Share

Bukan Salah Kamu

Sekarang aku benar-benar mengharapkan sebuah kemungkinan dimana telingaku salah mendengar. Tapi itu tampak mustahil sebab sorot mata Bryan sama sekali tidak berkata demikian. Sehingga aku tidak dapat berkata-kata dan berujung menghindar dari melakukan kontak mata dengan Bryan.

Hatiku begitu sakit saat mendengar kenyataan mengerikan itu. Tidak dapat kubayangkan bagaimana rasa hancur dialami Bryan saat menghadapi fakta sedemikian menyakitkan ini. Apa sungguh se-mengerikan itukah aku di waktu-waktu sebelum terbaring tidak berdaya di sini?

"Maafkan aku, Bryan."

Tanpa sadar airmata-ku berlinang begitu saja seiring membayangkan bagaimana hal sekejam itu bisa terjadi atas ulahku sendiri. Sangat egois dan mengerikan. Mendadak ketakutan mulai tumbuh dalam diriku. Takut kalau-kalau saja ingatanku telah kembali, dan itu membuatku tahu akan hal-hal mengerikan lainnya tentang diriku sendiri.

Terkejut melihatku tengah sesegukan menangis, telapak tangan besar Bryan kemudian menangkup wajahku sebelum membuat mata berair-ku bertemu kembali dengan kedua mata milik Bryan. Seiring airmata-ku terus menetes, dapat kurasakan kekalutan mulai mematrikan diri dalam sepasang bola mata jernih itu.

"Ssstt, kenapa menangis?" tanya Bryan khawatir.

"Itu bukan salah kamu, Sayang. Kita sudah sepakat tidak akan menyalahkan satu sama lain lagi soal ini. Sama sekali bukan salah kamu. Sudah, jangan menangis atau minta maaf..." tambah Bryan lagi seraya menghujani kening dan rambutku dengan kecupan-kecupan singkat namun terasa begitu mendalam.

"Tapi-"

"Sudah jangan bicarakan itu lagi, atau aku cium?" tukas Bryan tajam.

Aku tahu Bryan sedang berusaha mencairkan suasana dengan mencoba menyisipkan senda gurau kepadaku. Namun aku tidak dapat menanggapi gurauan tersebut. Semua ini terasa begitu tidak adil dan menakutkan. Aku tidak dapat mengingat kejadian itu, bahkan meski hanya sedikit. Tapi Bryan mengingat setiap detail dari kenangan buruk itu.

Membayangkan itu entah mengapa membuat hatiku begitu sakit.

Sehingga alih-alih menanggapi senda gurau tersebut, sekarang aku justru semakin menangis secara tidak terkendali di dalam dekapan Bryan. Sekedar mengucapkan maaf atau sepatah kata saja tidak sanggup keluar dari mulutku.

Menghadapi tangis tidak terkendali-ku membuat Bryan sedikit kebingungan sekaligus tidak tega. Ia buru-buru menarik tubuhku ke dalam dekapan hangat itu lagi, berupaya menenangkanku di dalam sana.

"Sudah, sudah. Tidak apa, menangislah, tapi jangan salahkan diri kamu, okay?" bisik Bryan lembut. Ia tiada henti menghujani kecupan demi kecupan terhadap keningku. Sembari sesegukan, aku mencoba untuk memberi sebuah anggukan kepada Bryan. Senyaman mungkin aku berusaha menenggelamkan diri dalam dekapan hangat tersebut.

Sampai akhirnya secara tidak sadar, seiring mataku mulai menjadi lebih sayu akibat terlalu banyak menangis, rasa kantuk kemudian entah bagaimana hadir begitu saja.

Malam itu, aku jatuh tertidur setelah menangis secara tidak terkendali, di dalam dekapan Bryan.

***

"Sebegitu yakin kamu dengan semua cerita Bryan?"

Samar-samar kudengar bisikan bernada seakan mengejek di telingaku. Spontan itu membuatku membuka kedua kelopak mataku dan mencari dari mana sumber suara itu berasal.

Seharusnya aku sudah tahu siapa gerangan sang empunya suara itu. Namun rangkaian kata serta intonasi mengejek itu sangat mengganggu tidurku sehingga aku tidak dapat menahan diri untuk tidak mencari. Padahal Bryan masih tertidur begitu damai di sampingku, dan bahkan masih mendekapku dengan hangat.

Revan.

Ia sedang duduk menghuni kursi di samping ranjangku dengan tangan di depan dada. Sepasang bola mata itu tengah tertuju memandangiku, sehingga begitu aku berbalik dari menenggelamkan diri dalam dada bidang Bryan, kedua mataku langsung saja berhadapan dengan milik Revan.

"Sejak kapan kamu di sana?"

Sebisa mungkin aku menahan diri untuk tidak berseru dengan gusar kepada Revan karena itu bisa membuat Bryan di sampingku terbangun. Walau Revan sekedar seorang hantu, namun bukan berarti dapat muncul dan berbuat sesukanya.

Seperti terus-menerus berusaha membuatku menaruh kecurigaan terhadap Bryan.

"Sejak kamu dan Bryan bercumbu tadi malam." jawab Revan ringan.

Seketika wajahku menghangat begitu mendengar Revan mengaku demikian. Aku kemudian melotot tajam kepada Revan dengan rona-rona di wajah sudah mengepul hangat. Ingin berteriak, namun Bryan masih berada di sampingku.

Seakan tahu bahwa aku tidak dapat bergerak atau bahkan meneriakinya, Revan tertawa mengejek dengan sudut bibir tertarik miring menciptakan seringai kecil. Yang mungkin akan tampak sangat menggoda jika aku tidak mengenal Bryan, atau tidak mengetahui sifat menyebalkannya itu.

"Kamu tidak sopan sekali." ketusku samar.

Bahu tegap dan cukup lebar milik Revan itu kemudian terangkat dengan ringan. "Selama aku tidak terlihat, maka aku tidak akan mengenal kata 'sopan'."

"Dasar kurang aj-!"

Saat aku baru saja mendesis dengan sedikit meninggikan suara untuk mengumpati Revan, Bryan mulai bergerak menggeliat di sampingku, membuat lidahku seketika langsung kelu dan bungkam begitu saja. Ia sekarang memeluk tubuhku lebih erat dengan wajah dibenamkannya dalam leherku, masih dalam keadaan tertidur.

Ingin aku menghela nafas lega karena Bryan tidak terbangun, namun itu tidak akan bertahan lama sebab di depanku, Revan terlihat begitu menikmati saat-saat dimana aku tidak dapat berkutik setengah mati menahan kekesalanku.

"Kamu tahu, Kaitlyn? Kamu dapat memanggilku kapan saja, untuk menggantikan Bryan dalam melepaskan hasrat dalam diri kamu." ujar Revan dengan seringai tipis masih terukir di bibir.

"Diam."

Sungguh ingin sekali aku membentak Revan saat ini juga. Sekarang aku bahkan tidak dapat lagi mengetahui wajahku menjadi sedemikian hangat dan merah begini diakibatkan rasa malu atau justru karena saking terlalu kesal dengan Revan.

"Sssh, jangan terlalu berisik, nanti Bryan terbangun!" ujar Bryan disertai gelak tawa mengejek.

Astaga, mengapa aku bisa melihat hantu se-mesum dan se-menyebalkan ini dalam hidupku?

Semua ini apa karena aku terlalu lama tidak sadarkan diri sehingga dapat menyaksikan keberadaan makhluk tak kasat mata seperti Revan? Tapi lantas mengapa aku tidak melihat hantu-hantu selain Revan di sini? Padahal bukankah rumah sakit selalu menyimpan banyak makhluk serupa dengan Revan? Akan lebih baik jika aku bisa melihat hantu menakutkan, daripada menghadapi hantu mesum dan berpikiran kotor seperti ini.

Revan terlihat sangat menikmati kesengsaraanku dalam menahan kekesalan terhadapnya. "Aku ingin tahu bagaimana ekspresi Bryan jika tahu istrinya sudah berkenalan dengan Revan Khalfani."

Revan Khalfani? Apa itu nama lengkap Revan?

Apa Bryan mengenal Revan?

Kepalaku mulai dipenuhi benak-benak mengenai hal tersebut seiring mempertanyakan mengapa Revan seringkali mengatakan hal ambigu baik secara tersirat atau terang-terangan mengenai Bryan.

"Nikmati saja dulu waktu kamu untuk saat ini, Kaitlyn."

Seketika benak-benak tersebut tersisihkan sejenak begitu Revan mengutarakan itu kepadaku dengan seringai kian mengembang. Ia kemudian bangkit dari sana, namun masih belum melepaskanku sebagai tempat atensi kedua mata itu bertumpu.

"Yang jelas aku sarankan jangan mudah mempercayai Bryan Adams, meski dia adalah suami-mu."

Sejenak keheningan menguasai atmosfir dalam ruangan ini. Menciptakan kegelisahan serta kekhawatiran begitu saja dalam sekejap, meski aku masih mencoba untuk menepis rangkaian kata mengandung tundingan tidak berdasar dari Revan itu supaya menjauh dari kepalaku.

"Dan ngomong-ngomong, Kaitlyn Evergreen, aku ini bukanlah hantu, melainkan setan."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status