Langit malam yang biasanya bersih, malam itu tampak muram. Awan gelap menggantung berat, seolah menahan air mata yang siap tumpah. Suasana itu seakan mewakili hati Luna yang tak menentu. Ia duduk di balkon kamarnya, menatap kosong ke arah jalanan yang perlahan basah oleh gerimis.
Di tangannya, tergenggam sebuah kertas musik yang berisi notasi lagu yang ia ciptakan bersama Adrian. Lagu itu adalah saksi bisu setiap tawa dan harapan yang pernah mereka ukir bersama. Namun malam itu, setiap not yang biasanya terdengar manis kini terasa getir di telinganya. “Luna...” suara Mama memanggil dari balik pintu. “Jangan terlalu malam begadang, Nak. Besok kau harus berangkat pagi.” Luna hanya mengangguk tanpa menoleh. Ia tahu Mama khawatir, tapi hatinya terlalu berat untuk sekadar berdiri dari kursi itu. Ia meremas kertas musik itu, berharap rasa sesak di dadanya ikut luruh bersama rintik hujan yang kini turun semakin deras. Sementara itu, di sisi lain kota, Adrian pun terjebak dalam pikirannya sendiri. Di studio musik kecilnya, ia menatap gitar yang tergeletak di lantai. Tangannya terasa kaku, seolah jari-jarinya kehilangan arah untuk menari di atas senar-senar itu. Adrian menatap layar ponselnya. Pesan terakhir dari Luna masih terpampang jelas. Ia ingin membalas, ingin menghapus jarak yang kini membentang di antara mereka. Namun gengsinya, egonya, menahan jemarinya. “Kenapa harus serumit ini...” gumamnya pelan. Hujan di luar sana mengetuk jendela studionya, seolah memaksa Adrian untuk sadar. Hatinya teriris tiap kali mengingat senyum Luna yang kini hanya jadi kenangan dalam pikirannya. Di tempat lain, Luna tak kuasa lagi menahan air matanya. Rintik hujan yang jatuh di luar sana seperti beradu cepat dengan air matanya yang jatuh tanpa henti. Ia bangkit, mengambil ponsel, dan membuka galeri foto—semua kenangan manis bersama Adrian bertebaran di sana. Mereka dulu bagai sepasang bintang yang bersinar di langit malam, tapi kini, bintang itu redup tertutup awan mendung. Ia menggigit bibirnya, menahan isak. “Apa kita masih punya kesempatan, Adrian?” bisiknya. Ketika malam semakin larut, Luna memutuskan untuk membuka jendela lebar-lebar. Udara dingin menusuk kulitnya, tapi ia tak peduli. Ia memandang langit, mencari satu bintang yang biasanya jadi saksi doanya. Dan di seberang kota, tanpa mereka sadari, Adrian pun melakukan hal yang sama. Ia menatap langit yang sama, menantikan jawaban dari semesta atas gejolak di hatinya. Seolah ada kekuatan tak kasat mata, lagu yang dulu mereka ciptakan bersama tiba-tiba terputar otomatis di playlist studio Adrian. Melodi lembut itu mengalun, mencabik pertahanannya. Adrian menutup mata, membiarkan lagu itu mengalir, membangkitkan setiap kenangan yang pernah mereka bagi. Detik itu juga, Luna menekan nomor Adrian. Tangannya gemetar, dadanya berdebar hebat. Ia tahu, ini keputusan besar. Nada sambung terdengar. Sekali, dua kali... tapi tak ada jawaban. Air mata Luna kembali jatuh. Ia hampir saja menutup panggilan itu ketika tiba-tiba... “Hallo...” suara serak Adrian terdengar di seberang. Luna tercekat. Hatinya seperti dihantam petir. “Adrian...” suaranya lirih, hampir tak terdengar. “Kenapa kamu nelpon malam-malam begini?” suara Adrian terdengar dingin, tapi di balik itu, ada getaran yang tak bisa disembunyikan. Luna menarik napas panjang. “Aku cuma... aku cuma ingin tahu... apakah kita masih bisa menyelamatkan semua ini? Lagu kita, mimpi kita... hubungan kita...” Adrian terdiam lama. Hanya suara hujan yang terdengar di antara mereka. Luna menunggu dengan dada sesak. Akhirnya, Adrian bicara pelan. “Aku juga nggak tahu, Luna. Aku sendiri lagi” “Aku juga nggak tahu, Luna. Aku sendiri lagi berusaha mencari jawabannya.” Kalimat itu membuat dada Luna sesak. Suara Adrian yang lirih menggetarkan hatinya, membangkitkan kerinduan yang selama ini tersembunyi di balik dinding kesunyian. “Aku capek, Adrian. Aku rindu kita yang dulu.” Adrian menutup mata, berusaha menahan gelombang emosi yang naik cepat ke permukaan. “Aku juga rindu kamu, Luna. Tapi... semuanya sudah nggak semudah itu sekarang.” Diam kembali mengisi ruang percakapan mereka, hanya suara hujan yang membasahi bumi menjadi saksi. Meski begitu, dalam kesunyian itu, ada getar halus yang merambat, menghubungkan dua hati yang lama terpisah. “Luna...” suara Adrian pecah, lebih lembut kali ini. “Kalau kamu masih percaya... ayo kita cari cara. Kita tulis lagu baru... bukan untuk orang lain, tapi untuk kita. Untuk menambal yang retak.” Luna mengusap air matanya dengan tangan gemetar. Bibirnya membentuk senyum kecil di tengah isaknya. “Kita... menulis lagu baru? Untuk kita?” “Iya,” jawab Adrian dengan tegas, seolah melepas beban berat yang selama ini dibawanya. “Melodi baru... di bawah rintik hujan ini.” Malam itu, di bawah langit yang sama, tanpa janji yang berlebihan, mereka sepakat. Untuk mencoba lagi. Bukan karena semuanya mudah, tapi karena mereka percaya bahwa cinta sejati selalu layak diperjuangkan—meski harus jatuh, bangkit, dan menulis ulang kisah mereka dari awal. Langit mulai berubah gelap ketika Luna melangkah keluar dari kafe tempatnya bekerja. Awan tebal bergulung, menandakan hujan segera turun. Angin malam bertiup pelan, membawa harum tanah basah yang menyegarkan. Di persimpangan jalan, mata Luna menangkap sosok Adrian yang berdiri sendiri di seberang jalan. Jantungnya berdetak lebih kencang, seolah hujan yang siap mengguyur bumi akan segera menyirami hatinya yang kering. Adrian, yang sedang menatap langit seperti mencari sesuatu di balik awan, tak menyadari kehadiran Luna. Tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket, sementara rambutnya berantakan diterpa angin. “Kenapa dia selalu muncul di saat aku berusaha melupakannya?” batin Luna, menahan napas agar tak ketahuan dirinya terkejut. Tiba-tiba, hujan turun dengan derasnya, memaksa orang-orang berlarian mencari tempat berteduh. Luna hanya diam, membiarkan hujan membasahi tubuhnya seakan ingin membasuh segala luka lama yang belum sembuh. Adrian menoleh, dan matanya bertemu dengan Luna. Tatapan mereka—tajam, penuh kerinduan—menghancurkan tembok pertahanan Luna yang rapuh. Langkah Adrian menyeberang jalan, menembus derasnya hujan, semakin mendekat. “Luna...” suaranya parau, berat, penuh perasaan yang selama ini terkubur. Luna menggeleng, mencoba mundur, tapi kakinya seakan membeku di tempat. “Aku nggak mau dengar, Adrian. Semua sudah terlambat.” Suara Luna bergetar, dihiasi amarah dan kesedihan yang bercampur. Adrian berhenti tepat di depannya. Hujan yang mengalir deras tanpa ampun membasahi mereka berdua. “Belum terlambat kalau kita mau memulainya lagi,” ucap Adrian pelan tapi penuh keyakinan. Luna meremas erat tas selempangnya, menahan tangis yang sudah menggenang di mata. “Kenapa baru sekarang kamu ngomong? Setelah semua yang terjadi... setelah kamu pergi tanpa pesan.” Adrian menunduk, wajahnya tampak penuh penyesalan. Lalu ia mengangkat wajahnya menatap Luna dalam-dalam. “Aku salah, Luna. Aku pengecut. Aku pikir dengan pergi, aku bisa melindungimu dari diriku sendiri yang penuh masalah.” Petir menyambar jauh di kejauhan, menyingkap air mata Luna yang bercampur air hujan di pipinya. “Aku nggak butuh perlindungan. Yang aku butuh... kejujuran, Adrian.” Suara Luna pecah di antara gemuruh hujan. Adrian meraih tangan Luna, ragu tapi penuh harap. “Aku janji... kali ini aku nggak akan lari lagi. Aku mau kita bicara, benar-benar bicara. Tentang kita.” Luna menunduk, tubuh gemetar karena sakit dan harapan yang saling bersanding. Air mata mengalir deras membasahi wajahnya. Hujan semakin deras tapi seolah waktu berhenti. Dunia yang tadinya ramai menjadi milik mereka berdua saja. Luka lama mulai terobati dengan tetes hujan dan getar hati yang mulai menyatu. “Ayo... aku antar kamu pulang,” ujar Adrian sambil membuka jaket besar, menutupi kepala Luna dari hujan. Awalnya Luna ingin menolak, tapi tubuhnya sudah lelah berdebat. Ia hanya mengangguk, membiarkan Adrian memayunginya. Mereka berjalan berdampingan, langkah mereka mulai seirama, seperti melodi yang mencoba menyusun kembali lagu cinta yang dulu pecah. Di persimpangan jalan, Adrian menatap Luna dengan penuh harap. “Luna... maukah kamu memberiku kesempatan sekali lagi? Aku ingin menebus semuanya, dengan segala yang kupunya.” Luna berhenti, wajahnya menatap langit yang mulai cerah dengan bintang mulai bermunculan. “Kalau kamu serius... kita mulai dari awal. Tapi satu syarat, jangan pernah lari lagi.” Nada suaranya tegas, tapi ada secercah harapan di sana. Senyum Adrian merekah untuk pertama kali sejak lama. “Aku janji, Luna. Kali ini aku akan bertahan, demi kita.” Di bawah rintik hujan yang mulai reda dan langit yang kembali bertabur bintang, dua hati yang dulu terpisah kini mulai melodi rindu mereka dengan nada baru—pelan tapi pasti.Senja kembali menggantung rendah di langit Jakarta ketika Luna berdiri di depan jendela kamarnya, memandangi langit jingga yang mulai digantikan semburat malam. Hawa hangat sisa siang terasa nyaman di kulit, tapi pikirannya sibuk dengan nada-nada yang belum selesai ia tulis.Di meja kerjanya, beberapa lembar lirik berserakan. Lagu “Pulang” sudah selesai dan telah membekas dalam ingatan banyak orang. Tapi ada suara baru di dalam dirinya. Bukan suara masa lalu, bukan pula bayangan tentang Adrian, tapi suara yang muncul dari kedalaman dirinya sendiri. Suara tentang langkah ke depan.Luna duduk dan mulai menyusun bait. Tangannya bergerak lincah, namun hati-hati, seperti sedang menenun kisah dari benang-benang yang belum utuh. Ia tidak tahu apakah lagu ini akan ia nyanyikan, atau hanya akan ia simpan. Tapi satu hal yang pasti: ia ingin menyelesaikannya.Beberapa hari setelah penampilannya di acara kampus, Luna kembali aktif sebagai asisten dosen vokal. Jadwalnya padat, tapi hatinya tidak s
Studio musik kampus pagi itu lebih sunyi dari biasanya. Lampu-lampu kecil menyala redup, menciptakan suasana seolah memeluk setiap nada yang terlahir di dalamnya. Luna melangkah masuk membawa gitar akustiknya, sambil menyapa Adrian yang sudah membuka jendela besar, membiarkan udara pagi dan kicauan burung menyusup lembut.Dia meletakkan gitar di sandaran kursi, mengambil selembar kertas lirik lagu barunya—lagu "Pulang" yang sukses di pertunjukan akhir semester. Lembar itu kini bertuliskan kata-kata revisi, catatan kecil tentang progresi akor, dan tanda-tanda agar baitnya lebih hidup.Setelah menyalakan rekorder, Adrian menyapa singkat, “Siap?”Luna mengangguk, menarik napas dalam, lalu mulai bermain akord, suara gitar memenuhi ruang pagi itu. Tak jarang nadanya sedikit gemetar, tapi justru itu yang membuatnya terasa hidup—karena setiap nada adalah refleksi perjalanan batinnya. Di sudut ruangan, Adrian menyimak dengan serius, membuat catatan kecil di notebook-nya.Saat nadanya berhenti
Langit Jakarta pagi itu masih pucat, seakan belum sepenuhnya terbangun dari malam yang panjang. Di dalam studio musik kampus, Luna duduk sendirian di depan piano, membiarkan jarinya menyentuh tuts-tuts dingin tanpa benar-benar bermain. Di atas meja kecil di sampingnya, lembaran lirik “Setengah Langit” yang diberikan Adrian kemarin masih terbuka. Ia membacanya ulang—bukan karena lupa, tapi karena ingin meresapi tiap kata dengan pemahaman yang baru.Malam sebelumnya masih terbayang jelas dalam benaknya. Percakapan mereka, senyum tenang Adrian, dan bagaimana akhirnya mereka menyadari bahwa hubungan yang dewasa bukan selalu tentang memiliki, tapi tentang mengerti kapan harus saling diam, kapan harus saling dorong. Dan pagi ini, Luna merasa... lebih ringan.Pintu studio terbuka perlahan. Suara langkah pelan menyusul masuk. Luna menoleh. Adrian berdiri di ambang pintu, membawa dua gelas kopi hangat dari kantin.“Kopi pagi?” tawarnya.Luna tersenyum. “Kamu sekarang tiap datang ke studio bawa
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk melalui jendela kamar Luna, menyentuh pelan wajahnya yang masih setengah tertutup selimut. Ia membuka mata perlahan, menatap langit-langit kamarnya yang terasa asing setelah sekian minggu di Jepang. Tapi ada ketenangan baru di sana—ketenangan yang tidak ia temukan saat pertama kali ia kembali dari perpisahan dengan Adrian.Ia bangun, lalu membuka tirai. Langit Jakarta cerah, seolah menyambut kepulangannya dengan hangat. Di meja kecil di pojok kamar, CD hasil rekaman penampilannya di Tokyo masih terletak rapi, seperti mengingatkan bahwa apa yang ia alami di sana bukan mimpi. Ia benar-benar telah menyanyi di panggung festival internasional, menyuarakan hatinya di depan ratusan orang asing yang ikut terdiam mendengarnya.Tapi ada hal lain yang membuat pagi itu berbeda: lagu dari Adrian. Lagu berjudul “Langkah Kedua” itu masih berputar di benaknya. Liriknya, melodinya, suara Adrian—semuanya menyatu dalam rasa yang sulit dijelaskan. Itu bukan lagu c
Suara pengumuman dari bandara Narita menggaung samar di kejauhan, bercampur dengan suara langkah kaki para penumpang yang hilir mudik. Di tengah keramaian itu, Luna berdiri mematung, menatap layar ponselnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Pesan terakhir dari Adrian belum dibalasnya, bukan karena ia tak ingin, tapi karena ia masih mencari kata yang tepat untuk menjawabnya.“Aku harap kamu bisa nyanyi dengan hati yang sama kayak waktu kamu nyanyi lagu kita,” tulis Adrian semalam, tepat sebelum Luna terbang ke Jepang.Luna menghela napas dan memasukkan ponselnya ke dalam saku. Ia tahu, festival ini bukan hanya tentang pencapaian, tapi juga tentang pembuktian. Ia ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia bisa berdiri di atas panggung tanpa membawa bayang-bayang masa lalu. Tapi nyatanya, bayangan itu tetap menempel—dalam bentuk lirik lagu yang ia dan Adrian ciptakan bersama.“Luna-san,” suara seorang panitia festival memanggil. “Kami akan mulai persiapan. Mohon bersiap di belakan
Pagi itu, Jakarta dibasahi gerimis halus yang menggantung di udara seperti perasaan dalam dada Adrian—tenang di permukaan, tapi sesungguhnya penuh gelombang kecil di dalamnya. Di meja kayu berdebu yang terletak di sudut kamar, laptopnya terbuka dengan layar kosong. Namun untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tidak merasa tertekan oleh keheningan itu.Adrian menatap layar kosong tersebut lalu mengalihkan pandangannya ke jendela. Musik pelan mengalun dari speaker kecil—bukan lagu sedih, bukan pula lagu cinta. Hanya denting piano instrumental yang mengalir seperti napasnya pagi itu.Ia baru saja selesai membaca ulang catatan jurnal yang ia tulis selama beberapa minggu terakhir. Di dalamnya, tersimpan potongan emosi yang dulu sulit ia kenali: marah, kecewa, rindu, takut. Tapi yang paling menonjol—kejujuran. Semua luka yang pernah ia hindari kini justru menjadi bahan bakar untuk karya barunya.Di sisi lain kota, Luna tengah sibuk merapikan koper kecil di kamar kosnya. Di atas meja