Share

Bab 8. Jawaban Herlan

“Eh Lo ke sini sama siapa? Ada kerjaan ‘kah? Lo ke sini dengan Arum ‘kan seperti biasanya? Gue pernah ketemu Arum sebulan yang lalu di kota ini. Katanya dia lagi dampingi Lo yang sedang seminar. Kok Lo enggak mampir ke rumah gue sih?”

Apa yang Herlan katakan? Arum pernah ke Bandung sebulan yang lalu? Apa yang Arum lakukan di kota ini? Kenapa dia tidak pernah minta izin padaku?

Aku duduk di kursi seberang Herlan setelah dipersilahkan.

“Arum ada di rumah, kok. Dia enggak ikut ke sini,” ucapku berpura-pura. Aku semakin penasaran apa yang baru saja Herlan katakan tentang istriku. Diri ini benar-benar ingin tahu kapan Arum ke Bandung dan dengan keperluan apa?

“Memangnya ketemu sama istriku 0 kapan? Kira-kira masih ingat enggak tanggalnya?” tanyaku. Semoga saja temanku itu tak curiga dan merasa janggal dengan pertanyaanku. Tidak mungkin juga aku menceritakan kalau kedatanganku ke Bandung selama ini tanpa Arum dengan niat ingin menemui istri mudaku, bukan seminar yang sering aku jadikan alasan.

Herlan berpikir sejenak mencoba mengingat-ingat. Dahiku mengernyit menunggu jawaban dari temanku itu.

“Wah, gue lupa, Ga. Tapi, yang pasti itu kurang lebih sudah ada satu bulan yang lalu dari sekarang. Memangnya Arum enggak cerita kalau kita ketemu, sama Lo?”

Aku menggeleng, “ Ah ... mungkin dia lupa,” jawabku masih bersandiwara.

“Gimana kabar, Lo. Makin sukses aja, nih! Oh iya, gue denger Lo udah tunangan, ya. Kapan menikah? Jangan lupa undangannya ditunggu!” ucapku mengalihkan obrolan. Takut temanku curiga kalau bertanya Arum lebih lanjut.

Cukup lama kami mengobrol mengenang masa lalu saat kami sama-sama masih menjadi pelajar. Kelucuan Ibnu yang humoris dan segalanya.

Ketika Mang Mansur sudah beres membayar tagihan makanan yang kami pesan di kasir, dia langsung ke tempat parkir setelah mengembalikan ATM padaku.

Perbincangan dengan Herlan sangat menyenangkan, hingga membuatku hampir lupa waktu karena terlalu asyik mengobrol. Ponsel di saku pun mulai berbunyi kembali, menandakan ada notifikasi masuk. Ternyata Erika mengirimkan pesan. Dia menanyakan keberadaanku. Apalagi, Erika terlalu lama menunggu karena aku begitu hanyut dengan obrolan bersama Herlan.

[“Mas, kok lama sih? Memangnya masih di mana?”] tanya Erika dalam pesan tersebut.

[“Iya, Mas bentar lagi datang, Sayang.”]

Terkirim dan sudah centang dua biru, tanda pesan telah terbaca.

Aku pamit kepada temanku itu, berniat untuk kembali ke Rumah Sakit menemani istri mudaku tersebut. Herlan berjanji akan mampir ke rumah jika dia sedang ada pekerjaan di Jakarta. Aku senang sekali kalau temanku itu mau mampir. Sekalian, dia harus merasakan masakan Arum yang super lezat.

Tiba-tiba saja aku teringat istriku kembali. Bagaimana aku bisa menyuruh Arum, kalau keberadaannya saja aku tak tahu.

Ah, mungkin saja aku cepat-cepat akan menemukannya. Dia akan segera pulang ke rumah kami seperti biasa.

Di dalam perjalanan, Erika terus saja menelepon, hingga membuatku mendengkus kesal juga. Namun, aku kembali berpikir positif kalau Erika memang butuh perhatianku saat ini.

Setelah sampai di Rumah Sakit, aku menyuruh Mang Mansur untuk mencari hotel untuk menginap.

“Mamang cari hotel saja untuk menginap. Besok pagi kita kembali ke Jakarta. Jadi, Mamang siap-siap untuk kepulangan besok,” jelasku.

“Iya, Den.” Mang Mansur menurut, dia melajukan kembali mobilnya sedang

Kan aku menemui Erika.

Saat masuk ke ruangan perawatan istri mudaku itu, Erika tersenyum semanis mungkin. Aku menghampirinya, lalu mencium kening serta bibir Erika sekilas.

“Mas, kok lama, sih?” manjanya sambil cemberut. Aku membelai pipinya yang mulus, sambil tersenyum kepadanya.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Evi Azza
lanjuttt dong
goodnovel comment avatar
Syadiah
bener banget
goodnovel comment avatar
Fitriyani Puji
mkan tu pipi mulus dan manja yang bikin bergairah cinta buat arom cumagombalan saja
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status