Pagi itu, matahari baru saja menyapa kota ketika Luna menerima surat ke-16 di depan pintu apartemennya. Ritual membaca surat dari Adrian kini telah menjadi bagian dari harinya, meskipun ia masih menjaga jarak.
Ia membuka amplop itu pelan-pelan, jemarinya sedikit gemetar. Adrian menulis: "Aku tahu aku bukan lagi orang yang pantas di sampingmu, Luna. Tapi aku berharap, suatu hari nanti… kamu bisa melihatku dengan tatapan yang sama seperti dulu." Luna menarik napas dalam, matanya terasa hangat. Entah sejak kapan, surat-surat itu seperti merajut kembali benang-benang halus di hatinya yang dulu putus begitu saja. Sambil menyesap kopi panasnya, pikirannya melayang ke tiga tahun lalu, saat ia dan Adrian masih bermimpi bersama tentang masa depan. Namun, semua itu buyar karena keputusan Adrian yang meninggalkannya tanpa penjelasan. Luka itu membekas, dan kini, perlahan-lahan, Adrian mencoba menjahitnya kembali. Hari itu, Luna memutuskan untuk berjalan-jalan ke toko buku favoritnya, tempat yang dulu sering mereka kunjungi bersama. Ia butuh waktu untuk merenung, menjauh sejenak dari tumpukan surat yang membuat emosinya campur aduk. Di lorong buku fiksi, Luna bertemu dengan Nia yang sudah menunggunya di sana dengan senyum khasnya. Nia: "Lu, kamu beneran udah mulai luluh, ya?" sambari menyikut pelan. Luna: "Nggak gitu juga, Nia. Aku cuma… bingung. Hati aku nggak sepenuhnya percaya, tapi setiap baca surat-suratnya, ada bagian dari aku yang pengen percaya lagi." Nia menatap Luna serius, tak seperti biasanya yang selalu ceria. Nia: "Kalau kamu masih ragu, jangan buru-buru, Lu. Tapi kalau ngerasa hatimu mulai bisa nerima dia lagi, pelan-pelan aja. Jangan sampai kamu hancur lagi, ya." Luna mengangguk pelan. "Aku ngerti, Nia. Makanya aku belum mau ketemu dia lagi. Aku masih butuh waktu." Hari demi hari berlalu, hingga surat ke-20 tiba. Kali ini, Adrian menyelipkan sesuatu yang membuat jantung Luna berdegup lebih cepat: tiket masuk ke pameran fotografi, tempat yang dulu mereka impikan untuk datangi bersama. Adrian menulis: "Kalau kamu mau, kita bisa ke sana. Tapi kalau belum siap, aku ngerti. Aku cuma pengen kamu tahu, aku serius, Luna." Luna terdiam lama menatap tiket itu. Ada desir halus di hatinya, perasaan yang sudah lama ia pendam. Namun, bayangan luka lama menyeruak mengganggunya. Malam itu, ia duduk di balkon, menatap bintang-bintang yang bertebaran di langit. Ia teringat janji Adrian di bawah langit yang sama. "Selama bintang masih bersinar, aku nggak akan ninggalin kamu, Luna." Tapi nyatanya, bintang tetap bersinar, dan Adrian menghilang. Tangannya mengepal, matanya berkaca-kaca. Ia lelah dengan pergolakan batin ini. Tanpa sadar, air mata mengalir. "Masa iya, aku harus buka hati lagi? Gimana kalau ini cuma manis di awal, tapi ujungnya aku disakiti lagi?" Di tengah lamunannya, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Adrian. Adrian: "Luna… aku nggak minta jawaban sekarang. Aku cuma minta satu hal. Lihat aku sekali saja, bukan sebagai orang yang ninggalin kamu dulu, tapi sebagai pria yang sekarang berusaha keras nebus kesalahan." Pesan itu singkat, tapi menusuk hati Luna. Ia mendekap lututnya, menangis dalam diam. Ada ketakutan besar dalam dirinya, tapi juga harapan kecil yang terus berdesir. Keesokan harinya, di sebuah kafe, Nia memandang Luna dengan mata penuh kekhawatiran. Nia: "Kamu kenapa, Lu? Matamu bengkak." Luna: "Aku cuma… begadang baca surat-surat itu. Bingung, Nia. Hatiku kayak ditarik dua arah." Nia menggenggam tangan Luna erat. "Dengar, Lu. Kamu punya hak bahagia lagi. Tapi kamu juga harus jaga diri. Jangan buka hati karena kasihan, tapi karena kamu siap." Luna mengangguk, merasa sedikit ringan dengan nasihat itu. Hari itu, saat pulang, ia menemukan surat ke-21 yang menunggunya di depan pintu. Kali ini, isinya sederhana namun penuh makna. Adrian: "Aku akan menunggu sampai kamu siap, Luna. Bintang di langit mungkin tak bisa bicara, tapi aku percaya mereka jadi saksi perjuanganku." Luna tersenyum tipis. Untuk pertama kalinya, ia merasa hatinya mulai membuka sedikit demi sedikit. Ia menatap langit malam dan berbisik dalam hati, "Mungkin… sudah saatnya aku beri kesempatan kedua." Namun, ia tahu jalan di depan masih panjang. Luka lama tak sembuh dalam semalam, dan kepercayaan yang rusak tak bisa pulih hanya dengan kata-kata manis. Tapi Luna siap melangkah pelan-pelan. Di bawah taburan bintang malam itu, ia berjanji pada dirinya sendiri, "Kalau Adrian benar-benar tulus, aku akan lihat seberapa keras dia berusaha. Tapi kalau dia kembali melukai, aku tidak akan jatuh lagi." Angin malam menyapu wajahnya lembut, membawa harapan baru. Luna, untuk pertama kalinya sejak lama, tersenyum tulus — kecil, tapi itu sudah cukup sebagai awal perjalanan baru. Malam berganti pagi, namun hati Luna masih bergelora seperti ombak yang tak tenang. Ia memutuskan mengambil cuti sehari dari pekerjaannya, member ruang bagi dirinya sendiri. Di meja makan, ia menata surat-surat Adrian yang kini sudah mencapai dua puluh satu. Masing-masing surat dibaca ulang, mencari jawaban atau sedikit ketenangan. Pikirannya melayang ke masa lalu, saat pertama kali bertemu Adrian di acara kampus. Pria penuh pesona dan senyum hangat yang dulu pernah meluluhkan hatinya. Kini, pria itu jadi sumber luka terdalam hidupnya. Namun, surat-surat itu seperti benang-benang halus perlahan mencoba menyatukan hati yang retak. Di tengah lamunannya, Luna teringat tiket pameran yang diselipkan Adrian di surat terakhir. Ia menatap tiket itu lama, menelan napas dalam, lalu mengirim pesan kepada Nia. Luna: "Nia, temani aku ke pameran itu, ya. Aku... pengen lihat." Nia: "Siap, bestie! Kita gas bareng!" dengan emoji jempol. Hari yang disepakati pun tiba. Luna dan Nia berangkat ke pameran fotografi. Suasana dipenuhi karya seni yang memukau, namun hati Luna sibuk dengan pergulatan antara masa lalu dan harapan. Di sudut ruangan, matanya terpaku pada foto besar yang dipajang — langit malam bertaburan bintang dengan siluet seorang wanita duduk di balkon, sangat mirip dirinya. Luna mendekat, membaca tulisan di bawah foto: "Untuk seseorang yang pernah percaya pada janji di bawah bintang." Dadanya sesak, ia tahu ini karya Adrian. Jantungnya berdebar cepat. Nia memeluk bahu Luna pelan, "Dia serius, Lu... Lihat aja, fotonya tentang kamu." Luna menelan ludah, "Tapi... serius aja gak cukup, Nia. Luka aku gak sembuh cuma karena foto dan kata-kata." Nia mengangguk, mengerti betul pergolakan sahabatnya. Mereka melanjutkan melihat karya lain, tapi pikiran Luna tetap tertuju pada foto itu — sebuah sinyal kuat Adrian berusaha menebus semuanya. Sepulang dari pameran, Luna menemukan surat ke-22 menunggu di depan pintu. Ia membuka amplop dengan jantung berdegup. Adrian: "Luna, aku tahu aku nggak layak minta kesempatan kedua. Tapi kalau kamu mau, aku akan menulis sampai surat ke-100, bahkan lebih, sampai kamu percaya lagi." "Kalau kamu hadir di pameran tadi, aku berterima kasih. Kalau belum, nggak apa-apa. Aku tetap akan menulis. Ini janji aku." Air mata mengalir, membasahi pipi Luna. Ia memeluk surat itu erat, mencari kekuatan. Malam itu, Luna keluar ke balkon, menatap langit cerah berbintang. Untuk pertama kalinya, ia membiarkan diri berbisik pelan: "Adrian... kalau kamu benar-benar tulus, aku... mungkin akan memberi kesempatan. Tapi jangan buat aku hancur lagi." Angin malam menyapu lembut wajahnya, membawa bisikan harapan baru. Keesokan harinya, Nia datang membawa kabar yang membuat hati Luna sedikit lega. Nia: "Lu, kamu tau nggak? Aku nemu akun medsosnya Adrian. Dia sekarang rajin upload kegiatan sosial, motret alam, dan... kayaknya dia beneran berubah." Luna melirik ponselnya lalu menghela napas, "Aku gak tau, Nia... aku masih takut. Takut kalau semua ini cuma buat pamer doang, buat naikin image dia." Nia: "Kalau kamu takut, berarti kamu masih sayang. Kalau bener-bener udah gak peduli, kamu gak bakal secemas ini." Luna terdiam. Kata-kata itu menusuk tepat di relung hatinya. Hari-hari berlalu. Surat ke-23 sampai ke-30 terus datang tiap pagi. Adrian menulis tentang proses menyembuhkan dirinya, kesalahan yang dibuat, dan keinginannya menebus semuanya. Setiap malam Luna membaca surat sambil menangis. Setiap kata ibarat jarum menusuk sekaligus obat menenangkan. Hingga akhirnya surat ke-31 datang dengan isi yang membuat Luna menggigil. Adrian: "Luna, kalau kamu sudah siap, aku akan menunggumu di tempat kita dulu biasa menulis impian — taman kota dekat air mancur itu. Aku akan di sana, hari Minggu, jam lima sore. Kalau kamu datang, aku akan tahu kamu memberi aku kesempatan bicara. Kalau nggak, aku tetap akan menulis surat ke-32, ke-33, dan seterusnya." Luna menatap surat itu lama. Tangannya gemetar, jantungnya berdegup kencang. Ini momen besar. Pilihan antara maju atau terkurung di bayang-bayang masa lalu. Ia menarik napas dalam, menatap wajahnya di cermin. Wajah lelah, mata sembab, tapi ada secercah cahaya mulai tumbuh. "Mungkin... sudah saatnya aku hadapi ini, bukan lari terus." Malam itu, di bawah bintang lembut, Luna mengambil keputusan: Ia akan datang ke taman itu. Ia akan melihat Adrian. Dan ia akan mendengarkan, untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Dengan jantung berdebar, Luna memeluk surat erat. Langkah kecil, tapi berarti besar dalam perjalanannya menuju penyembuhan dan... mungkin, cinta kedua kali.Udara sore mulai menurunkan suhu kota, meninggalkan sisa-sisa panas yang tertahan di trotoar dan dinding bangunan. Langkah Luna melambat ketika ia sampai di depan sebuah kafe kecil di sudut jalan, tempat yang dulu sering ia kunjungi bersama Maya. Hatinya masih dipenuhi pertanyaan—tentang Adrian, tentang dirinya, dan tentang arah hubungan yang kini terasa rapuh.Pintu kafe berderit pelan saat ia mendorongnya. Aroma kopi dan roti hangat langsung menyambutnya, seolah mengajak untuk duduk dan mengistirahatkan pikiran. Maya sudah duduk di sudut, dengan secangkir teh hangat di hadapannya.“Lo telat lima belas menit,” ucap Maya sambil mengangkat alis. Nada suaranya ringan, tapi sorot matanya penuh rasa ingin tahu.Luna menarik kursi dan duduk, meraih napas panjang sebelum membalas. “Maaf… gue sempat berhenti di taman tadi. Butuh waktu buat mikir.”Maya mencondongkan tubuhnya sedikit. “Tentang Adrian?”Luna hanya tersenyum tipis. “Kalau gue bilang ‘tidak’, lu juga pasti nggak percaya.”Hening
Suasana kafe di sudut kota itu terasa hangat oleh aroma kopi, tapi di hati Luna, segalanya tetap dingin. Jemarinya meremas cangkir latte yang mulai kehilangan uap panas. Di seberangnya, Maya duduk dengan ekspresi serius, menatap Luna seakan berusaha membaca pikirannya.“Gue nggak ngerti lagi, May…,” ucap Luna pelan, nadanya penuh resah. “Setelah semua yang terjadi, gue nggak tahu harus percaya sama siapa.”Maya menghela napas. “Lu cuma capek, Lun. Gue ngerti. Tapi kalau lo terus diem kayak gini, masalah nggak akan kelar.”Luna mengangkat pandangannya. “Maksud lo?”“Lu pikir Adrian tahu semua yang lo rasain sekarang? Gua rasa dia nggak punya gambaran jelas. Dia juga lagi perang sama pikirannya sendiri,” jawab Maya tegas.Luna terdiam. Kata-kata Maya menusuk, tapi bukan tanpa alasan. Ia tahu Adrian sedang menghadapi bayang-bayang masa lalunya—termasuk gosip soal hubungan lamanya dengan produser wanita yang kini mulai dibicarakan lagi di media sosial.Sementara itu, di sisi lain kota, Ad
Hujan gerimis masih menyapu halaman depan café itu ketika Adrian menutup pintu kaca di belakangnya. Napasnya sedikit berat, bukan karena lelah, tapi karena ruang di dalamnya baru saja menyatukan kembali dua dunia yang sempat terpisah. Pertemuan dengan Luna barusan meninggalkan rasa hangat, tapi juga getir yang menempel seperti sisa hujan di jaketnya. Luna masih di meja, jemarinya menggenggam cangkir cokelat panas yang mulai kehilangan uapnya. Tatapannya mengikuti punggung Adrian yang menjauh, seolah ingin menahan, tapi lidahnya kelu. Ada kata yang tadi tak sempat diucapkan, sebuah bagian dari dirinya yang masih ragu untuk dikeluarkan di tengah suasana yang rapuh. Di luar, Adrian melangkah cepat menuju mobil. Namun di tengah langkahnya, ia berhenti. Bayangan pertemuan itu berulang di kepalanya—cara Luna tersenyum setengah hati, bagaimana matanya sedikit menghindar saat ia bicara tentang proyek barunya. Semua itu seperti potongan puzzle yang tak pas, tapi memaksa dirinya untuk meliha
Hujan turun rintik-rintik malam itu, membasahi trotoar kota yang mulai sepi. Lampu jalan memantulkan kilau keemasan di genangan air, sementara aroma tanah basah memenuhi udara. Luna berdiri di bawah kanopi kafe kecil, menggenggam payung lipat yang belum dibuka. Jantungnya berdebar tak beraturan sejak membaca pesan Adrian tadi sore.Ia belum pernah merasa seperti ini sebelumnya—antara gugup, rindu, dan takut kalau semua ini hanya akan menjadi percakapan singkat yang berakhir hambar. Tapi tatapan Adrian di panggung festival kemarin masih jelas terpatri di kepalanya. Itu bukan sekadar tatapan musisi kepada penonton. Itu tatapan seseorang yang ingin berbicara, tapi menahan kata.Suara langkah mendekat membuat Luna menoleh. Adrian muncul dari arah ujung jalan, mengenakan hoodie abu-abu dan celana jeans gelap. Rambutnya sedikit basah oleh hujan, tapi ia tetap berjalan santai, seolah hujan bukan masalah.“Luna,” panggilnya pelan begitu jarak tinggal beberapa langkah.“Adria
Malam di studio terasa berbeda. Adrian duduk sendirian di depan keyboard, lampu temaram memantulkan cahaya lembut ke permukaan piano. Jari-jarinya belum menyentuh tuts; matanya menatap kosong ke arah partitur yang masih kosong.Sejak percakapan terakhir dengan Luna, hatinya seperti terombang-ambing. Ia ingin meraih, tapi juga takut mendorong terlalu jauh.Ia menarik napas panjang, menutup mata, lalu mulai menekan tuts pertama. Nada-nada itu keluar pelan, ragu-ragu, seperti menunggu sesuatu yang bisa menghidupkan mereka. Dan kemudian, sebuah melodi mulai terbentuk—bukan melodi acak, melainkan sesuatu yang lahir dari tempat yang paling dalam di dadanya.“Untuk Luna,” gumamnya.Di layar komputer, ia mulai merekam. Setiap nada mengalir seperti ia sedang berbicara langsung padanya: lembut, tulus, tapi juga penuh kerinduan yang tak terucap. Lirik pun mulai mengalir di kepalanya, potongan kalimat yang terinspirasi dari senyuman Luna, dari tatapan matanya, dari momen-momen kecil yang mereka l
Pagi itu, udara di kampung masih dibalut aroma laut yang segar. Luna duduk di teras rumah ibunya, menyeruput teh hangat sambil menatap jalanan kecil yang perlahan ramai. Di tangannya, ia menggenggam buku sketsa yang semalam tidak sempat ia sentuh.Beasiswa itu masih berputar di kepalanya. Tawaran itu bagaikan pintu besar yang terbuka lebar, tapi di belakang pintu itu ada jalan panjang yang mungkin akan memisahkannya dari Adrian lebih lama.Saat ia larut dalam pikirannya, suara riang menyapanya. “Luuunaaa! Astaga, beneran kamu di sini?”Luna menoleh. Maya berdiri di depan pagar, mengenakan kaos putih longgar dan celana jeans robek, wajahnya cerah seperti biasa. “Maya? Kok lo bisa di sini?” tanya Luna sambil berdiri.Maya masuk tanpa menunggu undangan, duduk di kursi rotan, dan meraih segelas air yang disodorkan ibu Luna. “Gue kan libur kerja tiga hari. Terus lihat story lo kemarin, gue mikir, kenapa nggak sekalian gue jemput muka lo yang pasti lagi berantakan?”Lu