Share

Bab 7. Bertemu Arum?

Aku menggeleng, “ Tidak, Pak. Aku hanya kelelahan. Barusan hanya bermimpi buruk,” ucapku memberi alasan.

Tidak mungkin juga kalau aku jujur, jika sedang membayangkan reaksi Arum kalau tahu suaminya ini sudah mendua hati.

Malam hari lalu lintas kota Bandung tak begitu ramai. Sehingga, aku bisa menikmati pemandangan malam dari kaca jendela di sebelahku.

Hawa kota Bandung sejuk, tak seperti kota Jakarta. Aku seketika mengingat keinginan Arum. Dia bercita-cita memiliki rumah di kota ini, lebih tepatnya di daerah Ciwidey. Katanya, dia bermimpi tinggal di kota yang udaranya masih segar dan Bandung menjadi salah satu pilihannya.

Aku memang berniat membuatkan istriku itu villa. Bisa kami gunakan sewaktu-waktu jika sedang berlibur.

Mungkin pula jika sudah jadi nanti. Dengan mudah kuajak Erika juga setiap jatah bersama kami. Namun, yang terjadi sekarang, aku bahkan tak tahu di mana dan bagaimana kondisi istriku sebenarnya.

Tak lama mobil sampai di sebuah restoran. Dari luar tempat ini terlihat unik dengan ciri khas pedesaan.

Aku turun bersama Mang Mansur. Kami masuk beriringan, dan mencari tempat duduk yang paling nyaman. Sebenarnya sopirku itu merasa sungkan saat kusuruh dia duduk denganku di meja yang sama. Namun, karena kupaksa akhirnya dia menurut juga.

Kupandangi setiap sudut restoran ini. Jika dilihat-lihat konsepnya cukup unik. Membuat para pengunjung yang datang lumayan betah untuk singgah berlama-lama di sini.

Tak lama pelayan datang. Kami memilih menu yang diinginkan, lalu mengecek beberapa kali ponsel milikku. Barangkali Arum ada menelepon atau pun mengirim pesan. Namun, tak ada satu pun kabar darinya.

‘Apa kamu enggak kangen Mas, Sayang?’

Biasanya istriku itu selalu mengirim pesan rutin. Mengingatkanku supaya tak lupa makan teratur, tidak boleh terlalu capek bahkan harus istirahat dengan cukup.

Namun sekarang, tak ada lagi pesan beruntun darinya. Padahal dua hari kami tak bertemu, tetapi kenapa aku merasa teramat kehilangan?

Bayanganmu selalu melintas setiap saat, Sayang.

Dalam hati ini terus bertanya-tanya, apa istriku itu sudah makan? Aku takut dia kelaparan sedangkan suaminya ini bisa makan enak.

Kuhubungi kembali nomor ponselnya. Namun, nihil kontaknya tetap tak aktif. Sampai, kpuputuskan untuk mengirimkan pesan lewat aplikasi berwarna hijau.

[“Sayang kamu di mana?”]

Send, centang satu.

[“Kamu di mana? Kenapa belum pulang?”]

Masih tak aktif.

Aku mendesah berat. Sebaiknya kukirim pesan lagi nanti setelah nomornya bisa dihubungi. Kusimpan gawai di tangan ke atas meja saat seorang pelayan datang menghampiri.

Akhirnya, hidangan yang kami pesan datang juga. Aku dan Pak Mansur pun menyantapnya dalam keheningan. Kami pun saling larut dalam lamunan masing-masing.

Setelah beres makan, kudengar notifikasi pesan masuk sehingga layar ponsel kembali menyala. Lekas kuraih benda tersebut serta membukanya, berharap itu pesan balasan dari Arum.

Akan tetapi, tebakanku salah. Pesan yang masuk bukan dari Istri pertamaku, melainkan dari Erika.

[“Mas, sedang di mana? Kok lama?”]

[“Mas sedang makan di luar. Ada apa, Sayang?”] balasku.

[“Jangan lama-lama, cepat kembali! Aku masih kangen. Malam ini Mama dan Bapak sudah kusuruh pulang. Biar kita bisa berduaan.”]

Aku menggeleng melihat pesan dari Erika. Disaat sedang banyak pikiran begini, bisa-bisanya dia menggodaku. Biasanya aku yang sering menggodanya.

Ah. Bisa saja istri mudaku itu membuatku tersenyum senang.

[“Iya. Sebentar lagi Mas kembali. Tunggu, ya, enggak lama, kok!”]

Satu pesan terakhir muncul dari Erika dengan emoticon love dan cium. Tiba-tiba saja moodku yang sempat rusak kembali membaik. Erika memang bisa membuat suasana hatiku kembali bergair*h.

Ah, kalau saja dia tak sedang dalam keadaan sakit.

Kubuka dompet dan mengambil kartu ATM milikku. Lalu, menyuruh Mang Mansur untuk membayar pesanan kami di meja kasir.

Saat pandanganku beralih ke meja yang tak jauh dari tempatku duduk ini. Aku terkejut dengan keberadaan seseorang. Aku segera menghampiri pria tersebut dan menyapanya.

“Hai, Lan. Apa kabar, Lo?”

Dia memandangku lalu tersenyum semringah.

“Masya Allah, Ga. Ini Lo? Ya ampun, pangling banget gue. Alhamdulillah gue sehat. Elo gimana? Ah pastinya sehat dong. Dokter mah kalau sakit pasti bisa ngobatin dirinya sendiri.”

Aku tersenyum mendengar guyonan temanku, Herlan. Dia sahabatku saat remaja dulu. Kami memang kuliah yang berbeda jurusan. Namun, persahabatan yang terjalin sejak SMA bersama Ibnu, memang masih berjalan dengan baik. Dia seorang pebisnis yang handal sekarang.

“Eh Lo ke sini sama siapa? Ada kerjaan ‘kah? Lo ke sini dengan Arum ‘kan seperti biasanya? Gue pernah ketemu Arum sebulan yang lalu di kota ini. Katanya dia lagi dampingi Lo yang sedang seminar. Kok Lo enggak mampir ke rumah gue sih?”

Apa yang Herlan katakan? Arum pernah ke Bandung sebulan yang lalu? Apa yang Arum lakukan di kota ini? Kenapa dia tidak pernah minta izin padaku?

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Yang pastinya Arum nyari tau perselingkuhan loe...makan tuh nafsu bejatmu,bentar lagi juga dapat karma menyakiti hati istri sebaik Arum demi jalang murahan yg sudah di obok² laki² lain
goodnovel comment avatar
Fitriyani Puji
mkan tu gairah dan karma akan melanda mu
goodnovel comment avatar
Fitriyani Puji
arum mncari tau tentang kebusukan mu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status