Share

Buket Bunga Mawar

Satu buket bunga mawar merah dalam sekejap sudah terulurkan kepadaku dari tangan Bryan. Sore ini aku dan Bryan sedang menjelajahi sekitar rumah sakit supaya aku tidak begitu suntuk menghabiskan waktu di ruanganku. Sekalian menikmati angin segar selagi matahari mulai terbenam di ujung sana.

Untuk sementara waktu aku masih menggunakan kursi roda atau tongkat untuk bergerak. Tapi karena hari ini aku sedang bersama Bryan, maka aku tidak bisa berkutik saat Bryan memaksaku untuk duduk tenang di kursi roda selagi membiarkan Bryan melakukan tugas dan kewajiban sebagai seorang suami dengan baik.

Mungkin itu terdengar berlebihan dan sedikit menggelikan, namun aku tidak bisa untuk tidak berbunga-bunga saat menghadapi kehangatan sekaligus sisi romantis dari Bryan.

"Sampai kapan kamu mau terkejut begitu? Kamu tidak mau mengambil bunga ini? Tanganku sudah mulai sakit, Sayang."

Salah satu sisi romantis itu adalah ini; memberi sebuket bunga mawar merah ini kepadaku secara tidak terduga setelah meminta ijin untuk mengangkat telpon seseorang.

Sudah tidak dapat lagi aku menahan diri untuk tidak mengukirkan rasa senangku. Sehingga sekarang aku langsung saja menjadi begitu berseri-seri dengan sebuah senyuman cerah sekaligus malu-malu menghiasi warna ekspresi wajahku.

Buket bunga mawar merah itu kemudian berpindah menjadi dalam genggaman kedua tanganku.

"Kamu kapan membeli ini, Bryan?" tanyaku selagi mengendus wangi dari mawar tersebut. Meski aku tahu Bryan selalu melakukan hal mengejutkan, namun aku tidak bisa untuk tidak bingung sekaligus keheranan tentang bagaimana bisa Bryan mendapatkan sebuket bunga mawar merah ini dengan begitu mudah dalam rentang waktu sangat singkat.

Tapi alih-alih memberi jawaban setelah duduk menghuni bangku bench di samping kursi roda-ku, Bryan malah mengedipkan mata kepadaku. "Rahasia."

Secara spontan aku melayangkan satu cubitan ke lengan berbalut kemeja milik Bryan sembari tergelak kecil. Sang empunya lengan kemudian meringis sebentar secara berlebihan, sengaja untuk menggodaku, namun setelah itu ikut tergelak bersamaku.

"Selamat karena sudah bisa kembali ke rumah, Sayang."

Seketika aku mengerjap kebingungan akibat mendengar kata Bryan.

"Sudah bisa kembali ke rumah?"

Sekali lagi Bryan tidak menjawabku. Ia malah bungkam dengan kedua mata membulat berbinar, beserta senyum penuh maksud mengembang di bibir tipis itu. Seakan memintaku untuk menarik kesimpulan sendiri selagi menyaksikan bagaimana guratan bahagia mematrikan diri di wajah Bryan.

Mendapati raut sedemikian cerah dari wajah Bryan membuatku membulatkan mata seakan tidak percaya hal tersebut akan terjadi. Apa aku salah mendengar Bryan? Sungguh aku berharap tidak salah menangkap maksud Bryan karena dalam sekejap rasa senang telah memenuhi dadaku.

"Sungguh? Kamu tidak sedang bercanda kan, Bryan?" ujarku mengajukan tanda tanya kepada Bryan dengan sedikit agak terlalu bersemangat. Tidak dapat kusembunyikan rasa senang nan bergejolak dalam dadaku ini dari Bryan.

Sebuah anggukan disertai senyum bahagia terkulum dari Bryan sedetik kemudian membuatku tak bisa berkata-kata lagi saking tidak dapat mengekspresikan bagaimana rasa senang memuncah begitu saja.

Bryan sangat tahu bagaimana aku begitu menantikan hari-hari dimana aku akhirnya bisa kembali ke rumah. Sudah selama satu minggu lebih ini aku hanya dapat menyaksikan bagaimana rumahku dan Bryan melalui foto-foto dalam smartphone Bryan.

Sehingga akibat gejolak rasa senang itu, aku menggeser kursi roda-ku ke hadapan Bryan kemudian secara naluriah bangkit menerjang tubuh Bryan begitu saja.

"Terimakasih, Bryan." ujarku berbisik tepat di telinga disela memeluk Bryan dengan erat. Ia untuk sesaat begitu terkejut atas tindakan agresif nan tidak terduga dariku itu. Tapi sedetik kemudian Bryan langsung membalas dekapanku sembari menghujani kecupan demi kecupan kecil di bahuku. Ia bahkan sekarang sedikit mengangkatku dengan lengan, berupaya membuatku duduk di atas kakinya.

"Terimakasih kembali, Sayangku."

Ya ampun.

Setengah akal sehatku sebetulnya masih sadar betapa ini sangat memalukan karena aku dan Bryan sedang mendiami tempat umum. Kami bahkan telah menjadi tujuan dimana atensi mata orang-orang berlalu-lalang di sekitar taman refreshing rumah sakit ini bertumpu.

Namun sisi lainku mengacuhkan itu. Perasaan itu mengisyaratkan rasa inginku atas dunia mengetahui betapa aku dan Bryan saling memiliki satu sama lain. Semakin aku bersama Bryan, semakin aku jatuh dalam daya tarik sosoknya.

Sesungguhnya aku sadar betul bagaimana cara kebanyakan suster-suster di rumah sakit ini memandangi Bryan. Tersirat ingin mendekati, atau bahkan hasrat ingin memiliki. Seringkali mereka berusaha menarik atensi Bryan dengan berlaku berlebihan selagi aku tidak di samping Bryan.

Semua itu membuatku tidak suka, cemburu, sekaligus tidak rasional dengan bertindak kekanakan sebagaimana sekarang ini.

Tapi mau bagaimana tindakan kekanakanku saat ini, seharusnya itu bukan masalah besar, bukan? Secara resmi aku dan Bryan sudah menjadi suami istri, tentu saja bukan hal memalukan jika terlihat begitu mesra dan intim.

Meski sangat berlebihan, tentu saja.

"Jadi kapan kita kembali ke rumah, Bryan?" tanyaku. Aku lepaskan dekapanku untuk menatap Bryan dengan mata berbinar sangat senang.

"Sudah tidak sabar, ya? Kamu menggemaskan sekali seperti anak kecil yang baru saja dibelikan es krim, Kaitlyn." ledek Bryan sembari menarik ujung hidungku jahil.

"Tentu saja! Memang kamu suka aku terus di sini, Bryan?" dengusku balik bertanya. Secara sadar tidak sadar aku sedikit memajukan bibir manyun, ingin merajuk setelah digoda oleh Bryan.

"Bukan begitu, Kaitlyn sayang."

Sekarang tawa kecil Bryan semakin menjadi setelah menyaksikanku setengah merajuk. Aku cemberut saja melihat bagaimana wajah Bryan berseri-seri menertawakanku. Ia bahkan menjadi semakin tampan ketika sedang tertawa begini.

"Hanya saja menggoda kamu itu sangat menyenangkan." ujar Bryan disela gelak tawa tersebut.

Tidak lama kemudian Bryan menarik tubuhku hingga terjatuh kembali dalam dekapannya. Ia lantas menenggelamkan wajah sejenak di leherku, menghirup dalam-dalam aromaku, sebelum berbisik kecil di telingaku. "You're my only cure when I'm stressed out, babe."

Nafas hangat Bryan di leher membuatku menggelinjang sangat kegelian. Tapi begitu bisikan tersebut menghampiri telingaku, aku seketika bergeming akibat membungkam diri.

"Is everything alright? Apa ada sesuatu terjadi, Bryan?" tanyaku begitu Bryan melepaskan dekapan tersebut. Mengikuti intuisi, kedua tanganku lalu memegang wajah Bryan.

"Sepele, Sayang. Tidak usah terlalu dipikirkan, sekedar kerjaan di kant—"

Tidak ingin Bryan melanjutkan kalimat tersebut, langsung saja aku memotong dengan mencuri kecupan singkat di bibir Bryan.

"Mungkin aku kehilangan ingatan. Tapi mulai sekarang segala tentang kamu itu sama sekali bukan hal sepele untuk aku."

Kalimatku berhasil membuat Bryan bungkam sejenak. Sekarang berganti menjadi Bryan seakan jatuh tenggelam dalam jeratan tatapanku.

"Kamu kenapa bisa makin hari makin manis begini, Kaitlyn?"

Aku mengerjapkan mata kebingungan saat mendapati Bryan memberi respon demikian. Tapi sedetik kemudian Bryan menggigit ujung hidungku dengan gemas sembari tertawa lepas sekali lagi.

"Nanti aku cerita. Untuk sekarang, nikmati detik-detik sebelum kembali ke rumah, ya?"

***

Seiring mobil melaju dengan kecepatan normal, dapat aku lihat melalui kaca mobil di depan betapa sekarang langit sudah sangat menggelap. Sekilas aku melirik kepada Bryan di sampingku. Ia begitu fokus menyetir dengan satu tangan, meski beberapa kali berusaha membuatku tidak jenuh atau merasa sendiri dengan menggenggam tanganku.

Ternyata kembali ke rumah itu memakan waktu lumayan lama meski mengendarai mobil. Terlebih jika harus terjebak menghadapi kemacetan lalu lintas sebagaimana aku dan Bryan beberapa menit lalu.

Menurut cerita Bryan selama ini, lokasi rumah tersebut berjulang memang sedikit jauh dari hiruk-pikuk keramaian kota. Semua itu atas keinginanku, karena aku sangat tidak suka berada di tempat terlalu berisik atau ramai.

Sedari tadi aku dapat mendengar samar-samar deburan ombak seiring mengitari bukit-bukit di sekitar. Andai saja sekarang tidak segelap ini, maka aku mungkin sudah dapat melihat bagaimana keindahan begitu asri dari sekelilingku.

"Tidur saja, nanti aku bangunkan. Masih 20 menit lagi, Sayang." ujar Bryan selagi memusatkan atensi ke depan. Ia mungkin sadar bagaimana aku sudah mulai kelelahan akibat menunggu terlalu lama.

"Tidak mau." Sembari menepuk kedua sisi wajah berupaya mengusir rasa kantuk, aku sedikit bergeser di atas kursi. "Aku tidak mau tidur!"

Tawa kecil kemudian lolos begitu saja dari bibir Bryan. Ia melirik sebentar kepadaku, sebelum kembali memakukan atensi ke depan.

"Yakin sanggup?"

Langsung saja aku mengangguk dengan sangat yakin. "Tentu saja! Kamu itu jangan meremehkan aku, yah!"

Mendengarku berseru dengan mendengus membuat Bryan berusaha lebih menahan diri untuk tidak menertawaiku.

"Kita taruhan saja, bagaimana?" ujar Bryan setelah berhasil meredam gelak tawa tersebut.

"Taruhan?"

"Iya. Semisal kamu masih bangun sampai kita sampai nanti, aku bakal menuruti satu keinginan kamu. Tapi kalau kamu ketiduran, maka sebaliknya. Kamu harus menuruti satu keinginan aku. Bagaimana, hm?"

Sungguh aku tidak mengerti kenapa suara Bryan mendadak terdengar begitu seksi saat mengatakan itu.

Tapi kata taruhan itu sendiri membuatku merinding sekaligus terbakar semangat. Tidak boleh aku menyia-nyiakan kesempatan itu, meski aku tahu Bryan sesungguhnya akan berusaha selalu menuruti segala keinginanku.

Apa mungkin ini karena aku sebelum kehilangan ingatan sangatlah kompetitif?

Sehingga kemudian aku mengiyakan Bryan tanpa ragu. "Baiklah. Ayo saja, aku tidak takut!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status