Bab 3
“Kok, nggak jadi bonekanya dibawa?” tanya Raka pada Kirana.
“Bukan punya kita, nanti pemiliknya datang lagi mau jemput ke rumah,” jawab Ana.
“Kamu masih percaya aja sama hal-hal gitu, mitos.” Raka melirik Ana yang dari tadi hanya duduk diam tanpa ekspresi apa pun.
Lelaki itu berpikir mungkin karena istrinya kelelahan saja, hingga sedari tadi hanya diam tidak berceloteh seperti biasanya. Wanita itu juga tidak menyentuh ponselnya sama sekali, mungkin habis daya, pikir Raka. Ia hanya membiarkannya saja, ia kembali fokus menyetir agar bisa melewati hutan yang semakin menebarkan aroma menyeramkan.
Raka melirik jam di tangan, sudah jam delapan malam. Namun, dirinya tidak kunjung jua melihat arah perkotaan maupun pemukiman penduduk untuk sekadar bertanya. Ia melirik ke arah spion di hadapanya, bayangan Ana tidak terlukis di sana. Ia menggelengkan kepalanya dan melirik wanita di sebelahnya. Ana masih duduk diam memandang lurus ke arah jalanan. Cepat lelaki itu mengenyahkan pikiran buruk di kepalanya.
“Sayang.”
Raka sedikit terdiam mendengar panggilan dari bibir Ana, sahabat masa kecilnya itu tidak pernah memanggilnya semesra itu.
“Kamu nggak penasaran kemana perginya istri pertama kamu hampir tiga tahun?” lanjut Ana.
“Buat apa juga mikirin Asih. Dia udah sama lelaki lain. Ngapain juga kamu nanyain itu. Tumben?”
“Nggak kangen sama dia?”
“Please, An. Kamu tahu, kan, gimana aku dari dulu?”
“Kalau tiba-tiba Asih ada di depan kamu sekarang, kamu pilih aku atau dia?”
Raka memelankan laju kendaraan mobilnya perlahan. Ia menoleh ke arah Ana duduk. Sedari tadi sikap diam Ana dan tanyanya tiba-tiba, membuat lelaki itu merasakan keganjilan yang mengusik hati. Ketika ia memalingkan wajahnya ke depan, Raka dikejutkan oleh sekelebat bayangan putih yang melintas di depan mobilnya. Gegas lelaki itu membanting setir ke arah kanan dan menepikan mobilnya. Tanpa bertanya pada Ana, ia keluar memeriksa keadaan, siapa yang iseng dengannya, di malam hari di tengah hutan pula.
Puas melirik ke arah kiri kanan dan sekitarnya, lelaki berkacamata itu tidak menemukan siapa pun yang sedang menjahilinya. Raka kembali ke mobilnya, tidak ia temukan keberadaan Ana di kursi depan. Matanya membulat seketika ketika melihat sosok istri pertama yang meninggalkannya berada di kursi mobil belakang.
“Se-sejak kapan kamu ada di sini.” Gemetar tangannya melawan rasa takut dalam darahnya.
Sosok Asih berbalut baju tipis berwarna putih dan menampilkan lekuk tubuh langsingnya itu mengulurkan tangannya ke pipi Raka. “Sudah dari tadi, aku merindukanmu, suamiku.”
“Jangan macam-macam. Mana Ana, kamu apakan dia?” Raka mencoba membuka pintu mobil, tetapi mobil itu terkunci dan tidak terbuka sedikit pun.
Keringat mulai membanjiri pelipisnya, padahal angin dingin terus bergerak di sekitar hutan larangan itu. Raka masih terus membuka pintu mobil. Ia tidak menyerah, ia mencoba menghubungi ponsel Ana, sialnya tidak ada jaringan sama sekali di tengah hutan gelap gulita seperti sekarang.
“Sudah, lupakan Ana sebentar. Mustahil aku hilang begitu saja dari hatimu, kan?” Asih memeluk perlahan leher Raka dari belakang, ia sengaja menghembuskan napas dinginnya di telinga lelaki itu.
Sejenak Raka terdiam dengan perlakukan mesra Asih. Ia tidak memungkiri rasa rindu pun masih tersimpan untuknya. Namun, ia juga tidak bisa menolak logika berpikirnya, tidak mungkin Asih tinggal di tengah hutan seperti ini seorang diri pula.
“Lepaskan, Asih. Kita sudah bukan suami istri lagi, apa kamu lupa?” Raka melepaskan pelukan Asih dari lehernya.
Namun, Asih tidak melepaskannya begitu saja, ia menarik wajah Raka menghadap wajahnya, mencium bibir lelaki itu agar takluk kembali pada rayuannya. Awalnya Raka menolak dan mencoba menjauh, otaknya masih waras, ia harus mencari kemana perginya Ana. Namun, pesona Asih yang semakin terpancar serta wangi tubuhnya yang menusuk indera penciuman membuatnya lupa dengan kesadarannya sendiri.
Ia membalas ciuman Asih lebih dalam dan lama. Perlahan bahkan tangannya mulai menjelajah ke sana ke mari dan membuka kain tipis yang membungkus tubuh mantan istrinya. Memori hidup bertahun-tahun dengan Asih dahulu sebelum mereka berpisah, bangkit kembali menari di pusat syarafnya. Memaksanya takluk pada rasa rindu yang berpusat di satu titik tubuhnya untuk dituntaskan.
Asih menyambut setiap sentuhan Raka pada inci tubuhnya dengan senang hati. Ia bagai musafir kehausan yang menemukan oase di padang pasir. Sepasang insan itu saling mencumbu, menyentuh, memuja dan memuji yang membuat perasaan mereka melambung ke awan. Penyatuan jiwa mereka menimbulkan suara yang nyaring di antara lolongan anjing di dalam hutan.
***
Suara jangkrik dan lolongan anjing kembali membangkitkan kesadaran Raka yang tertidur selama beberapa jam. Tubuhnya serasa lemah dan ia bagai diserang rasa haus yang teramat sangat. Lelaki itu terkejut ketika ia terbangun tanpa busana. Cepat ia kenakan satu per satu pakaiannya, nalarnya belum bisa diajak untuk berpikir normal, sensasi sentuhan Asih tadi masih terasa lekat di tubuhnya. Lelaki itu menenggak minuman dalam kemasan botol besar hingga tinggal setengah. Setelah itu ia menarik napas dalam-dalam.
“Shit!” umpatnya.
Raka ingat dengan jelas terlena dalam pesona Asih yang sangat menggoda tadi. Namun, wanita itu pun tidak ada di dalam mobil. Lalu kemana Asih pergi, begitupun Ana? Semua bagai misteri menyeramkan yang mengurungnya lebih lama untuk berada di tengah Hutan Larangan. Terpaksa ia memutar balik mobilnya untuk menjemput istrinya.
Rumah makan tepi jalan yang ia singgahi bersama istrinya itu menjadi tempat yang akan ditujunya. Dengan kecepatan tinggi Raka menjalankan kendaraannya. Khawatir sesuatu akan menimpa Ana jika lebih lama menunggu.
Sejenak ia merutuki dirinya sendiri. Harusnya keanehan Ana sejak awal di dalam mobil bisa ia tangkap. Namun, sekali lagi lelaki berkacamata itu tidak pernah ingin percaya dengan mitos-mitos yang kerap ia dengar ketika seseorang terjebak di dalam hutan. Lalu bagaimana dengan percintaannya dengan Asih? Semuanya seakan terasa nyata, setiap sentuhan dan dambaan mereka benar-benar bukan hayalan saja. Meski tubuh Asih tidak sehangat tubuhnya, tetapi mereka tetap bisa bersentuhan seperti layaknya manusia lain.
“Harusnya aku nggak terbuai sama perasaan,” ucapnya, “Ana semoga kamu baik-baik saja, tunggu, aku pasti datang menjemput.”
***
Wanita bermata cokelat itu, masih menanti kedatangan Raka di pinggir jalan seorang diri. Ia enggan untuk duduk kembali di dalam lesehan yang nyaris ambruk dan gelap gulita. Hanya Martha-boneka cantik itu yang menemaninya. Air matanya ia hapus berkali-kali. Hawa dingin di dalam hutan telah membuat kakinya kebas hingga memaksanya duduk begitu saja. Tidak ada harap lain, selain kedatangan Raka yang menjemputnya. Meski sudah satu jam menunggu wanita itu enggan beranjak untuk berjalan lebih jauh.
Bukan tidak terdengar oleh Ana, suara-suara aneh yang datang dari dalam hutan. Ia hanya mencoba mengabaikan rasa takutnya sendiri. Berkali-kali ia mencoba menghubungi Raka, tetapi tidak ada jaringan yang tersedia. Pesan pun hanya centang satu saja, belum berganti warna. Perlahan bibirnya bergetar menahan rasa dingin yang semakin menusuk tulang. Ia melipat bibirnya agar gigilnya tidak semakin menjadi. Kemeja putih tipis yang ia kenakan tak membantunya mengusir dingin.
Binatang berkaki empat keluar dari arah hutan di hadapannya. Makhluk bertaring tajam itu menggeram ke hadapannya, mau tidak mau Ana berdiri mencoba berlari, baru beberapa langkah sepatu tingginya sudah patah, gegas Ana melepasnya, meninggalkannya di jalanan dan terus berlari karena binatang berwarna hitam itu menyalak dan terus mengejarnya. Air matanya tumpah tanpa dihapusnya karena rasa takut telah menguasai jiwanya.
Dari arah depan seekor anjing datang lagi menghentikan langkahnya, Ana berbalik ke arah belakang, seekor anjing lagi ia temukan menyeringai dan meneteskan air liurnya, seolah-olah ingin mengoyak dirinya. Tiga ekor anjing itu mendekati Ana secara bersamaan, bahkan sudah bersiap untuk menerkamnya. Situasi hening sejenak, tiga mahluk hidup itu saling menatap satu sama lain. Dengan gerakan cepat Ana memutar tubuhnya mencoba menyelamatkan diri dan memasuki Hutan Larangan nan gelap di hadapannya. Dengan berbekal sinar ponsel seadanya di tangan, wanita cantik itu terus berlari menyelematkan diri, hingga tidak ia dengar lagi kawanan anjing itu mengejarnya. Namun, persoalan baru ia hadapi. Di mana sekarang dirinya berada?
Bagian 4Sudah sejam lebih Raka memacu mobilnya, tetapi tidak juga ia temukan keberadaan wanita yang baru beberapa waktu ia nikahi. Begitu juga dengan warung makan di pinggir jalan, tidak kunjung ia jumpai. Seharusnya jaraknya tidak terlalu jauh dari tempatnya berhenti ketika bertemu dengan sang mantan. Suasana di tepi hutan itu jangan ditanya lagi, sudah pasti angin yang berembus semakin menusuk tulang.Ia melambatkan laju mobil ketika matanya menangkap gapura tempatnya menemukan boneka yang dipungut Ana. Dari dalam mobil terlihat olehnya bayangan anak kecil dengan rambut dijalin dua melambaikan tangan padanya. Bergegas lelaki itu memutar balik kendaraannya, artinya ia mundur jauh ke belakang.Raka semakin frustasi mencari keberadaan Ana, perlahan ia menarik kasar rambutnya, merenungi kesalahan apa yang mereka lakukan hingga tersesat di wilayah Hutan Larangan. Bagaimana dengan nasib Ana yang entah di mana keberada
Bagian 5Sekian lama Ana berjalan, akhirnya ia temukan sumur di tengah hutan. Sebuah sumur yang sangat tua, ditambah beberapa peralatan kayu yang teronggok begitu saja di sekitarnya. Juga beberapa benda untuk menggali tanah yang ditinggalkan secara sembrono, tanpa menyelesaikan pekerjaan di sana. Wanita itu mengeluarkan botol air kosong dari ransel yang dibawanya.Perlahan ia memeriksa kondisi timba tersebut, masih layak digunakan atau tidak. Tidak ada tanda-tanda kerusakan di peralatan itu. Ia pun bergegas menimba air untuk mengurangi rasa haus, yang nyaris membuat pandangannya tidak fokus. Ana mencium bau air itu sebelum menuangkannya ke dalam botol. Tidak ada kejanggalan yang ia temukan.Namun, ketika wanita itu meninggalkan sumur, katrol itu menarik sendiri timbanya ke atas dan sumur itu tertutup dengan sendirinya, menyisakan tatapan mengerikan dari mahluk lawan jenis yang memandang Ana sejak pertama kali ia me
Bagian 6Sekian lamanya berjalan, rumah yang di sebut oleh Bagus tidak juga terlihat. Ana yang mulai kelelahan duduk sebentar di sebuah batu hitam besar. Wanita bermata cokelat itu, masih enggan untuk melihat ke arah langit, takut melihat pemandangan mengerikan lagi. Bagus hanya diam memperhatikannya memijit kaki sendiri.“Masih jauh lagi rumahmu? Suer aku capek banget,” ucapnya sambil menarik napas perlahan.“Bagiku ya tidak terlalu jauh. Bagimu yang biasa di kota mungkin akan sangat jauh,” jawabnya sembari memperhatikan Ana dari ujung rambut sampai kaki.“Bisa mati kelelahan aku kalau begini.”“Kau pilih mati kelelahan atau mati diterkam mahluk-mahluk di sini?”“Hah, maksudmu?”“Sudah, naik saja ke punggungku. Sebentar lagi kau akan lihat sendiri apa yang kuceritakan tadi. Percayalah kalau tidak kupegang kau akan pingsan atau bahkan, mati!” Bagus b
Bagian 7Seekor harimau dengan warna kuning berkilau mengejar mangsanya di dalam hutan. Setelah mendapatkannya harimau itu pun melumat tubuh mangsa yang ukurannya jauh lebih kecil dengan taring tajamnya hingga tersisa sedikit daging yang melekat di tulang. Puas, harimau itu lalu meninggalkan mangsanya sendirian di tengah hutan. Perlahan penguasa sebagian Hutan Larangan itu mengubah wujudnya menjadi seorang manusia.Di tengah perjalanan harimau lain menghadang perjalanannya dan juga mengubah wujudnya menjadi manusia dengan pakaian khas berwarna belang harimau yang membalut tubuhnya kekarnya.“Kau menemukan mangsa yang lezat, mengapa tidak ajak kami untuk menyantapnya?” Manusia berbaju belang menyeka gigi taringnya yang lebih tajam dari ukuran manusia biasa.“Dia tamuku, aku akan menjaganya, tidak ada urusannya dengan kalian,” jawab lelaki dengan rambut sebahu itu.“Kau paham dari dulu kita tidak pern
Bagian 8Tas ransel telah diisi dengan perbekalan yang cukup. Ana sudah tidak sabar untuk segera keluar dari hutan. Ia melangkah dengan penuh senyuman pada Bagus yang telah menuggunya di tepi telaga. Lelaki itu tidak mengenakan baju, ia menjemur tubuhnya di bawah sinar matahari hingga sedikit terlihat berwarna kuning berkilau. Di lehernya terdapat kalung yang berhiaskan dua buah taring harimau. Pemandangan yang mampu membuat Ana sejenak lupa untuk mengedipkan mata.“Kita jadi berangkat, kan?”“Itu tergantung kau saja, mau tinggal di sini selamanya pun tidak masalah.”“Is, gak mau, pokoknya antar aku pulang, aku pasti bayar kamu.”“Bukan masalah itu. Hanya saja jika kau ragu, hutan ini tidak akan menunjukkan jalan pulang, malah akan semakin menyesatkanmu.”“Aku mau pulang titik. Atau kalau kamu mau, kamu bisa ikut aku tinggal di kota. Aku cariin, deh, kerjaan yang cocok untuk
Bagian 9Memasuki hari ke dua perjalanan keluar hutan, Ana mulai dilanda rasa lelah yang teramat sangat. Wanita itu lebih sering digendong di punggung tegap Bagus daripada berjalan. Wajar saja, ketiadaan pengalaman memasuki hutan belantara sama sekali menjadi penyebabnya. Hingga tanpa ia sadari dirinya semakin memiliki keterikatan emosional pada lelaki yang menolongnya tanpa lelah.Menjelang malam, mereka melewati sebuah wilayah dengan suhu udara yang lebih hangat dibandingkan biasanya. Bahkan di tempat itu mereka menjumpai sisa-sisa kembang aneka warna serta kumpulan asap yang dibakar dari benda berwarna hitam. Beberapa lembar foto-foto orang yang tidak dikenal juga diletakkan secara acak di sana. Langkah Bagus terhenti ketika menyaksikan beberapa orang menyembah seorang wanita muda dengan baju berwarna merah duduk di atas batu hitam.Manusia bermata kuning dengan tatapan tajam itu, membawa Ana bersembunyi di balik batu besar. Dari balik batu itu
Bagian 10Lilitan akar pohon mulai membelit tubuh Ana. Ia tidak beranjak selama beberapa jam di dalam labirin tulang manusia dan memilih pasrah sampai Bagus datang menolong. Ia meraih pisau di kantong celananya, wanita itu berusaha memotong akar pohon yang mulai menjerat lehernya. Namun, semakin dipotong semakin erat pula akar itu mencengkeram tubuhnya.Ketika tubuhnya hampir terbenam di dalam tanah seluruhnya. Seseorang datang menolong dan menariknya dengan kuat hingga berhasil keluar dari jerat akar pohon. Bergegas wanita itu membersihkan sisa-sisa tanah yang mengotori tubuhnya. Ia sempat merasa heran dengan kedatangan seseorang yang sama sekali tidak diduganya.“Raka.” Ana memeluk tubuh itu seketika, “Akhirnya kamu datang juga.”Tanpa menjawab sama sekali, suami Ana itu memegang tubuh Ana yang masih gemetar dengan peristiwa tadi. Ia meraih leher istrinya dengan kedua tangannya. Semula Ana tidak bereaksi sama sekali
BAGIAN 11“Gus, sungai sebesar itu kita mau nyebrang pakai apa? Nggak ada perahu atau jembatan, gitu?”Langkah keduanya terhenti ketika sampai di depan sungai yang terlihat tenang.“Ini terusan sungai waktu kau hanyut dulu. Tampak tenang tapi menghanyutkan.”“Terus, kita putar arah, cari jalan lain?” sahut Ana.“Jauh. Aku tak tahu akan memakan waktu berapa lama. Kecuali kalau kau memang ingin berlama-lama denganku, di sini.”“Ya, cari cara, donk.”“Iya sedang kupikirkan.”“Cepet, jangan lama-lama. Entar lagi malam.”Sejenak Bagus berpikir untuk menggunakan akar pohon besar yang bergantungan agar bisa melompat jauh. Akan tetapi, wanita itu pasti tidak bisa melakukannya. Jarak lompatan dari daratan tempatnya berpijak dengan daratan seberang cukup luas. Jika dipaksa melompat khawatir terjatuh dan entah mahluk apa lagi yan