Home / Fantasi / Series Hutan Larangan / Sosok Lain di Dalam Mobil

Share

Sosok Lain di Dalam Mobil

Author: Rosa Rasyidin
last update Last Updated: 2021-10-21 06:46:57

Bab 3

“Kok, nggak jadi bonekanya dibawa?” tanya Raka pada Kirana.

“Bukan punya kita, nanti pemiliknya datang lagi mau jemput ke rumah,” jawab Ana.

“Kamu masih percaya aja sama hal-hal gitu, mitos.” Raka melirik Ana yang dari tadi hanya duduk diam tanpa ekspresi apa pun.

Lelaki itu berpikir mungkin karena istrinya kelelahan saja, hingga sedari tadi hanya diam tidak berceloteh seperti biasanya. Wanita itu juga tidak menyentuh ponselnya sama sekali, mungkin habis daya, pikir Raka. Ia hanya membiarkannya saja, ia kembali fokus menyetir agar bisa melewati hutan yang semakin menebarkan aroma menyeramkan.

Raka melirik jam di tangan, sudah jam delapan malam. Namun, dirinya tidak kunjung jua melihat arah perkotaan maupun pemukiman penduduk untuk sekadar bertanya. Ia melirik ke arah spion di hadapanya, bayangan Ana tidak terlukis di sana. Ia menggelengkan kepalanya dan melirik wanita di sebelahnya. Ana masih duduk diam memandang lurus ke arah jalanan. Cepat lelaki itu mengenyahkan pikiran buruk di kepalanya.

“Sayang.” 

Raka sedikit terdiam mendengar panggilan dari bibir Ana, sahabat masa kecilnya itu tidak pernah memanggilnya semesra itu.

“Kamu nggak penasaran kemana perginya istri pertama kamu hampir tiga tahun?” lanjut Ana.

“Buat apa juga mikirin Asih. Dia udah sama lelaki lain. Ngapain juga kamu nanyain itu. Tumben?”

“Nggak kangen sama dia?”

“Please, An. Kamu tahu, kan, gimana aku dari dulu?”

“Kalau tiba-tiba Asih ada di depan kamu sekarang, kamu pilih aku atau dia?”

Raka memelankan laju kendaraan mobilnya perlahan. Ia menoleh ke arah Ana duduk. Sedari tadi sikap diam Ana dan tanyanya tiba-tiba, membuat lelaki itu merasakan keganjilan yang mengusik hati. Ketika ia memalingkan wajahnya ke depan, Raka dikejutkan oleh sekelebat bayangan putih yang melintas di depan mobilnya. Gegas lelaki itu membanting setir ke arah kanan dan menepikan mobilnya. Tanpa bertanya pada Ana, ia keluar memeriksa keadaan, siapa yang iseng dengannya, di malam hari di tengah hutan pula.

Puas melirik ke arah kiri kanan dan sekitarnya, lelaki berkacamata itu tidak menemukan siapa pun yang sedang menjahilinya. Raka kembali ke mobilnya, tidak ia temukan keberadaan Ana di kursi depan. Matanya membulat seketika ketika melihat sosok istri pertama yang meninggalkannya berada di kursi mobil belakang.

“Se-sejak kapan kamu ada di sini.” Gemetar tangannya melawan rasa takut dalam darahnya.

Sosok Asih berbalut baju tipis berwarna putih dan menampilkan lekuk tubuh langsingnya itu mengulurkan tangannya ke pipi Raka. “Sudah dari tadi, aku merindukanmu, suamiku.”

“Jangan macam-macam. Mana Ana, kamu apakan dia?” Raka mencoba membuka pintu mobil, tetapi mobil itu terkunci dan tidak terbuka sedikit pun.

Keringat mulai membanjiri pelipisnya, padahal angin dingin terus bergerak di sekitar hutan larangan itu. Raka masih terus membuka pintu mobil. Ia tidak menyerah, ia mencoba menghubungi ponsel Ana, sialnya tidak ada jaringan sama sekali di tengah hutan gelap gulita seperti sekarang.

“Sudah, lupakan Ana sebentar. Mustahil aku hilang begitu saja dari hatimu, kan?” Asih memeluk perlahan leher Raka dari belakang, ia sengaja menghembuskan napas dinginnya di telinga lelaki itu. 

Sejenak Raka terdiam dengan perlakukan mesra Asih. Ia tidak memungkiri rasa rindu pun masih tersimpan untuknya. Namun, ia juga tidak bisa menolak logika berpikirnya, tidak mungkin Asih tinggal di tengah hutan seperti ini seorang diri pula.

“Lepaskan, Asih. Kita sudah bukan suami istri lagi, apa kamu lupa?” Raka melepaskan pelukan Asih dari lehernya.

Namun, Asih tidak melepaskannya begitu saja, ia menarik wajah Raka menghadap wajahnya, mencium bibir lelaki itu agar takluk kembali pada rayuannya. Awalnya Raka menolak dan mencoba menjauh, otaknya masih waras, ia harus mencari kemana perginya Ana. Namun, pesona Asih yang semakin terpancar serta wangi tubuhnya yang menusuk indera penciuman membuatnya lupa dengan kesadarannya sendiri. 

Ia membalas ciuman Asih lebih dalam dan lama. Perlahan bahkan tangannya mulai menjelajah ke sana ke mari dan membuka kain tipis yang membungkus tubuh mantan istrinya. Memori hidup bertahun-tahun dengan Asih dahulu sebelum mereka berpisah, bangkit kembali menari di pusat syarafnya. Memaksanya takluk pada rasa rindu yang berpusat di satu titik tubuhnya untuk dituntaskan.

Asih menyambut setiap sentuhan Raka pada inci tubuhnya dengan senang hati. Ia bagai musafir kehausan yang menemukan oase di padang pasir. Sepasang insan itu saling mencumbu, menyentuh, memuja dan memuji yang membuat perasaan mereka melambung ke awan. Penyatuan jiwa mereka menimbulkan suara yang nyaring di antara lolongan anjing di dalam hutan. 

***

Suara jangkrik dan lolongan anjing kembali membangkitkan kesadaran Raka yang tertidur selama beberapa jam. Tubuhnya serasa lemah dan ia bagai diserang rasa haus yang teramat sangat. Lelaki itu terkejut ketika ia terbangun tanpa busana. Cepat ia kenakan satu per satu pakaiannya, nalarnya belum bisa diajak untuk berpikir normal, sensasi sentuhan Asih tadi masih terasa lekat di tubuhnya. Lelaki itu menenggak minuman dalam kemasan botol besar hingga tinggal setengah. Setelah itu ia menarik napas dalam-dalam.

“Shit!” umpatnya. 

Raka ingat dengan jelas terlena dalam pesona Asih yang sangat menggoda tadi. Namun, wanita itu pun tidak ada di dalam mobil. Lalu kemana Asih pergi, begitupun Ana? Semua bagai misteri menyeramkan yang mengurungnya lebih lama untuk berada di tengah Hutan Larangan. Terpaksa ia memutar balik mobilnya untuk menjemput istrinya. 

Rumah makan tepi jalan yang ia singgahi bersama istrinya itu menjadi tempat yang akan ditujunya. Dengan kecepatan tinggi Raka menjalankan kendaraannya. Khawatir sesuatu akan menimpa Ana jika lebih lama menunggu.

Sejenak ia merutuki dirinya sendiri. Harusnya keanehan Ana sejak awal di dalam mobil bisa ia tangkap. Namun, sekali lagi lelaki berkacamata itu tidak pernah ingin percaya dengan mitos-mitos yang kerap ia dengar ketika seseorang terjebak di dalam hutan. Lalu bagaimana dengan percintaannya dengan Asih? Semuanya seakan terasa nyata, setiap sentuhan dan dambaan mereka benar-benar bukan hayalan saja. Meski tubuh Asih tidak sehangat tubuhnya, tetapi mereka tetap bisa bersentuhan seperti layaknya manusia lain.

“Harusnya aku nggak terbuai sama perasaan,” ucapnya, “Ana semoga kamu baik-baik saja, tunggu, aku pasti datang menjemput.”

***

Wanita bermata cokelat itu, masih menanti kedatangan Raka di pinggir jalan seorang diri. Ia enggan untuk duduk kembali di dalam lesehan yang nyaris ambruk dan gelap gulita. Hanya Martha-boneka cantik itu yang menemaninya. Air matanya ia hapus berkali-kali. Hawa dingin di dalam hutan telah membuat kakinya kebas hingga memaksanya duduk begitu saja. Tidak ada harap lain, selain kedatangan Raka yang menjemputnya. Meski sudah satu jam menunggu wanita itu enggan beranjak untuk berjalan lebih jauh.

Bukan tidak terdengar oleh Ana, suara-suara aneh yang datang dari dalam hutan. Ia hanya mencoba mengabaikan rasa takutnya sendiri. Berkali-kali ia mencoba menghubungi Raka, tetapi tidak ada jaringan yang tersedia. Pesan pun hanya centang satu saja, belum berganti warna. Perlahan bibirnya bergetar menahan rasa dingin yang semakin menusuk tulang. Ia melipat bibirnya agar gigilnya tidak semakin menjadi. Kemeja putih tipis yang ia kenakan tak membantunya mengusir dingin.

Binatang berkaki empat keluar dari arah hutan di hadapannya. Makhluk bertaring tajam itu menggeram ke hadapannya, mau tidak mau Ana berdiri mencoba berlari, baru beberapa langkah sepatu tingginya sudah patah, gegas Ana melepasnya, meninggalkannya di jalanan dan terus berlari karena binatang berwarna hitam itu menyalak dan terus mengejarnya. Air matanya tumpah tanpa dihapusnya karena rasa takut telah menguasai jiwanya.

Dari arah depan seekor anjing datang lagi menghentikan langkahnya, Ana berbalik ke arah belakang, seekor anjing lagi ia temukan menyeringai dan meneteskan air liurnya, seolah-olah ingin mengoyak dirinya. Tiga ekor anjing itu mendekati Ana secara bersamaan, bahkan sudah bersiap untuk menerkamnya. Situasi hening sejenak, tiga mahluk hidup itu saling menatap satu sama lain. Dengan gerakan cepat Ana memutar tubuhnya mencoba menyelamatkan diri dan memasuki Hutan Larangan nan gelap di hadapannya. Dengan berbekal sinar ponsel seadanya di tangan, wanita cantik itu terus berlari menyelematkan diri, hingga tidak ia dengar lagi kawanan anjing itu mengejarnya. Namun, persoalan baru ia hadapi. Di mana sekarang dirinya berada?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Galih Januardi
cape sekali bacanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Series Hutan Larangan    Bunga Es

    Waktu terus berjalan sampai malam hari dan Andra belum bisa menjawab pertanyaan dari Nay harus pindah ke mana. Bukan soal barang-barang yang ia khawatirkan, benda-benda itu bisa dibeli lagi. Tapi soal kehidupan sebagai separuh binatang dan manusia. Sulit untuk berbaur dengan orang ramai. Tak semua paham menjaga sikap. Dengan warga desa di sini hanya karena ada aturan dari penguasa saja makanya mereka tunduk. Sambil berbaring, Andra melipat dua tangan di belakang kepalanya. Apa harus pergi ke pegunungan Himalaya? Tapi terlalu dingin, mungkin cocok bagi Nay tapi tidak baginya. Atau ke Hutan Larangan? Di sana ada Murti dan Pawana. Tak terlalu suka Andra dengan dua harimau putih itu. Bingung. Tangan Nay tiba-tiba berpindah memeluk Andra yang dari tadi melamun saja. Lelaki itu tergugah sedikit. Mungkin bisa mencari inpirasi usai menghangatkan diri pada tubuh dingin seekor ular. Mulailah si pejantan beraksi menyentuh setiap jengkal kulit betina yang halus tanpa cela. Ular itu pun mulai

  • Series Hutan Larangan    Harus Ke Mana?

    “Murti, kau di sini.” Candramaya meliha temannya duduk di singgasana milik Darma. “Iya, kalian sudah kembali. Akhirnya kau dapat juga apa yang kau mau,” jawab Murti sambil memperhatikan wajah Candramaya yang asli. “Setelah hampir ribuan tahun menunggu. Rasanya semua ini melelahkan.” Candra menghela napasnya yang dingin. “Lelah apanya? Sekarang dia ke mana?” Maksud Murti kandanya kenapa tidak kembali. “Terakhir aku meninggalkan dia penginapan, mungkin dia masih tidur.” “Astaga, kalian benar-benar kasmaran sampai lupa menjaga bukit. Sekarang karena kau sudah kembali, aku akan pergi ke tempat suamiku.” Murti beranjak dari singgasana milik kandanya. “Bagaimana dengan kehidupanmu di sana?” Candra menahan tangan Murti. “Kami baik-baik saja, semoga kau juga sama, Candra, penantian dan kesetiaanmu layak mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalau kanda tidak juga luluh tinggalkan saja bukit ini. Lebih baik cari lelaki lain yang peka dengan perasaanmu.” Murti mengelus jemari Candra yang hal

  • Series Hutan Larangan    Diusir

    Candramaya terbangun di kamar hotel tempatnya menginap. Ia tak sadarkan diri selama beberapa hari akibat minumal alkohol yang dicicipi. Saat bangun, ia hanya menggunakan selimut saja. Sedangkan di lantai bagian bawah, ada seekor harimau putih yang bermalas-malasan. “Sepertinya kami terlena tinggal di kota. Ini tidak bisa dibiarkan.” Candra bangkit dan mencari sumber air. Ia yang kurang tahu tentang kehidupan modern menendang pintu kamar mandi padahal tinggal dibuka saja. Ketiadaan air di dalam bak mandi layaknya telaga membuat ular tujuh warna itu merusak shower hingga airnya terus mengalir. Candra tak peduli yang penting ada air untuk membersihkan sisiknya yang terasa berdebu.“Kenapa airnya panas sekali.” Wanita itu tak sadar menghidupkan penghangat. Tak ingin Canda berendam di sana. Keadaan di luar bukit sama sekali tidak membuatnya tenang. Ular tujuh warna itu tak peduli lagi dengan Damar yang ingin tinggal di hotel atau tidak. Candra pun memejamkan mata dan menghilang, kemudi

  • Series Hutan Larangan    Tersiksa

    Waktu berjalan hingga telah ratusan tahun lamanya sejak Damar, Weni, Murti dan Pawana menjadi separuh binatang buas. Pun dengan lingkungan yang telah berubah sangat berbeda. Orang-orang tak lagi menggunakan kuda, meski masih ada beberapa yang mempertahankan tradisi. Rumah mulai dibuat dari batu, semen, serta besi, tak lupa pula keramik hingga bahkan istana raja zaman dahulu kalah indahnya. Semua itu normal dimiliki oleh manusia biasa. Namun, Damar memiliki aturan sendiri di bukit tempatnya berkuasa. Tidak boleh ada aliran listrik sebab akan timbul kebisingan di sekitarnya. Tidak boleh ada modernitas apa pun, bahkan kendaraan saja masih sama seperti dahulu. Sederhana saja, siapa yang mampu dia akan bertahan tinggal di Bukit Buas. Apalagi di desa tetangga masih bisa melakukan aktifitas yang sama. Murti dipercaya oleh Damar untuk menerima siapa pun yang tinggal di desa. Selain orang itu bisa diajak bekerja sama dan tidak mengurus kehidupan para binatang di dalam bukit. Murti—wanita

  • Series Hutan Larangan    Perpisahan

    Pawana baru saja menyelesaikan semedi jangka panjangnya. Ia menjadi semakin bijaksana juga sakti. Hanya satu kekurangannya, yaitu ia bukanlah penguasa di Bukit Buas. Murti mendatangi dan memeluk suaminya. Lelaki yang sejak jadi harimau lebih memilih dekat dengan alam, wanita itu jadi merasa terabaikan. “Setelah ini mau bertapa lagi? Tidakkah Kang Mas tahu anak kita sudah besar semua dan mencari hidupnya sendiri-sendiri,” ujar Murti sambil menggamit tangan Pawana. “Mereka pergi semua?” tanya lelaki berambut putih itu. “Iya, semua sudah besar, yang lelaki pergi mencari wilayah sendiri, yang perempuan pergi bersama pasangannya. Aku tak bisa melarang mereka sudah punya hidup sendiri.” “Berapa lama waktu yang aku lewati memangnya?” Pawana tak sadar dengan kesepian diri sendiri. “Ratusan tahun sepertinya, kali ini memang Kas Mas terlalu lama. Aku hampir saja mencari jantan lain.” “Kau tak akan bisa melakukannya. Kau itu sudah terikat denganku,” jawab Pawana sambil tersenyum. Namun, a

  • Series Hutan Larangan    Harapan

    Samar-samar sang penguasa Bukit Buas mendengar suara teriakan seorang perempuan. Sebenarnya ia tak mau ikut campur urusan lain. Namun, semakin lama suara itu justru terdengar semakin pilu dan masih terjadi dalam wilayah kekuasannya. Manusia harimau putih itu menghilang dan mencari sumber suara. Ia berubah menjadi seekor harimau dan berlari cepat bahkan nyaris menumbangkan beberapa pohon. Beberapa saat kemudian harimau itu sampai di sebuah tempat. Di mana Sora sedang mencabik-cabik kain sutera yang menutupi tubuh Candramaya. Harimau itu memejamkan mata, ia perhatikan dengan baik lalu melangkah mundur sebentar dan berlari kencang hingga menerjang Sora yang nyaris sedikit lagi merenggut harga diri Candramaya. Ular tujuh warna itu terkejut ketika harimau putih melompat melewati atas tubuhnya. Ia pun bangkit dan menutupi diri dengan sisa-sisa kain di badan. Tadinya Candra mengira kalau harimau itu Murti. “Sepertinya dia bukan Murti,” gumam Candra dari balik pohon. Pertama kali sejak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status