Pagi di Jakarta menyambut dengan langit berwarna abu pucat. Suara motor lalu lalang di luar kampus menciptakan irama tersendiri, berpadu dengan detak langkah mahasiswa yang mulai memenuhi koridor. Di balik studio komunitas musik, Luna tengah menyeduh teh hangat sambil memandangi papan pengumuman kecil yang terpasang di pintu studio—tertulis di sana: “Sesi Kolaborasi Mingguan - Terbuka untuk Semua”.
Sudah beberapa minggu berlalu sejak proyek kolaboratif dimulai. Semangat baru membara di antara mereka, dan Luna menikmati dinamika ini. Ia tidak lagi menempatkan dirinya sebagai pusat, melainkan sebagai jembatan. Setiap nada, setiap ide, ia bantu lahirkan dengan kesabaran dan ketulusan yang perlahan-lahan ia pelajari sejak perjalanan panjang bersama musik—dan Adrian.Adrian sendiri, belakangan ini lebih sering terlibat. Bukan hanya dalam proyek musik, tapi juga dalam diskusi kecil selepas latihan—tentang industri musik, tentang karya lama mereka, bahkan tentang film yang mereka tLangit sore Jakarta berwarna keemasan, seolah menyiram kota dengan cahaya hangat yang menenangkan. Di antara hiruk-pikuk kendaraan dan kehidupan yang terus berjalan, Adrian berdiri di depan studio musik kecil tempat ia biasa berlatih. Tangannya memegang selembar kertas—lirik lagu yang belum selesai. Namun kali ini, bukan soal notasi atau harmoni yang membuatnya ragu. Tapi perasaan di dadanya yang belum sempat ia selesaikan.Ia menatap kertas itu sejenak, lalu menaruhnya ke dalam saku. Langkah kakinya membawanya menuju halte terdekat, pikirannya melayang pada Luna. Sejak Luna pergi ke Jogja bersama Maya, banyak hal yang terdiam dalam hubungan mereka. Bukan karena hilang, tapi karena masing-masing sedang berusaha merapikan isi hati yang porak-poranda.Di sisi lain, Luna tengah duduk di bangku taman yang rindang di sekitaran Malioboro. Sore itu, angin bertiup sejuk, membelai pipinya yang mulai sedikit lebih cerah. Ia baru saja selesai dari workshop animasi yang digelar oleh kom
Hujan pertama di bulan Oktober turun dengan malu-malu. Rintiknya membasahi jendela studio tempat Adrian menghabiskan sore sendirian. Tangannya menggenggam gitar, namun jemarinya hanya diam di atas senar, seperti kehilangan nada.Sudah hampir sebulan sejak Luna pergi ke Kyoto. Dan meskipun mereka rutin bertukar pesan, panggilan video, bahkan mengirimkan surat dengan gambar-gambar kecil yang lucu, ada kekosongan yang tak bisa dijembatani oleh sinyal atau kata-kata.Adrian menarik napas panjang, lalu mencoba memainkan nada. Tapi suara yang keluar terdengar datar. Tak ada emosi. Tak ada getaran. Ia berhenti, lalu menatap jendela. Kilas balik percakapan mereka sebelum Luna naik ke pesawat masih sering muncul di kepalanya."Satu tahun dan kamu kembali, atau aku menyusul."Satu tahun. Tapi sebulan saja rasanya seperti satu musim penuh kehampaan.Pintu studio terbuka, dan Maya masuk dengan membawa dua gelas kopi. "Lo belum pulang juga?"Adrian mengangguk pelan. "Nggak bisa tidur kalau belum n
Hujan belum juga reda. Derasnya seakan menyamarkan segala suara, kecuali satu—suara di dalam dada Adrian yang makin gaduh. Tangannya memegang erat jaket yang dulu pernah ia berikan pada Luna. Kini hanya tersisa aroma samar yang perlahan memudar.Adrian termenung di kamar yang kini terasa asing. Sejak Luna pergi, suasana rumah itu seperti kehilangan nadanya. Tidak ada lagi tawa kecil Luna saat memeluk kucing liar yang mereka rawat. Tidak ada lagi bau masakan yang ia coba pelajari hanya untuk membuat Adrian senyum. Yang ada hanya diam, dan rasa kehilangan yang kian mencubit.Ia melangkah ke meja belajar Luna, yang tak sempat dirapikan sejak malam itu. Di sana, tergeletak selembar kertas, coretan tangan Luna yang penuh dengan emosi. Adrian mengambilnya hati-hati, membacanya pelan."Aku tidak pergi karena membencimu. Aku pergi karena aku butuh menemukan diriku sendiri, tanpa harus terus mengukur langkah dari jejakmu."Kalimat itu membuat napas Adrian tercekat. Ia sadar,
Langit sore mulai merona oranye, seolah menyambut perpisahan yang belum sempat diucapkan. Adrian berdiri di tepi balkon apartemennya, memandangi jalanan yang dipenuhi mobil dan manusia yang bergerak tanpa henti—berbeda dengan hatinya yang justru terdiam.Kepergian Luna meninggalkan ruang kosong yang tak bisa diisi siapa pun. Aroma lavender dari parfum yang biasa dipakainya masih samar di bantal. Di sudut ruangan, mug teh hijau kesukaannya masih diletakkan dengan rapi. Semua terasa seperti museum dari cinta yang baru saja dikubur hidup-hidup.Adrian menyandarkan kepala ke dinding, mencoba mengulang semua percakapan terakhir mereka. Kalimat Luna terus terngiang."Aku pergi bukan karena aku takut, Adrian. Aku pergi karena aku lelah terus bertahan tanpa didengar."Itu bukan sekadar perpisahan. Itu adalah penegasan. Sebuah keputusan yang lahir dari luka yang tak pernah sembuh, dari harapan yang terus terabaikan. Dan kini, yang tersisa hanyalah dirinya sendiri—dan seribu penyesalan.Di temp
Langit Jogja pagi itu tampak cerah, menyambut Luna dengan kehangatan yang berbeda dari ibukota. Angin berembus pelan membawa aroma tanah dan dedaunan yang baru tersentuh matahari. Sesuatu yang sudah lama tak ia rasakan—ketenangan.Luna menarik napas panjang di dalam mobil sewaan yang membawanya dari stasiun ke penginapan. Tas ransel kecil di pangkuannya terasa lebih berat dari seharusnya, seolah bukan hanya berisi pakaian dan buku sketsa, tapi juga beban hati yang belum selesai disusun.Begitu tiba di penginapan bergaya rumah joglo itu, Luna disambut oleh senyum ramah pemilik tempat, Mbak Intan, yang sudah dikenalkan oleh Maya. “Mbak Luna, kamarnya sudah siap ya. Di pojok, dekat taman. Kalau butuh apa-apa tinggal panggil.”Luna mengangguk sambil membalas senyum itu. “Terima kasih, Mbak.”Kamar kayu dengan jendela besar menghadap taman memberikan suasana nostalgia. Luna duduk di ranjang, membuka tirai, dan membiarkan cahaya matahari menari di wajahnya. Ia membuka buku
Langit senja di akhir pekan itu tampak seakan meniru suasana hati Luna—lembut namun dipenuhi bayang keraguan. Di ruang tamu apartemen mereka yang kini mulai dipenuhi katalog pernikahan dan undangan pratinjau gaun, suasana justru dingin. Duduk di sisi berlawanan sofa, Luna dan Adrian sama-sama memegang ponsel mereka, namun tidak benar-benar terhubung.“Jadi... Mama kamu beneran minta pernikahan dimajuin ke Desember?” tanya Luna pelan, mencoba terdengar netral meski jantungnya berdebar kencang.Adrian mengangguk tanpa menoleh. “Iya. Katanya mumpung semua keluarga besar bisa kumpul. Kalau nunggu tahun depan, kemungkinan besar banyak yang nggak bisa hadir.”Luna menggigit bibir. “Tapi kita udah rencanain awal tahun depan. Supaya persiapan juga lebih matang, dan... kerjaan kamu juga nggak terlalu padat.”Adrian mendesah, kali ini menurunkan ponselnya. “Lu, aku ngerti. Tapi kamu juga tahu, aku lagi ngejar momentum proyek ini. Labelnya udah setuju ngebuat single duet sama penyanyi Korea itu.