Malam itu, Luna menatap langit dari balik jendela kamar kecilnya. Hujan memang sudah reda, tapi bekasnya masih tertinggal di kaca yang berembun. Jemarinya menelusuri tetesan itu, menggambar pola tak beraturan, seperti pikirannya saat ini.
Percakapannya dengan Adrian tadi terus terngiang di kepala. Kata-kata janji yang dulu pernah ia percaya, kini kembali diucapkan. Luna ingin percaya lagi, tapi luka-luka masa lalu masih menahan langkah hatinya. "Apa benar dia berubah? Apa benar kali ini dia nggak akan lari lagi?" batinnya, sambil menutup mata pelan. Di tempat lain, Adrian menatap layar ponselnya. Pesan terakhirnya untuk Luna masih belum dibalas. Ia tahu, tak semudah itu menghapus rasa sakit yang pernah ia ciptakan. Tapi ia bersungguh-sungguh kali ini. Tangannya mengepal erat. "Aku harus menebus semuanya. Aku harus berjuang," gumamnya. Keesokan harinya, kota masih basah oleh sisa hujan semalam. Luna berangkat kerja seperti biasa, tapi ada rasa aneh yang mengganjal di dadanya. Di kafe tempatnya bekerja, teman-temannya langsung menyadari perubahan sikapnya. "Eh, Luna… kamu kenapa? Biasanya kamu ceria, kok hari ini murung banget?" tanya Nia, rekan kerjanya. Luna hanya menggeleng dan memaksakan senyum. "Nggak apa-apa, cuma kurang tidur aja." Tapi Nia mengernyit curiga. "Ini soal cowok itu lagi ya? Si Adrian?" Luna terdiam. Bagaimanapun, Nia tahu banyak tentang kisah pahitnya dengan Adrian dulu. "Aku cuma… bingung. Dia muncul lagi, minta kesempatan kedua," ucap Luna pelan, nyaris seperti bisikan. Nia mendesah sambil menyandarkan dagunya di meja. "Luna… aku nggak mau ngatur hidup kamu. Tapi tolong, hati-hati. Luka lama itu gampang kebuka kalau kita nggak benar-benar siap." Luna mengangguk pelan. Kata-kata itu menusuk tepat di hatinya. Ia ingin melangkah maju, tapi bayangan masa lalu terus menariknya mundur. Siang itu, saat istirahat, Luna memutuskan berjalan ke taman dekat kafe. Dia butuh udara segar untuk menenangkan pikirannya. Tanpa ia sangka, Adrian sudah menunggunya di bangku taman, sambil membawa dua gelas kopi hangat. "Aku nggak tahu kamu bakal ke sini, tapi… aku berharap," ujar Adrian, tersenyum kikuk. Luna memutar bola matanya, tapi diam-diam pipinya memanas. Ia duduk di ujung bangku, menjaga jarak. "Adrian, kita harus bicara serius. Aku nggak mau semua ini cuma jadi drama sementara." Adrian mengangguk cepat. "Aku tahu. Makanya aku di sini. Aku nggak akan lari, Luna. Kali ini aku mau buka semuanya." Luna menatap pria itu lekat-lekat, mencoba membaca ketulusan di matanya. "Kalau kamu serius, jawab satu hal… Kenapa dulu kamu pergi begitu saja? Tanpa kabar, tanpa pesan?" Adrian menunduk, menatap tanah basah di bawah kakinya. "Aku… waktu itu aku terlilit utang, Luna. Aku nggak mau kamu ikut terjebak dalam masalahku. Aku pikir, dengan pergi, aku bisa menyelesaikan semuanya tanpa membawamu masuk ke dalam kekacauan itu." Luna terdiam. Bagian hatinya ingin marah, tapi bagian lainnya bisa mengerti ketakutan Adrian saat itu. "Aku salah, Luna. Harusnya aku percaya padamu. Harusnya kita selesaikan bareng-bareng, bukan aku lari sendirian," lanjut Adrian, suaranya serak. Luna menarik napas dalam-dalam. "Kamu tahu, Adrian… yang paling menyakitkan itu bukan masalahnya. Tapi caramu ninggalin aku, seolah-olah aku nggak berarti apa-apa." Air mata menetes di sudut matanya, tapi ia cepat-cepat menghapusnya. Adrian maju sedikit, menatap Luna dengan mata memerah. "Aku minta maaf, Luna. Aku sungguh menyesal. Beri aku kesempatan buat menebus semuanya. Aku akan buktikan kalau aku nggak akan kabur lagi." Luna memalingkan wajah, menatap langit siang yang mendung. "Ini nggak mudah, Adrian. Aku butuh waktu." Adrian mengangguk, wajahnya penuh harap. "Aku siap nunggu. Berapa lama pun itu." Sejenak mereka terdiam, hanya ditemani suara angin yang bertiup pelan. Luna akhirnya menoleh, matanya lebih tenang kini. "Kalau kamu serius… aku kasih kamu kesempatan. Tapi jangan harap aku akan langsung percaya begitu aja." Adrian tersenyum, kali ini lebih lega. "Aku nggak minta langsung dipercaya. Aku cuma mau kamu lihat usahaku." Luna mengangguk pelan. "Oke, kita mulai… pelan-pelan." Dan di bawah langit yang kembali redup, dua hati yang dulu hancur itu kini mencoba membangun kembali pondasi yang lebih kuat. Bukan tanpa luka, tapi dengan harapan baru yang pelan-pelan mulai tumbuh di antara celah-celah masa lalu. Setelah beberapa menit hening, Luna menarik napas panjang. Ia tahu perasaannya terhadap Adrian belum benar-benar mati, tapi ia juga sadar luka di hatinya tak bisa disembuhkan hanya dengan kata maaf. "Aku akan lihat usahamu, Adrian. Tapi… jangan berharap aku bakal semudah itu membuka pintu hatiku lagi," ucap Luna, suaranya tegas namun masih ada getaran di ujungnya. Adrian mengangguk cepat, seperti anak kecil yang baru saja diberi kesempatan kedua setelah berbuat salah. "Aku ngerti, Luna. Dan aku siap." Di antara suara daun yang berbisik, ada keheningan aneh yang membuat keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Luna memandang langit yang mulai menggelap, seolah mencari jawaban di antara awan-awan yang berarak. Setelah beberapa saat, Adrian berdiri dan merapikan jaketnya. "Aku nggak akan ganggu waktu kamu lebih lama. Aku cuma pengen bilang, mulai hari ini aku bakal buktiin semuanya." Luna menguap pelan. "Aku tunggu, Adrian. Jangan kecewain aku lagi." Tanpa banyak kata, Adrian melangkah pergi, meninggalkan Luna yang masih duduk terpaku di bangku taman itu. Hatinya berdebar, campuran antara cemas, ragu, tapi juga… sedikit harapan. Saat malam datang, Luna pulang dengan langkah lelah. Begitu masuk ke kamarnya, ia rebah di kasur tipisnya. Lampu kamar redup, menciptakan suasana yang pas untuk merenung. Ia menatap foto lama yang masih tersimpan di meja belajarnya. Foto itu diambil tiga tahun lalu, saat ia dan Adrian masih bersama. Wajah mereka saat itu penuh tawa, seolah dunia milik berdua. Luna menghela napas berat. "Apa aku benar mengambil keputusan ini? Apa memberi kesempatan kedua adalah pilihan yang bijak?" batinnya gelisah. Ia tak ingin jatuh ke lubang yang sama. Tapi entah kenapa, jauh di lubuk hatinya, ia masih menyimpan secercah keyakinan bahwa Adrian mungkin benar-benar telah berubah. Keesokan paginya, kejutan kecil menyambutnya. Di depan pintu apartemennya, tergeletak sebuah kotak kecil dengan pita sederhana. Luna mengernyit bingung, lalu mengambil kotak itu dan membukanya. Di dalamnya ada setumpuk surat kecil yang ditulis tangan, beserta bunga lavender kering. "Untuk Luna…" "Ini surat pertama dari seratus surat yang akan kukirimkan. Aku ingin kamu membaca isi hatiku setiap hari, pelan-pelan, sampai kamu yakin kalau aku nggak akan pergi lagi." Luna tertegun. Ia membaca surat itu, dan hatinya bergetar. Adrian menulis tentang rasa bersalahnya, tentang betapa selama ini ia merindukan Luna, tentang ketakutan yang dulu membuatnya lari. Tangannya gemetar, air mata menetes tanpa bisa ditahan. Ia tak menyangka Adrian akan berusaha sedalam ini. Di tempat lain, Adrian menatap layar ponselnya, menunggu kabar. Ia tahu perjuangannya baru saja dimulai. Seratus surat itu baru langkah awal. Ia ingin Luna tahu, ia benar-benar bertekad menebus semua luka lama. Hari-hari berikutnya, Luna menerima surat demi surat, dan hatinya yang dulu membeku, perlahan mulai mencair. Ia masih berhati-hati, tapi kini ada senyum kecil yang mulai muncul di bibirnya setiap kali membaca tulisan tangan Adrian. Namun, tak semua orang mendukung keputusannya. Nia, sahabatnya, tampak resah saat mendengar Luna bercerita tentang surat-surat itu. "Luna… kamu yakin mau buka hati lagi buat dia? Jangan sampai kamu kecewa lagi, ya," ujar Nia sambil menggenggam tangan Luna. Luna mengangguk pelan. "Aku nggak tahu, Nia. Tapi… kali ini aku mau kasih kesempatan, walau kecil. Aku pengen lihat, sampai sejauh mana dia berusaha." Nia menguap, tapi akhirnya mengangguk setuju. "Kalau kamu bahagia, aku dukung. Tapi janji ya, kalau dia nyakitin kamu lagi… aku yang bakal jitak dia!" Luna tak bisa menahan tawa kecilnya. "Deal!" Di antara surat-surat itu, Adrian mulai menyisipkan ajakan untuk bertemu lagi. Tapi Luna masih belum berani. Ia ingin memastikan hatinya benar-benar siap sebelum melangkah lebih jauh. Pada malam ke-15, saat bulan menggantung indah di langit, Luna duduk di balkon kecil apartemennya, memandangi bintang-bintang. Tangannya menggenggam surat ke-15, dan kali ini isi suratnya berbeda. "Luna, kalau kamu baca ini, aku cuma pengen bilang… aku nggak bakal nyerah. Kalau perlu, aku akan nulis seribu surat, bukan cuma seratus. Selama kamu masih di bawah langit yang sama denganku, aku akan terus berusaha." Luna menatap langit, dan senyum kecil itu tumbuh makin lebar. Hatanya masih luka, tapi kini luka itu perlahan-lahan mulai menemukan harapannya. Malam itu, angin berbisik pelan di telinganya. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Luna berbisik balik, "Mungkin… aku bisa percaya lagi."lPagi itu, mentari memancar cerah, tapi hati Luna masih diselimuti awan gelap. Kata-kata Rio semalam terus terngiang di telinganya, mengikis ketenangan yang baru saja ia rasakan.Di meja makan, ibunya sudah menyiapkan sarapan, tapi Luna hanya menatap piringnya kosong. Sendok di tangannya bahkan belum bergerak sedikit pun.“Luna, kamu kenapa, Nak? Nggak enak badan?” tanya sang ibu, nada suaranya penuh kekhawatiran.Luna menggeleng pelan. “Nggak, Bu… cuma lagi mikir aja.”Ibunya menghela napas, lalu duduk di hadapannya. “Kalau ada yang mengganggu pikiranmu, cerita ya. Ibu selalu di sini.”Luna tersenyum hambar. Andai semudah itu. Ada banyak rahasia yang mengendap di keluarga ini—rahasia yang sekarang tampaknya siap meledak kapan saja. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. "Aku berangkat dulu, Bu," ujarnya singkat.Ia bangkit dan melangkah cepat keluar, tak peduli pada panggilan ibunya yang memintanya untuk sarapan dulu.Di sekolah, suasana tak banyak berubah.
Malam itu, bintang-bintang bersinar lebih terang dari biasanya, seolah ikut menyaksikan kegelisahan yang menyelimuti hati Luna. Setelah kejadian di taman bersama Adrian, pikirannya tak pernah tenang. Ia berjalan sendirian di sepanjang jalan kecil yang membelah kota, mencoba menenangkan diri, namun bayangan wajah Adrian selalu muncul di benaknya.Di sisi lain, Adrian pun tak kalah gelisah. Di kamar apartemennya yang sempit, ia mondar-mandir tanpa arah. "Kenapa aku begitu peduli?" gumamnya pelan, sambil menatap langit malam dari jendela kecil. Udara malam terasa dingin, tapi dada Adrian justru terasa panas, penuh pertanyaan yang belum menemukan jawabannya.Keesokan paginya, mereka bertemu lagi—tak sengaja, di kafe kecil dekat kampus. Tatapan mereka bertemu, canggung, tapi dalam. Tak satu pun yang bicara lebih dulu, hingga akhirnya Luna memecah keheningan dengan suara pelan, "Kamu di sini juga?"Adrian hanya mengangguk. Hatinya berdebar, tapi ia berusaha tampak tenang. "Iya, cuma... nump
Pagi itu, matahari baru saja menyapa kota ketika Luna menerima surat ke-16 di depan pintu apartemennya. Kini, ritual membaca surat dari Adrian sudah menjadi bagian dari harinya, meskipun ia masih menjaga jarak.Ia membuka amplop itu pelan-pelan, jemarinya sedikit gemetar."Aku tahu aku bukan lagi orang yang pantas di sampingmu, Luna. Tapi aku berharap, suatu hari nanti… kamu bisa melihatku dengan tatapan yang sama seperti dulu."Luna menarik napas dalam, matanya terasa hangat. Entah sejak kapan, surat-surat itu seperti merajut kembali benang-benang halus di hatinya yang dulu putus begitu saja.Sambil menyesap kopi panasnya, pikirannya melayang ke tiga tahun lalu, saat ia dan Adrian masih bermimpi bersama tentang masa depan. Tapi semua itu buyar karena satu keputusan Adrian yang meninggalkannya tanpa penjelasan. Luka itu membekas, dan kini, perlahan-lahan, Adrian mencoba menjahitnya kembali.Hari itu, Luna memutuskan untuk berjalan-jalan ke toko buku favoritnya, tempat yang dulu sering
Malam itu, Luna menatap langit dari balik jendela kamar kecilnya. Hujan memang sudah reda, tapi bekasnya masih tertinggal di kaca yang berembun. Jemarinya menelusuri tetesan itu, menggambar pola tak beraturan, seperti pikirannya saat ini. Percakapannya dengan Adrian tadi terus terngiang di kepala. Kata-kata janji yang dulu pernah ia percaya, kini kembali diucapkan. Luna ingin percaya lagi, tapi luka-luka masa lalu masih menahan langkah hatinya. "Apa benar dia berubah? Apa benar kali ini dia nggak akan lari lagi?" batinnya, sambil menutup mata pelan. Di tempat lain, Adrian menatap layar ponselnya. Pesan terakhirnya untuk Luna masih belum dibalas. Ia tahu, tak semudah itu menghapus rasa sakit yang pernah ia ciptakan. Tapi ia bersungguh-sungguh kali ini. Tangannya mengepal erat. "Aku harus menebus semuanya. Aku harus berjuang," gumamnya. Keesokan harinya, kota masih basah oleh sisa hujan semalam. Luna berangkat kerja seperti biasa, tapi ada rasa aneh yang mengganjal di dadanya. Di
Langit malam yang biasanya bersih, malam itu tampak muram. Awan gelap menggantung berat, seolah menahan air mata yang siap tumpah. Suasana itu seakan mewakili hati Luna yang tak menentu. Ia duduk di balkon kamarnya, menatap kosong ke arah jalanan yang perlahan basah oleh gerimis.Di tangannya, tergenggam sebuah kertas musik yang berisi notasi lagu yang ia ciptakan bersama Adrian. Lagu itu adalah saksi bisu setiap tawa dan harapan yang pernah mereka ukir bersama. Tapi malam itu, setiap not yang biasanya terdengar manis kini terasa getir di telinganya."Luna..." suara Mama memanggil dari balik pintu. "Jangan terlalu malam begadang, Nak. Besok kau harus berangkat pagi."Luna hanya mengangguk tanpa menoleh. Ia tahu Mama khawatir, tapi hatinya terlalu berat untuk sekadar berdiri dari kursi itu. Ia meremas kertas musik itu, berharap rasa sesak di dadanya ikut luruh bersama rintik hujan yang kini turun semakin deras.Sementara itu, di sisi lain kota, Adrian pun terjebak dalam pikirannya send
Pagi itu, Luna terbangun dengan perasaan yang aneh. Di satu sisi, tubuhnya terasa letih karena malam sebelumnya ia pulang larut. Tapi di sisi lain... hatinya ringan. Entah sejak kapan ia merasa seperti ini. Biasanya, pagi selalu menyiksa — seolah hari baru hanya berarti luka baru. Tapi kali ini, berbeda. Ia duduk di tepi ranjang, menatap langit-langit kamarnya yang pucat. Di luar, matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai. Hangat, tapi tidak menyilaukan. Seperti hati Luna yang perlahan mulai mencair. Ponselnya bergetar di meja. Sebuah pesan masuk dari sahabatnya, Rara. "Lun, hari ini ikut ekskul gak? Udah seminggu kamu ngilang." Luna menghela napas. Biasanya, ia akan mengabaikan pesan seperti itu. Tapi kali ini, jemarinya bergerak sendiri. "Mungkin. Lihat nanti." Ia sendiri terkejut dengan jawabannya. Sejak kapan ia jadi orang yang ‘mungkin’ mau berbaur lagi? Setelah mandi dan berganti pakaian, Luna turun ke ruang makan. Ayahnya sudah duduk di meja, menyesap kop
Langit malam itu bersih tanpa awan, hanya dihiasi bintang-bintang yang berkelap-kelip, seolah sedang menertawakan dunia yang sedang kalut di bawahnya. Luna memeluk lututnya erat, duduk di atas rerumputan yang dingin. Udara malam menggigit kulitnya, tapi hatinya jauh lebih dingin dari itu.Di bukit kecil ini, ia selalu datang saat hidup mulai terasa sesak. Tempat ini, jauh dari hiruk pikuk kota, adalah satu-satunya ruang di mana ia bisa bernapas lega. Namun malam ini, bahkan langit yang biasanya menenangkannya, terasa lebih jauh dan asing.Sampai suara langkah kaki terdengar."Indah ya, malam ini?"Suara itu dalam, tenang, namun cukup mengejutkannya. Luna menoleh cepat. Seorang pemuda berdiri beberapa meter darinya. Tubuhnya diselimuti hoodie gelap, wajahnya hanya sedikit tersinari cahaya bulan.Ia sempat ragu. Tapi anehnya, tatapan mata pemuda itu tidak mengancam. Ada kelelahan di matanya, tapi juga kehangatan yang samar."Iya," jawab Luna akhirnya, pelan.Pemuda itu duduk, menjaga ja