Share

Bab 7 Janji Yang Diuji

Penulis: San_prano
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-13 00:09:55

lPagi itu, mentari memancar cerah, tapi hati Luna masih diselimuti awan gelap. Kata-kata Rio semalam terus terngiang di telinganya, mengikis ketenangan yang baru saja ia rasakan.

Di meja makan, ibunya sudah menyiapkan sarapan, tapi Luna hanya menatap piringnya kosong. Sendok di tangannya bahkan belum bergerak sedikit pun.

“Luna, kamu kenapa, Nak? Nggak enak badan?” tanya sang ibu, nada suaranya penuh kekhawatiran.

Luna menggeleng pelan. “Nggak, Bu… cuma lagi mikir aja.”

Ibunya menghela napas, lalu duduk di hadapannya. “Kalau ada yang mengganggu pikiranmu, cerita ya. Ibu selalu di sini.”

Luna tersenyum hambar. Andai semudah itu. Ada banyak rahasia yang mengendap di keluarga ini—rahasia yang sekarang tampaknya siap meledak kapan saja. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca.

"Aku berangkat dulu, Bu," ujarnya singkat.

Ia bangkit dan melangkah cepat keluar, tak peduli pada panggilan ibunya yang memintanya untuk sarapan dulu.

Di sekolah, suasana tak banyak berubah. Tapi bagi Luna, setiap tatapan teman sekelasnya kini terasa seperti tudingan. Ia merasa seolah semua orang tahu sesuatu yang ia sendiri belum sepenuhnya pahami.

Adrian sudah menunggunya di depan kelas. Begitu melihat Luna, ia langsung menghampiri.

“Luna…”

Nada suaranya lembut tapi penuh tekanan, seolah menyimpan sesuatu yang penting.

Luna menghela napas. “Ada apa lagi?”

Adrian menatapnya dalam-dalam, lalu mengajak Luna ke taman belakang sekolah—tempat yang biasa mereka gunakan untuk bicara tanpa gangguan.

Setelah memastikan suasana sepi, Adrian akhirnya bicara.

“Semalam aku nggak bisa tidur… Aku cari tahu soal Rio.”

Luna menegang. “Dan?”

“Dia nggak asal bicara. Ada orang yang emang lagi gali soal keluargamu. Tentang ayahmu…” Adrian terhenti, ragu melanjutkan.

Luna mencengkeram lengan Adrian. “Katakan, Adrian. Aku harus tahu.”

Adrian menghela napas panjang. “Ada rumor… katanya ayahmu terlibat dalam kasus besar dulu. Korupsi… dan bahkan—”

Luna mundur selangkah, wajahnya pucat pasi. “Cukup…”

Adrian menahan bahunya. “Maaf, Luna… Tapi kamu harus siap. Rio dan orang-orang itu bisa aja sebarkan ke semua orang.”

Air mata Luna menetes tanpa bisa ditahan lagi. Ia merasa dunianya runtuh. Rahasia keluarganya yang selama ini dikubur dalam-dalam, kini siap menjadi aib di mata semua orang.

Adrian menariknya ke dalam pelukan erat. “Aku janji… aku nggak akan ninggalin kamu. Kita hadapi ini bareng-bareng.”

Luna mencengkeram baju Adrian, tubuhnya bergetar hebat. “Kenapa harus aku, Adrian… Kenapa hidupku selalu seperti ini?”

Adrian mengusap punggungnya pelan, mencoba meredakan tangis gadis itu.

“Kamu nggak sendiri. Aku di sini. Aku selalu di sini.”

Sementara itu, tanpa sepengetahuan mereka, Rio sedang duduk di kantin sambil menatap layar ponselnya dengan senyum licik.

Pesan di layar berbunyi:

"Lanjutkan. Bikin dia makin tertekan. Biar kita dapatkan yang kita mau."

Rio mengetik balasan singkat.

"Santai. Bentar lagi dia bakal pecah sendiri."

Ia menyelipkan ponselnya ke saku, lalu menyesap minumannya sambil menatap jendela. Di luar sana, Luna dan Adrian masih sibuk dengan dunia kecil mereka, belum sadar bahwa badai yang lebih besar sedang mengarah tepat ke mereka.

Malam harinya, Luna termenung di balkon kamarnya. Langit bertabur bintang seperti biasa, tapi kali ini ia merasa langit pun enggan memberinya harapan.

Ponselnya bergetar—pesan dari Adrian.

"Aku di taman kota sekarang. Datanglah, Luna. Aku mau bicara soal rencana kita ke depan."

Luna menggigit bibir, hatinya berperang antara takut dan butuh sandaran.

Akhirnya ia bangkit, mengambil jaket, dan menyelinap keluar rumah.

Di taman kota, Adrian sudah menunggunya dengan senyum hangat. Luna segera menghampiri, dan sebelum sempat berkata apa-apa, Adrian meraih tangannya.

"Aku udah putuskan, Luna. Mulai besok, kita cari tahu kebenaran tentang semua ini. Kita nggak akan biarkan masa lalu mengendalikan kita."

Luna terdiam, lalu perlahan mengangguk. Ada bara kecil yang menyala di hatinya—sebuah keberanian yang selama ini nyaris padam.

Adrian menggenggam tangan Luna lebih erat. "Ini janji kita. Apapun yang terjadi, kita hadapi bersama."

Luna menatap pria itu, lalu mengangkat wajahnya ke langit malam.

Bintang-bintang masih bersinar. Dan kali ini, ia ingin percaya—bahwa masih ada harapan di balik gelapnya malam.

Luna menurunkan pandangan dari langit malam.

“Kamu yakin kita bisa, Adrian?” Suaranya parau, masih diselimuti ragu.

Adrian menepuk dadanya pelan. “Kalau cuma sendiri, aku juga takut. Tapi kita berdua, Luna. Kita lebih kuat. Dan... aku udah lama ingin bilang ini.”

Luna menoleh, matanya membelalak kecil.

"Apa?"

Adrian menarik napas dalam. "Aku… aku suka sama kamu, Luna. Dari dulu."

Detak jantung Luna melesat. Segala kekacauan yang terjadi, seolah membeku untuk sesaat.

"A-Adrian…"

“Aku nggak peduli dengan masa lalu keluargamu atau omongan orang. Yang aku tahu, kamu Luna yang selalu aku kagumi.”

Ia menatap Luna dalam-dalam, tatapannya penuh ketulusan.

Luna memejamkan mata, air matanya mengalir lagi, tapi kali ini bukan semata-mata karena kesedihan.

“Kenapa kamu selalu ada di saat aku hampir runtuh…”

Adrian tersenyum tipis. "Karena aku janji bakal jadi langit buat bintang sepertimu."

Luna mengusap pipinya kasar, lalu tersenyum kecil. "Kamu cheesy banget…"

Adrian terkekeh. “Tapi berhasil bikin kamu senyum, kan?”

Mereka berdua terdiam sebentar, menikmati malam yang tiba-tiba terasa lebih hangat.

Namun, di sudut taman, sosok Rio berdiri diam sambil menekan tombol di ponselnya. Ia diam-diam memotret kebersamaan mereka.

Senyumnya melebar.

“Perfect… Besok pagi, seluruh sekolah bakal tahu soal ‘cinta rahasia’ Luna. Dan ini baru awal.”

Keesokan harinya, berita itu benar-benar meledak. Foto Luna dan Adrian yang berpegangan tangan tersebar cepat lewat grup chat sekolah. Caption-caption sinis bermunculan.

"Wah, pasangan baru nih. Padahal katanya Luna anak baik-baik ya?"

"Makin menarik aja nih skandal keluarga bintang kita."

Luna yang baru saja menginjakkan kaki di gerbang sekolah, langsung merasakan puluhan mata menatapnya tajam.

Tubuhnya menegang.

"Ini... beneran terjadi," gumamnya.

Adrian berlari menghampirinya, napasnya memburu.

“Luna, jangan pedulikan mereka. Aku udah cari tahu siapa yang sebarin—”

“Rio,” potong Luna, matanya berkaca-kaca tapi berkilat marah. “Aku tahu ini ulah dia.”

Adrian mengangguk. "Dan aku udah siap buat ngelawan. Aku bakal datengin Rio sekarang."

Luna mencengkeram lengan Adrian. “Jangan, Adrian… Aku yang akan hadapi dia.”

Adrian menatap Luna, ragu. Tapi akhirnya ia mengangguk. "Kalau itu keputusanmu, aku dukung."

Di jam istirahat, Luna melangkah tegas menuju kantin, tempat Rio biasa nongkrong.

Semua mata mengikuti langkahnya, bisik-bisik makin kencang. Tapi Luna tak gentar lagi. Ia sudah muak bersembunyi.

Rio mendongak saat Luna berdiri di hadapannya, napasnya bergetar menahan amarah.

"Senang ya, ngelihat orang lain jatuh?"

Rio menyeringai. "Santai, Lun. Aku cuma kasih hiburan buat sekolah ini. Lagi pula, kamu bintang utama, kan?"

Luna mengepalkan tangannya. "Kalau kamu pikir aku bakal diam aja, kamu salah besar."

Rio menyipitkan mata. “Kalau kamu mau main keras, ayo. Tapi jangan salahin aku kalau semua rahasia keluargamu bocor habis-habisan.”

Luna menahan air matanya, tapi suaranya kini tegas.

“Aku nggak takut. Kalau kamu mau buka, buka aja. Aku bakal tunjukin ke semua orang… aku bukan Luna yang dulu.”

Suasana kantin seketika hening. Semua terpaku pada konfrontasi itu.

Rio mendecak. "Heh, sok kuat kamu sekarang ya."

Luna menatap tajam. “Dan kamu? Hanya pengecut yang bersembunyi di balik foto-foto murahan.”

Rio bangkit, nyaris mendorong Luna, tapi Adrian tiba-tiba muncul, menahan dada Rio.

"Cukup! Sentuh Luna sekali aja, aku yang bakal berurusan sama kamu."

Akhirnya, guru memisahkan mereka sebelum situasi makin panas. Tapi bagi Luna, ini baru awal.

Langkah kecilnya untuk bangkit sudah dimulai.

Dan dalam hatinya, ia berjanji—akan terus melangkah maju, apapun rintangannya.

Malam itu, ia kembali menatap langit.

Bintang-bintang masih ada. Dan kini, ia percaya, dirinya pun bisa bersinar lagi.

Setelah kejadian di kantin, Luna duduk sendiri di atap gedung sekolah, tempat favoritnya untuk menenangkan diri. Angin sore menerpa rambutnya, dan matanya masih menatap kosong ke arah langit yang mulai menguning.

Langkah kaki pelan terdengar mendekat. Adrian muncul sambil membawa dua botol minuman dingin.

"Aku tahu kamu pasti di sini," ucap Adrian sambil duduk di sebelahnya, menyodorkan satu botol.

Luna menerimanya tanpa berkata apa-apa.

“Aku… lelah, Adrian. Capek terus-terusan jadi bahan gosip.”

Adrian menatapnya penuh empati. "Tapi tadi… kamu hebat, Luna. Kamu hadapi Rio, kamu nggak lari kayak dulu."

Luna menarik napas panjang. “Mungkin... ini memang waktunya aku berhenti sembunyi.”

Adrian tersenyum tipis. "Kalau kamu mau, kita bisa bikin video klarifikasi. Cerita versi kamu sendiri. Biar semua orang tahu kebenaran dari mulutmu, bukan dari gosip murahan."

Luna menoleh, sedikit terkejut dengan ide itu. "Kamu serius?"

"Serius. Aku bantu rekam, edit, dan upload. Kita lawan mereka pakai cara kita sendiri."

Luna memikirkan usulan itu. Jantungnya berdegup lebih cepat, antara takut dan semangat.

“Kalau itu bisa membuat semuanya berhenti, aku mau.”

Malam itu, di kamar Luna, mereka berdua sibuk menyiapkan video.

Adrian memasang kamera ponselnya di tripod kecil, sementara Luna duduk di meja belajar, mencoba menyusun kata-kata.

Tangannya gemetar.

"Aku takut… gimana kalau malah makin parah?"

Adrian mendekat, menepuk bahunya. "Ingat, ini langkah pertama melawan. Kamu nggak sendiri. Aku di sini."

Luna menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk. “Oke… ayo kita mulai.”

Adrian menekan tombol rekam.

Luna menatap kamera, suaranya masih sedikit bergetar di awal.

“Halo semuanya… aku Luna. Aku mau cerita versi aku sendiri, supaya kalian tahu apa yang sebenarnya terjadi…”

Kalimat demi kalimat mengalir. Ia bicara soal foto yang tersebar, soal keluarganya, tentang betapa berat hidupnya selama ini.

Tanpa sadar, air mata menetes lagi, tapi kali ini… bukan karena lemah. Tapi karena akhirnya ia berani bicara.

Adrian menatap Luna dari balik kamera, matanya ikut berkaca-kaca. Ia tahu, ini adalah Luna yang baru. Luna yang sedang bangkit.

Keesokan harinya, video itu diunggah ke media sosial.

Dan dalam hitungan jam…

ribuan views, komentar, dan dukungan mulai mengalir.

"Kamu keren, Luna! Jangan peduliin omongan orang."

"Semangat ya, Luna! Aku juga pernah ngalamin hal yang sama."

"Respect! Akhirnya ada yang berani speak up."

Untuk pertama kalinya, Luna membaca komentar-komentar itu sambil tersenyum lebar.

Beban di pundaknya terasa sedikit terangkat.

Adrian duduk di sebelahnya, ikut membaca.

"Ini baru permulaan, Luna. Tapi lihat… kamu udah bikin banyak orang berdiri di belakangmu sekarang."

Luna memandang Adrian, matanya bersinar.

“Terima kasih… karena kamu, aku berani.”

Adrian mengangkat bahu sambil tersenyum. “Kan udah aku bilang… aku bakal jadi langit buat bintang sepertimu.”

Mereka berdua terkekeh.

Dan saat itu juga, Luna tahu—perjalanannya baru dimulai, tapi kali ini, ia nggak takut lagi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 7 Janji Yang Diuji

    lPagi itu, mentari memancar cerah, tapi hati Luna masih diselimuti awan gelap. Kata-kata Rio semalam terus terngiang di telinganya, mengikis ketenangan yang baru saja ia rasakan.Di meja makan, ibunya sudah menyiapkan sarapan, tapi Luna hanya menatap piringnya kosong. Sendok di tangannya bahkan belum bergerak sedikit pun.“Luna, kamu kenapa, Nak? Nggak enak badan?” tanya sang ibu, nada suaranya penuh kekhawatiran.Luna menggeleng pelan. “Nggak, Bu… cuma lagi mikir aja.”Ibunya menghela napas, lalu duduk di hadapannya. “Kalau ada yang mengganggu pikiranmu, cerita ya. Ibu selalu di sini.”Luna tersenyum hambar. Andai semudah itu. Ada banyak rahasia yang mengendap di keluarga ini—rahasia yang sekarang tampaknya siap meledak kapan saja. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. "Aku berangkat dulu, Bu," ujarnya singkat.Ia bangkit dan melangkah cepat keluar, tak peduli pada panggilan ibunya yang memintanya untuk sarapan dulu.Di sekolah, suasana tak banyak berubah.

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 6 Riak Yang Tak Terduga

    Malam itu, bintang-bintang bersinar lebih terang dari biasanya, seolah ikut menyaksikan kegelisahan yang menyelimuti hati Luna. Setelah kejadian di taman bersama Adrian, pikirannya tak pernah tenang. Ia berjalan sendirian di sepanjang jalan kecil yang membelah kota, mencoba menenangkan diri, namun bayangan wajah Adrian selalu muncul di benaknya.Di sisi lain, Adrian pun tak kalah gelisah. Di kamar apartemennya yang sempit, ia mondar-mandir tanpa arah. "Kenapa aku begitu peduli?" gumamnya pelan, sambil menatap langit malam dari jendela kecil. Udara malam terasa dingin, tapi dada Adrian justru terasa panas, penuh pertanyaan yang belum menemukan jawabannya.Keesokan paginya, mereka bertemu lagi—tak sengaja, di kafe kecil dekat kampus. Tatapan mereka bertemu, canggung, tapi dalam. Tak satu pun yang bicara lebih dulu, hingga akhirnya Luna memecah keheningan dengan suara pelan, "Kamu di sini juga?"Adrian hanya mengangguk. Hatinya berdebar, tapi ia berusaha tampak tenang. "Iya, cuma... nump

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 5 Seratus Surat, Satu Janji

    Pagi itu, matahari baru saja menyapa kota ketika Luna menerima surat ke-16 di depan pintu apartemennya. Kini, ritual membaca surat dari Adrian sudah menjadi bagian dari harinya, meskipun ia masih menjaga jarak.Ia membuka amplop itu pelan-pelan, jemarinya sedikit gemetar."Aku tahu aku bukan lagi orang yang pantas di sampingmu, Luna. Tapi aku berharap, suatu hari nanti… kamu bisa melihatku dengan tatapan yang sama seperti dulu."Luna menarik napas dalam, matanya terasa hangat. Entah sejak kapan, surat-surat itu seperti merajut kembali benang-benang halus di hatinya yang dulu putus begitu saja.Sambil menyesap kopi panasnya, pikirannya melayang ke tiga tahun lalu, saat ia dan Adrian masih bermimpi bersama tentang masa depan. Tapi semua itu buyar karena satu keputusan Adrian yang meninggalkannya tanpa penjelasan. Luka itu membekas, dan kini, perlahan-lahan, Adrian mencoba menjahitnya kembali.Hari itu, Luna memutuskan untuk berjalan-jalan ke toko buku favoritnya, tempat yang dulu sering

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 4 Luka Lama Harapan Baru

    Malam itu, Luna menatap langit dari balik jendela kamar kecilnya. Hujan memang sudah reda, tapi bekasnya masih tertinggal di kaca yang berembun. Jemarinya menelusuri tetesan itu, menggambar pola tak beraturan, seperti pikirannya saat ini. Percakapannya dengan Adrian tadi terus terngiang di kepala. Kata-kata janji yang dulu pernah ia percaya, kini kembali diucapkan. Luna ingin percaya lagi, tapi luka-luka masa lalu masih menahan langkah hatinya. "Apa benar dia berubah? Apa benar kali ini dia nggak akan lari lagi?" batinnya, sambil menutup mata pelan. Di tempat lain, Adrian menatap layar ponselnya. Pesan terakhirnya untuk Luna masih belum dibalas. Ia tahu, tak semudah itu menghapus rasa sakit yang pernah ia ciptakan. Tapi ia bersungguh-sungguh kali ini. Tangannya mengepal erat. "Aku harus menebus semuanya. Aku harus berjuang," gumamnya. Keesokan harinya, kota masih basah oleh sisa hujan semalam. Luna berangkat kerja seperti biasa, tapi ada rasa aneh yang mengganjal di dadanya. Di

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 3 Melodi Rindu di Bawah Rintik Hujan

    Langit malam yang biasanya bersih, malam itu tampak muram. Awan gelap menggantung berat, seolah menahan air mata yang siap tumpah. Suasana itu seakan mewakili hati Luna yang tak menentu. Ia duduk di balkon kamarnya, menatap kosong ke arah jalanan yang perlahan basah oleh gerimis.Di tangannya, tergenggam sebuah kertas musik yang berisi notasi lagu yang ia ciptakan bersama Adrian. Lagu itu adalah saksi bisu setiap tawa dan harapan yang pernah mereka ukir bersama. Tapi malam itu, setiap not yang biasanya terdengar manis kini terasa getir di telinganya."Luna..." suara Mama memanggil dari balik pintu. "Jangan terlalu malam begadang, Nak. Besok kau harus berangkat pagi."Luna hanya mengangguk tanpa menoleh. Ia tahu Mama khawatir, tapi hatinya terlalu berat untuk sekadar berdiri dari kursi itu. Ia meremas kertas musik itu, berharap rasa sesak di dadanya ikut luruh bersama rintik hujan yang kini turun semakin deras.Sementara itu, di sisi lain kota, Adrian pun terjebak dalam pikirannya send

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 2 Bayang-Bayang Di Bawah Senja

    Pagi itu, Luna terbangun dengan perasaan yang aneh. Di satu sisi, tubuhnya terasa letih karena malam sebelumnya ia pulang larut. Tapi di sisi lain... hatinya ringan. Entah sejak kapan ia merasa seperti ini. Biasanya, pagi selalu menyiksa — seolah hari baru hanya berarti luka baru. Tapi kali ini, berbeda. Ia duduk di tepi ranjang, menatap langit-langit kamarnya yang pucat. Di luar, matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai. Hangat, tapi tidak menyilaukan. Seperti hati Luna yang perlahan mulai mencair. Ponselnya bergetar di meja. Sebuah pesan masuk dari sahabatnya, Rara. "Lun, hari ini ikut ekskul gak? Udah seminggu kamu ngilang." Luna menghela napas. Biasanya, ia akan mengabaikan pesan seperti itu. Tapi kali ini, jemarinya bergerak sendiri. "Mungkin. Lihat nanti." Ia sendiri terkejut dengan jawabannya. Sejak kapan ia jadi orang yang ‘mungkin’ mau berbaur lagi? Setelah mandi dan berganti pakaian, Luna turun ke ruang makan. Ayahnya sudah duduk di meja, menyesap kop

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 1 : Malam Di Bawah Bintang

    Langit malam itu bersih tanpa awan, hanya dihiasi bintang-bintang yang berkelap-kelip, seolah sedang menertawakan dunia yang sedang kalut di bawahnya. Luna memeluk lututnya erat, duduk di atas rerumputan yang dingin. Udara malam menggigit kulitnya, tapi hatinya jauh lebih dingin dari itu.Di bukit kecil ini, ia selalu datang saat hidup mulai terasa sesak. Tempat ini, jauh dari hiruk pikuk kota, adalah satu-satunya ruang di mana ia bisa bernapas lega. Namun malam ini, bahkan langit yang biasanya menenangkannya, terasa lebih jauh dan asing.Sampai suara langkah kaki terdengar."Indah ya, malam ini?"Suara itu dalam, tenang, namun cukup mengejutkannya. Luna menoleh cepat. Seorang pemuda berdiri beberapa meter darinya. Tubuhnya diselimuti hoodie gelap, wajahnya hanya sedikit tersinari cahaya bulan.Ia sempat ragu. Tapi anehnya, tatapan mata pemuda itu tidak mengancam. Ada kelelahan di matanya, tapi juga kehangatan yang samar."Iya," jawab Luna akhirnya, pelan.Pemuda itu duduk, menjaga ja

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status