Home / Romansa / Serenade Cinta Dibawah Bintang / Bab 6 Riak Yang Tak Terduga

Share

Bab 6 Riak Yang Tak Terduga

Author: San_prano
last update Last Updated: 2025-05-09 23:42:20

Malam itu, bintang-bintang bersinar lebih terang dari biasanya, seolah ikut menyaksikan kegelisahan yang menyelimuti hati Luna. Setelah kejadian di taman bersama Adrian, pikirannya tak pernah tenang. Ia berjalan sendirian di sepanjang jalan kecil yang membelah kota, mencoba menenangkan diri, namun bayangan wajah Adrian selalu muncul di benaknya.

Di sisi lain, Adrian pun tak kalah gelisah. Di kamar apartemennya yang sempit, ia mondar-mandir tanpa arah. "Kenapa aku begitu peduli?" gumamnya pelan, sambil menatap langit malam dari jendela kecil. Udara malam terasa dingin, tetapi dada Adrian justru terasa panas, penuh pertanyaan yang belum menemukan jawabannya.

Keesokan paginya, takdir mempertemukan mereka lagi—secara tak sengaja—di kafe kecil dekat kampus. Tatapan mereka bertemu, canggung, namun dalam. Tak satu pun yang bicara lebih dulu, hingga akhirnya Luna memecah keheningan dengan suara pelan, "Kamu di sini juga?"

Adrian hanya mengangguk. Hatinya berdebar, tetapi ia berusaha tampak tenang. "Iya, cuma... numpang ngopi," jawabnya singkat. Luna tersenyum tipis, meski hatinya masih dipenuhi riak yang tak menentu.

Percakapan ringan itu perlahan berkembang, mencairkan suasana. Mereka membahas hal-hal kecil—tentang tugas kuliah, dosen yang galak, dan rencana liburan yang entah kapan bisa terwujud. Tanpa sadar, jarak yang semula terasa jauh kini mulai menyempit.

Luna menatap cangkir kopinya yang mulai dingin, lalu berkata pelan, "Adrian, tentang malam itu... aku cuma ingin bilang terima kasih. Kamu sudah... bikin aku merasa nggak sendirian."

Adrian tertegun. Kata-kata itu menampar hatinya. Ia menunduk, merasakan desiran hangat yang aneh di dadanya. "Aku juga... Aku nggak nyangka, tapi entah kenapa, aku... pengin terus ada di sekitar kamu," ujarnya, suaranya nyaris berbisik.

Mata Luna membulat, tak percaya dengan pengakuan itu. Hatinya melonjak, tetapi ia berusaha tetap tenang. "Maksud kamu...?"

Adrian menghela napas panjang. "Aku juga nggak ngerti. Tapi semenjak malam itu, aku mikir terus soal kamu. Aneh ya?"

Luna menggeleng pelan, senyum manisnya merekah. "Nggak aneh kok. Aku juga ngerasain hal yang sama."

Dan saat itu, seolah semesta ikut tersenyum.

Langkah kaki Luna terhenti tepat di tengah taman yang sudah mulai sepi. Lampu-lampu taman mulai redup, hanya menyisakan sinar remang yang membuat suasana terasa syahdu. Ia mendongak ke langit yang pekat, di mana bintang-bintang bertaburan seperti saksi bisu dari segala yang terjadi malam ini.

Adrian, yang sedari tadi berjalan di belakangnya, akhirnya menyusul dan berdiri di sampingnya. Hening beberapa detik, sebelum ia membuka suara pelan, “Kau selalu suka memandang bintang, ya?”

Luna mengangguk, senyum tipis menghiasi bibirnya. “Bintang itu… seperti teman lama yang nggak pernah pergi. Mereka selalu ada, walau kadang nggak terlihat.”

Adrian menatap wajah gadis itu di bawah sorot bintang, merasa ada sesuatu yang begitu hangat namun menyakitkan di dadanya. “Apa kau percaya, kalau bintang juga bisa menyimpan rahasia manusia?”

Luna menghela napas pelan. “Kalau iya, berarti bintang-bintang itu tahu betul semua luka yang aku simpan…”

Kata-katanya menggantung di udara. Malam itu, angin berembus pelan, membawa aroma rumput basah dan wangi bunga yang samar. Adrian menelan ludah, hatinya berdegup tak karuan. Ia ingin menghapus luka itu, ingin menggantinya dengan kenangan baru yang lebih indah.

“Luna…” Adrian memanggil, suaranya sedikit serak. “Kalau aku bilang… aku ingin jadi orang yang selalu ada buat kamu, kayak bintang-bintang itu. Kamu percaya nggak?”

Luna menoleh cepat, matanya membulat karena terkejut. Hatinya berdebar, panas menjalari pipinya yang memerah. “Adrian… kamu… serius?”

Adrian mengangguk mantap, tanpa ragu. “Aku nggak bisa janji jadi yang sempurna, tapi aku janji… aku nggak bakal ninggalin kamu, apapun yang terjadi.”

Suasana mendadak senyap. Hanya suara jangkrik dan desir angin yang menemani. Luna menggigit bibirnya, bingung antara ingin menangis atau tersenyum.

Dia mengangkat tangan pelan, menunjuk ke satu bintang yang paling terang di langit malam itu. “Kalau bintang itu jadi saksi… aku percaya.”

Adrian tersenyum lebar, dadanya seolah meledak oleh rasa yang selama ini ia pendam. Ia menggenggam tangan Luna yang dingin, namun justru membuat hatinya terasa hangat.

Malam itu, tanpa mereka sadari, langkah-langkah kecil itu telah mengubah segalanya. Hubungan mereka tak lagi sekadar teman masa kecil yang dipertemukan takdir. Ada janji, ada harapan, dan ada cinta yang perlahan tumbuh di antara keduanya.

Luna menunduk, matanya berkaca-kaca. “Aku… aku takut, Adrian. Takut kalau kebahagiaan ini cuma sebentar.”

Adrian mengeratkan genggaman tangannya. “Kalau kamu takut, kita hadapi bareng. Kamu nggak sendirian, Luna. Aku ada.”

Kata-kata itu menghantam dinding pertahanan yang selama ini Luna bangun. Ia menangis, tapi kali ini air matanya terasa berbeda. Bukan karena luka, tapi karena lega. Karena untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar dilindungi.

Angin malam berembus lebih kencang, tapi hati mereka justru semakin hangat. Malam itu, di bawah langit penuh bintang, dua hati mengikat janji yang tak terucap tapi begitu kuat mengikat.

Dan tanpa mereka sadari, di kejauhan, seseorang sedang menyaksikan mereka dari balik pohon rindang. Tatapan orang itu tajam, penuh rasa iri dan kemarahan yang membara. Sesuatu yang besar tampaknya tengah menanti di depan, dan kebahagiaan yang baru saja tumbuh itu akan diuji lebih dari yang mereka bayangkan.

Luna menghapus air matanya dengan punggung tangan, berusaha menata napasnya yang masih tersengal. Tapi hatinya, entah kenapa, justru terasa lebih ringan. Seolah beban yang selama ini ia pikul perlahan terangkat.

Adrian menatap gadis itu dengan mata yang melembut. “Kalau kamu mau, mulai sekarang… kita bisa tulis cerita baru. Tanpa bayang-bayang masa lalu.”

Luna menatap pria itu lama, sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Kamu tahu nggak, Adrian? Dulu aku selalu berharap ada seseorang yang bilang kayak gitu.”

Adrian mengangkat alis. “Dan sekarang aku orangnya, kan?”

Nada suaranya dibuat santai, tapi hatinya berdegup lebih cepat.

Luna mengangguk pelan, malu-malu. “Iya… kamu.”

Seketika pipi Adrian memanas. Ia menunduk, menyembunyikan senyum bodohnya. Tapi sebelum ia sempat berkata lagi, suara langkah kaki terdengar dari arah semak-semak.

Keduanya spontan menoleh.

Seseorang muncul dari kegelapan, langkahnya pelan tapi terasa mengancam. Sosok itu—Rio, teman sekelas mereka yang terkenal suka mencari masalah. Tatapannya menusuk, menatap Luna dan Adrian dengan tatapan dingin.

“Hei… nggak nyangka ya, kalian berdua ternyata ada main,” kata Rio sambil menyeringai sinis.

Adrian berdiri lebih tegap, tubuhnya refleks sedikit bergerak melindungi Luna. “Apa urusanmu, Rio?”

Rio mendengus. “Nggak ada. Cuma… lucu aja ngeliat kalian pura-pura manis gini, padahal ada yang bakal pecah sebentar lagi.”

Luna menelan ludah, perasaannya langsung tak enak. “Apa maksudmu?”

Rio mendekat, menatap Luna dengan senyum mengejek. “Kamu pikir rahasia keluargamu bakal selamanya aman? Ada yang lagi gali-gali, tahu.”

Deg.

Darah Luna serasa membeku. Adrian memandang Rio dengan tajam. “Kalau kamu nyari masalah, jangan bawa-bawa Luna.”

Rio tertawa kecil, lalu mundur beberapa langkah. “Santai, bro. Aku cuma kasih warning. Hati-hati aja… bintang kadang nggak selalu bawa harapan, bisa juga bawa petaka.”

Dengan itu, Rio berbalik dan menghilang lagi ke dalam kegelapan malam.

Luna memeluk dirinya sendiri, tubuhnya gemetar. Adrian segera menggenggam kedua bahu gadis itu. “Jangan dengarkan dia, Luna. Aku di sini.”

Tapi di lubuk hatinya yang paling dalam, Adrian tahu… kata-kata Rio bukan sekadar ancaman kosong. Ada sesuatu yang memang mengintai.

Dan itu bisa menghancurkan kebahagiaan mereka yang baru tumbuh.

Luna menggeleng-geleng, mencoba menepis kekhawatiran yang mulai menggerogoti. “Aku nggak mau kehilangan semua ini, Adrian…”

Adrian menempelkan dahinya ke dahi Luna, berusaha menenangkan. “Kamu nggak akan kehilangan aku. Kita lewati bareng, ingat?”

Di atas sana, bintang-bintang tetap bersinar. Tapi malam itu, mereka tak lagi sekadar saksi bisu. Mereka menjadi tanda bahwa badai besar sedang menanti.

Dan janji yang diucapkan di bawah langit malam… akan segera diuji kebenarannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
titi12017suharnita
semangat buat Luna ayooo,jgn putus asa
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 112 Langkah Baru Dari Sebuah Surat-End

    Malam itu, kota Jakarta tidak pernah terlihat begitu ramai. Lampu gedung-gedung tinggi berkilau seperti gugusan bintang yang jatuh ke bumi. Adrian berdiri di balkon apartemennya, menatap langit malam yang sebenarnya jarang bisa menampakkan bintang dengan jelas. Namun malam ini berbeda. Ada satu bintang yang terlihat begitu terang di antara langit yang kelabu. Ia menggenggam liontin kecil berbentuk bintang yang tergantung di lehernya. Liontin itu terasa hangat, seakan menyimpan semua janji dan doa yang ia ucapkan setiap kali menatap ke langit. Ponselnya bergetar pelan. Ada notifikasi email baru. Dari: Luna. Adrian langsung membukanya dengan tangan bergetar. Hatinya berdegup kencang, seperti pertama kali ia berdiri di atas panggung. Dari: Luna Jepang, 23:47 “Adrian, Malam ini aku tampil lagi. Bukan panggung sebesar waktu pertama kali di Jepang, tapi justru aku merasa lebih dekat dengan diriku sendiri. Ruangan kecil, penonton hanya ratusan orang, tapi entah kenapa aku merasa

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 111 Panggung Yang Menumbuhkan

    Cahaya lampu sorot berpendar ke segala arah, memantulkan kilau keemasan di atas panggung megah itu. Di sebuah gedung pertunjukan internasional yang terletak di jantung kota Paris, ribuan pasang mata menanti penampilan seorang gadis yang baru saja naik ke permukaan dunia seni: Luna.Nama itu, yang dulu hanya bergema di ruang-ruang kecil dan festival lokal, kini tercantum besar di layar LED berkilauan: “Luna – Rising Voice of Asia”.Di balik panggung, Luna berdiri di depan cermin rias. Rambutnya ditata sederhana, gaun putih elegan membalut tubuhnya dengan anggun. Tapi yang paling mencolok adalah mata itu—mata yang dulu sering dipenuhi keraguan, kini memantulkan keyakinan.Seorang kru mendekat, memberi tanda lima menit sebelum penampilan dimulai. Luna mengangguk pelan, lalu menatap bayangannya sekali lagi. Hatinya berdegup kencang, bukan karena takut, tapi karena sadar bahwa malam ini adalah langkah besar menuju mimpinya.Ia mengingat semua perjalanan panjang: air mata, tawa, kehilangan,

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 109 Bintang Yang Menunjukan Pulang

    Bandara pagi itu ramai, tapi bagi Luna, semua suara terdengar sayup. Deru langkah, pengumuman maskapai, suara koper berderit—semuanya mengalir seperti gema jauh. Yang nyata hanya satu: beratnya langkah yang harus ia tempuh.Di tangannya, tiket keberangkatan terasa seperti kertas terberat di dunia. Jantungnya berdegup cepat, tidak karena takut akan perjalanan panjang yang menunggu, tapi karena seseorang yang berdiri di sampingnya. Adrian.Pemuda itu mengenakan jaket hitam sederhana, rambutnya sedikit berantakan, namun sorot matanya tegas, menahan badai dalam dirinya sendiri. Ia berusaha tersenyum, tapi garis bibirnya tak pernah bisa menutupi kenyataan: ia juga tidak siap melepaskan.Luna menoleh sejenak, matanya memandangi wajah yang telah menemaninya melewati begitu banyak luka dan harapan. “Aku masih nggak percaya ini beneran terjadi,” katanya lirih.Adrian menarik napas panjang. “Aku juga. Rasanya baru kemarin kita ketemu di taman itu. Sekarang… kamu mau terbang ribuan kilometer jau

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 108 Saat Cinta Menemukan Rumahnya

    Malam menjelang keberangkatan itu terasa berbeda. Udara kota seperti membawa keheningan yang tidak biasa, seolah ikut memahami beratnya hati yang menunggu perpisahan.Luna duduk di tepi ranjang, koper kecil sudah tertutup rapi di sudut kamar. Tangannya menyentuh kotak kayu yang menyimpan surat Adrian dari malam sebelumnya. Kata-kata “Aku tunggu kamu di ujung altar” masih terngiang, memberi kekuatan sekaligus rasa haru yang sulit dijelaskan.Ketukan lembut di pintu terdengar. “Luna?” suara Adrian, pelan.“Masuklah,” jawabnya.Adrian melangkah masuk, mengenakan jaket hitam sederhana. Wajahnya lelah, tapi matanya tetap menyala ketika melihat Luna. “Kamu sudah siap?” tanyanya.Luna mengangguk singkat, lalu menunduk. “Siap… tapi nggak benar-benar siap.”Adrian tersenyum tipis, mendekat lalu meraih tangannya. “Kalau begitu, ikut aku sebentar. Ada tempat yang harus kita datangi malam ini.”Tanpa banyak tanya, Luna mengikuti Adrian keluar rumah. Udara malam dingin menyapa, tapi genggaman tang

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 107 Janji Diujung Altar

    Malam itu, meja kerja Adrian dipenuhi kertas kosong yang belum terisi. Pena di tangannya bergetar, bukan karena lelah, melainkan karena beratnya kata-kata yang ingin ia tuliskan. Sejak dulu, ia lebih mudah mengungkapkan perasaannya lewat musik. Namun kali ini, ia tahu, hanya tulisan yang bisa menyampaikan isi hatinya.Surat ini bukan sekadar coretan tinta. Ia ingin menjadikannya saksi janji—bukan pamit, bukan akhir, melainkan awal dari sesuatu yang baru.Adrian menatap jendela kamarnya. Hujan turun tipis, mengetuk kaca seolah ikut menemaninya dalam keheningan. Bayangan Luna terlintas jelas di kepalanya: senyum lembut, mata yang berbinar, dan cara sederhana Luna mencintainya tanpa syarat.Ia menarik napas panjang, lalu mulai menulis."Luna...Jika surat ini sampai ke tanganmu, mungkin aku sedang berada di suatu tempat yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Tapi percayalah, setiap detik aku memikirkanmu. Surat ini bukan perpisahan. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu dengan kata-ka

  • Serenade Cinta Dibawah Bintang   Bab 106 Video Dokumenter Dari Maya

    Malam itu, ruang keluarga terasa lebih hening dari biasanya. Lampu gantung berwarna kuning hangat menyinari meja kayu di tengah ruangan, sementara di luar jendela, hujan tipis menetes dengan ritme yang konstan. Adrian duduk bersandar di sofa, jemarinya mengetuk ringan pada permukaan sandaran tangan. Ia menunggu Maya yang sejak tadi sibuk menyiapkan sesuatu di laptop.“Udah siap?” tanya Adrian, suaranya terdengar setengah gugup.Maya tersenyum kecil, lalu menoleh ke arah Luna yang duduk di sebelah Adrian. “Siap, tapi… aku harap kalian nggak kaget setelah nonton ini.”Luna saling bertukar pandang dengan Adrian. Ada ketegangan samar yang tidak bisa diabaikan. Seolah mereka akan menyaksikan sesuatu yang bisa mengubah arah langkah mereka selanjutnya.Maya lalu menghubungkan laptopnya ke layar TV. Dalam hitungan detik, layar menampilkan judul sederhana: “Serenade di Bawah Bintang – Behind the Story”.Video dimulai dengan pemandangan kota kecil tempat semua cerita mereka berawal. Jalanan sem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status