Share

Bab 7. Bertemu Arum?

Author: Nuri Art
last update Last Updated: 2022-10-31 20:29:13

Aku menggeleng, “ Tidak, Pak. Aku hanya kelelahan. Barusan hanya bermimpi buruk,” ucapku memberi alasan.

Tidak mungkin juga kalau aku jujur, jika sedang membayangkan reaksi Arum kalau tahu suaminya ini sudah mendua hati.

Malam hari lalu lintas kota Bandung tak begitu ramai. Sehingga, aku bisa menikmati pemandangan malam dari kaca jendela di sebelahku.

Hawa kota Bandung sejuk, tak seperti kota Jakarta. Aku seketika mengingat keinginan Arum. Dia bercita-cita memiliki rumah di kota ini, lebih tepatnya di daerah Ciwidey. Katanya, dia bermimpi tinggal di kota yang udaranya masih segar dan Bandung menjadi salah satu pilihannya.

Aku memang berniat membuatkan istriku itu villa. Bisa kami gunakan sewaktu-waktu jika sedang berlibur.

Mungkin pula jika sudah jadi nanti. Dengan mudah kuajak Erika juga setiap jatah bersama kami. Namun, yang terjadi sekarang, aku bahkan tak tahu di mana dan bagaimana kondisi istriku sebenarnya.

Tak lama mobil sampai di sebuah restoran. Dari luar tempat ini terlihat unik dengan ciri khas pedesaan.

Aku turun bersama Mang Mansur. Kami masuk beriringan, dan mencari tempat duduk yang paling nyaman. Sebenarnya sopirku itu merasa sungkan saat kusuruh dia duduk denganku di meja yang sama. Namun, karena kupaksa akhirnya dia menurut juga.

Kupandangi setiap sudut restoran ini. Jika dilihat-lihat konsepnya cukup unik. Membuat para pengunjung yang datang lumayan betah untuk singgah berlama-lama di sini.

Tak lama pelayan datang. Kami memilih menu yang diinginkan, lalu mengecek beberapa kali ponsel milikku. Barangkali Arum ada menelepon atau pun mengirim pesan. Namun, tak ada satu pun kabar darinya.

‘Apa kamu enggak kangen Mas, Sayang?’

Biasanya istriku itu selalu mengirim pesan rutin. Mengingatkanku supaya tak lupa makan teratur, tidak boleh terlalu capek bahkan harus istirahat dengan cukup.

Namun sekarang, tak ada lagi pesan beruntun darinya. Padahal dua hari kami tak bertemu, tetapi kenapa aku merasa teramat kehilangan?

Bayanganmu selalu melintas setiap saat, Sayang.

Dalam hati ini terus bertanya-tanya, apa istriku itu sudah makan? Aku takut dia kelaparan sedangkan suaminya ini bisa makan enak.

Kuhubungi kembali nomor ponselnya. Namun, nihil kontaknya tetap tak aktif. Sampai, kpuputuskan untuk mengirimkan pesan lewat aplikasi berwarna hijau.

[“Sayang kamu di mana?”]

Send, centang satu.

[“Kamu di mana? Kenapa belum pulang?”]

Masih tak aktif.

Aku mendesah berat. Sebaiknya kukirim pesan lagi nanti setelah nomornya bisa dihubungi. Kusimpan gawai di tangan ke atas meja saat seorang pelayan datang menghampiri.

Akhirnya, hidangan yang kami pesan datang juga. Aku dan Pak Mansur pun menyantapnya dalam keheningan. Kami pun saling larut dalam lamunan masing-masing.

Setelah beres makan, kudengar notifikasi pesan masuk sehingga layar ponsel kembali menyala. Lekas kuraih benda tersebut serta membukanya, berharap itu pesan balasan dari Arum.

Akan tetapi, tebakanku salah. Pesan yang masuk bukan dari Istri pertamaku, melainkan dari Erika.

[“Mas, sedang di mana? Kok lama?”]

[“Mas sedang makan di luar. Ada apa, Sayang?”] balasku.

[“Jangan lama-lama, cepat kembali! Aku masih kangen. Malam ini Mama dan Bapak sudah kusuruh pulang. Biar kita bisa berduaan.”]

Aku menggeleng melihat pesan dari Erika. Disaat sedang banyak pikiran begini, bisa-bisanya dia menggodaku. Biasanya aku yang sering menggodanya.

Ah. Bisa saja istri mudaku itu membuatku tersenyum senang.

[“Iya. Sebentar lagi Mas kembali. Tunggu, ya, enggak lama, kok!”]

Satu pesan terakhir muncul dari Erika dengan emoticon love dan cium. Tiba-tiba saja moodku yang sempat rusak kembali membaik. Erika memang bisa membuat suasana hatiku kembali bergair*h.

Ah, kalau saja dia tak sedang dalam keadaan sakit.

Kubuka dompet dan mengambil kartu ATM milikku. Lalu, menyuruh Mang Mansur untuk membayar pesanan kami di meja kasir.

Saat pandanganku beralih ke meja yang tak jauh dari tempatku duduk ini. Aku terkejut dengan keberadaan seseorang. Aku segera menghampiri pria tersebut dan menyapanya.

“Hai, Lan. Apa kabar, Lo?”

Dia memandangku lalu tersenyum semringah.

“Masya Allah, Ga. Ini Lo? Ya ampun, pangling banget gue. Alhamdulillah gue sehat. Elo gimana? Ah pastinya sehat dong. Dokter mah kalau sakit pasti bisa ngobatin dirinya sendiri.”

Aku tersenyum mendengar guyonan temanku, Herlan. Dia sahabatku saat remaja dulu. Kami memang kuliah yang berbeda jurusan. Namun, persahabatan yang terjalin sejak SMA bersama Ibnu, memang masih berjalan dengan baik. Dia seorang pebisnis yang handal sekarang.

“Eh Lo ke sini sama siapa? Ada kerjaan ‘kah? Lo ke sini dengan Arum ‘kan seperti biasanya? Gue pernah ketemu Arum sebulan yang lalu di kota ini. Katanya dia lagi dampingi Lo yang sedang seminar. Kok Lo enggak mampir ke rumah gue sih?”

Apa yang Herlan katakan? Arum pernah ke Bandung sebulan yang lalu? Apa yang Arum lakukan di kota ini? Kenapa dia tidak pernah minta izin padaku?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Yang pastinya Arum nyari tau perselingkuhan loe...makan tuh nafsu bejatmu,bentar lagi juga dapat karma menyakiti hati istri sebaik Arum demi jalang murahan yg sudah di obok² laki² lain
goodnovel comment avatar
Fitriyani Puji
mkan tu gairah dan karma akan melanda mu
goodnovel comment avatar
Fitriyani Puji
arum mncari tau tentang kebusukan mu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Sesal (Alasan Menghilangnya Istriku)   Bab 143

    Arum“Papi!!”Seketika wajah Zara berbinar, gadis kecil itu pun berlari ke arah Mas Arga yang berdiri di depan pintu. Perlahan tanganku menutup mulut, berharap Zara kembali melakukan kesalahan seperti dulu di pemakaman.Tapi ternyata prediksiku salah kali ini, gadis itu tidak berhenti apalagi berbalik. Zara jatuh ke dalam pelukan Mas Arga. Pria itu pun mengangkat tubuh anakku ke dalam pelukannya. Sementara sebelah tangannya menggenggam sesuatu, aku yakin itu hadiah. Aku merekam kejadian ini dengan banyak pertanyaan. Keduanya tidak terlihat canggung dalam berinteraksi. Bahkan saat Mas Arga berjalan mendekatiku dengan menggendong anakku, mulutku masih terbuka. Entah apa yang harus kuucapkan.“Sekarang Papi Arga sudah datang dan aku mau tiup lilinnya.” Zara meminta turun dari pangkuan Mas Arga lalu gadis kecil itu pun mendekati kue ulang tahunnya. Mas Arga pun ikut mendekat, sesekali ia mengarahkan pandangannya padaku. Tatapannya terasa teduh sekaligus terlihat aneh di mataku.Tanpa perm

  • Sesal (Alasan Menghilangnya Istriku)   Bab 142

    ArumSekarang bibirku terbuka lebar saat pria itu berkata sambil berjongkok lalu merentangkan tangannya.“Stop Zara! Itu bukan .... “ Kalimatku kembali terhenti ketika melihat pria itu menempelkan telunjuk di bibirnya.Membiarkan anak itu berjalan tergesa-gesa mendekati pria yang tak lain adalah Mas Arga.Aku menahan napas ketika beberapa langkah lagi anak itu sampai di hadapan Mas Arga. Sementara pria yang masih berjongkok dengan merentangkan tangannya itu tersenyum sambil menatap ke arah Zara.Mataku kembali membola ketika Zara menghentikan langkahnya kala jarak mereka sudah sangat dekat. Gadis kecilku itu kemudian berbalik dan berlari menuju ke arahku. Lalu pelukannya mendarat di tubuh bagian bawahku.“Bukan Papi,” bisiknya dengan suara bergetar, hampir tidak terdengar. Aku pun berjongkok lalu memeluk tubuh kecilnya.“Iya, Sayang. Papi ‘kan sudah tidur di dalam sana.” Kuusap kepalanya lembut.“Zara pengen ketemu Papi.” Tangis gadis kecilku kemudian pecah. Aku pun tidak bisa menahan

  • Sesal (Alasan Menghilangnya Istriku)   Bab 141

    ArumKakiku tak bisa bergerak, seakan terpatri pada tanah basah yang kupijak. Gundukan di hadapanku ini sudah bertabur bunga dan di dalamnya jasad suamiku terbaring dengan tenangnya.Setelah koma selama 3 hari, Rajendra benar-benar pergi untuk selamanya. Aku yang tidak tahu tentang penyakitnya selama ini, merasa sangat kehilangan. Bagiku kepergiannya ini begitu tiba-tiba. Kakek sudah mengajakku pulang beberapa kali. Tetapi aku enggan beranjak. Tak ingin jauh dari suamiku. Laki-laki yang sudah memporak-porandakan kehidupanku, tetapi dia juga yang sudah mengisi kisah-kisah manis selama beberapa tahun ini. Ingatanku terbang ke ingatan beberapa tahun lalu. Kilasan demi kilasan kenangan saat bersamanya yang terekam diputar layaknya sebuah film. “Rum, rasanya aku ingin terus mendampingi kalian lebih lama lagi. Mengisi hidupku berdua bersamamu sampai hari tua, melihat tumbuh kembang Zara sampai dewasa. Hingga dia bisa mengejar cita-cita dan memilih jodohnya sendiri. Bisakah aku melihat cuc

  • Sesal (Alasan Menghilangnya Istriku)   Bab 140

    ArumLima tahun kemudian“Mami, kenapa Papi lama sekali?”Untuk ke sekian kalinya terdengar rengekan dari bibir mungil milik Zara. Gadis kecil yang bernama lengkap Lamia Nadia Zara ini, hari ini genap berusia 5 tahun. Pesta ulang tahun yang diadakan secara sederhana di kediaman kami tengah berlangsung. Gadis kecilku tidak mau meniup lilin sebelum Papinya datang.Tiga hari yang lalu, ketika Rajendra berpamitan untuk urusan ke luar kota. Dia memang tidak berjanji untuk hadir di acara ulang tahun ini.“Papi usahakan datang, tapi enggak janji, ya. Kalau Papi terlambat datang, Zara tiup lilinnya sama Mami saja. Okey?”Saat itu Zara mengangguk, meskipun ada raut kecewa mendengar ucapan Papinya. Aku sendiri ingin bertanya banyak, sebab akhir-akhir ini Rajendra terlihat kurang bersemangat. Berat badannya pun menurun. Saat kuminta untuk periksa, Rajendra bilang dirinya hanya kecapean dan butuh istirahat. “Aku baik-baik saja, tidak ada keluhan apa pun. Kamu jangan khawatir. Tentang berat badan

  • Sesal (Alasan Menghilangnya Istriku)   Bab 139

    Asap semakin memenuhi ruangan, bahkan kini warnanya tak lagi putih. Agak hitam dan membuatku sesak. Aku yang semula akan berjalan menghampiri pintu, mengurungkan niat karena semakin dekat ke pintu, pandangan semakin kabur dan aku semakin tidak nyaman.Akhirnya aku berjalan ke arah balkon, di mana bisa mendapatkan udara yang lebih bersih. Dari atas sini, aku mendengar dengan jelas teriakan Mang Kurdi dan istrinya. Benar saja, ternyata di bawah terjadi kebakaran. Begitu menyadari hal itu, aku semakin panik. Tidak mungkin kalau turun melalui pintu dan tangga sebab asap berasal dari sana. Untuk meloncat dari balkon kamar lantai dua ini pun sangat tidak mungkin.Badanku bergetar hebat, aku merasa kematian sudah di depan mata.Aku mendekati pagar yang berada di balkon dan mendongak. Tak terlihat satu orang pun di halaman depan. Villa ini memang terletak agak terpencil dari bangunan-bangunan lainnya. “Tolong ... tolong “Aku berteriak sekuat tenaga, sementara asap semakin bergerak cepat

  • Sesal (Alasan Menghilangnya Istriku)   Bab 138

    Tujuh hari sudah aku bolak-balik ke rumah sakit. Sebenarnya capek, tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak bisa berdiam diri di rumah, sementara suamiku terbaring di ranjang pasien. Mengenai perasaanku, memang belum sepenuhnya memaafkan Rajendra. Meskipun setiap hari pria itu berusaha menunjukkan perasaan sayangnya padaku. Tapi setiap kali aku mengingat kejadian itu, hatiku kembali diliputi rasa tidak nyaman.Luka di wajahnya sudah mengering, hanya saja retakan di bagian tulang lengannya yang membuat dokter belum mempersilakan pulang.Rajendra sendiri tampaknya sudah bosan berada di rumah sakit. Oleh sebab itu ia, tak hentinya meminta dokter supaya mengizinkannya pulang. Hari ini aku tidak bisa menemuinya ke rumah sakit. Mungkin karena selama beberapa hari ini aku bolak-balik ke sana, badanku sudah memberikan sinyal, bahwa aku sesungguhnya kecapean.“Tidak apa-apa, Rum. Kamu istirahat saja di rumah. Bukankah kemarin juga sudah aku katakan. Supaya kamu tidak setiap hari pergi ke sini.”

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status