Bagian 1
Suasana mencekam di gelapnya Hutan Larangan sudah cukup menggambarkan kengerian di dalamnya. Sosok arwah wanita cantik yang terpaku di sana, menatap jasadnya yang dikubur secara tidak layak di dalam hutan itu.
Begitu banyak mitos, takhayul dan pantangan bagi manusia yang menjejakkan kaki di hutan tersebut. Belum lagi aturan gaib yang wajib dipatuhi oleh manusia ketika berpetualang di rimbunan tempat di mana segala macam mahluk gaib dengan segala rupa tinggal.
Hanya orang yang kehilangan akal sehat yang berani melanggar aturan untuk mengubur jasad tak bernama di sana. Merasa tidak adil, seseorang yang telah lama menghuni hutan itu datang dan membangkitkan arwah wanita itu untuk membalaskan dendam.
***
"Secepat ini kita pulang?" Kirana memeluk tubuh tinggi Raka dari belakang. Raka balas menggenggam tangan halus Kirana."Iya, Ana, dua hari lagi, kan, aku harus kembali bekerja. Kalau nambah libur lagi aku bisa dipecat sama bos." Raka berbalik kemudian menarik hidung mancung Ana.
"Kan, bosmu itu Papa aku, jadi santai aja kenapa, sih? Aku masih belum puas bulan madu selama seminggu, ya, ya, ya?" Kirana mengerjapkan mata coklatnya dengan cepat mencoba merayu suaminya.
Raka tetap kukuh pada keputusannya. Kembali sekarang juga karena tidak ingin mangkir dari kewajiban di kantor. Lagi pula anak gadisnya yang berusia lima tahun pasti sangat merindukan kehadirannya di rumah. Amy nama bidadari kecil Raka. Nasib ayah dan anak itu tidak beruntung. Di usia Amy yang baru saja genap tiga tahun, ia sudah ditinggal pergi oleh ibunya.
Wanita yang melahirkan Amy pergi bersama lelaki lain mencari kehidupan yang lebih baik. Beruntung pasca ditinggal istri tercinta, Kirana yang tidak lain adalah sahabat masa kecil Raka datang mengisi kekosongan di hati mereka. Dua sahabat baik itu menjalin hubungan yang lebih serius selama dua tahun, hingga mereka akhirnya memutuskan untuk melabuhkan cinta dalam ikatan pernikahan.
Seminggu setelah bulan madu di villa mewah, kini mereka harus kembali menjalani kehidupan seperti biasa. Tidak ingin kemalaman di jalan, Raka memutuskan untuk berangkat setelah makan siang. Dua buah koper berukuran sedang sudah selesai di kemas oleh Kirana. Lelaki itu, kemudian memasukkan koper mereka ke bagasi mobil.
Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, Raka lalu menghidupkan dan mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Sementara itu, Ana yang nampak kelelahan mulai tertidur karena cuaca yang juga mulai terlihat mendung.
Tiga jam lebih menyetir, membuat Raka diserang kantuk. Saat matanya hendak memejam, ia dikejutkan oleh suara benda berat yang jatuh di atap mobil sedan hitam miliknya. Ia menepikan mobilnya untuk memeriksa keadaan sekitar. Tidak ada yang terjadi, bahkan mobilnya tidak penyok atau lecet sama sekali. Padahal jelas-jelas ada benda berat yang menimpa mobilnya.
"Ada apa, Ka, kenapa berhenti di sini?” Ana yang baru saja bangun, langsung membuka kaca jendela mobil.
"N--nggak ada apa-apa, mungkin aku salah dengar aja tadi, ya?" Raka memegang tengkuk yang tiba-tiba ditiup oleh angin dingin.
"Kita sekarang di mana?" Kirana keluar dari mobil dengan mata sayunya.
"Di wilayah Hutan Larangan, tadi aku baca petunjuk jalannya gitu," jawab Raka singkat
"Ooh," balas Ana, "yaudah nggak ada apa-apa, kan? Kita lanjut lagi, ya. Takut kemalaman di hutan, seram." Ana bergidik ngeri.
Tanpa basa basi Raka segera masuk mobil dan mencoba mengabaikan kejadian tadi. Ia memutar lagu untuk mengusir rasa takut yang menyusup ke dalam hati. Baru saja jam empat sore tapi hari sudah terlihat hampir gelap, sebab pengaruh pohon-pohon besar yang mengelilingi hutan yang mereka lewati.
Ana yang tidak bisa tidur menghilangkan kejenuhan dengan bermain game. Saat sedang asyik mengumpulkan nyawa, tiba-tiba Ana menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa di jok belakang mobil. Wanita canti itu kembali melanjutkan permainannya.
"Ana." Lagi suara nyaring itu terdengar di telinga Ana. Suara perempuan dengan desahan panjang.
Wanita berambut panjang itu kembali menoleh tapi tidak ada siapa pun di sana.
"Kamu kenapa?" Raka bertanya tanpa menoleh pada Ana.
"Ada suara perempuan manggil aku dua kali, Ka. Pas aku lihat ke belakang nggak ada siapa-siapa?"
"Suara siapa? Jangan ngaco An, kita ini lagi di tengah hutan, jangan berpikir yang aneh-aneh."
"Beneran, loh, Ka. Suaranya jelas banget si belakang sini." Ana menunjuk ke arah mobil penumpang dengan kesal.
Raka mengabaikan kekesalan Ana dan terus saja mengemudi. Jalan yang mereka tempuh sangat sepi, hanya mobil mereka yang lewat dari tadi. Jalanan juga mulai dihiasi kabut tipis yang memperpendek jarak pandang. Mau tidak mau lelaki berkacamata itu terpaksa membunyikan klakson setiap kali lewat tikungan yang berbatasan langsung dengan jurang terjal.
“Raka.” Terdengar suara lembut wanita berbisik pada Raka. Refleks ia menoleh ke belakang.
“Kamu manggil aku barusan?” tanya Raka.
“Nggak.” Ana memiringkan bibir tipisnya karena masih kesal dengan sikap cuek Raka tadi.
Raka menepikan mobil, melepaskan sabuk pengaman. Tanpa permisi mencium paksa bibir milik Ana. Wanita itu tidak bisa bergerak, tubuhnya yang masih terlilit sabuk pengaman membuatnya tidak bisa melawan sedikit pun. Diam menjadi satu-satunya pilihan.
Raka kemudian menjauh sambil mengerlingkan matanya. Sementara itu, Ana hanya tertunduk malu dengan muka memerah. Lelaki itu mencoba menghidupkan mobil untuk melanjutkan perjalanan. Berkali kali menstarter tetapi tidak juga berhasil. Ia keluar dan membuka kap depan mobilnya mencoba mencari solusi mobilnya yang mogok tiba-tiba.
"Ana." Lagi suara wanita terdengar memanggil Ana.
Ana yang merasa ketakutan kemudian keluar dari mobil dan mendekat pada suaminya. Namun, pandangan matanya tertuju pada gapura tua bertuliskan Pemakaman Keluarga Daendels.
Pikiran wanita cantik itu seakan tersihir untuk mendekat ke sana. Ia terus saja berjalan dengan perlahan tanpa memedulikan Raka yang terus memanggilnya, hingga sebuah tepukan singkat menyadarkannya.
"Kamu ngapain ke sana, hmm?" Raka memegang tangan istrinya dan menuntunnya ke dekat mobil.
"Nggak tahu, tadi seperti ada sesuatu yang mencoba menarik aku ke sana."
"Itu pemakaman, mau lihat apa kamu di sana?" tanya Raka sekali lagi dan Ana hanya menggeleng.
"Kita lanjutkan perjalanan, ya. Hutan ini makin lama makin aneh, hii." Ana hanya mengangguk mengikuti perkataan lelaki tersebut.
Langkah wanita berambut panjang itu, seketika terhenti pada sebuah benda tak bertuan yang tergeletak di tanah. Ia kemudian memungut Boneka yang memiliki ukuran kaki dan tangan yang sangat panjang dan lentur. Bahan boneka tersebut sangat halus. Pakaian yang melekat di tubuh boneka itu mirip seperti gaun noni Belanda zaman dahulu.
Ukiran wajahnya seakan nyata menandakan pemahatnya sangat telaten menciptakan benda mati yang mirip manusia. Bibir boneka itu tersenyum sempurna. Bola mata hitamnya bening dan besar. Rambutnya panjang sebahu dan menggunakan topi bundar berwarna merah dengan pita kecil yang mengelilinginya. Ia jatuh cinta pada boneka itu. Tanpa ragu Ana mengambilnya dan membawa dalam pangkuannya.
"Buat Amy, ya? Bonekanya cantik."
"Terserah kamu aja."
Mobil sudah bisa dihidupkan, tanpa ragu mereka melanjutkan perjalanan. Sesosok anak kecil berusia kira-kira dua belas tahun memperhatikan kepergian mereka. Anak kecil dengan wajah putih pucat dan rambut dijalin dua dan mengenakan pakaian noni Belanda itu melambaikan tangan karena benda miliknya telah dibawa pergi.
"Bonekanya lucu, ya?" Ana membersihkan sisa-sisa daun kering yang menempel di boneka tadi, "Amy pasti suka, iya, kan?"
"Hmmm," jawab Raka malas, sambil memutar bola matanya ke atas.
Ana terus membersihkan baju boneka tersebut, di bagian belakang baju itu ada label kecil bertuliskan 'Martha'.
"Oh, jadi boneka ini bernama Martha." Ana mencoba menyisir rambut boneka dengan jarinya.
"Bonekamu cantik, boleh aku pinjam?" tanya suara tanpa wujud yang terdengar lagi di telinga Ana.
Ana menoleh ke belakang tapi tidak ada siapa-siapa seperti tadi. Ia mendengkus dan membalikkan wajahnya ke depan. Seketika sosok wanita berambut panjang dan kusut telah menghiasi pandangannya. Pandangan mereka beradu sesaat. Wanita canti itu terdiam, membeku, tidak bisa berkata apa-apa.
"Boleh aku pinjam bonekamu?" Lagi wanita berwajah pucat itu bertanya pada Ana.
Bersambung ...
Bagian 2Ana membuka paksa matanya dengan napas tersengal-sengal. Seketika ia memperhatikan sekelilingnya. Persis tadi, ia ingat dengan jelas sedang beradu pandang dengan wanita berwajah pucat di kursi belakang mobilnya."Kamu cari apa, sih?" tanya Raka suaminya."Kamu lihat gak tadi, ada perempuan di kursi belakang mobil kita?""Ng-nggak ada, jangan ngaco deh, An. Kita lagi di tengah hutan loh.""Atau aku cuma mimpi aja, ya. Jam berapa sih sekarang, Ka?""Sebentar lagi magrib.""Hah. Kok lama banget kita di jalan, harusnya, kan, kita udah sampai di tengah kota, atau minimal pom bensin?""Ya, aku juga gak tahu, Sayang. Dari tadi kayaknya kita muter-muter aja di sini gak beranjak ke mana-mana. Bensin udah tinggal setengah juga.""Coba telepon siapa gitu, Ka. Gak mungkin kita habisin waktu terus-terusan di sini?""Nggak ada sinyal sama sekali. Makanya aku terus jalan aja. Belum maghrib juga suasana udah seperti teng
Bab 3“Kok, nggak jadi bonekanya dibawa?” tanya Raka pada Kirana.“Bukan punya kita, nanti pemiliknya datang lagi mau jemput ke rumah,” jawab Ana.“Kamu masih percaya aja sama hal-hal gitu, mitos.” Raka melirik Ana yang dari tadi hanya duduk diam tanpa ekspresi apa pun.Lelaki itu berpikir mungkin karena istrinya kelelahan saja, hingga sedari tadi hanya diam tidak berceloteh seperti biasanya. Wanita itu juga tidak menyentuh ponselnya sama sekali, mungkin habis daya, pikir Raka. Ia hanya membiarkannya saja, ia kembali fokus menyetir agar bisa melewati hutan yang semakin menebarkan aroma menyeramkan.Raka melirik jam di tangan, sudah jam delapan malam. Namun, dirinya tidak kunjung jua melihat arah perkotaan maupun pemukiman penduduk untuk sekadar bertanya. Ia melirik ke arah spion di hadapanya, bayangan Ana tidak terlukis di sana. Ia menggelengka
Bagian 4Sudah sejam lebih Raka memacu mobilnya, tetapi tidak juga ia temukan keberadaan wanita yang baru beberapa waktu ia nikahi. Begitu juga dengan warung makan di pinggir jalan, tidak kunjung ia jumpai. Seharusnya jaraknya tidak terlalu jauh dari tempatnya berhenti ketika bertemu dengan sang mantan. Suasana di tepi hutan itu jangan ditanya lagi, sudah pasti angin yang berembus semakin menusuk tulang.Ia melambatkan laju mobil ketika matanya menangkap gapura tempatnya menemukan boneka yang dipungut Ana. Dari dalam mobil terlihat olehnya bayangan anak kecil dengan rambut dijalin dua melambaikan tangan padanya. Bergegas lelaki itu memutar balik kendaraannya, artinya ia mundur jauh ke belakang.Raka semakin frustasi mencari keberadaan Ana, perlahan ia menarik kasar rambutnya, merenungi kesalahan apa yang mereka lakukan hingga tersesat di wilayah Hutan Larangan. Bagaimana dengan nasib Ana yang entah di mana keberada
Bagian 5Sekian lama Ana berjalan, akhirnya ia temukan sumur di tengah hutan. Sebuah sumur yang sangat tua, ditambah beberapa peralatan kayu yang teronggok begitu saja di sekitarnya. Juga beberapa benda untuk menggali tanah yang ditinggalkan secara sembrono, tanpa menyelesaikan pekerjaan di sana. Wanita itu mengeluarkan botol air kosong dari ransel yang dibawanya.Perlahan ia memeriksa kondisi timba tersebut, masih layak digunakan atau tidak. Tidak ada tanda-tanda kerusakan di peralatan itu. Ia pun bergegas menimba air untuk mengurangi rasa haus, yang nyaris membuat pandangannya tidak fokus. Ana mencium bau air itu sebelum menuangkannya ke dalam botol. Tidak ada kejanggalan yang ia temukan.Namun, ketika wanita itu meninggalkan sumur, katrol itu menarik sendiri timbanya ke atas dan sumur itu tertutup dengan sendirinya, menyisakan tatapan mengerikan dari mahluk lawan jenis yang memandang Ana sejak pertama kali ia me
Bagian 6Sekian lamanya berjalan, rumah yang di sebut oleh Bagus tidak juga terlihat. Ana yang mulai kelelahan duduk sebentar di sebuah batu hitam besar. Wanita bermata cokelat itu, masih enggan untuk melihat ke arah langit, takut melihat pemandangan mengerikan lagi. Bagus hanya diam memperhatikannya memijit kaki sendiri.“Masih jauh lagi rumahmu? Suer aku capek banget,” ucapnya sambil menarik napas perlahan.“Bagiku ya tidak terlalu jauh. Bagimu yang biasa di kota mungkin akan sangat jauh,” jawabnya sembari memperhatikan Ana dari ujung rambut sampai kaki.“Bisa mati kelelahan aku kalau begini.”“Kau pilih mati kelelahan atau mati diterkam mahluk-mahluk di sini?”“Hah, maksudmu?”“Sudah, naik saja ke punggungku. Sebentar lagi kau akan lihat sendiri apa yang kuceritakan tadi. Percayalah kalau tidak kupegang kau akan pingsan atau bahkan, mati!” Bagus b
Bagian 7Seekor harimau dengan warna kuning berkilau mengejar mangsanya di dalam hutan. Setelah mendapatkannya harimau itu pun melumat tubuh mangsa yang ukurannya jauh lebih kecil dengan taring tajamnya hingga tersisa sedikit daging yang melekat di tulang. Puas, harimau itu lalu meninggalkan mangsanya sendirian di tengah hutan. Perlahan penguasa sebagian Hutan Larangan itu mengubah wujudnya menjadi seorang manusia.Di tengah perjalanan harimau lain menghadang perjalanannya dan juga mengubah wujudnya menjadi manusia dengan pakaian khas berwarna belang harimau yang membalut tubuhnya kekarnya.“Kau menemukan mangsa yang lezat, mengapa tidak ajak kami untuk menyantapnya?” Manusia berbaju belang menyeka gigi taringnya yang lebih tajam dari ukuran manusia biasa.“Dia tamuku, aku akan menjaganya, tidak ada urusannya dengan kalian,” jawab lelaki dengan rambut sebahu itu.“Kau paham dari dulu kita tidak pern
Bagian 8Tas ransel telah diisi dengan perbekalan yang cukup. Ana sudah tidak sabar untuk segera keluar dari hutan. Ia melangkah dengan penuh senyuman pada Bagus yang telah menuggunya di tepi telaga. Lelaki itu tidak mengenakan baju, ia menjemur tubuhnya di bawah sinar matahari hingga sedikit terlihat berwarna kuning berkilau. Di lehernya terdapat kalung yang berhiaskan dua buah taring harimau. Pemandangan yang mampu membuat Ana sejenak lupa untuk mengedipkan mata.“Kita jadi berangkat, kan?”“Itu tergantung kau saja, mau tinggal di sini selamanya pun tidak masalah.”“Is, gak mau, pokoknya antar aku pulang, aku pasti bayar kamu.”“Bukan masalah itu. Hanya saja jika kau ragu, hutan ini tidak akan menunjukkan jalan pulang, malah akan semakin menyesatkanmu.”“Aku mau pulang titik. Atau kalau kamu mau, kamu bisa ikut aku tinggal di kota. Aku cariin, deh, kerjaan yang cocok untuk
Bagian 9Memasuki hari ke dua perjalanan keluar hutan, Ana mulai dilanda rasa lelah yang teramat sangat. Wanita itu lebih sering digendong di punggung tegap Bagus daripada berjalan. Wajar saja, ketiadaan pengalaman memasuki hutan belantara sama sekali menjadi penyebabnya. Hingga tanpa ia sadari dirinya semakin memiliki keterikatan emosional pada lelaki yang menolongnya tanpa lelah.Menjelang malam, mereka melewati sebuah wilayah dengan suhu udara yang lebih hangat dibandingkan biasanya. Bahkan di tempat itu mereka menjumpai sisa-sisa kembang aneka warna serta kumpulan asap yang dibakar dari benda berwarna hitam. Beberapa lembar foto-foto orang yang tidak dikenal juga diletakkan secara acak di sana. Langkah Bagus terhenti ketika menyaksikan beberapa orang menyembah seorang wanita muda dengan baju berwarna merah duduk di atas batu hitam.Manusia bermata kuning dengan tatapan tajam itu, membawa Ana bersembunyi di balik batu besar. Dari balik batu itu