Share

Rumah Makan di Tengah Hutan

Bagian 2

Ana membuka paksa matanya dengan napas tersengal-sengal. Seketika ia memperhatikan sekelilingnya. Persis tadi, ia ingat dengan jelas sedang beradu pandang dengan wanita berwajah pucat di kursi belakang mobilnya.

"Kamu cari apa, sih?" tanya Raka suaminya.

"Kamu lihat gak tadi, ada perempuan di kursi belakang mobil kita?"

"Ng-nggak ada, jangan ngaco deh, An. Kita lagi di tengah hutan loh."

"Atau aku cuma mimpi aja, ya. Jam berapa sih sekarang, Ka?"

"Sebentar lagi magrib."

"Hah. Kok lama banget kita di jalan, harusnya, kan, kita udah sampai di tengah kota, atau minimal pom bensin?"

"Ya, aku juga gak tahu, Sayang. Dari tadi kayaknya kita muter-muter aja di sini gak beranjak ke mana-mana. Bensin udah tinggal setengah juga."

"Coba telepon siapa gitu, Ka. Gak mungkin kita habisin waktu terus-terusan di sini?"

"Nggak ada sinyal sama sekali. Makanya aku terus jalan aja. Belum maghrib juga suasana udah seperti tengah malam aja."

Ana memegang perutnya yang belum diisi lagi dari tadi siang. Wanita berambut panjang itu membuka tas tangannya meraih cokelat untuk mengganjal perutnya. Satu bungkus cokelat diraihnya, ketika ia buka makanan ringan tersebut ada noda darah di dalamnya. Spontan ia melemparkan benda itu ke arah Raka hingga membuat suaminya menginjak rem mendadak.

"Kamu kenapa lagi, sih?"

"Co-cokelatnya ada darah," jawab Ana terbata-bata.

Raka lalu meraih cokelat yang di lempar Ana ke arahnya. "Nggak ada darahnya, kok. Nih aku makan, ya." Raka membuka bungkusan cokelat itu dan memberinya pada Ana. Meskipun terlihat ragu tetapi wanita itu tetap memakannya, lalu mereka melanjutkan perjalanan panjang yang entah kapan akan berakhir.

Sesosok tangan pucat menyuapi Raka cokelat dari kursi belakang mobil. Lelaki berkacamata itu membuka mulut tanpa rasa curiga karena fokus mengendarai mobil. Berkali-kali tangan dingin tersebut menyuapi Raka cokelat hingga ia merasa terlalu berlebihan.

"Udah, An. Aku nggak terlalu suka cokelat. Kamu aja yang makan."

 Ana yang dari tadi memainkan boneka menatap Raka penuh curiga.

"Aku nggak ada ngapa-ngapain, kok. Cokelatnya juga udah habis dari tadi."

"Terus, yang nyuapin aku tadi siapa?" Raka memelankan laju mobilnya sambil melihat Ana yang memandang dirinya ketakutan.

"Mulut kamu, ada darahnya, Ka," tutur Ana sambil memeluk erat boneka yang ia pungut dari pemakaman.

"Shit." Raka melihat wajahnya di kaca spion sambil mengumpat.

"Jaga mulut, Raka, kita di tengah hutan!"Tekan wanita bermata cokelat itu.

Raka meraih botol air untuk mencuci mulutnya. Namun, isinya telah tandas tak bersisa. Dengan perasaan tak tentu arah ia meneruskan laju mobilnya mengikuti jalan yang kian berliku dan gelap. Samar-samar dari balik kabut yg menghiasi sepanjang jalan Hutan Larangan, sepasang suami istri itu melihat seorang wanita paruh baya berusaha menghentikan mobil mereka.

Raka memberhentikan mobil dan memberi tumpangan kepada orang yang tidak dikenalinya. Perempuan paruh baya tanpa alas kaki itu menggunakan kebaya lengkap dengan sanggul dan membawa sebuah jerigen kosong.

"Terima kasih atas tumpangannya," ucapnya ramah, meski tanpa senyuman.

"Sama-sama. Ibu mau ke mana?" tanya Ana dengan tersenyum manis.

"Mau cari air buat minum. Tidak seberapa jauh dari sini di dekat warung nasi nanti ada air terjun kecil yang akan kita lewati." Tatapan mata wanita paruh baya itu lurus tanpa berkedip.

"Wah, boleh juga tu, Sayang. Sekalian kita makan. Perutku udah lapar banget, ni." 

Raka hanya mengangguk saja mendengar permintaan istrinya, mulutnya masih merasakan anyir darah yang tertinggal.

"Di hutan ini, kalian harus jaga sikap dan perkataan. Jangan mengotori hati dengan perbuatan tidak senonoh. Jangan mengotori hati dengan perbuatan jahat. Jika tidak mau penghuni asli hutan ini membuat kalian tersesat." Tanpa diminta, wanita paruh baya itu berujar seorang diri. Raka dan Ana hanya saling pandang.

"Hutan ini mistis, mahluk-mahluk di dalamnya beragam. Ada yang mati bunuh diri, ada yang mati dibunuh dan jasadnya di kubur jauh ke dalam sana." Tunjuk wanita itu ke arah hutan.

"Kalau sudah masuk ke dalam sana. Untuk keluar dengan selamat, harus menumbalkan sesuatu, atau kau sangat beruntung jika ada yang menolongmu." Lirik wanita itu pada Ana, "boneka itu, Nyonya dapat dari mana?"

"Ehhmm. Dari pemakaman keluarga di sana tadi."

"Sebaiknya kembalikan, Nyonya. Tak baik mengambil sesuatu yang bukan milik kita. Anak kalian pun belum tentu suka dengan boneka itu."

"Tahu dari mana kami sudah punya anak?" tanya Raka penasaran.

"Itu, mata airnya sudah kelihatan. Kita sudah sampai, Tuan. Saya permisi turun di sini. Terima kasih sekali lagi. Dan jangan lupa bonekanya dikembalikan ke tempatnya." 

Wanita paruh baya itu membuka pintu mobil lalu keluar dan berjalan menuju mata air yang dimaksud. Selanjutnya setelah jerigennya penuh, ia masuk ke dalam hutan tanpa menoleh ke belakang. Raka dan Ana memandang tanpa berkedip

"Dasar orang aneh. Hutan ini pun aneh. Semuanya aneh,” umpat Raka.

"Udah. Jangan ngomong macem-macem. Mending kita ke sana deh, kayaknya itu tempat istirahat ada lampu sama tempat duduknya."

Raka menepikan mobil ketika sampai di lesehan pinggir jalan. Sebelum memasuki tempat istirahat ia memperhatikan keadaan sekeliling, tempat itu dipenuhi oleh lampu remang-remang saja. Dua orang yang melayani mereka menyambut dengan ramah dan menawarkan makanan. Melihat tingkah kedua orang itu Raka yakin mereka hanya manusia biasa, bukan mahluk jadi-jadian seperti yang diucapkan wanita yang menumpang mobilnya tadi.

Dua buah kelapa muda serta nasi dengan ayam bakar disajikan di atas meja. Ana yang memang sudah kelaparan sejak tadi melahap makanan itu tanpa banyak bicara. Sementara Raka memperhatikan arloji di tangan. Maghrib sudah lewat tetapi mereka belum juga keluar dari hutan itu. Dengan perasaan tak menentu ia menghabiskan makanan yang terhidang di atas meja, setelah membersihkan rasa anyir darah di dalam mulutnya.

Tidak ada pengunjung lain yang datang. Tidak juga mereka lihat kendaraan lain melintas melewati jalan sepanjang hutan itu. Sementara suara lolongan anjing mulai memenuhi gendang telinga sepasang suami istri tersebut. Embusan angin dingin pun melintasi mereka yang baru menyelesaikan santapan hingga tandas tak bersisa.

Ana membuka cermin di dalam tas tangannya. Sontak ia terkejut ketika boneka yang ia temukan ada di sebelah tasnya. Seingatnya, ia tinggalkan boneka itu di dalam mobil. Mengabaikan rasa takutnya, wanita bermata cokelat itu melanjutkan merapikan rambut dan membersihkan bibirnya yang terdapat sisa makanan.

Raka memperhatikan setiap pergerakan istri yang baru ia nikahi belum lama ini. Gerakan tangan Ana memoles lipstik di bibir serta ketika Ana menyatukan dua bibirnya untuk melembabkan lipstiknya mengundang desir di darah Raka. Pria ia menoleh ke sekeliling lesehan, dua pelayan yang melayaninya tidak terlihat di tambah dengan lampu remang-remang yang sinarnya perlahan mulai meredup. Kesempatan itu ia gunakan untuk mencuri sebuah ciuman dari Ana.

Ana yang terkejut dengan tindakan Raka, menjatuhkan kaca di tangan dan mendorong tubuh suaminya hingga menjauh. 

"Apaan, Ka. Kamu gak inget pesan wanita tua tadi. Jaga sikap di hutan ini." Ana kesal dengan tindakan lelaki itu yang tidak tahu tempat.

"Ah, takhayul dipercaya. Lagian, kan, kita suami istri, siapa yang berani melarang?"

"Ya, nggak di dalam hutan ini juga. Sudah dua kali looh."

"Tapi kamu suka, kan?" Pria itu mengerlingkan sebelah mata pada Ana. Pipi Ana merona akibat ulah sahabat sekaligus suaminya.

Tidak menunggu waktu lebih lama Raka dan Ana bergegas meninggalkan lesehan di pinggir hutan itu. Uang diletakkan begitu saja di bawah piring, karena dua pelayan tadi tidak kunjung datang meskipun telah dipanggil berkali-kali.

Sepasang suami istri tersebut masuk ke dalam mobil, hingga Ana keluar lagi untuk mengambil boneka Martha yang tertinggal di dalam warung. Ketika mengambil boneka, penerangan yang semula remang-remang padam seketika.

Susah payah Ana meraih boneka itu. Namun, ketika boneka sudah di tangan, ia ditinggalkan oleh Raka seorang diri di pinggir jalan. Ana berusaha mengejar mobil Raka sekuat tenaga, tetapi mobil itu hilang di antara kabut yang semakin menebal.

Wanita itu menangis seorang diri, dengan langkah tak menentu ia mencoba kembali ke warung lesehan, berharap Raka menjemputnya kembali. Namun, ketika sampai di warung, ia mendapati hal yang semakin aneh. Warung itu sudah roboh sebagian, sarang laba-laba mendominasi di sana -sini. Tidak ada siapa pun di dalamnya, bahkan piring bekas makan mereka juga raib.

Terbersit tanya di benak Ana. Lalu siapa yang melayani mereka tadi? Dan makanan apa yang mereka makan tadi?

Bersambung .....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Siti Yusuf
serem banget ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status