Share

Series Hutan Larangan
Series Hutan Larangan
Author: Rosa Rasyidin

Hutan Larangan

Author: Rosa Rasyidin
last update Last Updated: 2021-10-20 00:43:07

Bagian 1

Suasana mencekam di gelapnya Hutan Larangan sudah cukup menggambarkan kengerian di dalamnya. Sosok arwah wanita cantik yang terpaku di sana, menatap jasadnya yang dikubur secara tidak layak di dalam hutan itu.

Begitu banyak mitos, takhayul dan pantangan bagi manusia yang menjejakkan kaki di hutan tersebut. Belum lagi aturan gaib yang wajib dipatuhi oleh manusia ketika berpetualang di rimbunan tempat di mana segala macam mahluk gaib dengan segala rupa tinggal.

Hanya orang yang kehilangan akal sehat yang berani melanggar aturan untuk mengubur jasad tak bernama di sana. Merasa tidak adil, seseorang yang telah lama menghuni hutan itu datang dan membangkitkan arwah wanita itu untuk membalaskan dendam.

***

"Secepat ini kita pulang?" Kirana memeluk tubuh tinggi Raka dari belakang. Raka balas menggenggam tangan halus Kirana. 

"Iya, Ana, dua hari lagi, kan, aku harus kembali bekerja. Kalau nambah libur lagi aku bisa dipecat sama bos." Raka berbalik kemudian menarik hidung mancung Ana.

"Kan, bosmu itu Papa aku, jadi santai aja kenapa, sih? Aku masih belum puas bulan madu selama seminggu, ya, ya, ya?" Kirana mengerjapkan mata coklatnya dengan cepat mencoba merayu suaminya.

Raka tetap kukuh pada keputusannya. Kembali sekarang juga karena tidak ingin mangkir dari kewajiban di kantor. Lagi pula anak gadisnya yang berusia lima tahun pasti sangat merindukan kehadirannya di rumah. Amy nama bidadari kecil Raka. Nasib ayah dan anak itu tidak beruntung. Di usia Amy yang baru saja genap tiga tahun, ia sudah ditinggal pergi oleh ibunya.

Wanita yang melahirkan Amy pergi bersama lelaki lain mencari kehidupan yang lebih baik. Beruntung pasca ditinggal istri tercinta, Kirana yang tidak lain adalah sahabat masa kecil Raka datang mengisi kekosongan di hati mereka. Dua sahabat baik itu menjalin hubungan yang lebih serius selama dua tahun, hingga mereka akhirnya memutuskan untuk melabuhkan cinta dalam ikatan pernikahan.

Seminggu setelah bulan madu di villa mewah, kini mereka harus kembali menjalani kehidupan seperti biasa. Tidak ingin kemalaman di jalan, Raka memutuskan untuk berangkat setelah makan siang. Dua buah koper berukuran sedang sudah selesai di kemas oleh Kirana. Lelaki itu, kemudian memasukkan koper mereka ke bagasi mobil.

Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, Raka lalu menghidupkan dan mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Sementara itu, Ana yang nampak kelelahan mulai tertidur karena cuaca yang juga mulai terlihat mendung.

Tiga jam lebih menyetir, membuat Raka diserang kantuk. Saat matanya hendak memejam, ia dikejutkan oleh suara benda berat yang jatuh di atap mobil sedan hitam miliknya. Ia menepikan mobilnya untuk memeriksa keadaan sekitar. Tidak ada yang terjadi, bahkan mobilnya tidak penyok atau lecet sama sekali. Padahal jelas-jelas ada benda berat yang menimpa mobilnya.

"Ada apa, Ka, kenapa berhenti di sini?” Ana yang baru saja bangun, langsung membuka kaca jendela mobil.

"N--nggak ada apa-apa, mungkin aku salah dengar aja tadi, ya?" Raka memegang tengkuk yang tiba-tiba ditiup oleh angin dingin.

"Kita sekarang di mana?" Kirana keluar dari mobil dengan mata sayunya.

"Di wilayah Hutan Larangan, tadi aku baca petunjuk jalannya gitu," jawab Raka singkat

"Ooh," balas Ana, "yaudah nggak ada apa-apa, kan? Kita lanjut lagi, ya. Takut kemalaman di hutan, seram." Ana bergidik ngeri.

Tanpa basa basi Raka segera masuk mobil dan mencoba mengabaikan kejadian tadi. Ia memutar lagu untuk mengusir rasa takut yang menyusup ke dalam hati. Baru saja jam empat sore tapi hari sudah terlihat hampir gelap, sebab pengaruh pohon-pohon besar yang mengelilingi hutan yang mereka lewati.

Ana yang tidak bisa tidur menghilangkan kejenuhan dengan bermain game. Saat sedang asyik mengumpulkan nyawa, tiba-tiba Ana menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa di jok belakang mobil. Wanita canti itu kembali melanjutkan permainannya.

"Ana." Lagi suara nyaring itu terdengar di telinga Ana. Suara perempuan dengan desahan panjang.

Wanita berambut panjang itu kembali menoleh tapi tidak ada siapa pun di sana.

"Kamu kenapa?" Raka bertanya tanpa menoleh pada Ana.

"Ada suara perempuan manggil aku dua kali, Ka. Pas aku lihat ke belakang nggak ada siapa-siapa?"

"Suara siapa? Jangan ngaco An, kita ini lagi di tengah hutan, jangan berpikir yang aneh-aneh."

"Beneran, loh, Ka. Suaranya jelas banget si belakang sini." Ana menunjuk ke arah mobil penumpang dengan kesal.

Raka mengabaikan kekesalan Ana dan terus saja mengemudi. Jalan yang mereka tempuh sangat sepi, hanya mobil mereka yang lewat dari tadi. Jalanan juga mulai dihiasi kabut tipis yang memperpendek jarak pandang. Mau tidak mau lelaki berkacamata itu terpaksa membunyikan klakson setiap kali lewat tikungan yang berbatasan langsung dengan jurang terjal.

“Raka.” Terdengar suara lembut wanita berbisik pada Raka. Refleks ia menoleh ke belakang.

“Kamu manggil aku barusan?” tanya Raka.

“Nggak.” Ana memiringkan bibir tipisnya karena masih kesal dengan sikap cuek Raka tadi.

Raka menepikan mobil, melepaskan sabuk pengaman. Tanpa permisi mencium paksa bibir milik Ana. Wanita itu tidak bisa bergerak, tubuhnya yang masih terlilit sabuk pengaman membuatnya tidak bisa melawan sedikit pun. Diam menjadi satu-satunya pilihan.

Raka kemudian menjauh sambil mengerlingkan matanya. Sementara itu, Ana hanya tertunduk malu dengan muka memerah. Lelaki itu mencoba menghidupkan mobil untuk melanjutkan perjalanan. Berkali kali menstarter tetapi tidak juga berhasil. Ia keluar dan membuka kap depan mobilnya mencoba mencari solusi mobilnya yang mogok tiba-tiba.

"Ana." Lagi suara wanita terdengar memanggil Ana. 

Ana yang merasa ketakutan kemudian keluar dari mobil dan mendekat pada suaminya. Namun, pandangan matanya tertuju pada gapura tua bertuliskan Pemakaman Keluarga Daendels.

Pikiran wanita cantik itu seakan tersihir untuk mendekat ke sana. Ia  terus saja berjalan dengan perlahan tanpa memedulikan Raka yang terus memanggilnya, hingga sebuah tepukan singkat menyadarkannya.

"Kamu ngapain ke sana, hmm?" Raka memegang tangan istrinya dan  menuntunnya ke dekat mobil.

"Nggak tahu, tadi seperti ada sesuatu yang mencoba menarik aku ke sana."

"Itu pemakaman, mau lihat apa kamu di sana?" tanya Raka sekali lagi dan Ana hanya menggeleng.

"Kita lanjutkan perjalanan, ya. Hutan ini makin lama makin aneh, hii." Ana hanya mengangguk mengikuti perkataan lelaki tersebut.

Langkah wanita berambut panjang itu, seketika terhenti pada sebuah benda tak bertuan yang tergeletak di tanah. Ia kemudian memungut Boneka yang memiliki ukuran kaki dan tangan yang sangat panjang dan lentur. Bahan boneka tersebut sangat halus. Pakaian yang melekat di tubuh boneka itu mirip seperti gaun noni Belanda zaman dahulu. 

Ukiran wajahnya seakan nyata menandakan pemahatnya sangat telaten menciptakan benda mati yang mirip manusia. Bibir boneka itu tersenyum sempurna. Bola mata hitamnya bening dan besar. Rambutnya panjang sebahu dan menggunakan topi bundar berwarna merah dengan pita kecil yang mengelilinginya. Ia jatuh cinta pada boneka itu. Tanpa ragu Ana mengambilnya dan membawa dalam pangkuannya.

"Buat Amy, ya? Bonekanya cantik."

"Terserah kamu aja."

Mobil sudah bisa dihidupkan, tanpa ragu mereka melanjutkan perjalanan. Sesosok anak kecil berusia kira-kira dua belas tahun memperhatikan kepergian mereka. Anak kecil dengan wajah putih pucat dan rambut dijalin dua dan mengenakan pakaian noni Belanda itu melambaikan tangan karena benda miliknya telah dibawa pergi.

"Bonekanya lucu, ya?" Ana membersihkan sisa-sisa daun kering yang menempel di boneka tadi, "Amy pasti suka, iya, kan?"

"Hmmm," jawab Raka malas, sambil memutar bola matanya ke atas.

Ana terus membersihkan baju boneka tersebut, di bagian belakang baju itu ada  label kecil bertuliskan 'Martha'.

"Oh, jadi boneka ini bernama Martha." Ana mencoba menyisir rambut boneka dengan jarinya.

"Bonekamu cantik, boleh aku pinjam?" tanya suara tanpa wujud yang terdengar lagi di telinga Ana.

Ana menoleh ke belakang tapi tidak ada siapa-siapa seperti tadi. Ia mendengkus dan membalikkan wajahnya ke depan. Seketika sosok wanita berambut panjang dan kusut telah menghiasi pandangannya. Pandangan mereka beradu sesaat. Wanita canti itu terdiam, membeku, tidak bisa berkata apa-apa.

"Boleh aku pinjam bonekamu?" Lagi wanita berwajah pucat itu bertanya pada Ana.

Bersambung ... 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dodi Chandra
Apa masih ada kelanjutannya? atau penulis sdh memutuskan pensiun lebih awalkah?
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Series Hutan Larangan    Bunga Es

    Waktu terus berjalan sampai malam hari dan Andra belum bisa menjawab pertanyaan dari Nay harus pindah ke mana. Bukan soal barang-barang yang ia khawatirkan, benda-benda itu bisa dibeli lagi. Tapi soal kehidupan sebagai separuh binatang dan manusia. Sulit untuk berbaur dengan orang ramai. Tak semua paham menjaga sikap. Dengan warga desa di sini hanya karena ada aturan dari penguasa saja makanya mereka tunduk. Sambil berbaring, Andra melipat dua tangan di belakang kepalanya. Apa harus pergi ke pegunungan Himalaya? Tapi terlalu dingin, mungkin cocok bagi Nay tapi tidak baginya. Atau ke Hutan Larangan? Di sana ada Murti dan Pawana. Tak terlalu suka Andra dengan dua harimau putih itu. Bingung. Tangan Nay tiba-tiba berpindah memeluk Andra yang dari tadi melamun saja. Lelaki itu tergugah sedikit. Mungkin bisa mencari inpirasi usai menghangatkan diri pada tubuh dingin seekor ular. Mulailah si pejantan beraksi menyentuh setiap jengkal kulit betina yang halus tanpa cela. Ular itu pun mulai

  • Series Hutan Larangan    Harus Ke Mana?

    “Murti, kau di sini.” Candramaya meliha temannya duduk di singgasana milik Darma. “Iya, kalian sudah kembali. Akhirnya kau dapat juga apa yang kau mau,” jawab Murti sambil memperhatikan wajah Candramaya yang asli. “Setelah hampir ribuan tahun menunggu. Rasanya semua ini melelahkan.” Candra menghela napasnya yang dingin. “Lelah apanya? Sekarang dia ke mana?” Maksud Murti kandanya kenapa tidak kembali. “Terakhir aku meninggalkan dia penginapan, mungkin dia masih tidur.” “Astaga, kalian benar-benar kasmaran sampai lupa menjaga bukit. Sekarang karena kau sudah kembali, aku akan pergi ke tempat suamiku.” Murti beranjak dari singgasana milik kandanya. “Bagaimana dengan kehidupanmu di sana?” Candra menahan tangan Murti. “Kami baik-baik saja, semoga kau juga sama, Candra, penantian dan kesetiaanmu layak mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalau kanda tidak juga luluh tinggalkan saja bukit ini. Lebih baik cari lelaki lain yang peka dengan perasaanmu.” Murti mengelus jemari Candra yang hal

  • Series Hutan Larangan    Diusir

    Candramaya terbangun di kamar hotel tempatnya menginap. Ia tak sadarkan diri selama beberapa hari akibat minumal alkohol yang dicicipi. Saat bangun, ia hanya menggunakan selimut saja. Sedangkan di lantai bagian bawah, ada seekor harimau putih yang bermalas-malasan. “Sepertinya kami terlena tinggal di kota. Ini tidak bisa dibiarkan.” Candra bangkit dan mencari sumber air. Ia yang kurang tahu tentang kehidupan modern menendang pintu kamar mandi padahal tinggal dibuka saja. Ketiadaan air di dalam bak mandi layaknya telaga membuat ular tujuh warna itu merusak shower hingga airnya terus mengalir. Candra tak peduli yang penting ada air untuk membersihkan sisiknya yang terasa berdebu.“Kenapa airnya panas sekali.” Wanita itu tak sadar menghidupkan penghangat. Tak ingin Canda berendam di sana. Keadaan di luar bukit sama sekali tidak membuatnya tenang. Ular tujuh warna itu tak peduli lagi dengan Damar yang ingin tinggal di hotel atau tidak. Candra pun memejamkan mata dan menghilang, kemudi

  • Series Hutan Larangan    Tersiksa

    Waktu berjalan hingga telah ratusan tahun lamanya sejak Damar, Weni, Murti dan Pawana menjadi separuh binatang buas. Pun dengan lingkungan yang telah berubah sangat berbeda. Orang-orang tak lagi menggunakan kuda, meski masih ada beberapa yang mempertahankan tradisi. Rumah mulai dibuat dari batu, semen, serta besi, tak lupa pula keramik hingga bahkan istana raja zaman dahulu kalah indahnya. Semua itu normal dimiliki oleh manusia biasa. Namun, Damar memiliki aturan sendiri di bukit tempatnya berkuasa. Tidak boleh ada aliran listrik sebab akan timbul kebisingan di sekitarnya. Tidak boleh ada modernitas apa pun, bahkan kendaraan saja masih sama seperti dahulu. Sederhana saja, siapa yang mampu dia akan bertahan tinggal di Bukit Buas. Apalagi di desa tetangga masih bisa melakukan aktifitas yang sama. Murti dipercaya oleh Damar untuk menerima siapa pun yang tinggal di desa. Selain orang itu bisa diajak bekerja sama dan tidak mengurus kehidupan para binatang di dalam bukit. Murti—wanita

  • Series Hutan Larangan    Perpisahan

    Pawana baru saja menyelesaikan semedi jangka panjangnya. Ia menjadi semakin bijaksana juga sakti. Hanya satu kekurangannya, yaitu ia bukanlah penguasa di Bukit Buas. Murti mendatangi dan memeluk suaminya. Lelaki yang sejak jadi harimau lebih memilih dekat dengan alam, wanita itu jadi merasa terabaikan. “Setelah ini mau bertapa lagi? Tidakkah Kang Mas tahu anak kita sudah besar semua dan mencari hidupnya sendiri-sendiri,” ujar Murti sambil menggamit tangan Pawana. “Mereka pergi semua?” tanya lelaki berambut putih itu. “Iya, semua sudah besar, yang lelaki pergi mencari wilayah sendiri, yang perempuan pergi bersama pasangannya. Aku tak bisa melarang mereka sudah punya hidup sendiri.” “Berapa lama waktu yang aku lewati memangnya?” Pawana tak sadar dengan kesepian diri sendiri. “Ratusan tahun sepertinya, kali ini memang Kas Mas terlalu lama. Aku hampir saja mencari jantan lain.” “Kau tak akan bisa melakukannya. Kau itu sudah terikat denganku,” jawab Pawana sambil tersenyum. Namun, a

  • Series Hutan Larangan    Harapan

    Samar-samar sang penguasa Bukit Buas mendengar suara teriakan seorang perempuan. Sebenarnya ia tak mau ikut campur urusan lain. Namun, semakin lama suara itu justru terdengar semakin pilu dan masih terjadi dalam wilayah kekuasannya. Manusia harimau putih itu menghilang dan mencari sumber suara. Ia berubah menjadi seekor harimau dan berlari cepat bahkan nyaris menumbangkan beberapa pohon. Beberapa saat kemudian harimau itu sampai di sebuah tempat. Di mana Sora sedang mencabik-cabik kain sutera yang menutupi tubuh Candramaya. Harimau itu memejamkan mata, ia perhatikan dengan baik lalu melangkah mundur sebentar dan berlari kencang hingga menerjang Sora yang nyaris sedikit lagi merenggut harga diri Candramaya. Ular tujuh warna itu terkejut ketika harimau putih melompat melewati atas tubuhnya. Ia pun bangkit dan menutupi diri dengan sisa-sisa kain di badan. Tadinya Candra mengira kalau harimau itu Murti. “Sepertinya dia bukan Murti,” gumam Candra dari balik pohon. Pertama kali sejak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status