Malam itu, bintang-bintang bersinar lebih terang dari biasanya, seolah ikut menyaksikan kegelisahan yang menyelimuti hati Luna. Setelah kejadian di taman bersama Adrian, pikirannya tak pernah tenang. Ia berjalan sendirian di sepanjang jalan kecil yang membelah kota, mencoba menenangkan diri, namun bayangan wajah Adrian selalu muncul di benaknya.
Di sisi lain, Adrian pun tak kalah gelisah. Di kamar apartemennya yang sempit, ia mondar-mandir tanpa arah. "Kenapa aku begitu peduli?" gumamnya pelan, sambil menatap langit malam dari jendela kecil. Udara malam terasa dingin, tetapi dada Adrian justru terasa panas, penuh pertanyaan yang belum menemukan jawabannya. Keesokan paginya, takdir mempertemukan mereka lagi—secara tak sengaja—di kafe kecil dekat kampus. Tatapan mereka bertemu, canggung, namun dalam. Tak satu pun yang bicara lebih dulu, hingga akhirnya Luna memecah keheningan dengan suara pelan, "Kamu di sini juga?" Adrian hanya mengangguk. Hatinya berdebar, tetapi ia berusaha tampak tenang. "Iya, cuma... numpang ngopi," jawabnya singkat. Luna tersenyum tipis, meski hatinya masih dipenuhi riak yang tak menentu. Percakapan ringan itu perlahan berkembang, mencairkan suasana. Mereka membahas hal-hal kecil—tentang tugas kuliah, dosen yang galak, dan rencana liburan yang entah kapan bisa terwujud. Tanpa sadar, jarak yang semula terasa jauh kini mulai menyempit. Luna menatap cangkir kopinya yang mulai dingin, lalu berkata pelan, "Adrian, tentang malam itu... aku cuma ingin bilang terima kasih. Kamu sudah... bikin aku merasa nggak sendirian." Adrian tertegun. Kata-kata itu menampar hatinya. Ia menunduk, merasakan desiran hangat yang aneh di dadanya. "Aku juga... Aku nggak nyangka, tapi entah kenapa, aku... pengin terus ada di sekitar kamu," ujarnya, suaranya nyaris berbisik. Mata Luna membulat, tak percaya dengan pengakuan itu. Hatinya melonjak, tetapi ia berusaha tetap tenang. "Maksud kamu...?" Adrian menghela napas panjang. "Aku juga nggak ngerti. Tapi semenjak malam itu, aku mikir terus soal kamu. Aneh ya?" Luna menggeleng pelan, senyum manisnya merekah. "Nggak aneh kok. Aku juga ngerasain hal yang sama." Dan saat itu, seolah semesta ikut tersenyum. Langkah kaki Luna terhenti tepat di tengah taman yang sudah mulai sepi. Lampu-lampu taman mulai redup, hanya menyisakan sinar remang yang membuat suasana terasa syahdu. Ia mendongak ke langit yang pekat, di mana bintang-bintang bertaburan seperti saksi bisu dari segala yang terjadi malam ini. Adrian, yang sedari tadi berjalan di belakangnya, akhirnya menyusul dan berdiri di sampingnya. Hening beberapa detik, sebelum ia membuka suara pelan, “Kau selalu suka memandang bintang, ya?” Luna mengangguk, senyum tipis menghiasi bibirnya. “Bintang itu… seperti teman lama yang nggak pernah pergi. Mereka selalu ada, walau kadang nggak terlihat.” Adrian menatap wajah gadis itu di bawah sorot bintang, merasa ada sesuatu yang begitu hangat namun menyakitkan di dadanya. “Apa kau percaya, kalau bintang juga bisa menyimpan rahasia manusia?” Luna menghela napas pelan. “Kalau iya, berarti bintang-bintang itu tahu betul semua luka yang aku simpan…” Kata-katanya menggantung di udara. Malam itu, angin berembus pelan, membawa aroma rumput basah dan wangi bunga yang samar. Adrian menelan ludah, hatinya berdegup tak karuan. Ia ingin menghapus luka itu, ingin menggantinya dengan kenangan baru yang lebih indah. “Luna…” Adrian memanggil, suaranya sedikit serak. “Kalau aku bilang… aku ingin jadi orang yang selalu ada buat kamu, kayak bintang-bintang itu. Kamu percaya nggak?” Luna menoleh cepat, matanya membulat karena terkejut. Hatinya berdebar, panas menjalari pipinya yang memerah. “Adrian… kamu… serius?” Adrian mengangguk mantap, tanpa ragu. “Aku nggak bisa janji jadi yang sempurna, tapi aku janji… aku nggak bakal ninggalin kamu, apapun yang terjadi.” Suasana mendadak senyap. Hanya suara jangkrik dan desir angin yang menemani. Luna menggigit bibirnya, bingung antara ingin menangis atau tersenyum. Dia mengangkat tangan pelan, menunjuk ke satu bintang yang paling terang di langit malam itu. “Kalau bintang itu jadi saksi… aku percaya.” Adrian tersenyum lebar, dadanya seolah meledak oleh rasa yang selama ini ia pendam. Ia menggenggam tangan Luna yang dingin, namun justru membuat hatinya terasa hangat. Malam itu, tanpa mereka sadari, langkah-langkah kecil itu telah mengubah segalanya. Hubungan mereka tak lagi sekadar teman masa kecil yang dipertemukan takdir. Ada janji, ada harapan, dan ada cinta yang perlahan tumbuh di antara keduanya. Luna menunduk, matanya berkaca-kaca. “Aku… aku takut, Adrian. Takut kalau kebahagiaan ini cuma sebentar.” Adrian mengeratkan genggaman tangannya. “Kalau kamu takut, kita hadapi bareng. Kamu nggak sendirian, Luna. Aku ada.” Kata-kata itu menghantam dinding pertahanan yang selama ini Luna bangun. Ia menangis, tapi kali ini air matanya terasa berbeda. Bukan karena luka, tapi karena lega. Karena untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar dilindungi. Angin malam berembus lebih kencang, tapi hati mereka justru semakin hangat. Malam itu, di bawah langit penuh bintang, dua hati mengikat janji yang tak terucap tapi begitu kuat mengikat. Dan tanpa mereka sadari, di kejauhan, seseorang sedang menyaksikan mereka dari balik pohon rindang. Tatapan orang itu tajam, penuh rasa iri dan kemarahan yang membara. Sesuatu yang besar tampaknya tengah menanti di depan, dan kebahagiaan yang baru saja tumbuh itu akan diuji lebih dari yang mereka bayangkan. Luna menghapus air matanya dengan punggung tangan, berusaha menata napasnya yang masih tersengal. Tapi hatinya, entah kenapa, justru terasa lebih ringan. Seolah beban yang selama ini ia pikul perlahan terangkat. Adrian menatap gadis itu dengan mata yang melembut. “Kalau kamu mau, mulai sekarang… kita bisa tulis cerita baru. Tanpa bayang-bayang masa lalu.” Luna menatap pria itu lama, sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Kamu tahu nggak, Adrian? Dulu aku selalu berharap ada seseorang yang bilang kayak gitu.” Adrian mengangkat alis. “Dan sekarang aku orangnya, kan?” Nada suaranya dibuat santai, tapi hatinya berdegup lebih cepat. Luna mengangguk pelan, malu-malu. “Iya… kamu.” Seketika pipi Adrian memanas. Ia menunduk, menyembunyikan senyum bodohnya. Tapi sebelum ia sempat berkata lagi, suara langkah kaki terdengar dari arah semak-semak. Keduanya spontan menoleh. Seseorang muncul dari kegelapan, langkahnya pelan tapi terasa mengancam. Sosok itu—Rio, teman sekelas mereka yang terkenal suka mencari masalah. Tatapannya menusuk, menatap Luna dan Adrian dengan tatapan dingin. “Hei… nggak nyangka ya, kalian berdua ternyata ada main,” kata Rio sambil menyeringai sinis. Adrian berdiri lebih tegap, tubuhnya refleks sedikit bergerak melindungi Luna. “Apa urusanmu, Rio?” Rio mendengus. “Nggak ada. Cuma… lucu aja ngeliat kalian pura-pura manis gini, padahal ada yang bakal pecah sebentar lagi.” Luna menelan ludah, perasaannya langsung tak enak. “Apa maksudmu?” Rio mendekat, menatap Luna dengan senyum mengejek. “Kamu pikir rahasia keluargamu bakal selamanya aman? Ada yang lagi gali-gali, tahu.” Deg. Darah Luna serasa membeku. Adrian memandang Rio dengan tajam. “Kalau kamu nyari masalah, jangan bawa-bawa Luna.” Rio tertawa kecil, lalu mundur beberapa langkah. “Santai, bro. Aku cuma kasih warning. Hati-hati aja… bintang kadang nggak selalu bawa harapan, bisa juga bawa petaka.” Dengan itu, Rio berbalik dan menghilang lagi ke dalam kegelapan malam. Luna memeluk dirinya sendiri, tubuhnya gemetar. Adrian segera menggenggam kedua bahu gadis itu. “Jangan dengarkan dia, Luna. Aku di sini.” Tapi di lubuk hatinya yang paling dalam, Adrian tahu… kata-kata Rio bukan sekadar ancaman kosong. Ada sesuatu yang memang mengintai. Dan itu bisa menghancurkan kebahagiaan mereka yang baru tumbuh. Luna menggeleng-geleng, mencoba menepis kekhawatiran yang mulai menggerogoti. “Aku nggak mau kehilangan semua ini, Adrian…” Adrian menempelkan dahinya ke dahi Luna, berusaha menenangkan. “Kamu nggak akan kehilangan aku. Kita lewati bareng, ingat?” Di atas sana, bintang-bintang tetap bersinar. Tapi malam itu, mereka tak lagi sekadar saksi bisu. Mereka menjadi tanda bahwa badai besar sedang menanti. Dan janji yang diucapkan di bawah langit malam… akan segera diuji kebenarannya.Senja kembali menggantung rendah di langit Jakarta ketika Luna berdiri di depan jendela kamarnya, memandangi langit jingga yang mulai digantikan semburat malam. Hawa hangat sisa siang terasa nyaman di kulit, tapi pikirannya sibuk dengan nada-nada yang belum selesai ia tulis.Di meja kerjanya, beberapa lembar lirik berserakan. Lagu “Pulang” sudah selesai dan telah membekas dalam ingatan banyak orang. Tapi ada suara baru di dalam dirinya. Bukan suara masa lalu, bukan pula bayangan tentang Adrian, tapi suara yang muncul dari kedalaman dirinya sendiri. Suara tentang langkah ke depan.Luna duduk dan mulai menyusun bait. Tangannya bergerak lincah, namun hati-hati, seperti sedang menenun kisah dari benang-benang yang belum utuh. Ia tidak tahu apakah lagu ini akan ia nyanyikan, atau hanya akan ia simpan. Tapi satu hal yang pasti: ia ingin menyelesaikannya.Beberapa hari setelah penampilannya di acara kampus, Luna kembali aktif sebagai asisten dosen vokal. Jadwalnya padat, tapi hatinya tidak s
Studio musik kampus pagi itu lebih sunyi dari biasanya. Lampu-lampu kecil menyala redup, menciptakan suasana seolah memeluk setiap nada yang terlahir di dalamnya. Luna melangkah masuk membawa gitar akustiknya, sambil menyapa Adrian yang sudah membuka jendela besar, membiarkan udara pagi dan kicauan burung menyusup lembut.Dia meletakkan gitar di sandaran kursi, mengambil selembar kertas lirik lagu barunya—lagu "Pulang" yang sukses di pertunjukan akhir semester. Lembar itu kini bertuliskan kata-kata revisi, catatan kecil tentang progresi akor, dan tanda-tanda agar baitnya lebih hidup.Setelah menyalakan rekorder, Adrian menyapa singkat, “Siap?”Luna mengangguk, menarik napas dalam, lalu mulai bermain akord, suara gitar memenuhi ruang pagi itu. Tak jarang nadanya sedikit gemetar, tapi justru itu yang membuatnya terasa hidup—karena setiap nada adalah refleksi perjalanan batinnya. Di sudut ruangan, Adrian menyimak dengan serius, membuat catatan kecil di notebook-nya.Saat nadanya berhenti
Langit Jakarta pagi itu masih pucat, seakan belum sepenuhnya terbangun dari malam yang panjang. Di dalam studio musik kampus, Luna duduk sendirian di depan piano, membiarkan jarinya menyentuh tuts-tuts dingin tanpa benar-benar bermain. Di atas meja kecil di sampingnya, lembaran lirik “Setengah Langit” yang diberikan Adrian kemarin masih terbuka. Ia membacanya ulang—bukan karena lupa, tapi karena ingin meresapi tiap kata dengan pemahaman yang baru.Malam sebelumnya masih terbayang jelas dalam benaknya. Percakapan mereka, senyum tenang Adrian, dan bagaimana akhirnya mereka menyadari bahwa hubungan yang dewasa bukan selalu tentang memiliki, tapi tentang mengerti kapan harus saling diam, kapan harus saling dorong. Dan pagi ini, Luna merasa... lebih ringan.Pintu studio terbuka perlahan. Suara langkah pelan menyusul masuk. Luna menoleh. Adrian berdiri di ambang pintu, membawa dua gelas kopi hangat dari kantin.“Kopi pagi?” tawarnya.Luna tersenyum. “Kamu sekarang tiap datang ke studio bawa
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk melalui jendela kamar Luna, menyentuh pelan wajahnya yang masih setengah tertutup selimut. Ia membuka mata perlahan, menatap langit-langit kamarnya yang terasa asing setelah sekian minggu di Jepang. Tapi ada ketenangan baru di sana—ketenangan yang tidak ia temukan saat pertama kali ia kembali dari perpisahan dengan Adrian.Ia bangun, lalu membuka tirai. Langit Jakarta cerah, seolah menyambut kepulangannya dengan hangat. Di meja kecil di pojok kamar, CD hasil rekaman penampilannya di Tokyo masih terletak rapi, seperti mengingatkan bahwa apa yang ia alami di sana bukan mimpi. Ia benar-benar telah menyanyi di panggung festival internasional, menyuarakan hatinya di depan ratusan orang asing yang ikut terdiam mendengarnya.Tapi ada hal lain yang membuat pagi itu berbeda: lagu dari Adrian. Lagu berjudul “Langkah Kedua” itu masih berputar di benaknya. Liriknya, melodinya, suara Adrian—semuanya menyatu dalam rasa yang sulit dijelaskan. Itu bukan lagu c
Suara pengumuman dari bandara Narita menggaung samar di kejauhan, bercampur dengan suara langkah kaki para penumpang yang hilir mudik. Di tengah keramaian itu, Luna berdiri mematung, menatap layar ponselnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Pesan terakhir dari Adrian belum dibalasnya, bukan karena ia tak ingin, tapi karena ia masih mencari kata yang tepat untuk menjawabnya.“Aku harap kamu bisa nyanyi dengan hati yang sama kayak waktu kamu nyanyi lagu kita,” tulis Adrian semalam, tepat sebelum Luna terbang ke Jepang.Luna menghela napas dan memasukkan ponselnya ke dalam saku. Ia tahu, festival ini bukan hanya tentang pencapaian, tapi juga tentang pembuktian. Ia ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia bisa berdiri di atas panggung tanpa membawa bayang-bayang masa lalu. Tapi nyatanya, bayangan itu tetap menempel—dalam bentuk lirik lagu yang ia dan Adrian ciptakan bersama.“Luna-san,” suara seorang panitia festival memanggil. “Kami akan mulai persiapan. Mohon bersiap di belakan
Pagi itu, Jakarta dibasahi gerimis halus yang menggantung di udara seperti perasaan dalam dada Adrian—tenang di permukaan, tapi sesungguhnya penuh gelombang kecil di dalamnya. Di meja kayu berdebu yang terletak di sudut kamar, laptopnya terbuka dengan layar kosong. Namun untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tidak merasa tertekan oleh keheningan itu.Adrian menatap layar kosong tersebut lalu mengalihkan pandangannya ke jendela. Musik pelan mengalun dari speaker kecil—bukan lagu sedih, bukan pula lagu cinta. Hanya denting piano instrumental yang mengalir seperti napasnya pagi itu.Ia baru saja selesai membaca ulang catatan jurnal yang ia tulis selama beberapa minggu terakhir. Di dalamnya, tersimpan potongan emosi yang dulu sulit ia kenali: marah, kecewa, rindu, takut. Tapi yang paling menonjol—kejujuran. Semua luka yang pernah ia hindari kini justru menjadi bahan bakar untuk karya barunya.Di sisi lain kota, Luna tengah sibuk merapikan koper kecil di kamar kosnya. Di atas meja