Share

Bab 1 : Malam Itu

Aku menutup buku yang baru saja kubaca. Buku usang bersampul merah tua yang aku pegang saat ini adalah buku yang baru saja kubeli dari seorang kakek yang singgah di dekat rumahku. Aku merasa iba karena kakek itu tampak kelaparan, akhirnya aku memutuskan untuk membeli buku yang ia jual ini. “Kejatuhan Taman Eden,” itulah judulnya. Daripada buku novel, ini lebih seperti buku mitologi.

Saat aku sedang asyik memandangi buku itu, tiba-tiba adik perempuanku menarik lengan bajuku, “Kak Theo, kak Dominique sudah sampai.” ucapnya. Aku pun bangkit dari bangkuku, refleks menaruh buku itu di meja.

Dapat kulihat seorang laki-laki sepantaranku berdiri di sana. Walau dengan cahaya temaram dari teras rumah, aku bisa melihat sosok itu dengan jelas. Rambut hitam dan mengenakan kacamata persegi, tatapan yang sedingin salju, dengan bulu mata yang lentik serta kulitnya yang pucat. Sosok itu adalah sahabatku, Dominique Prescott. Kami bersahabat sejak masih bayi karena pekerjaan ayah kami yang sama-sama seorang arkeolog di instansi yang sama.

“Apa aku terlambat?” tanyanya padaku, aku menggeleng seraya tersenyum sebagai jawaban. “Ayo masuk dulu, di luar pasti dingin.”

Ia masuk dan menaruh syal serta tas yang kuduga berisi modul sains. Malam hari begini ia pasti saja baru menyelesaikan kelas tambahannya dengan dosen. Dominique adalah anak yang cerdas, ia menjadi perhatian kelas karena selalu mendapatkan nilai tinggi di kelasnya. Dominique akan mengikuti olimpiade sains untuk mewakili universitas kami nanti.

“Pas sekali Dominique sudah datang, ibu baru saja selesai membuat pai-nya.” Ibuku menaruh senampan pai apel di meja, asap mengepul tipis-tipis karena masih panas. Dapat kulihat Tia, adik perempuanku, sudah mengangkat-angkat garpu miliknya dengan semangat. Aku pun berinisiatif memotongkannya.

Pandangan Dominique teralih oleh buku merah tua yang baru kubeli itu, pandangannya tak bisa lepas, seolah-olah buku itu sudah memakan seluruh perhatian Dominique. “Apa ini bukumu, Theo? Dimana kau dapat buku ini?” Ia membuka halaman demi halaman buku itu.

“Aku membelinya dari seorang kakek, bukunya lumayan juga.” Ucapku sembari meletakkan sepotong pai di piring Dominique. “Kau boleh meminjamnya kalau mau.”

“Sungguh?” tanyanya, matanya berbinar. Aku terkekeh karena melihat temanku itu menunjukkan ekspresi di wajah yang jarang menunjukkan ekspresi apapun itu. Sudah kuduga buku semacam itu akan menarik minat Dominique, cepat atau lambat aku pasti akan meminjamkan buku itu padanya.

Setelah makan pai, aku pun mengobrol dengan Dominique. Aku juga mengajaknya bermain game di ruanganku. Dia adalah tipe orang yang pandai dalam belajar, tapi tidak pandai bermain game. Aku tertawa puas saat melihat kemampuannya dalam bermain game yang tergolong payah. Walau aku menertawainya, Dominique tidak tersinggung karena aku hanya bercanda.

Pintu kamarku diketuk oleh seseorang, itu ibuku. “Theo, sekarang sudah jam delapan malam. Dominique tidak pulang?”

Mendengar hal itu, kami memandangi satu sama lain. “Sepertinya aku harus cepat, bus terakhir hanya akan ada sampai jam setengah sembilan.” Ia bangkit dan meletakkan kontroler-ku di meja. Aku ikut bangkit, hendak mengantarnya sampai gerbang. Ia dengan tergesa-gesa memakai syal dan sepatunya. “Aku pergi dulu.” ucapnya sambil menutup gerbang rumahku perlahan. Aku melambaikan tangan padanya sambil melihat punggungnya menjauh hingga perlahan menghilang dari pandanganku.

Di luar kelihatan gelap, aku harap Dominique bisa pulang dengan selamat. Saat aku kembali memasuki rumah, perhatianku langsung tertuju pada adikku yang sibuk bermain-main oleh sebuah tas dan mengeluarkan buku-buku di dalamnya. Itu tas Dominique, rupanya tertinggal.

''Astaga,'' Dengan tergesa-gesa aku memasukkan kembali modul-modul itu, “Ibu! Aku pergi menyusul Dominique, tasnya tertinggal!” teriakku sebelum aku berlari keluar dari rumah.

Kedua kakiku kugerakan secepat yang kumampu, kabut serta keadaan yang gelap karena minim lampu membuatku kesusahan untuk mencari sosoknya. Di jalan ini sama sekali tidak ada orang lewat, ini aneh, karena seharusnya ada beberapa orang yang baru saja pulang kerja. Manik mata zamrud-ku meneliti tiap sudutnya, namun nihil. Padahal baru saja Dominique pergi, seharusnya ia belum pergi terlalu jauh, mungkin ia berlari atau melewati jalan pintas untuk ke halte. Apa lebih baik aku kembalikan saat di kampus besok?

Sayup-sayup aku dapat mendengar suara erangan lirih, mataku memicing. “Siapa disana?” balasku, aku memperhatikan sekelilingku. Aku tak mendapat jawaban, aku hanya dapat merasakan hembusan angin menggelitik kulitku.

Secara tiba-tiba aku merasakan ada sebuah tangan yang hendak mencengkram bahuku, aku menepisnya dengan kasar dan langsung berbalik untuk berhadapan dengannya. Orang itu mengenakan jubah berwarna hitam dan menutupi separuh wajahnya dengan topeng, “ ... Apa maumu?” tanyaku dengan nada sengit. Orang itu bungkam dan hanya diam ditempat ia berpijak sebelum ia melancarkan serangannya lagi tepat menuju pelipisku. Aku mencengkram tangannya kasar. Jika ia perampok, seharusnya ia sadar kan kalau aku tidak membawa apapun? Apa motive orang ini sebenarnya?

“Berhenti, sebenarnya kenapa kau menyerangku begini, hah? Kau sadar kan kalau aku tidak membawa apapun?” Tangan orang itu masih dalam cengkramanku, ia masih tidak berkutik. Disaat aku bertanya, ia mengayunkan tangan kirinya dan lima es berbentuk jarum keluar entah dari mana. Es itu terbang tepat menuju arahku, aku terpaksa melepaskan tangannya sambil berusaha menghindar. Ia mengambil langkah mundur sebelum meloncati pagar dan hilang entah kemana. Aku menggertakkan gigiku, “Hei, kau mau kemana!?”

“Anu ... kau anak sulung dari keluarga Murray kan? Kenapa kau berteriak-teriak begitu?” Salah seorang bapak-bapak yang tinggal tidak jauh dari rumahku muncul. Aku terlalu tersulut emosi hingga tanpa sadar menarik perhatian, gawat ....

“Tadi sepertinya ada yang hendak merampok saya ... “ Aku mengusap tengkukku kaku sambil meringis.

“Astaga berbahaya sekali, kau tidak apa-apa?”

“Iya, saya baik-baik saja.”

Kami pun mengobrol sejenak sebelum bapak itu kembali lagi ke rumahnya. Aku menatap tempat dimana orang misterius itu menginjakkan kakinya terakhir kali, sebenarnya kenapa ia bisa mengeluarkan es seperti itu? Apa mungkin ... sihir?

Tidak mungkin, sihir itu fiksi.

Aku menggelengkan kepala, pikiran naif macam apa itu? Aku seorang lelaki yang sudah berumur 19 tahun, tak seharusnya aku berpikir hal seperti itu.

''Meong ... ''

Aku tersadar dari pikiranku saat aku mendengar suara meongan lirih dari ujung gang. Aku dengan berhati-hati menghampiri asal suara itu. Dan benar saja, seekor kucing bersurai abu tergeletak dengan penuh darah, ia hanya mampu merintih kesakitan.

''Astaga,'' ucapku iba. Dengan tergesa-gesa aku mengangkat kucing itu dalam pelukanku dan membawanya ke rumah. Aku ingin membawanya ke dokter hewan, tapi ini sudah larut malam, mustahil masih ada yang buka. Kakiku kembali berlari ke rumah. Pintu sedikit kubanting sesampainya di rumah, aku meraih kain tebal dan meletakkan kucing itu di atasnya.

''Kakak, kucingnya kenapa!?" Adikku memekik saat melihat keadaan kucing abu itu.

''Entahlah, mungkin korban tabrak lari. Jangan pegang, tunggu kakak!'' Aku dengan gesit meraih obat dan perban, sebelumnya aku membersihkan lukanya dengan kain bersih, setelahnya aku langsung merekatkan perban di area yang terluka.

Kucing itu membuka satu matanya, tatapannya lemas. Dari penampilannya, kurasa ini bukan kucing liar.

Disaat aku sibuk bergumul di dalam rumah, orang yang mengenakan jubah hitam itu berdiri tepat di atap rumahku. ''Kali ini kau beruntung, Mammon.'' ucapnya sebelum lagi-lagi dirinya ditelan oleh kegelapan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status