Home / Thriller / Seribu Pintu Sindukala / Bab 1 Sindu. Kala.

Share

Bab 1 Sindu. Kala.

Author: Ayu Katumiri
last update Last Updated: 2023-08-20 19:38:10

Sindu. Kala. Sindu Kala. Sindukala.

Nama itu terketik di langit-langit kepala Raesaka, melebur dengan bau lantai ruang kerja, dan remangnya cahaya yang dipantulkan dinding berwarna krem. Tidak ada informasi yang muncul terkait nama itu di layar komputer. Dia bahkan tidak menemukan berkas-berkas tentang Sindukala di laci arsip, seolah perkaranya memang tidak pernah ada sejak semula.

Dalam waktu yang terbatas, rasa penasaran dan kebingungan mengoyak jiwanya. Ia bahkan jijik pada sensasi kering berdebu di sela-sela jemarinya setelah menyortir berkas. Semua itu memicu kemarahan kepada dirinya sendiri, satuannya, pimpinannya, dan negara ini.  Memang tidak pernah ada yang beres di negeri ini—sistemnya, orang-orangnya—semuanya hanya membuatnya muak. Hampir saja mulutnya meludahkan kata-kata kasar.

“Saat mencari keadilan, ada seribu lebih pintu yang harus kamu lewati. Begitu absurd dan rumit,”  kata Marsala, ibunya. Kalimat itu terngiang-ngiang di kepalanya, membuyarkan nama Sindukala, seakan-akan kalimat ibunya itu terlontar melalui bibir petugas yang menjaga kantor kepolisian sektor Lindunagari.

“Belum juga selesai nih?” tanya rekannya, berdiri di ambang pintu ruangan sambil menyesap secangkir kopi. “Ini sudah pukul setengah dua belas lho.”

Mendengar ucapan rekannya, titik-titik keringat bermunculan di kulit kepala Raesaka. Suhu tubuhnya meningkat, dan dadanya agak berdebar, tapi sensasi menyebalkan di jemarinya tidak juga hilang.  Raesaka hanya menanggapinya dengan gelengan kepala, berharap rekannya pergi.  Dia belum mau menyerah, tapi kalau sudah nihil, apa lagi yang harus diperbuatnya?

Raesaka memutuskan berhenti dan mematikan komputer. Punggungnya melemas dan bersandar pada kusen pintu. Bunyi-bunyi televisi dari ruangan lain, melebur dengan gumaman para petugas yang berjaga.  Pandangannya berpaling ke lorong di samping kiri, di mana ruang sel tahanan yang muram berada di ujungnya.

Saat Raesaka berbalik, sepasang mata sedang mengamatinya di belakang punggung, di suatu tempat—ia tidak bisa memastikan apakah mata itu berada di luar, atau di dalam sel tahanan. Kelopak pada mata itu agak turun, seperti orang yang mengantuk, dan bentuknya tidak simetris satu sama lain. Putih matanya suram kekuningan, pupilnya coklat menggelap dan berkaca-kaca. Tidak ada perasaan dendam atau pun amarah, melainkan kesedihan yang diliputi pertanyaan yang tidak akan pernah terjawab.

Ketika ia melangkah lagi, mata itu kembali mengawasinya, dengan nuansa yang sama seperti tadi. Entah kenapa, tiba-tiba ia menjadi familiar dengan pandangan itu. Namun, ia juga merasa terganggu, jadi Raesaka berbalik, berjalan melewati lorong itu untuk memeriksa.

Di balik jeruji besi, dua tahanan sedang tidur beralaskan karpet lusuh berdebu. Kemudian, ia bergerak ke kanan, menuju ruang tahanan lain. Di sana ada petugas kepolisian yang dikenalnya, yang juga sedang tidur, namanya Remi. Hatinya bertanya-tanya: kenapa Remi bisa ada di sini?  Begitu memeriksa sel tahanan paling ujung, paling kecil dan kosong, Raesaka tidak lagi merasa diawasi.

Jelas itu cuma perasaanku saja, pikirnya.

“Hey,” seru rekannya, muncul di balik tiang dinding. “Saya cari ke mana-mana, ternyata kamu ada di sini. Lagi ngapain sih?”

“Enggak lagi apa-apa, Pak,” jawab Raesaka, agak kikuk.

“Gimana?” tanya rekannya saat Raesaka berjalan mendekat. “Apa yang dicari sudah ketemu?”

Raesaka menggeleng dan bertanya, “Mereka melakukan apa?” Telunjuknya menunjuk ke sel tahanan.

“Yang satu maling ponsel. Satunya lagi penggelapan kendaraan. Kalau si Remi berantem gara-gara urusan cewek.”  Rekannya itu kemudian mengamati Raesaka dan menepuk pundaknya. “Kamu kelihatannya capek. Sebaiknya kamu pulang. Kalau masih kurang, kamu bisa ketemu sama pimpinan besok. Mungkin beliau tahu sesuatu.”

“Saya enggak ada waktu, Pak,” gumam Raesaka seraya beranjak meninggalkan tempat. “Tapi, terima kasih. Maaf sudah mengganggu.” Ia mengambil botol air mineral ukuran kecil dan meneguk isinya sampai habis.

Petugas yang lain sedang menerima telepon saat Raesaka berjalan menyeberangi lapangan apel yang basah dan remang. Udara malam menggelitik bulu romanya selama beberapa detik. Dengan punggung tangannya, ia mengusap bibirnya yang basah, dan memaksa memutar otaknya kembali. Akibatnya, pikirannya menjadi terbelah dua; jangan-jangan, selama ini ibunya memang mengarang cerita? Atau.. mungkin ada yang merekayasa perkara itu dan menghilangkannya?

Raesaka sama sekali tidak menemukan petunjuk.  Sambil meremas botol air mineralnya, ia menggeram pelan—rasanya ingin sekali merobek kulit wajahnya sendiri. Dilemparnya botol yang sudah remuk itu ke tempat sampah, lalu ia berdiri di tengah lapangan, matanya menerawang  jauh ke seberang  jalan yang lengang dan gelap. Pepohonan akasia dan mahoni membawanya kembali pada peristiwa yang pernah terjadi di sini tujuh tahun lalu, ketika ia baru saja menjalankan tugasnya sebagai polisi.

Dulu, setelah mendapat kabar ibunya dijambret orang, Raesaka menemui ibunya di kantor polisi ini selepas maghrib. Walaupun tasnya sudah kembali, kesedihan masih mewarnai wajah ibunya yang pucat kekuningan.

“Bu, gimana keadaannya?” tanya Raesaka setelah memarkir motornya.

“Enggak apa-apa. Tasnya juga udah balik lagi kok,” gumam ibunya. Punggungnya setengah membungkuk, mendekap tasnya di dada.

“Orangnya udah tertangkap ‘kan?”

“Enggak tahu.” Marsala menggeleng. “Kenapa kamu datang ke sini? Bukannya kamu lagi kerja?”

“Nanti Rae balik lagi ke markas setelah mengantar Ibu pulang.”

Ibunya menolak. Ia menjauh dari lapangan apel, menuju pintu gerbang. Kalau mengingat kembali kaki ibunya yang pincang saat berjalan, hati Raesaka menjadi pilu.

“Tapi, dari sini jauh, Bu.”  Raesaka mengikutinya.

Marsala menyentuh keningnya dan menggeleng. Ia menepis tangan anaknya. Wajahnya berpaling ke arah lain, menyembunyikan matanya yang mulai perih dan memerah.

“Bu, ada apa?” Raesaka yang khawatir memeganggi lengan ibunya.

Marsala meninju bahu anaknya, mendorongnya supaya menjauh. Kemudian, ia melangkah lebih cepat meninggalkan area kantor polisi, berbelok ke kiri,  menelusuri trotoar. Kakinya menyandung batu bata yang menonjol. Jika anaknya tidak sigap, pasti Marsala sudah jatuh tersungkur.  Sambil melepaskan pegangan tangan anaknya, ia berkata, “Ibu mau jalan kaki sebentar.”

Raesaka mengikutinya lagi. Ia melihat tangan ibunya yang kurus berkali-kali mengusap hidung dan matanya yang basah. Kepalanya menggeleng-geleng, terus menolak ajakan Raesaka yang mau mengantarnya pulang.

“Rae ngerti. Mungkin Ibu syok gara-gara dijambret, makanya—”.

“Bukan itu,” potong Marsala, suaranya bergetar. “Kamu enggak dengar Ibu ngomong apa tqdi?”

“Enggak bisa begitu,”  ujar Raesaka bersikeras. “Rae harus antar Ibu pulang.”

Marsala menghentikan langkahnya, wajahnya terangkat, matanya menyapu jalanan di depannya. Pepohonan yang rimbun terlihat terlalu hijau dan menggelap. Kabut-kabut dingin turun, menutupi langit dan sisa cahaya matahari di cakrawala. Tidak ada orang lain,  angin, suara, mau pun kendaraan yang lewat. Sambil berjalan ke sana ke mari, kepalanya menoleh ke belakang, lalu ke depan, ke belakang lagi, berkali-kali, lalu diam dengan pandangan terpaku pada satu titik, cemas dan gelisah.

“Aku harus,” gumam Marsala, memeluk tasnya lebih erat, kembali melangkah. “Aku harus mencarinya. Dia enggak pulang-pulang sejak tadi.”

Mendengar ucapan ibunya, kening Raesaka mengernyit. Memangnya siapa yang dia cari dan tidak pulang?  Ibunya terus mengulang perkataan yang sama, dan selalu diakhiri dengan kalimat, “Enggak ada yang peduli. Enggak ada yang bersedia menolong, bahkan Tuhan sekali pun.”

“Rae di sini, Bu. Ibu enggak...“ Raesaka melihat tetesan darah mengalir dari hidung ibunya. Buru-buru ia merogoh saku celananya, mengambil sapu tangan. Namun, ibunya menepis saat Raesaka mau menyeka darahnya.

Ibunya mundur beberapa langkah, merasakan sensasi panas yang menggelitik di sekitar lubang hidungnya. Ia sentuh hidungnya, lalu mengamati sedikit darah yang menempel di jemarinya. Ibunya menoleh kepada Raesaka, matanya berkaca-kaca saat bibirnya yang pucat kemerahan merekah. 

“Kamu rasakan apa yang Ibu rasakan, Re?” Ibunya tertawa, sekaligus menangis.

Sambil masih membayangkan tawa dan tangis ibunya, Raesaka kembali masuk ke kantor kepolisian itu,  menggebrak pintu dan berteriak cukup keras, “Kalian pasti tahu perkaranya!  Kalian bersekongkol menghapus jejaknya, bukan? Jujur saja!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Seribu Pintu Sindukala   Bab 61 Justitia

    Usai melewati perjalanan panjang, Raesaka tiba di Sadajiwa.Keheningan dan gemuruh dari kejauhan menyambutnya di bawah naungan langit petang. Dia mengetuk pintu rumah Arabela, menengok ke dalam melalui jendela yang suram, dan tidak terdengar bunyi langkah mau pun sahutan. Ia baru ingat, Damian baru saja meninggal dan pasti Arabela masih berduka. Raesaka berlari kecil ke belakang rumah.Langkahnya bergema ketika Raesaka berjalan menyeberangi jalan setapak di atas kolam ikan, menuju ke rumah kecil ibunya. Ia berhenti di dekat makam palsu Sindukala yang kini dikelilingi semak-semak kering yang tidak terawat. Nafasnya sedikit memburu saat ia memutuskan mencari cangkul yang tidak ada di mana pun, selain di gudang.Gudang itu digembok, jadi ia meraih glock yang bukan miliknya, yang menggantung di panggulnya. Seraya menjaga jarak dan berhati-hati supaya tidak terkena serpihan yang bisa melukainya, Raesaka mengarahkan pucuknya ke gembok gudang dan melepaskan peluru beberapa kali—suaranya mene

  • Seribu Pintu Sindukala   Bab 60 Raesaka part 2

    “Boleh aku minta waktu buat mikir, Re?” suara Prisha mengakhiri keheningan. “Nanti aku kabari lagi.”“Iya, Kak. Boleh.” Raesaka menghela nafas dan mengangguk.Bunyi lembut deru motor yang dikendarainya menemaninya pulang melewati gemerlap malam. Hatinya membuncah karena kebahagiaan dan kelegaan usai mengungkapkan rasa cintanya kepada Prisha. Wajah dan senyuman teduh Prisha memenuhi pikirannya, bahkan saat berhenti di lampu merah pun, jiwanya seakan kembali ke rumah Prisha yang beraroma teh dan lavender. Kini ia bergantung pada harapan akan jawaban positif dari Prisha.Raesaka kembali ke rumah dan memarkir motornya di garasi. Begitu mau menutup pintu garasi, terdengar bunyi notifikasi dari ponselnya. Ia rogoh ponselnya dari saku celana jeans-nya, dan melihat ada pesan dari Arabela. Matanya melebar membaca isinya.“Rae, apa kamu ada di rumah? Hari ini Tante sedang berduka. Oom Damian meninggal usai minum kopi kemarin sore. Tante merasa ada seseorang yang meracuninya. Bisa kita ketemu da

  • Seribu Pintu Sindukala    Bab 59 Utamika

    Sebuah citra merasuk ke dalam kalbunya dan membentuk mimpi. Di sana, Raesaka melihat ibunya yang kembali muda, dibalut gaun pendek berwarna merah marun, berjalan tanpa alas kaki, menyusuri jalanan panjang dan sepi. Cahaya matahari yang lembut menyorot dari sela-sela pepohohan akasia dan mahoni yang menaunginya. Raesaka menghampirinya, dan ibunya menoleh padanya, memandangnya.Raesaka membalas pandangan ibunya, mengusap lembut wajah dan rambut ibunya sembari berkata, “Rae sayang sama Ibu.” Ia peluk tubuh mungil ibunya, lalu menikmati kecupan ringan ibunya di pipi. Setelah melepas pelukan Raesaka, bibir ibunya merekah, meninggalkan jejak-jejak kedamaian dan keindahan di hati Raesaka yang menangis. Ia berjalan mundur, berbalik dan kembali melangkah menjauhi Raesaka, entah ke mana.* * *Raesaka sudah berseragam dan wangi ketika memandangi makam ibunya di samping makam Sindukala, dan menaruh dupa di sana. Mungkin, mungkin saja, inilah kepergian dan pelepasan yang selama ini yang dii

  • Seribu Pintu Sindukala   Bab 58 Pergi Ke Mars

    Matahari yang hampir mendekati cakrawala terbingkai oleh jendela kamarnya. Warna ungu dan jingga merambat mewarnai langit. Perlahan-lahan, tanah bergerak, bergelombang dan berputar, menarik Marsala jauh ke suatu tempat di mana hanya ada dirinya, cakrawala gelap dan matahari raksasa yang bulat kemerahan.Pemandangan yang sedang dilihatnya kini berubah menjadi wajah seseorang yang selama ini dicintainya. Wajah yang kecoklatan, berhidung mancung, dan bermata sendu. Rambutnya yang pendek bergelombang, mengalir dipermainkan angin. Orang itu menoleh, memutar tubuhnya menghadap Marsala, dan melemparkan senyuman yang selalu dirindukan Marsala.Sindukala.Kedua mata Marsala berbinar memantulkan cahaya. Dadanya bergejolak akan kerinduan dan cinta yang tiada henti. Aroma khas suaminya meliputi dirinya saat mereka berpelukan dan saling berpandangan. Lalu, Sindukala membenamkan bibirnya pada bibir Marsala. * * *Bunyi kerangkeng besi yang ditutup dan digembok menggema keras di sepanjang loro

  • Seribu Pintu Sindukala   Bab 57 Delusional

    Musik yang diputar Marsala memenuhi ruangan dapur, menciptakan nuansa ceria dan hangat di pagi hari.Raesaka menyendok nasi goreng kencur dan telur mata sapi di piring, memperhatikan ibunya yang mondar-mandir, menaruh beberapa makanan ringan di atas meja, dan menyeduh secangkir teh kembang sepatu untuk dirinya sendiri. Sinar matahari menembus dari jendela, menyorot sosok mungilnya. Rambut ibunya diikat sedemikian rupa, dan beberapa helai rambut turun ke bahu dan punggungnya, membuatnya terlihat lebih anggun dari biasanya, walaupun dia hanya memakai daster pendek bercorak bunga-bunga.“Hari ini kamu ada dinas, Sayang?” tanya ibunya sembari menarik kursi dan duduk di seberang Raesaka.Raesaka menelan suapan nasi gorengnya sebelum ia menggeleng dan menjawab, “Oh, Rae dinas setelah maghrib, Bu. Sayang sekali, sebenarnya Rae ingin pergi ke Niskala, mau ikut doa tujuh hari kepergian Nenek. Ibu juga akan berangkat, bukan?”Marsala menyesap teh kembang sepatunya dan menggeleng. “Ibu batal be

  • Seribu Pintu Sindukala   Bab 56 Shavasana

    Kicauan burung membangunkan Marsala di sore hari, dan ia membaca pesan dari Raesaka yang isinya, “Bu, malam ini Rae sedang tidak ada dinas, dan Rae mau pergi ke restoran sama Kak Prisha, jadi jaga diri Ibu baik-baik, ya. Rae tidak akan lama.”Matahari yang hampir mendekati cakrawala terbingkai oleh jendela kamarnya. Warna ungu dan kemerah-merahan merambat mewarnai langit. Marsala bangun dan duduk di sisi ranjangnya, memandangi jendela, menikmati hembusan angin yang menyentuh kulitnya. Pemandangan seperti ini selalu mengingatkannya pada suaminya dan segala hal tentang dirinya, bertumpuk bersama kenangan-kenangan. Kemudian, Marsala berdiri, menghampiri meja kerjanya.Marsala menunduk, mengamati potret-potret kecil wajah Sindukala yang ia lukis selama beberapa minggu terakhir. Tidak semua lukisannya selesai, ada yang setengah jadi, dan ada pula yang hanya berupa lukisan lingkaran mata Sindukala. Hanya ditemani bunyi nafasnya sendiri, jemari Marsala menelusuri permukaan dan sisi lukisan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status