Share

Tentang Kita

Sejak beberapa jam setelah fajar menyingsing, aku sudah melakukan latihan menggerakkan anggota tubuhku. Bryan turut serta membantu sekaligus berusaha terus memberiku semangat, dengan seorang dokter fisioterapi juga mengawasi.

Sungguh itu bukanlah hal mudah. Belajar duduk saja terasa begitu sulit bagiku. Benar-benar seperti seorang bayi.

Tulang belakangku seakan terlalu lunglai untuk tegak, sehingga entah sudah berapa kali aku berujung hampir menyerah untuk kembali mencoba duduk tanpa bantuan kalau saja Bryan tidak buru-buru menyemangatiku.

Aku rasa Bryan memanglah suamiku sebab sumber seluruh semangatku seakan bertumpu kepada dukungan darinya.

"Kita sudahi dulu untuk hari ini," ujar Dokter Wanda, ahli fisioterapi. Aku terdiam saja selagi duduk bersandar di ujung ranjang rumah sakit ini.

"Selalu bantu istri anda untuk berlatih, Pak. Mulai dari hal kecil seperti motorik otot tangan atau kaki." tukas Dokter Wanda lagi kepada Bryan.

Bryan mengangguk, "Baik, Dokter. Terimakasih."

Setelah itu Bryan mengantar Dokter Wanda hingga keluar ruangan. Selagi menunggu Bryan kembali, aku memilih untuk sedikit melatih gerakan tanganku dengan mencoba menggenggam ujung selimutku.

Sedikit terasa ngilu, namun aku dapat menggenggam ujung selimut tersebut meski tidak begitu kuat.

Saat aku sedang sibuk dengan semua itu, tiba-tiba angin berhembus cukup kencang dari arah jendela ruangan ini. Jendela tersebut memanglah terbuka, sehingga karena itu secara spontan aku memalingkan atensi ke arah dimana angin tersebut tertiup.

"Kaitlyn."

Seketika tubuhku menegang begitu suara cukup berat secara mendadak menggaungkan namaku dalam ruangan ini.

Tentu saja itu bukanlah suara milik Bryan.

Saat aku mengangkat kepala, hendak menengok ke arah dimana suara cukup berat itu berasal, sang empunya suara itu tiba-tiba saja sudah berdiri tepat di depan ranjangku. Sehingga itu membuatku kini berujung bertemu dengan kedua manik gemerlap miliknya.

Sang empunya suara itu ...

Yang kemarin aku lihat di sudut ruangan setelah terbangun dari koma selagi dokter memeriksa kondisiku.

Pria dengan wajah rupawan namun terlihat begitu sendu seakan menyimpan banyak kesedihan—terlebih ketika sedang menatapku dari kejauhan.

Apa aku mengenalnya?

"Ini aku, Revan."

Orang itu membuka obrolan terlebih dahulu. Aku diam saja memandangi dirinya. Sedikit bersyukur karena lawan bicaraku ini langsung memberitahuku namanya.

Tapi Revan siapa?

"Ah, benar juga. Kamu nggak akan ingat aku." gumam Revan dengan tawa kecil terdengar menyedihkan, seakan menertawakan diri sendiri.

Secarik rasa bersalah kemudian muncul dalam diriku. Tapi aku tidak bisa berbuat hal lain karena aku benar-benar tidak dapat mengingat gerangan orang di hadapanku ini.

"Kamu sudah merasa lebih baik?"

Aku mengangguk kecil.

"Syukurlah." Meski terlihat samar, namun Revan tampak menjadi sedikit lebih lega ketika mendengar jawabanku.

"Sebelum ini kamu selalu berkata tidak ingin kembali ke inangmu. Tapi lihatlah sekarang, kamu benar-benar kembali."

Tawa kecil Revan entah kenapa terdengar begitu menyedihkan di telingaku, sehingga membuat dadaku terasa amat sesak. Tapi rangkaian kata-kata dari Revan juga terdengar janggal bagiku.

Apa maksudnya dengan kembali ke inang?

Ketika aku mengernyitkan kening cukup dalam sembari menatap Revan dengan tajam sekaligus bingung seakan menuntut sebuah penjelasan darinya, Bryan masuk begitu saja, kembali ke dalam ruanganku.

"Sayang," Bryan Adams menghampiri ranjangku. Aku bungkam saja saat Bryan mengecup singkat keningku. Sedikit terkejut sebab timing Bryan masuk terasa tidak begitu tepat, namun mau bagaimana lagi.

Sementara Revan di depan ranjangku terlihat biasa saja. Meski ekspresi wajahnya seolah menampakkan sedikit rasa tidak suka ketika Bryan bersikap terlalu dekat denganku dan bahkan mencium keningku, namun Revan bergeming di tempatnya berpijak.

"Mau lanjut latihan lagi, atau istirahat dahulu?" tanya Bryan lembut.

Aku mengangkat salah satu tanganku lalu sedikit mengepalkannya. Karena aku belum bisa mengeluarkan suara, maka aku melakukan itu untuk merespon tanda tanya dari Bryan.

Dan beruntung Bryan dapat mengerti maksudku. Sehingga ia kemudian menggenggam tanganku, dan membantu agar genggaman tersebut menjadi sedikit lebih kuat.

Untuk sesaat atensi kedua mataku teralihkan kepada Bryan. Sedetik kemudian baru aku kembali memalingkan wajah kepada Revan di depan.

Revan masih saja terdiam bergeming di sana.

Sedikit aneh rasanya. Mengapa Bryan bersikap begitu acuh seakan tidak menyadari keberadaan Revan?

"Yang bisa melihatku hanya kamu, Kaitlyn."

Seakan baru saja membaca isi kepalaku, Revan angkat bicara lagi menjelaskan segalanya dalam rangkaian kata-kata cukup singkat. Tapi itu membuatku seketika tertegun disaat berusaha mencerna maksud ucapan Revan.

Apa itu artinya ...

Mataku menjadi membulat sempurna begitu berhasil menangkap maksud Revan. Aku menatap Revan dengan sangat terkejut, tidak mempercayainya.

Tapi Revan malah tertawa kecil seakan itu adalah hal biasa. Namun ia kemudian memberiku isyarat untuk bungkam dengan meletak jari telunjuk miliknya di depan bibir.

Jadi Revan adalah hantu?

"Ada apa, Sayang?"

Sadar akan bagaimana atensi-ku kini sedang tercuri kepada hal selain dirinya, Bryan lantas mengusik keheningan tersebut dengan angkat bicara menanyakan langsung kepadaku.

Spontan membuatku menoleh ke arah Bryan lalu menggelengkan kepala untuk menjawab tanda tanya darinya.

Tapi ketika aku kembali meluruskan arah atensi-ku bertumpu ke depan, sosok Revan sudah menghilang begitu saja bagai diterpa angin dari hadapanku.

Jadi Revan sungguh memang seorang hantu?

***

Segala berjalan dengan baik selama satu minggu ini. Meski belum mendapatkan kembali ingatanku dan masih terbata-bata dalam berbicara, namun seluruh fungsi tubuhku sudah kian membaik. Bahkan aku sudah bisa berjalan menyusuri rumah sakit ini meski masih dengan bantuan kedua tongkat.

Dokter terus mengatakan betapa kemauan kuatku itu sangat membantu. Karena secara tidak langsung itu membuat sistem saraf tubuhku terangsang dan merespon setiap latihanku dengan baik. Aku sangat bersyukur karena orang-orang di sekitarku terus memberiku semangat, termasuk suamiku, Bryan.

Meski agak disayangkan, untuk saat ini hingga tiga hari ke depan, dokter-dokter setempat sepakat belum mengizinkanku untuk menjalani rawat di rumah. Statusku masih harus berada di dalam awasan mereka setelah koma dalam waktu sangat tidak singkat, jadi aku harus menunggu sedikit lebih lama.

Padahal aku sudah sangat tidak sabar menanti kepulanganku ke rumahku bersama Bryan. Sedikit banyak berharap dengan kembali ke rumah, itu akan membuat ingatan-ingatanku terangsang untuk kembali. Sebab aku sudah satu minggu di rumah sakit, namun tidak juga kunjung dapat mengingat sesuatu.

Sekarang aku sedang merasa sedikit kesepian setelah mendapatkan kunjungan dari dokter. Hari ini Bryan tidak bisa menemaniku terlalu lama karena harus mengerjakan sesuatu di kantor, sehingga tinggal aku sendiri saja di ruanganku ini.

Agak sangat menyebalkan harus terbaring sendiri di sini. Aku cukup yakin Kaitlyn Adams sebelum kehilangan ingatan adalah tipe gadis sangat ceria dan tidak bisa duduk diam seperti ini.

Oh, benar.

Kalau tidak salah tadi sebelum berangkat kerja Bryan ada meninggalkan beberapa album foto supaya aku dapat melihat kembali kenangan lama sekaligus mengusir rasa jenuhku. Ia meletak album-album foto itu dalam laci nakas rumah sakit di samping ranjangku.

Aku segera beringsut bergeser dan mengulurkan tangan untuk menggapai keberadaan nakas di sampingku sebelum kemudian membuka lacinya. Langsung aku mengambil semua album foto itu, dan membawa mereka ke dalam rengkuhanku di atas ranjang.

Jumlah album tersebut ada lima. Masing-masing sudah disampul dengan sangat rapi meski tersemat tahun demi tahun di setiap album tersebut. Aku memilih album dengan tahun terlama untuk dibuka, yakni 2018.

Berdasarkan dari cerita Bryan kemarin, tahun 2018 adalah tahun dimana aku dan Bryan baru saja resmi menjalin kasih setelah saling mengenal selama 5 tahun lebih. Kami sama-sama alumni dari Universitas Bangsa Sejahtera. Kala itu Bryan sedang menjalani koas sebagai anak kedokteran, sementara aku baru saja masuk bergabung di jurusan seni.

Dari lembaran awal, aku sudah melihat bagaimana senyuman Kaitlyn di masa itu merekah sempurna bagaikan bunga matahari ketika Bryan memotretnya.

Lihat, kan? Aku di masa lalu benar-benar sangat ceria dan bersinar. Tapi sekarang aku seakan tidak merasakan energi seperti itu lagi di dalam ragaku ini. Apa efek sudah tidak sadarkan diri selama hampir satu tahun?

Halaman berikut dari album foto itu kebanyakan adalah foto-foto mesraku bersama Bryan. Melihat itu membuatku tanpa sadar ikut tersenyum, meski terbesit sedikit rasa sedih karena tidak dapat me-reka ulang atau bahkan sekedar bagaimana rasa-rasa tatkala itu terjadi.

Aku dan Bryan benar-benar terlihat sangat bahagia. Membuatku bertanya-tanya bagaimana cerita setelah hari-hari di dalam foto itu berakhir.

Lembaran demi lembaran ...

Dari album foto 2018 sampai 2019 masih terlihat sama diantara aku dan Bryan. Terpatri jelas betapa Bryan sangat mencintaiku. Hal itu membuatku tergelitik membayangkan Bryan selama ini ketika menjadi suami-ku.

Kaitlyn ini, sungguh beruntung, ya?

Aku mengambil album foto berikutnya, 2020. Tahun itu seharusnya adalah waktu dimana aku dan Bryan bertunangan.

Benar saja. Setiap lembar foto mengabadikan momen-momen dimana aku dan Bryan tampak sangat bahagia. Tapi aku sedikit tertegun ketika menyadari cerita Bryan itu sungguhan. Sekian banyak orang hadir, namun tidak terlihat kedua orangtua, atau bahkan keluarga dari aku maupun Bryan.

Beberapa hari lalu Bryan menjelaskan kalau aku adalah gadis tanpa sanak keluarga sejak awal. Demikian juga dengan dirinya. Kami tanpa terduga bertemu dan sama-sama saling melengkapi satu sama lain melalui hal menyedihkan seperti itu.

Mungkin itu kenapa tubuh ini sangat kuat dan berkemauan tinggi untuk sembuh, ya?

Meski begitu aku tidak tahu mengapa itu terasa menyedihkan bagiku. Aku tidak dapat mengingat sesuatu mengenai hal tersebut, namun aku dapat merasakan kekosongan dalam hati raga ini, dan itu menjelaskan segalanya.

Dan aku rasa, itu berlaku juga untuk Bryan, kan?

"Kamu kelihatan cantik banget di sini, Kaitlyn."

Jantungku hampir saja melengos keluar dari tempat ketika suara seseorang berbicara kepadaku tepat di telinga. Yang kemudian disusul dengan Revan muncul begitu saja tepat di sampingku.

Ia mengintip album foto di tanganku dengan kedua tangan terlipat di depan dada selagi wajah dicondongkannya secara menyamping kepadaku.

"Re ... Revan!" sergahku.

Secara spontan aku mendorong Revan hingga sedikit menjauh dengan lenganku. Salahkan wajah Revan berada terlalu dekat membuatku salah tingkah. Bahkan aku dapat mencium aroma blueberry mint dari mulutnya.

Sebentar, memang hantu bisa memakai wewangian seperti itu?

"Apa sih?" balas Revan dengan intonasi suara mengisyaratkan setengah sebal.

"Kamu itu ... terlalu dekat!" balasku tidak kalah sengit.

"Terlalu dekat?"

Semula Revan tidak menangkap maksudku. Ia terlebih dahulu menaikkan satu alis sedikit kebingungan. Tapi ketika melihat wajahku menghangat secara samar, senyum miring kemudian terpatri sempurna di bibir milik Revan.

"Kamu bilang begini terlalu dekat?" Sekarang Revan malah kembali memajukan wajah rupawan berwewangian blueberry mint itu hingga mendekat ke wajahku. Membuatku terhenyak dan berusaha mundur menghindari Revan secara naluriah meski Revan seakan telah mengunciku dalam jangkauannya. "Kita bahkan lebih dekat dari ini sebelumnya, Kaitlyn." bisik Revan tepat di telingaku.

Apa maksud Revan dengan mengatakan lebih dekat dari ini sebelumnya?

Apa sebelum ini Kaitlyn Adams berselingkuh dengan seorang hantu?

Segera buru-buru kutepis benak tidak masuk akal itu dari kepalaku. Walau Revan ini memiliki wajah rupawan dan terlihat lebih muda, namun menurutku, Bryan lebih mempesona dan karismatik. Aku sangat suka melihat bagaimana Bryan terlihat begitu dewasa dan lebih matang.

Suami-ku ini sudah terlampau sempurna, dan sangat memenuhi kriteria idamanku. Suster-suster bahkan terus saja bercerita tentang bagaimana Bryan selalu hadir menjagaku tanpa mengenal rasa lelah meski aku berada dalam kondisi tengah tidak sadarkan diri selama hampir setahun ini.

Sungguh akan sangat keterlaluan jika Kaitlyn di masa lalu benar-benar meninggalkan suami sempurna seperti Bryan dan memiliki hubungan dengan hantu bernama Revan ini.

"Haruskah aku menunjukkan kepadamu, bagaimana dekatnya hubungan kita sebelum ini, Kaitlyn?" bisik Revan lagi.

Membuatku merinding sebab dapat kurasakan hembusan nafas Revan di telingaku. Tapi tanpa ragu langsung buru-buru kudorong Revan kemudian hingga menjauh dariku sekali lagi. Ia tampak terkejut atas respon sedemikian kasar dan dingin dariku. Aku kemudian membungkam suasana dengan menatap Revan dengan tajam.

"Entah ... sebagaimana dekat hubungan kamu ... dengan Kaitlyn di masa lalu, aku tidak mau tahu." ucapku sedikit terbata-bata akibat belum bisa berbicara terlalu cepat. "Yang aku tahu sekarang Kaitlyn ... adalah istri dari Bryan Adams. Dan aku tidak ingin seseorang ... atau hantu terlalu dekat denganku."

Revan terbungkam setelah mendengarku berkata demikian.

"Kaitlyn Evergreen, kamu yakin Bryan Adams itu adalah suami kamu?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status