juga, kok."
Laras masih tertawa, lalu berbalik dan mengajak teman-teman keluar dari toko. Aku dan Zaki nasih tertegun dengan reaksi Laras, lebih tepatnya bingung karena dia tidak percaya dengan perkataanku dan Zaki.
"Na, kenapa dia menyebut kata miskin?"
Aku tersadar, lalu menoleh ke arahnya. Mungkin dia tidak tahu jika aku sekeluarga selalu di rendahkan karena status ekonomi kami.
"Em, tidak ... Memang begitu kenyataannya, kan? Kami ini miskin, maka dari itu tidak pantas untukmu, Aa Zaki."
Zaki tersenyum, lalu mendekat ke arah Tante Lusi. "Tante, aku mau baju yang sangat spesial ya. Tolong siapkan segala sesuatunya agar semua terlihat indah saat hari H nanti," ujar Zaki tanpa menanggapi perkataanku.
Tante Lusi menyanggupi, lalu kami keluar dari toko dengan membawa satu gamis untukku. Gamis yang Zaki pilih, harganya juga terdengar sangat mahal bagiku, yaitu lima ratus ribu rupiah.
Berulang kali aku menolak, tapi Zaki memaksaku untuk membawanya pulang. Katanya itu sebagai tanda cintanya padaku.
Memang dia terlihat sangat manis, padahal sebelum ini kami sama-sama saling dingin. Selain tak terlalu akrab, aku juga menjaga batasan antara lelaki dan perempuan yang belum menikah.
..
[Dasar Halu! Menjijikkan sekali]
[Mana mungkin seorang pangeran mau sama pelayan? Jangan mimpi]
[Pungguk merindukan bulan]
Ada sekitar tujuh unggahan status Laras yang memenuhi layar ponselku. Rupanya dia masih tak percaya jika aku ini adalah memang calon istri Zaki, anak dari Tuan Muh yang kaya itu.
"Mbak, status Mbak Laras itu buat kamu, ya?" tanya Arum tiba-tiba ketika aku masih memegang ponsel.
Aku hanya mengangkat kedua bahuku, lalu menatapnya yang ikut duduk di sisiku. Kamar kecil yang sudah kami huni sejak kecil ini rasanya sangat nyaman, meskipun harus berdesak-desakan dengab beberapa barang Arum yang mulai banyak juga.
"Aku nggak mau terlalu menanggapi, Arum. Biar saja," jawabku masa bodoh.
"Ish, kalau aku mah langsung kujapri aja. Statusnya pedes banget sih, Mbak."
Sebenarnya perkataan Arum tak salah. Orang seperti Laras memang sekali-kali harus diberi pelajaran, apalagi sebenarnya umurnya masih di bawahku tapi dia sungguh tidak punya sopan santun kepadaku.
Aku lantas mengambil ponselku lagi ketika Arum kembali keluar kamar. Kupandangi satu persatu unggahan status Laras yang sangat menusuk hati. Meskipun dia tak menyebut namaku, tapi ada nama Zaki di sana. Dan aku yakin itu memang untukku.
[Jangan salah, Laras. Roda itu berputar. Bisa saja si pungguk suatu suatu saat nanti memang menjadi seorang ratu yang bahkan akan mengalahkan pesonamu]
Dadaku bergemuruh, selama aku hidup, baru kali ini membalas berbagai hinaan dan cemoohan keluargaku yang lain, terutama keluarga Tante Gina. Bagiku mereka sangat keterlaluan, hanya harta, kekayaan dan kedudukan saja yang membuat mereka bisa menghargai sesama.
[Hahaha ... Sekali miskin yasudah miskin saja, Nana. Nggak usah mimpi terlalu tinggi. Beli baju baru saja nggak sanggup, bisanya hanya pakai baju seragam bekas yang warnanya sudah pudar. Memalukan sekali!]
Kukepalkan kedua tanganku, umurnya dua tahun di bawahku, tapi mulutnya seakan merasa dialah yang paling tinggi. Rupanya dia telah mewarisi sisi buruk ibunya, suka merendahkan orang lain yang lebih miskin darinya.
"Nana, sini, Nak. Ayah mau bicara," teriak Ayah dari arah luar membuatku mau tak mau gegas meletakkan ponsel dan keluar dari kamar untuk menemuinya.
Ayah duduk di kursi kayu ruang tamu, sedangkan Ibu terlihat sedang di dapur bersama Arum. Mungkin mereka tengah menyiapkan hidangan makan malam untuk kami.
"Ya, ada apa, Ayah?"
"Besok, ada syukuran pernikahan Tari. Semua anggota keluarga diminta untuk kesana. Kamu dan Arum akan hadir juga, kan?"
Seketika aku menajamkan pandanganku pada lelaki yang kusebut ayah itu. Bisa-bisanya Ayah masih berfikiran untuk datang kesana lagi setelah harga diri kami tak dihargai berkali-kali.
"Ayah masih berniat kesana? Bahkan setelah tragedi beberapa hari yang lalu?"
Ayah menghela nafas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya yang mulai menua pada kursi kayu reot itu. Kedua tangannya saling bergenggaman, sedang raut wajahnya terlihat sedih.
"Na, justru Ayah sedih jika keutuhan keluarga Ayah terpecah belah seperti itu. Ayah merindukan keutuhan yang dulu meskipun kita harus merendah dan terkesan tak dihargai. Walau bagaimanapun mereka itu saudara kita, haram hukumnya untuk memutuskan tali silaturahmi." Penjelasan Ayah begitu menyentil hatiku, meskipun apa yang ia katakan benar tapi hatiku masih sangat berat untuk menerimanya.
"Kamu paham dengan penjelasan Ayah, kan? Kamu mau membujuk Arum untuk datang kesana juga, kan? Siapa tahu kini mereka telah sadar dengan kesalahannya, dan meminta maaf kepada kita," tutur Ayah terdengar bijak.
Aku terdiam, bimbang dengan jawaban yang hendak kusampaikan untuknya. Haruskah aku menuruti kemauan Ayah, atau justru berpegang teguh pada pendirianku bahwa aku sudah tidak ingin menginjakkan kaki di rumah Tante Gina lagi?
"Maaf, Yah. Arum nggak mau datang. Bukan begitu, Mbak? Kami nggak mau datang ke tempat orang yang sudah merendahkan keluarga kita," tutur Arum secara tiba-tiba.Aku yang masih terdiam lantas ikut mengangguk. "Iya, Yah. Nana juga tidak mau ke sana. Nana tidak tahan dengan sikap keluarga yang lain, terutama Tante Gina dan anak-anaknya. Biar saja kita dibilang tak tahu diri, yang penting harga diri kita tak diinjak-injak terus menerus."Ayah terlihat sedih, mungkin dia menyayangkan sikapku dan Arum yang menolak di ajak ke rumah Tante Gina lagi. Biar saja, kami sudah bosan di hina."Yasudah kalau itu mau kalian, biar Ayah dan Ibu saja yang kesana," tutur Ayah membuatku lagi-lagi saling berpandangan dengan Arum.Ayah tetap akan berangkat meski aku dan Arum sudah memberinya nasehat. Bagi kami, semiskin-miskinnya kami, harga diri tetap yang utama. Namun bagi Ayah, keutuhan saudaranya lah yang paling utama. Memang, ayah kami terlalu polos sehingga tidak ingin jika saudara-saudaranya terpecah
"Sudah, pulang sana, Mas. Tapi jangan harap setelah ini kamu sekeluarga bisa kumpul lagi bersama kita. Iya kan Mbak Risma?" tutur Tante Gina membuatku semakin murka.Kupandangi Ayah dalam, aku ingin dia melihat kesungguhan dalam manik matanya. Akankah dia tetap membela saudaranya, atau kami keluarga kecilnya."Cukup. Ini pilihan yang sulit. Apa kalian tidak bisa berdamai? Kita hidup rukun seperti dulu lagi?" tutur Ayah tak memberikan jawaban."Bisa. Kami bisa berdamai seperti dulu lagi asal semua saudara Ayah memperlakukan kita layaknya saudara, bukan pembantu!" tandasku tajam dengan menatap Tante Gina dan Budhe Risma bergantian.Lagipula aku heran, apa suami-suaminya tidak mengajarkan bagaimana bersikap baik kepada saudara? Kenapa aku lihat saudara-saudara ayahku ini seakan menerkam Ayah hidup-hidup. Seharusnya mereka menasehati istri-istrinya, bukan malah mendukung apa yang mereka lakukan."Siapa yang memperlakukan kalian seperti pembantu, Nana? Bukankah dari kamu kecil, memang suda
Semua anggota keluargaku masih terdiam usai orang suruhan Tuan Muh mengutarakan maksud dan tujuannya datang ke rumahku. Ya, dia datang untuk menyampaikan jika pernikahanku dengan Zaki di majukan."A-apa. Bagaimana, Pak? Apa Anda serius?" ucap Ayah terbata."Iya, Pak. Saya serius. Bu Halimah sedang sakit dan beliau ingin segera menyaksikan anaknya menikah dihadapannya," ucap tangan kanan Tuan Muh yang seingatku bernama Pak Lukas."Tapi kami belum memiliki persiapan apapun, Pak. Bagaimana kami akan datang kesana." Kali ini Ibu yang mengatakan demikian.Pak Lukas tersenyum, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku jaket hitamnya. "Pak, Bu. Saya mendapatkan amanah dari Tuan Muh. Mohon di terima."Diserahkannya sebuah plastik hitam yang lumayan besar, aku tak tahu apa isinya. Namun jika kuterka sepertinya berisi sejumlah uang."Apa ini?" tanya Ayahku lagi tanpa berani menyentuhnya."Ini ada sejumlah uang untuk kalian gunakan untuk bersiap-siap. Kata Tuan Muh ini kurang lebih dua puluh juta rupi
Pagi-pagi buta semua anggota keluargaku sudah disibukkan dengan persiapan pernikahanku yang diadakan sangat mendadak. Setelah kemarin tangan kanan Tuan Muh datang dan meminta hari ini agar aku dapat menikah dengan Zaki karena ibunya sakit.Aku tak terlalu sibuk, karena sejujurnya saja aku justru sibuk menata hati dan pikiranku yang sedikit kalut. Antara tak percaya dengan apa yang akan kujalani, juga sangat gugup karena sebentar lagi statusku akan berubah."Nana, kok malah diem aja. Buruan siap-siap," ucap Ibu yang baru saja melintas di depan kamarku dan melihatku masih terduduk di atas sajadah sembari melamun.Tanpa menjawabnya, aku lantas melipat sajadah yang telah kugunakan beribadah setengah jam yang lalu. Rasanya duduk dan melamun di atas sajadah seusai sholat sangat menenangkan jiwa."Bu, Arum pakai baju ini saja, ya. Yang masih terlihat bagus hanya ini," teriak Arum dari dalam kamar ketika aku memilih membuka jendela ruang tamu."Bu, jangan sampai ada yang ketinggalan, ya. Kasi
"Mbak, dari tadi Tante Gina telepon aku terus. Om Burhan juga. Kayaknya mereka mau tanya soal pernikahan kamu, deh," ucap Arum ketika kami berada di luar rumah sakit."Terus kamu angkat?"Dia menggeleng, tapi disertai kekehan kecil. "Biar aja, Mbak. Mereka pasti bingung dengan unggahanku itu.""Sebenarnya aku nggak enak, seakan menggunakan nama Zaki untuk naik ke atas," ujarku dengan menyandarkan tubuhku di kursi taman tempat kami mengobrol.Arum juga langsung terdiam, dia menatapku dengan sendu. "Mbak, aku tahu bagaimana perasaanmu. Lagipula soal rumah, itu sudah menjadi hakmu sebagai istri kan? Dan juga, Ayah menolak pemberian rumah dari Mas Zaki "Ya, memang benar. Usai Zaki mengutarakan niatnya untuk mengajak mereka pindah, Ayah menolah. Ia merasa tak enak hati jika lantas pindah dan menempati rumah pemberian keluarga Zaki. Hanya saja, Ayah meminta pekerjaan pada Tuan Muh agar bisa untuk menyambung sekolah Arum. Dan betapa baiknya mereka, Ayah justru dijadikan sebagai pengawas lad
Sampai hari ini aku belum bisa melupakan kejadian saat keluargaku dihina dan ditertawakan saat datang ke acara pernikahan Tari. Yaitu saat kami memakai seragam bekas, sedangkan mereka semua bersuka cita dengan seragam baru nan cantik.Bagaimana hatiku tidak sakit, terlebih dengan jelas Tante Gina mengirimkan foto seragam baru yang masih banyak, hanya saja dia tak memberikan kepada kami. Kenapa? Bukankah dia adik kandung Ayah? Kenapa hanya perkara Ayah miskin, mereka sampai sebenci itu kepada kami? Perkara miskin atau kaya, kami juga tak bisa memilih, toh Ayah juga sudah berusaha sekuat tenaga untuk menghidupi kami keluarganya.Dan sekarang, saat semua telah diputuskan oleh Ayah dan kami memilih untuk hidup damai tanpa mereka, justru mereka yang mengusik kami. Terlebih kali ini, setelah Budhe Risma memakiku di depan umum, lalu Laras melontarkan sebuah fitnah kepadaku.Bagaimana bisa, aku sudah digauli oleh lelaki lain yang bukan muhrimku? Sedang aku saja selalu menjaga pandangan dan ta
Aku masih terdiam usai Zaki mengatakan jika ia mengajakku ke rumah Tante Gina untuk memastikan apakah dia benar-benar sakit atau hanya mengelabuhiku. Sebelum ini, Laras sudah memfitnahku dan kini suamiku ingin membuktikan sendiri bahwa perkara Laras semuanya bohong."Hei, kenapa malah diam?""A, benaran?"Zaki mengangguk, lalu bangki dari duduknya. "Iya, aku serius. Besok kamu siap-siap. Kita ke rumah Tantemu, kalau memang dia benar-benar sakit, tak ada salahnya kita jenguk, kan?"Kedua mataku kembali berkaca-kaca, aku sangat terharu dengan sikap Zaki. Ia sungguh bijaksana dan tak mudah percaya dengan perkataan orang lain."Lagipula aku lihay ada yang aneh dari keluargamu. Mereka kenapa? Sepertinya terlihat sangat membencimu?"Apakah aku harus jujur pada Zaki? Bagaimana tabiat keluargaku?"Nana, tak apa kalau kamu belum siap cerita. Aku akan ....""Oh, tidak. Bukan begitu. Aku hanya tak enak jika harus menceritakan hal itu kepadamu," tuturku."Memangnya aku siapa? Aku ini suamimu, Nan
"Lho, kamu nggak percaya, Nak. Apa yang dikatakan Laras itu betul, saya memang sakit, bahkan kemarin tidak bisa bangun. Untung Laras sangat perhatian, jadi Tante bisa sembuh lebih cepat," tutur Tante Gina seakan belum menyerah, padahal sudah jelas-jelas terlihat jika mereka berbohong."Iya, saya percaya, Tante. Lagipula kedatangan saya kemari karena ingin mengantarkan istri saya untuk menjenguk Anda," jawab Zaki lembut dengan merangkul bahuku.Aku tahu jika Zaki hanya ingin menjaga perasaanku karena sejak tadi tak ada satupun yang memperdulikan keberadaanku. Sebenarnya aku tidak terkejut lagi, karena memang begitu tabiat keluarga Ayah."Em, seharusnya kamu itu jangan percaya dengannya, Nak Zaki. Kadang perkataannya itu tidak sesuai dengan kenyataannya. Kami sudah hafal dengan tabiat keluarganya. Seharusnya sadar diri kalau mereka itu tidak sebanding dengan keluarga Nak Zaki, tidak malah berani-beraninya ganjen ke Nak Zaki." Mana mungkin ada orang sakit yang bisa memaki seperti itu, te