Home / Romansa / Serenade Cinta Dibawah Bintang / Bab 3 Melodi Rindu di Bawah Rintik Hujan

Share

Bab 3 Melodi Rindu di Bawah Rintik Hujan

Author: San_prano
last update Last Updated: 2025-05-06 23:09:54

Langit malam yang biasanya bersih, malam itu tampak muram. Awan gelap menggantung berat, seolah menahan air mata yang siap tumpah. Suasana itu seakan mewakili hati Luna yang tak menentu. Ia duduk di balkon kamarnya, menatap kosong ke arah jalanan yang perlahan basah oleh gerimis.

Di tangannya, tergenggam sebuah kertas musik yang berisi notasi lagu yang ia ciptakan bersama Adrian. Lagu itu adalah saksi bisu setiap tawa dan harapan yang pernah mereka ukir bersama. Namun malam itu, setiap not yang biasanya terdengar manis kini terasa getir di telinganya.

“Luna...” suara Mama memanggil dari balik pintu. “Jangan terlalu malam begadang, Nak. Besok kau harus berangkat pagi.”

Luna hanya mengangguk tanpa menoleh. Ia tahu Mama khawatir, tapi hatinya terlalu berat untuk sekadar berdiri dari kursi itu. Ia meremas kertas musik itu, berharap rasa sesak di dadanya ikut luruh bersama rintik hujan yang kini turun semakin deras.

Sementara itu, di sisi lain kota, Adrian pun terjebak dalam pikirannya sendiri. Di studio musik kecilnya, ia menatap gitar yang tergeletak di lantai. Tangannya terasa kaku, seolah jari-jarinya kehilangan arah untuk menari di atas senar-senar itu.

Adrian menatap layar ponselnya. Pesan terakhir dari Luna masih terpampang jelas. Ia ingin membalas, ingin menghapus jarak yang kini membentang di antara mereka. Namun gengsinya, egonya, menahan jemarinya.

“Kenapa harus serumit ini...” gumamnya pelan.

Hujan di luar sana mengetuk jendela studionya, seolah memaksa Adrian untuk sadar. Hatinya teriris tiap kali mengingat senyum Luna yang kini hanya jadi kenangan dalam pikirannya.

Di tempat lain, Luna tak kuasa lagi menahan air matanya. Rintik hujan yang jatuh di luar sana seperti beradu cepat dengan air matanya yang jatuh tanpa henti. Ia bangkit, mengambil ponsel, dan membuka galeri foto—semua kenangan manis bersama Adrian bertebaran di sana. Mereka dulu bagai sepasang bintang yang bersinar di langit malam, tapi kini, bintang itu redup tertutup awan mendung.

Ia menggigit bibirnya, menahan isak. “Apa kita masih punya kesempatan, Adrian?” bisiknya.

Ketika malam semakin larut, Luna memutuskan untuk membuka jendela lebar-lebar. Udara dingin menusuk kulitnya, tapi ia tak peduli. Ia memandang langit, mencari satu bintang yang biasanya jadi saksi doanya.

Dan di seberang kota, tanpa mereka sadari, Adrian pun melakukan hal yang sama. Ia menatap langit yang sama, menantikan jawaban dari semesta atas gejolak di hatinya.

Seolah ada kekuatan tak kasat mata, lagu yang dulu mereka ciptakan bersama tiba-tiba terputar otomatis di playlist studio Adrian. Melodi lembut itu mengalun, mencabik pertahanannya. Adrian menutup mata, membiarkan lagu itu mengalir, membangkitkan setiap kenangan yang pernah mereka bagi.

Detik itu juga, Luna menekan nomor Adrian. Tangannya gemetar, dadanya berdebar hebat. Ia tahu, ini keputusan besar.

Nada sambung terdengar. Sekali, dua kali... tapi tak ada jawaban.

Air mata Luna kembali jatuh. Ia hampir saja menutup panggilan itu ketika tiba-tiba...

“Hallo...” suara serak Adrian terdengar di seberang.

Luna tercekat. Hatinya seperti dihantam petir.

“Adrian...” suaranya lirih, hampir tak terdengar.

“Kenapa kamu nelpon malam-malam begini?” suara Adrian terdengar dingin, tapi di balik itu, ada getaran yang tak bisa disembunyikan.

Luna menarik napas panjang. “Aku cuma... aku cuma ingin tahu... apakah kita masih bisa menyelamatkan semua ini? Lagu kita, mimpi kita... hubungan kita...”

Adrian terdiam lama. Hanya suara hujan yang terdengar di antara mereka.

Luna menunggu dengan dada sesak.

Akhirnya, Adrian bicara pelan. “Aku juga nggak tahu, Luna. Aku sendiri lagi”

“Aku juga nggak tahu, Luna. Aku sendiri lagi berusaha mencari jawabannya.”

Kalimat itu membuat dada Luna sesak. Suara Adrian yang lirih menggetarkan hatinya, membangkitkan kerinduan yang selama ini tersembunyi di balik dinding kesunyian. “Aku capek, Adrian. Aku rindu kita yang dulu.”

Adrian menutup mata, berusaha menahan gelombang emosi yang naik cepat ke permukaan. “Aku juga rindu kamu, Luna. Tapi... semuanya sudah nggak semudah itu sekarang.”

Diam kembali mengisi ruang percakapan mereka, hanya suara hujan yang membasahi bumi menjadi saksi. Meski begitu, dalam kesunyian itu, ada getar halus yang merambat, menghubungkan dua hati yang lama terpisah.

“Luna...” suara Adrian pecah, lebih lembut kali ini. “Kalau kamu masih percaya... ayo kita cari cara. Kita tulis lagu baru... bukan untuk orang lain, tapi untuk kita. Untuk menambal yang retak.”

Luna mengusap air matanya dengan tangan gemetar. Bibirnya membentuk senyum kecil di tengah isaknya. “Kita... menulis lagu baru? Untuk kita?”

“Iya,” jawab Adrian dengan tegas, seolah melepas beban berat yang selama ini dibawanya. “Melodi baru... di bawah rintik hujan ini.”

Malam itu, di bawah langit yang sama, tanpa janji yang berlebihan, mereka sepakat. Untuk mencoba lagi. Bukan karena semuanya mudah, tapi karena mereka percaya bahwa cinta sejati selalu layak diperjuangkan—meski harus jatuh, bangkit, dan menulis ulang kisah mereka dari awal.

Langit mulai berubah gelap ketika Luna melangkah keluar dari kafe tempatnya bekerja. Awan tebal bergulung, menandakan hujan segera turun. Angin malam bertiup pelan, membawa harum tanah basah yang menyegarkan.

Di persimpangan jalan, mata Luna menangkap sosok Adrian yang berdiri sendiri di seberang jalan. Jantungnya berdetak lebih kencang, seolah hujan yang siap mengguyur bumi akan segera menyirami hatinya yang kering.

Adrian, yang sedang menatap langit seperti mencari sesuatu di balik awan, tak menyadari kehadiran Luna. Tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket, sementara rambutnya berantakan diterpa angin.

“Kenapa dia selalu muncul di saat aku berusaha melupakannya?” batin Luna, menahan napas agar tak ketahuan dirinya terkejut.

Tiba-tiba, hujan turun dengan derasnya, memaksa orang-orang berlarian mencari tempat berteduh. Luna hanya diam, membiarkan hujan membasahi tubuhnya seakan ingin membasuh segala luka lama yang belum sembuh.

Adrian menoleh, dan matanya bertemu dengan Luna. Tatapan mereka—tajam, penuh kerinduan—menghancurkan tembok pertahanan Luna yang rapuh.

Langkah Adrian menyeberang jalan, menembus derasnya hujan, semakin mendekat.

“Luna...” suaranya parau, berat, penuh perasaan yang selama ini terkubur.

Luna menggeleng, mencoba mundur, tapi kakinya seakan membeku di tempat.

“Aku nggak mau dengar, Adrian. Semua sudah terlambat.”

Suara Luna bergetar, dihiasi amarah dan kesedihan yang bercampur.

Adrian berhenti tepat di depannya. Hujan yang mengalir deras tanpa ampun membasahi mereka berdua.

“Belum terlambat kalau kita mau memulainya lagi,” ucap Adrian pelan tapi penuh keyakinan.

Luna meremas erat tas selempangnya, menahan tangis yang sudah menggenang di mata. “Kenapa baru sekarang kamu ngomong? Setelah semua yang terjadi... setelah kamu pergi tanpa pesan.”

Adrian menunduk, wajahnya tampak penuh penyesalan. Lalu ia mengangkat wajahnya menatap Luna dalam-dalam.

“Aku salah, Luna. Aku pengecut. Aku pikir dengan pergi, aku bisa melindungimu dari diriku sendiri yang penuh masalah.”

Petir menyambar jauh di kejauhan, menyingkap air mata Luna yang bercampur air hujan di pipinya.

“Aku nggak butuh perlindungan. Yang aku butuh... kejujuran, Adrian.”

Suara Luna pecah di antara gemuruh hujan.

Adrian meraih tangan Luna, ragu tapi penuh harap. “Aku janji... kali ini aku nggak akan lari lagi. Aku mau kita bicara, benar-benar bicara. Tentang kita.”

Luna menunduk, tubuh gemetar karena sakit dan harapan yang saling bersanding. Air mata mengalir deras membasahi wajahnya.

Hujan semakin deras tapi seolah waktu berhenti. Dunia yang tadinya ramai menjadi milik mereka berdua saja. Luka lama mulai terobati dengan tetes hujan dan getar hati yang mulai menyatu.

“Ayo... aku antar kamu pulang,” ujar Adrian sambil membuka jaket besar, menutupi kepala Luna dari hujan.

Awalnya Luna ingin menolak, tapi tubuhnya sudah lelah berdebat. Ia hanya mengangguk, membiarkan Adrian memayunginya.

Mereka berjalan berdampingan, langkah mereka mulai seirama, seperti melodi yang mencoba menyusun kembali lagu cinta yang dulu pecah.

Di persimpangan jalan, Adrian menatap Luna dengan penuh harap.

“Luna... maukah kamu memberiku kesempatan sekali lagi? Aku ingin menebus semuanya, dengan segala yang kupunya.”

Luna berhenti, wajahnya menatap langit yang mulai cerah dengan bintang mulai bermunculan.

“Kalau kamu serius... kita mulai dari awal. Tapi satu syarat, jangan pernah lari lagi.”

Nada suaranya tegas, tapi ada secercah harapan di sana.

Senyum Adrian merekah untuk pertama kali sejak lama. “Aku janji, Luna. Kali ini aku akan bertahan, demi kita.”

Di bawah rintik hujan yang mulai reda dan langit yang kembali bertabur bintang, dua hati yang dulu terpisah kini mulai melodi rindu mereka dengan nada baru—pelan tapi pasti.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 112 Langkah Baru Dari Sebuah Surat-End

    Malam itu, kota Jakarta tidak pernah terlihat begitu ramai. Lampu gedung-gedung tinggi berkilau seperti gugusan bintang yang jatuh ke bumi. Adrian berdiri di balkon apartemennya, menatap langit malam yang sebenarnya jarang bisa menampakkan bintang dengan jelas. Namun malam ini berbeda. Ada satu bintang yang terlihat begitu terang di antara langit yang kelabu. Ia menggenggam liontin kecil berbentuk bintang yang tergantung di lehernya. Liontin itu terasa hangat, seakan menyimpan semua janji dan doa yang ia ucapkan setiap kali menatap ke langit. Ponselnya bergetar pelan. Ada notifikasi email baru. Dari: Luna. Adrian langsung membukanya dengan tangan bergetar. Hatinya berdegup kencang, seperti pertama kali ia berdiri di atas panggung. Dari: Luna Jepang, 23:47 “Adrian, Malam ini aku tampil lagi. Bukan panggung sebesar waktu pertama kali di Jepang, tapi justru aku merasa lebih dekat dengan diriku sendiri. Ruangan kecil, penonton hanya ratusan orang, tapi entah kenapa aku merasa

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 111 Panggung Yang Menumbuhkan

    Cahaya lampu sorot berpendar ke segala arah, memantulkan kilau keemasan di atas panggung megah itu. Di sebuah gedung pertunjukan internasional yang terletak di jantung kota Paris, ribuan pasang mata menanti penampilan seorang gadis yang baru saja naik ke permukaan dunia seni: Luna.Nama itu, yang dulu hanya bergema di ruang-ruang kecil dan festival lokal, kini tercantum besar di layar LED berkilauan: “Luna – Rising Voice of Asia”.Di balik panggung, Luna berdiri di depan cermin rias. Rambutnya ditata sederhana, gaun putih elegan membalut tubuhnya dengan anggun. Tapi yang paling mencolok adalah mata itu—mata yang dulu sering dipenuhi keraguan, kini memantulkan keyakinan.Seorang kru mendekat, memberi tanda lima menit sebelum penampilan dimulai. Luna mengangguk pelan, lalu menatap bayangannya sekali lagi. Hatinya berdegup kencang, bukan karena takut, tapi karena sadar bahwa malam ini adalah langkah besar menuju mimpinya.Ia mengingat semua perjalanan panjang: air mata, tawa, kehilangan,

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 109 Bintang Yang Menunjukan Pulang

    Bandara pagi itu ramai, tapi bagi Luna, semua suara terdengar sayup. Deru langkah, pengumuman maskapai, suara koper berderit—semuanya mengalir seperti gema jauh. Yang nyata hanya satu: beratnya langkah yang harus ia tempuh.Di tangannya, tiket keberangkatan terasa seperti kertas terberat di dunia. Jantungnya berdegup cepat, tidak karena takut akan perjalanan panjang yang menunggu, tapi karena seseorang yang berdiri di sampingnya. Adrian.Pemuda itu mengenakan jaket hitam sederhana, rambutnya sedikit berantakan, namun sorot matanya tegas, menahan badai dalam dirinya sendiri. Ia berusaha tersenyum, tapi garis bibirnya tak pernah bisa menutupi kenyataan: ia juga tidak siap melepaskan.Luna menoleh sejenak, matanya memandangi wajah yang telah menemaninya melewati begitu banyak luka dan harapan. “Aku masih nggak percaya ini beneran terjadi,” katanya lirih.Adrian menarik napas panjang. “Aku juga. Rasanya baru kemarin kita ketemu di taman itu. Sekarang… kamu mau terbang ribuan kilometer jau

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 108 Saat Cinta Menemukan Rumahnya

    Malam menjelang keberangkatan itu terasa berbeda. Udara kota seperti membawa keheningan yang tidak biasa, seolah ikut memahami beratnya hati yang menunggu perpisahan.Luna duduk di tepi ranjang, koper kecil sudah tertutup rapi di sudut kamar. Tangannya menyentuh kotak kayu yang menyimpan surat Adrian dari malam sebelumnya. Kata-kata “Aku tunggu kamu di ujung altar” masih terngiang, memberi kekuatan sekaligus rasa haru yang sulit dijelaskan.Ketukan lembut di pintu terdengar. “Luna?” suara Adrian, pelan.“Masuklah,” jawabnya.Adrian melangkah masuk, mengenakan jaket hitam sederhana. Wajahnya lelah, tapi matanya tetap menyala ketika melihat Luna. “Kamu sudah siap?” tanyanya.Luna mengangguk singkat, lalu menunduk. “Siap… tapi nggak benar-benar siap.”Adrian tersenyum tipis, mendekat lalu meraih tangannya. “Kalau begitu, ikut aku sebentar. Ada tempat yang harus kita datangi malam ini.”Tanpa banyak tanya, Luna mengikuti Adrian keluar rumah. Udara malam dingin menyapa, tapi genggaman tang

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 107 Janji Diujung Altar

    Malam itu, meja kerja Adrian dipenuhi kertas kosong yang belum terisi. Pena di tangannya bergetar, bukan karena lelah, melainkan karena beratnya kata-kata yang ingin ia tuliskan. Sejak dulu, ia lebih mudah mengungkapkan perasaannya lewat musik. Namun kali ini, ia tahu, hanya tulisan yang bisa menyampaikan isi hatinya.Surat ini bukan sekadar coretan tinta. Ia ingin menjadikannya saksi janji—bukan pamit, bukan akhir, melainkan awal dari sesuatu yang baru.Adrian menatap jendela kamarnya. Hujan turun tipis, mengetuk kaca seolah ikut menemaninya dalam keheningan. Bayangan Luna terlintas jelas di kepalanya: senyum lembut, mata yang berbinar, dan cara sederhana Luna mencintainya tanpa syarat.Ia menarik napas panjang, lalu mulai menulis."Luna...Jika surat ini sampai ke tanganmu, mungkin aku sedang berada di suatu tempat yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Tapi percayalah, setiap detik aku memikirkanmu. Surat ini bukan perpisahan. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu dengan kata-ka

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 106 Video Dokumenter Dari Maya

    Malam itu, ruang keluarga terasa lebih hening dari biasanya. Lampu gantung berwarna kuning hangat menyinari meja kayu di tengah ruangan, sementara di luar jendela, hujan tipis menetes dengan ritme yang konstan. Adrian duduk bersandar di sofa, jemarinya mengetuk ringan pada permukaan sandaran tangan. Ia menunggu Maya yang sejak tadi sibuk menyiapkan sesuatu di laptop.“Udah siap?” tanya Adrian, suaranya terdengar setengah gugup.Maya tersenyum kecil, lalu menoleh ke arah Luna yang duduk di sebelah Adrian. “Siap, tapi… aku harap kalian nggak kaget setelah nonton ini.”Luna saling bertukar pandang dengan Adrian. Ada ketegangan samar yang tidak bisa diabaikan. Seolah mereka akan menyaksikan sesuatu yang bisa mengubah arah langkah mereka selanjutnya.Maya lalu menghubungkan laptopnya ke layar TV. Dalam hitungan detik, layar menampilkan judul sederhana: “Serenade di Bawah Bintang – Behind the Story”.Video dimulai dengan pemandangan kota kecil tempat semua cerita mereka berawal. Jalanan sem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status