Aku memutar bola mata malas melihat pemandangan di depanku. Kini Erika dengan tak tahu malu bergelayut manja di lengan kekasihnya. Harga diriku sebagai seorang pria seakan terkoyak. Kurang aj*r memang mereka. Kukira dengan menceraikan wanita itu, dia akan sadar akan kesalahannya. Namun, apa yang kulihat? Menjijikkan. Sungguh tidak tahu adab.Setelah kemarin bapaknya memintaku untuk membantunya membebaskan Erika dari kantor polisi karena tuduhan asusila. Sekarang apa yang kulihat? Mereka tidak kapok sesudah istri pacarnya menggerebek dan melaporkan mereka ke pihak kepolisian. “Maaf, ya, Mas. Aku hanya meminta hakku. Mas Arga kan sudah janji mau memberikan kompensasi kalau sudah menceraikanku. Uangnya akan kami pakai untuk menikah lagi,” ujar Erika dengan tidak tahu malu.Apa katanya? Dia meminta dariku uang perpisahan dan akan dia pakai untuk menikah lagi dengan pacarnya? Apalagi belum habis masa iddah setelah perceraian kami. Inikah wajah asli Erika? Hanya wanita murahan yang tidak t
Setelah kejadian itu, hatiku selalu was-was setiap hari mengingat Arum. Kalau bukan permintaan Bu Rina waktu itu, yang meminta agar aku memberikan waktu untuk mantan istriku supaya menenangkan pikirannya. Aku pasti mustahil kuat untuk tidak datang ke sana di waktu senggang. Hampir satu bulan kurang, aku tidak ke Panti Asuhan. Hanya keperluan Arum dan nafkah lah yang selalu tidak absen kukirim. Membuatku dilanda kerinduan yang teramat besar. Siang ini, kuputuskan untuk datang menemui Arum, tidak peduli penolakan apa pun darinya. Rindu ini sudah menggebu dan tak bisa lagi kutahan.Namun, di luar prediksi pria yang bernama Satria itu sedang ada di sana. Bahkan, berniat mengantarkan mantan istriku dan Bu Rina. Yang membuatku kecewa, disaat Arum akan pergi berbelanja perlengkapan bayi kami, dia menolak ketika aku hendak mengantarnya. Mantan istriku itu lebih memilih satu mobil dengan pria itu. Aku memukul setir dengan keras. Menelungkupkan wajahku di sana. Sangat sulit mengambil hati Aru
POV Arum“Bagaimana mungkin Bang Satria masih ingat ini?” tanyaku saat membuka paper bag pemberian darinya yang berisi sebuah kotak musik. Di dalamnya terdapat sepasang boneka beruang dan bulir-bulir putih menyerupai salju. Aku masih ingat, saat itu Shofie dan Bang Satria mengajakku untuk pergi ke sebuah Mall. Ketika sedang menunggu temanku itu berbelanja. Aku tersenyum saat melihat seorang anak kecil yang sedang memainkan kotak musik tersebut bersama orang tuanya. Waktu itu, aku kembali mengenang masa-masa saat masih kecil. Masih teringat ketika Ayah masih menyayangi kami, sebelum perempuan itu datang menghancurkan segala segalanya. Awalnya, sikap Ayah baik seperti biasa. Masih menyayangiku dan Mama. Namun, suatu malam kudengar orang tuaku bertengkar hebat. Mulai saat itu, Ayah berubah menjadi lebih dingin, cuek, dan tidak pernah ada waktu untuk kami.“Yah, kenapa suka pulang malam?” tanyaku yang saat itu masih berusia delapan tahun. Bukannya menjawab, beliau hanya menimpaliku de
Waktu tak terasa cepat berlalu. Tinggal beberapa hari lagi aku di prediksi akan melahirkan. Mas Arga hampir setiap hari datang ke mari. Aku tidak bisa mencegahnya. Dia akan lebih keras kepala kalau aku menolak. Mantan mama mertua juga lebih sering menjengukku ke sini. Terkadang khawatir karena tidak bisa menemaniku setiap hari.Siang ini saat sedang berada di dalam kamar sambil merajut, aku dikejutkan dengan kedatangan Ivan.“Kak, ada sesuatu untuk kakak,” teriak Ivan sambil tergopoh-gopoh. “Ada apa, Van. Jangan berlari seperti itu nanti jatuh,” hardikku. Dia nyengir mendengar omelanku.“Ada surat yang diantarkan bapak tukang pos buat Kak Arum.” Aku segera menerima surat yang diberikan Ivan. Ternyata surat perceraianku dengan Mas Arga. Aku memandang nanar kertas yang ada ditangan.Rumah tangga kami telah berakhir. Mas Arga bukan lagi suamiku sekarang, baik secara agama ataupun negara. Statusku kini telah menjadi janda di umur yang masih muda.Ah! Mengingatnya kenapa hatiku begitu sak
“Apa? Arum kecelakaan?” Lututku lemas kala Bu Rina mengabari kalau Arum kecelakaan. Beliau bilang jika mantan istriku itu sudah dibawa ke Rumah Sakit terdekat. Pun kondisinya sekarang sedang kritis. Cobaan apa lagi yang menimpa kami Ya Allah? Bagaimana bisa Arum kecelakaan?Gegas aku mengabari asistenku untuk mengalihkan pasien yang datang mengantre hari ini supaya pindah dokter. Aku tidak bisa menundanya lagi. Tidak mungkin menunggu semua pasien kuperiksa dalam keadaan genting seperti ini. Untunglah, tidak terlalu banyak pasien yang masih menunggu, sebab jam sudah mendekati waktu pulang. Kuharap mereka akan mengerti.Dengan secepat kilat kuambil kunci mobil. Di perjalanan, kendaraan ini melaju dengan kecepatan tinggi, sama sekali tak peduli dengan keselamatanku saat ini. Yang ada di dalam benak ini hanya terpikir bagaimana caranya agar cepat sampai tujuan. Aku harus melihat kondisi Arum. Tidak boleh terjadi sesuatu terhadapnya dan bayi kami. Setelah sampai di Rumah Sakit tempat dita
Setelah menyelesaikan segala administrasinya, teringat dengan Mama dan Papa yang belum kukabari. Kucari nomor ponsel beliau dan menghubunginya. Terdengar suara salam dari seberang sana lalu aku menjawabnya. Kuberitahu kalau Arum mengalami kecelakaan. Dia korban tabrak lari orang yang tidak bertanggung jawab. Mama terdengar syok dan terus saja mencecarku dengan segala pertanyaan. Sehingga, kuminta saja Mama dan Papa menyusul ke Rumah Sakit.Karena sudah terlalu lama menunggu dan memang ada keperluan pribadi masing-masing. Pak RT dan warga lainnya berpamitan untuk pulang. Tidak lama orang tuaku datang dengan tergesa. Mama datang langsung memelukku dan menangis dengan tersedu. Sedangkan Papa diam menunggu meski dapat kulihat raut panik dari wajah beliau. Papa memang pintar menyembunyikan isi hati. Terlihat kuat, tetapi sebenarnya aku tahu beliau rapuh. Beliau memang begitu, terkesan selalu dingin, tetapi hatinya begitu hangat. Papa pah yang pertama selalu membela Arum saat Mama sering
Aku termenung di samping pusara putraku. Mengusap-usap nisan yang bertuliskan namanya di sana. Dia pergi sebelum sempat kuberikan nama. Gaishan Raffasya Hafis itulah nama yang kuberikan untuk putra Kami. Nama yang sudah lama kupersiapkan bersama Arum ketika kami masih menjadi suami istri dulu. Setelah dokter mengatakan jenis kelamin putraku laki-laki, dengan antusias kucari nama bagus. Arum mengiyakan dengan senyum merekah saat kuberitahukan nama tersebut. Dia langsung setuju atas usulku tersebut, katanya namanya begitu bagus dan indah.Kembali Papa berjongkok di sebelahku, dia menepuk pundak beberapa kali.“Sebaiknya kita pulang, Ga. Ikhlaskan putramu. Insya Allah dia akan menolong kamu dan Arum agar masuk ke surga di akhirat kelak. Berikan doa di setiap salatmu. Terpenting sekarang ialah bagaimana cara menyampaikan berita duka ini kepada Arum. Dia pasti terguncang saat mendengarnya,” ujar Papa.Aku mengangguk mengiyakan, meski hubunganku dengan Arum telah berakhir, namun mantan ist
“Jangan gegabah kamu, Rum. Jahitan bekas operasi masih basah. Nanti saja kamu pikirkan kondisi bayimu. Yang terpenting kamu harus sembuh dulu,” jelas Bu Rina mencoba menenangkan. Namun, reaksi Arum di luar dugaan, dia tak menghiraukan ucapan kami. “Rum, jangan nekat. Lukamu masih belum sembuh. Nanti malah akan robek kembali,” cegahku sambil memegang pundaknya. Namun, Arum menepis dengan kasar tanganku.“Aku hanya mau bayiku, Mas. Aku mau lihat dia dan memastikan kalau putraku baik-baik saja,” Mantan Istriku itu memberontak. Terus menanyakan keberadaan putra kami. Hati ini bagai tersayat benda tajam, pedih melihat keadaan Arum saat ini. Dia meronta-ronta, begitu susah dikendalikan. Karena melihatnya belum pulih dan masih lemah, dengan segala cara mencoba meyakinkan mantan istriku itu untuk tetap tenang.Tidak lama, Dokter datang dan terpaksa memberikan obat tidur kembali untuk Arum. Sebagai seseorang yang masih mencintai Arum, aku sungguh hancur melihat kondisi dia sekarang. Bagaima