Home / Romansa / Serenade Cinta Dibawah Bintang / Bab 4 Luka Lama Harapan Baru

Share

Bab 4 Luka Lama Harapan Baru

Author: San_prano
last update Last Updated: 2025-05-07 20:50:11

Malam itu, Luna menatap langit dari balik jendela kamar kecilnya. Hujan memang sudah reda, tapi bekasnya masih tertinggal di kaca yang berembun. Jemarinya menelusuri tetesan itu, menggambar pola tak beraturan, seperti pikirannya saat ini.

Percakapannya dengan Adrian tadi terus terngiang di kepala. Kata-kata janji yang dulu pernah ia percaya, kini kembali diucapkan. Luna ingin percaya lagi, tapi luka-luka masa lalu masih menahan langkah hatinya.

“Apa benar dia berubah? Apa benar kali ini dia nggak akan lari lagi?” batinnya, sambil menutup mata pelan.

Di tempat lain, Adrian menatap layar ponselnya. Pesan terakhirnya untuk Luna masih belum dibalas. Ia tahu, tak semudah itu menghapus rasa sakit yang pernah ia ciptakan. Tapi ia bersungguh-sungguh kali ini.

Tangannya mengepal erat. “Aku harus menebus semuanya. Aku harus berjuang,” gumamnya.

Keesokan harinya, kota masih basah oleh sisa hujan semalam. Luna berangkat kerja seperti biasa, tapi ada rasa aneh yang mengganjal di dadanya.

Di kafe tempatnya bekerja, teman-temannya langsung menyadari perubahan sikapnya.

“Eh, Luna… kamu kenapa? Biasanya kamu ceria, kok hari ini murung banget?” tanya Nia, rekan kerjanya.

Luna hanya menggeleng dan memaksakan senyum. “Nggak apa-apa, cuma kurang tidur aja.”

Tapi Nia mengernyit curiga. “Ini soal cowok itu lagi ya? Si Adrian?”

Luna terdiam. Bagaimanapun, Nia tahu banyak tentang kisah pahitnya dengan Adrian dulu.

“Aku cuma… bingung. Dia muncul lagi, minta kesempatan kedua,” ucap Luna pelan, nyaris seperti bisikan.

Nia mendesah sambil menyandarkan dagunya di meja. “Luna… aku nggak mau ngatur hidup kamu. Tapi tolong, hati-hati. Luka lama itu gampang kebuka kalau kita nggak benar-benar siap.”

Luna mengangguk pelan. Kata-kata itu menusuk tepat di hatinya. Ia ingin melangkah maju, tapi bayangan masa lalu terus menariknya mundur.

Siang itu, saat istirahat, Luna memutuskan berjalan ke taman dekat kafe. Dia butuh udara segar untuk menenangkan pikirannya.

Tanpa ia sangka, Adrian sudah menunggunya di bangku taman, sambil membawa dua gelas kopi hangat. “Aku nggak tahu kamu bakal ke sini, tapi… aku berharap,” ujar Adrian, tersenyum kikuk.

Luna memutar bola matanya, tapi diam-diam pipinya memanas. Ia duduk di ujung bangku, menjaga jarak. “Adrian, kita harus bicara serius. Aku nggak mau semua ini cuma jadi drama sementara.”

Adrian mengangguk cepat. “Aku tahu. Makanya aku di sini. Aku nggak akan lari, Luna. Kali ini aku mau buka semuanya.”

Luna menatap pria itu lekat-lekat, mencoba membaca ketulusan di matanya. “Kalau kamu serius, jawab satu hal… Kenapa dulu kamu pergi begitu saja? Tanpa kabar, tanpa pesan?”

Adrian menunduk, menatap tanah basah di bawah kakinya. “Aku… waktu itu aku terlilit utang, Luna. Aku nggak mau kamu ikut terjebak dalam masalahku. Aku pikir, dengan pergi, aku bisa menyelesaikan semuanya tanpa membawamu masuk ke dalam kekacauan itu.”

Luna terdiam. Bagian hatinya ingin marah, tapi bagian lainnya bisa mengerti ketakutan Adrian saat itu. “Aku salah, Luna. Harusnya aku percaya padamu. Harusnya kita selesaikan bareng-bareng, bukan aku lari sendirian,” lanjut Adrian, suaranya serak.

Luna menarik napas dalam-dalam. “Kamu tahu, Adrian… yang paling menyakitkan itu bukan masalahnya. Tapi caramu ninggalin aku, seolah-olah aku nggak berarti apa-apa.”

Air mata menetes di sudut matanya, tapi ia cepat-cepat menghapusnya. Adrian maju sedikit, menatap Luna dengan mata memerah. “Aku minta maaf, Luna. Aku sungguh menyesal. Beri aku kesempatan buat menebus semuanya. Aku akan buktikan kalau aku nggak akan kabur lagi.”

Luna memalingkan wajah, menatap langit siang yang mendung dengan pikiran yang berkecamuk. “Ini nggak mudah, Adrian. Aku butuh waktu.” Suaranya lembut, tapi tegas.

Adrian mengangguk, wajahnya penuh harap. “Aku siap nunggu. Berapa lama pun itu.”

Sejenak mereka terdiam, hanya ditemani suara angin yang berbisik pelan di antara dedaunan. Luna memandang ke kejauhan, mencoba menemukan kekuatan dalam hatinya yang rapuh.

“Kamu janji, kan?” tanya Luna, tanpa menatap Adrian.

Janji apa pun yang keluar dari bibir Adrian, ia tahu harus menjadi nyata kali ini.

“Aku janji,” Adrian menjawab mantap.

Mendengar itu membuat dada Luna sedikit lega, sedikit percaya bahwa kemungkinan baru mungkin bisa tumbuh dari reruntuhan masa lalu mereka.

Setelah beberapa menit keheningan, Adrian berdiri dan merapikan jaketnya. “Aku nggak akan ganggu waktu kamu lebih lama. Aku cuma pengen bilang, mulai hari ini aku bakal buktiin semuanya.”

Luna menguap pelan, tanda lelah yang mulai merayap. “Aku tunggu, Adrian. Jangan kecewain aku lagi.”

Tanpa kata lebih banyak, Adrian melangkah pergi, meninggalkan Luna duduk terpaku di bangku taman itu. Hatinya berdebar tidak menentu, campuran kecemasan, ragu, tapi juga—sedikit harapan yang baru tumbuh.

Malam harinya, Luna pulang dengan langkah berat. Begitu masuk ke kamarnya, ia rebah di kasur tipisnya. Lampu kamar redup, cukup untuk menciptakan suasana merenung.

Matanya tertuju pada foto lama yang tergeletak di meja belajar. Foto itu diambil tiga tahun lalu, saat ia dan Adrian masih bersama. Wajah mereka cerah—bahagia—seolah dunia hanya milik mereka berdua.

Luna menghela napas panjang. “Apa aku benar mengambil keputusan ini? Apakah memberi kesempatan kedua adalah pilihan yang bijak?”

Ia takut jatuh ke lubang yang sama, terluka lagi. Namun, di lubuk hati terdalam, ada keyakinan samar bahwa Adrian mungkin benar-benar telah berubah.

Keesokan paginya, sebuah kejutan kecil menantinya di depan pintu apartemen: sebuah kotak kecil berhiaskan pita sederhana. Luna mengambil kotak itu dan membukanya dengan penuh rasa penasaran.

Di dalamnya terdapat setumpuk surat kecil bertulis tangan, bersama bunga lavender kering yang harum.

“Untuk Luna…” tulis surat pertama.

“Ini surat pertama dari seratus surat yang akan kukirimkan. Aku ingin kamu membaca isi hatiku setiap hari, pelan-pelan, sampai kamu yakin kalau aku nggak akan pergi lagi.”

Luna tertegun, hatinya bergetar saat membaca tulisan itu. Surat itu penuh isi hati Adrian: rasa bersalah, kerinduannya, dan ketakutan yang dulu membuatnya pergi.

Tangannya gemetar, air mata mengalir tanpa bisa dicegah. Ia tak menyangka Adrian akan berusaha sedalam ini.

Di sisi lain kota, Adrian menatap layar ponselnya dengan harapan membara. Perjuangan baru saja dimulai. Seratus surat hanyalah langkah pertama. Ia ingin Luna tahu betapa ia sungguh-sungguh berusaha menebus luka lama.

Hari-hari berikutnya, Luna menerima surat demi surat. Hatinya yang dulu membeku mulai mencair. Ia masih berhati-hati, tapi senyum kecil mulai muncul setiap kali membaca tulisan tangan Adrian.

Namun, tak semua orang mendukung keputusannya. Nia, sahabatnya, menunjukkan rasa khawatir saat mendengar cerita tentang surat-surat itu.

“Luna… kamu yakin mau buka hati lagi buat dia? Jangan sampai kamu kecewa lagi, ya,” kata Nia sambil menggenggam tangan Luna.

Luna mengangguk pelan. “Aku nggak tahu, Nia. Tapi kali ini aku mau kasih kesempatan, walau kecil. Aku pengen lihat sampai sejauh mana dia berusaha.”

Nia tertawa kecil, lalu mengangguk setuju. “Kalau kamu bahagia, aku dukung. Tapi janji ya, kalau dia nyakitin kamu lagi… aku yang bakal jitak dia!”

Luna tak bisa menahan tawa kecilnya. “Deal!”

Di antara surat-surat itu, Adrian mulai menyisipkan undangan untuk bertemu. Namun Luna masih ragu. Ia ingin memastikan hatinya benar-benar siap sebelum melangkah lebih jauh.

Pada malam ke-15, saat bulan menggantung indah di langit, Luna duduk di balkon kecil apartemennya, memandangi bintang-bintang. Tangannya menggenggam surat ke-15. Kali ini, isi surat itu berbeda.

“Luna, kalau kamu baca ini, aku cuma pengen bilang… aku nggak bakal nyerah. Kalau perlu, aku akan nulis seribu surat, bukan cuma seratus. Selama kamu masih di bawah langit yang sama denganku, aku akan terus berusaha.”

Luna menatap langit dan senyum kecil itu tumbuh makin lebar. Luka di hatinya masih ada, tapi kini luka itu mulai menemukan harapan.

Malam itu, angin berbisik pelan di telinganya.

Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Luna berbisik balik, “Mungkin… aku bisa percaya lagi.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
titi12017suharnita
ternyata cinta nya Luna sangar kuat
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 112 Langkah Baru Dari Sebuah Surat-End

    Malam itu, kota Jakarta tidak pernah terlihat begitu ramai. Lampu gedung-gedung tinggi berkilau seperti gugusan bintang yang jatuh ke bumi. Adrian berdiri di balkon apartemennya, menatap langit malam yang sebenarnya jarang bisa menampakkan bintang dengan jelas. Namun malam ini berbeda. Ada satu bintang yang terlihat begitu terang di antara langit yang kelabu. Ia menggenggam liontin kecil berbentuk bintang yang tergantung di lehernya. Liontin itu terasa hangat, seakan menyimpan semua janji dan doa yang ia ucapkan setiap kali menatap ke langit. Ponselnya bergetar pelan. Ada notifikasi email baru. Dari: Luna. Adrian langsung membukanya dengan tangan bergetar. Hatinya berdegup kencang, seperti pertama kali ia berdiri di atas panggung. Dari: Luna Jepang, 23:47 “Adrian, Malam ini aku tampil lagi. Bukan panggung sebesar waktu pertama kali di Jepang, tapi justru aku merasa lebih dekat dengan diriku sendiri. Ruangan kecil, penonton hanya ratusan orang, tapi entah kenapa aku merasa

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 111 Panggung Yang Menumbuhkan

    Cahaya lampu sorot berpendar ke segala arah, memantulkan kilau keemasan di atas panggung megah itu. Di sebuah gedung pertunjukan internasional yang terletak di jantung kota Paris, ribuan pasang mata menanti penampilan seorang gadis yang baru saja naik ke permukaan dunia seni: Luna.Nama itu, yang dulu hanya bergema di ruang-ruang kecil dan festival lokal, kini tercantum besar di layar LED berkilauan: “Luna – Rising Voice of Asia”.Di balik panggung, Luna berdiri di depan cermin rias. Rambutnya ditata sederhana, gaun putih elegan membalut tubuhnya dengan anggun. Tapi yang paling mencolok adalah mata itu—mata yang dulu sering dipenuhi keraguan, kini memantulkan keyakinan.Seorang kru mendekat, memberi tanda lima menit sebelum penampilan dimulai. Luna mengangguk pelan, lalu menatap bayangannya sekali lagi. Hatinya berdegup kencang, bukan karena takut, tapi karena sadar bahwa malam ini adalah langkah besar menuju mimpinya.Ia mengingat semua perjalanan panjang: air mata, tawa, kehilangan,

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 109 Bintang Yang Menunjukan Pulang

    Bandara pagi itu ramai, tapi bagi Luna, semua suara terdengar sayup. Deru langkah, pengumuman maskapai, suara koper berderit—semuanya mengalir seperti gema jauh. Yang nyata hanya satu: beratnya langkah yang harus ia tempuh.Di tangannya, tiket keberangkatan terasa seperti kertas terberat di dunia. Jantungnya berdegup cepat, tidak karena takut akan perjalanan panjang yang menunggu, tapi karena seseorang yang berdiri di sampingnya. Adrian.Pemuda itu mengenakan jaket hitam sederhana, rambutnya sedikit berantakan, namun sorot matanya tegas, menahan badai dalam dirinya sendiri. Ia berusaha tersenyum, tapi garis bibirnya tak pernah bisa menutupi kenyataan: ia juga tidak siap melepaskan.Luna menoleh sejenak, matanya memandangi wajah yang telah menemaninya melewati begitu banyak luka dan harapan. “Aku masih nggak percaya ini beneran terjadi,” katanya lirih.Adrian menarik napas panjang. “Aku juga. Rasanya baru kemarin kita ketemu di taman itu. Sekarang… kamu mau terbang ribuan kilometer jau

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 108 Saat Cinta Menemukan Rumahnya

    Malam menjelang keberangkatan itu terasa berbeda. Udara kota seperti membawa keheningan yang tidak biasa, seolah ikut memahami beratnya hati yang menunggu perpisahan.Luna duduk di tepi ranjang, koper kecil sudah tertutup rapi di sudut kamar. Tangannya menyentuh kotak kayu yang menyimpan surat Adrian dari malam sebelumnya. Kata-kata “Aku tunggu kamu di ujung altar” masih terngiang, memberi kekuatan sekaligus rasa haru yang sulit dijelaskan.Ketukan lembut di pintu terdengar. “Luna?” suara Adrian, pelan.“Masuklah,” jawabnya.Adrian melangkah masuk, mengenakan jaket hitam sederhana. Wajahnya lelah, tapi matanya tetap menyala ketika melihat Luna. “Kamu sudah siap?” tanyanya.Luna mengangguk singkat, lalu menunduk. “Siap… tapi nggak benar-benar siap.”Adrian tersenyum tipis, mendekat lalu meraih tangannya. “Kalau begitu, ikut aku sebentar. Ada tempat yang harus kita datangi malam ini.”Tanpa banyak tanya, Luna mengikuti Adrian keluar rumah. Udara malam dingin menyapa, tapi genggaman tang

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 107 Janji Diujung Altar

    Malam itu, meja kerja Adrian dipenuhi kertas kosong yang belum terisi. Pena di tangannya bergetar, bukan karena lelah, melainkan karena beratnya kata-kata yang ingin ia tuliskan. Sejak dulu, ia lebih mudah mengungkapkan perasaannya lewat musik. Namun kali ini, ia tahu, hanya tulisan yang bisa menyampaikan isi hatinya.Surat ini bukan sekadar coretan tinta. Ia ingin menjadikannya saksi janji—bukan pamit, bukan akhir, melainkan awal dari sesuatu yang baru.Adrian menatap jendela kamarnya. Hujan turun tipis, mengetuk kaca seolah ikut menemaninya dalam keheningan. Bayangan Luna terlintas jelas di kepalanya: senyum lembut, mata yang berbinar, dan cara sederhana Luna mencintainya tanpa syarat.Ia menarik napas panjang, lalu mulai menulis."Luna...Jika surat ini sampai ke tanganmu, mungkin aku sedang berada di suatu tempat yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Tapi percayalah, setiap detik aku memikirkanmu. Surat ini bukan perpisahan. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu dengan kata-ka

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 106 Video Dokumenter Dari Maya

    Malam itu, ruang keluarga terasa lebih hening dari biasanya. Lampu gantung berwarna kuning hangat menyinari meja kayu di tengah ruangan, sementara di luar jendela, hujan tipis menetes dengan ritme yang konstan. Adrian duduk bersandar di sofa, jemarinya mengetuk ringan pada permukaan sandaran tangan. Ia menunggu Maya yang sejak tadi sibuk menyiapkan sesuatu di laptop.“Udah siap?” tanya Adrian, suaranya terdengar setengah gugup.Maya tersenyum kecil, lalu menoleh ke arah Luna yang duduk di sebelah Adrian. “Siap, tapi… aku harap kalian nggak kaget setelah nonton ini.”Luna saling bertukar pandang dengan Adrian. Ada ketegangan samar yang tidak bisa diabaikan. Seolah mereka akan menyaksikan sesuatu yang bisa mengubah arah langkah mereka selanjutnya.Maya lalu menghubungkan laptopnya ke layar TV. Dalam hitungan detik, layar menampilkan judul sederhana: “Serenade di Bawah Bintang – Behind the Story”.Video dimulai dengan pemandangan kota kecil tempat semua cerita mereka berawal. Jalanan sem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status