Share

Kehidupan Ranjang

Deru nafas kemudian mengisi kesunyian ruangan luas ini. Selagi memandang ke langit-langit kamar, baru aku sadari betapa luas dan besar ruangan ini bagi dua orang saja.

Sinar matahari sekarang sudah menjadi lebih terik dari sebelumnya. Aku dan Bryan sama-sama masih terjaga setelah baru saja selesai melakukan itu untuk kesekian kali sejak beberapa jam lalu dimulai—sebagai suami istri.

Ia sungguh memiliki kekuatan serta stamina tidak terhingga. Tapi aku juga sedikit tidak menyangka dan takjub terhadap diri sendiri karena dapat mengimbangi Bryan dengan sangat baik. Apa mungkin hubungan Kaitlyn dan Bryan memang selalu se-bergairah ini?

Selagi aku sibuk menerawangi langit-langit kamar, secara tiba-tiba, Bryan kemudian mengangkat tubuhku hingga berbaring di dalam rengkuhan lengan kekar tersebut. Tidak ada obrolan untuk sesaat selain deru nafas serta bunyi dari degupan jantung saling bersahutan selagi aku dan Bryan sibuk menenggelamkan diri kepada satu sama lain.

Sampai kemudian Bryan akhirnya berbisik kecil dengan sensual di telingaku. "Terimakasih, Sayang."

Sedikit membuatku malu, namun aku mengangguk saja sebelum memilih mendekap Bryan lebih erat dan menenggelamkan diri ke dada bidang tersebut.

"Kamu hebat seperti biasa." bisik Bryan lagi, sontak membuat sekujur wajahku beserta telinga menghangat dalam sekejap. Ya, tentu saja ini sudah kesekian kali Bryan dan Kaitlyn melakukan hubungan sebagai suami istri. Dapat aku rasakan begitu. Namun itu terjadi sebelum aku, Kaitlyn, kehilangan ingatan, bukan?

Pujian Bryan tentu saja membuatku bangga dan senang. Kuakui itu. Lagipula, siapa tidak senang atau berbangga hati jika suami sendiri mengakui kepawaianmu dalam mengatasi urusan ranjang? Semua wanita tentu akan merasa sangat bahagia.

Tapi bukankah itu terlalu terang-terangan untuk diungkapkan? Aku malu!

"Aku malu, Bryan. Jangan diperjelas begitu!"

Bryan tertawa lepas mendengarku berseru demikian selagi semakin menenggelamkan diri saking menahan rasa malu.

"Kita biasa melakukan itu nyaris setiap hari. Tapi karena kamu baru saja sembuh, maka mungkin akan aku kurangi menjadi lima kali dalam seminggu saja?"

Membayangkan itu membuat wajah dan telingaku semakin memanas. Segera aku mengangkat kepala untuk memelas kepada Bryan supaya berhenti membahas tentang hal itu.

"Bryan!"

Rengekanku kemudian ditanggapi dengan tawa lepas Bryan selama beberapa saat. Namun setelah itu Bryan sedikit menurunkan kepala untuk memberi kecupan mendalam kepada keningku lumayan lama.

"Jangan berkata seperti tadi lagi, oke?" ujar Bryan kemudian.

Untuk sesaat aku mengerjapkan mata kebingungan. Tapi kemudian aku teringat rangkaian kata dari bibirku sebelum akhirnya dibungkam oleh Bryan dengan ciuman beberapa jam lalu.

"Hum."

Aku mengangguk saja.

Tepat setelah memberi respon, tangan Bryan kemudian dalam sekejap berganti mengelus lembut helaian rambutku. Kami saling memandangi satu sama lain dengan sendu. Seakan bersama-sama tenggelam begitu saja dalam daya tarik masing-masing.

Sampai aku akhirnya melepaskan dekapanku terhadap Bryan karena hendak bangkit duduk di ranjang. Tindakan itu membuat Bryan secara spontanitas ikut melepaskan dekapan tersebut. Ia menyusul bangkit duduk di sampingku.

“Kenapa, Sayang?”

“Tidak apa-apa. Kita belum sarapan, sudah hampir siang sekarang.”

Bryan tidak lagi menanggapi selain mengeluarkan deheman kecil. Tepat sebelum bangkit tentu saja aku mendekap selimut bersamaku. Berupaya menutupi sekujur tubuhku dengan selimut tersebut. Tapi Bryan tampak acuh saja meski sedang tidak mengenakan sehelai benang sama sepertiku.

Pandanganku kemudian mulai bergulir menjelajahi bagian demi bagian dari ruangan selagi tanganku mendekap erat ujung selimut di depan dada. Kamar ini didominasi oleh warna gading susu. Sangat luas dan terlihat mewah, dengan tirai tipis menutupi jendela kaca besar.

Saat atensi sibuk bergulir seiring sedang setengah terkagum-kagum dengan dekorasi serta kemegahan kamar tidur sendiri, secara tidak sengaja aku kemudian menangkap keberadaan sebuah benda di tengah ruangan kamar.

Yang dimana seketika membuatku bungkam terkejut.

"Itu.."

Dapat aku rasakan Bryan kemudian langsung mengikuti ke mana arah atensi kedua mataku terkunci.

Penjara besi seukuran manusia saat duduk dengan beralaskan karpet beludru merah disertai sebuah rantai menyambung ke dalam sedang berada di tengah ruangan.

Sungguh tidak terduga akan mendapati benda seperti itu menjulang di sana. Untuk apa benda itu bisa berada di sini?

Sembari masih terkejut dan berusaha menangkap maksud dari keberadaan jeruji besi tersebut meski terasa amat sulit, lantas aku alihkan atensi kepada Bryan di sampingku. “Bryan, kenapa benda-benda seperti itu bisa ada di sini?”

Melihat ketegangan tersirat dalam ekspresi wajahku, Bryan menghembuskan nafas dengan berat. Tapi bibir tipis itu tidak langsung terbuka menjelaskan. Ia terlebih dahulu mengatup diri selama beberapa saat. Seakan tengah berpikir sejenak untuk mencari atau setidaknya merangkai kata tepat sebelum menjelaskan segalanya.

"Kemarin aku lupa menyingkirkannya."

Tampak sulit sekali bagi Bryan untuk menjelaskan hal tersebut. Ia kemudian menambahkan lagi seraya bergeser hingga duduk di sudut ranjang dengan kaki terjulur ke bawah. "Itu selalu digunakan untuk aktivitas berbahaya diantara aku dan kamu, Kaitlyn."

“Aktivitas berbahaya?”

Sebuah anggukan kemudian menjadi respon dari Bryan. “Kita selalu mencoba banyak hal agar kehidupan ranjang kita lebih berwarna dan menantang adrenalin, Kaitlyn.”

Penjelasan dari Bryan berhasil membuatku bungkam dalam sekejap. Sunyi lantas bergema di dalam ruangan ini. Aku tidak dapat berkata-kata lagi. Bahkan sekarang sekujur lidahku seakan menolak untuk mengeluarkan meski sekedar satu kata akibat terkejut sekaligus terlalu malu untuk menghadapi kenyataan tersebut.

Apa se-beringas itu kehidupan ranjangku bersama Bryan selama ini?

Mendapati aku bahkan tidak bisa berbicara, Bryan kemudian mengacak singkat helaian rambutku dengan lembut.

“Tidak usah terlalu dipikirkan. Benda itu akan kusingkirkan nanti. Aku tidak akan mencoba hal-hal seperti itu jika kamu tidak mengizinkanku, Sayang.” bisik Bryan sekilas sebelum bangkit dari ranjang.

Sebab aku sesungguhnya masih belum bisa berkata-kata saking terlalu malu menghadapi kenyataan ini, maka aku menanggapi Bryan dengan sebuah anggukan kecil saja.

Tapi saat Bryan menghadap kepadaku, sialnya atensi kedua mataku kemudian justru malah terjatuh kepada bagaimana kondisi Bryan saat ini selagi berdiri di depanku. Sehingga jeritan kecil dalam sekejap lolos begitu saja dari bibirku selagi mencoba mengatup kedua kelopak mata supaya tidak dapat melihat Bryan dengan telapak tangan. Tak lupa satu cubitan kecil kemudian menyusul mendatangi lengan kekar Bryan.

“Ya Tuhan! Tolong segera kenakan celana kamu, Bryan!”

Suami-ku tertegun sebentar.

Tapi setelah itu alih-alih mendengarkan atau sekedar memberi respon selain tertawa kecil, Bryan malah menyingkirkan telapak tangan dari hadapan wajahku dengan cepat sebelum mendorongku hingga berbaring kembali di atas ranjang dengan tubuh tegap itu di atasku.

Pandanganku dan Bryan saling mengunci satu sama lain untuk beberapa saat sebelum Bryan kemudian berkata dengan serak, dimana itu membuat darah di dalam tubuhku seakan berd sir dengan cepat.

“Kamu harus terbiasa melihatku begini, Kaitlyn.”

Suara dan cara Bryan berbicara benar-benar mengakibatkan sekujur tubuhku lunglai dalam sekejap. Dapat aku rasakan sekarang wajah dan telingaku sudah bagai kepiting rebus saking terlalu menghangat.

Tanpa membiarkanku memberi respon lagi, Bryan membungkam seluruh akal sehatku dengan bibir tipis itu, untuk kesekian kalinya dalam waktu bahkan belum sehari ini.

Sehingga mengakibatkanku hampir setengah tidak sadar atas keberadaan Revan di samping jeruji besi itu sedang menyaksikanku dan Bryan dengan wajah menyiratkan kebencian secara mendalam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status