"Ibu?" ucap Risma setengah terkejut, demikian juga Intan.Apalagi tadi pertanyaan Rini mengarah pada perempuan hamil itu. "Kenapa terkejut? Apa ada sesuatu yang terjadi denganmu, Ris?" Kedua indera ibu dua anak itu menatap intens wajah si sulung.Risma mulai salah tingkah, sesekali memandang ke arah sahabatnya. "Nggak ada apa-apa kok, Bu," jawabnya, "Intan lagi kena sindrom Ibu hamil, makanya pengen konsul ke psikolog atau psikiater. Benar kan, Tan?" Dia mencubit paha sahabatnya pelan."Iya benar, Te." Intan berdiri dan menyalami Rini. Sudah cukup lama keduanya tak bertemu apalagi semenjak hamil. "Tante apa kabar?""Alhamdulillah seperti yang kamu lihat Tante sehat dan baik-baik saja." Rini mengelus perut buncit calon ibu muda di depannya. "Baguslah kalau nggak terkait sama kamu, Ris," ucapnya sambil melirik si sulung."Nggaklah, Bu. Aku baik-baik saja." Dalam hati, Risma berdoa semoga Allah mengampuni dosanya karena sudah berbohong."Ibu cuma khawatir. Beberapa kali bertemu kamu dan
Rini turun dari motor, berjalan mendekati menantunya. "Mas Riswan," panggilnya, "kalau mau bermesraan dengan perempuan lain selain istrimu sebaiknya jangan di depan rumah kayak gini. Akan banyak tetangga yang berpikir jelek nantinya."Si lelaki menoleh, tetapi masih tetap memegang tangan perempuan itu. "Ibu kapan datang?"Rini menatap tajam ke arah tangan keduanya. "Sudah dari tadi Ibu di sini. Besok sore tolong temuin Ibu sama Ayah di rumah. Jangan lupa bawa istrimu." Perempuan sepuh itu kembali ke motor setelah Riswan menyalaminya dan menyanggupi permintaan yang diucapkan tadi.Risma masih berdiri tenang di dekat gerbang. Seketika dia berpikir untuk menyiapkan segala jawaban yang akan dikeluarkan besok. Jika ibunya sudah berkata demikian, maka sesampainya di rumah pasti akan bercerita pada Lutfi.'Ya Allah. Apa Mas Riswan sudah kehilangan akal hingga membawa perempuan itu ke rumah.' Kata Risma dalam hati.Melihat motor Rini sudah melaju cukup jauh, Risma masuk tanpa peduli dengan ke
Happy Reading*****"Sayang Mas keluar, ya. Nggak usah nunggu, takutnya pulang udah larut. Mas bawa kunci serep aja." Riswan menyempatkan mencium kening istrinya, lalu pergi tanpa mengatakan ke mana tujuannya.Risma kembali fokus pada ponselnya, lalu mengetikkan beberapa kata pada kedua sahabatnya. Setelah mengirimkan pesan pada seseorang, dia berusaha memejamkan mata. Berharap semua akan baik-baik saja.*****Mentari sudah naik sepenggalah saat Risma membuka mata. Menoleh ke samping, tak ada sosok Riswan di sebelahnya. Dia berpikir mungkin suaminya menginap di tempat perempuan itu. Akhirnya dia turun dari pembaringan dan menuju dapur."Assalamualaikum. Pagi, Sayang," sapa Riswan yang sudah berkutat di dapur. "Nyenyak tidurnya? Mas tahu kamu masih halangan, makanya nggak dibangunin pas subuh tadi."Masih dengan muka berantakan, Risma tersenyum setelah menjawab salam suaminya. Sempat berpikir kalau lelaki itu tidak pulang karena sampai pukul dua dini hari, dia masih belum melihatnya ti
Happy Reading*****Hening beberapa menit hingga suara salam terdengar. Jangan ditanya bagaimana senangnya hati Risma saat doanya dikabulkan. Dia membuang napas lega. Setidaknya dengan kedatangan seseorang yang mengucap salam tadi, ayah dan ibunya akan berhenti mengintimidasi.Namun, begitu pintu dibuka oleh ibunya, Risma mengucap istigfar. Bakalan panjang perbincangan mereka. Lutfi pasti telah mengundang sahabat karibnya yang tak lain sang mertua. Memejamkan mata sambil memijat pelipisnya, Risma berdesis."Santai, Yang. Aku yang bakal tanggung jawab kalau Ayah marah," bisik Riswan menenangkan."Aku nggak pernah lihat Ayah mertua marah, Mas. Jadi takut banget. Kenapa mesti nyari gara-gara, sih." Risma menjawab tak kalah lirih."Duduk, Dil. Kamu datang tepat waktu," kata Lutfi setelah bersalaman dengan sahabatnya."Jelaslah. Kamu tahu, aku paling anti dengan kata telat. Jadi, gimana?" tanya Fadil to the point."Gimana, Mas? Tolong kamu jawab pertanyaan ayahmu," perintah Lutfi.Kedua or
"Sayang, denger dulu," pinta Riswan mengiba.Setelah mendapat telepon dari perempuam bernama Yustina, Risma meminta suaminya untuk membatalkan rencana mereka. "Aku nggak mau denger, Mas. Pokoknya kita pulang sekarang atau aku akan loncat.""Ris, jangan gitu, dong," rayu lelaki dengan tinggi 170 cm itu. "Percayalah aku cuma berusaha menghibur dia. Kita sudah berteman lama, masak iya Mas nggak peduli dengan kesedihannya. Kalau Zikri dalam keadaan seperti itu, Mas, yakin kamu juga akan berusaha menghiburnya mati-matian. Bener, kan?""Mas, cukup. Sebaiknya kamu antar aku ke rumah Ibu. Jangan samakan kasusmu dengan sahabatku, Zikri nggak akan pernah meminta hal demikian. Sekarang antar aku ke rumah Ibu," pinta Risma. Pikirannya benar-benar kacau. Tega sekali suaminya berbuat hal semacam itu."Jangan, dong. Kamu mau Mas diinterogasi kayak tadi? Jangan buat keluarga makin cemas dengan pernikahan kita. Kita pulang ke rumah aja, ya?" rayu si lelaki.Risma memutar bola mata. "Kamu yang bikin ul
Happy Reading*****Bukannya terkejut dengan pertanyaan perempuan di depannya, Iklima malah tertawa. Bocah kecil di pangkuannya sampai ikut terkikik. Tak urung membuat malu Risma."Kamu serius cemburu sama aku, Ris," tanya Iklima memastikan."Wajar nggak sih, Mbak? Secara kalian berdua itu sangat deket apalagi dulu kalian terkenal dengan couple goals." Risma menunduk, menyembunyikan rasa malu.Tawa Iklima makin keras, beberapa orang yang ada di warung sampai melirik ke arahnya. Sadar tengah diperhatikan, dia menutup mulut, malu. "Kamu tuh pasti termakan gosip di sekolah dulu.""Bukan cuma di sekolah, kan? Dulu pas kuliah walau beda fakultas, nama kalian tetap terdengar sebagai pasangan romantis di kalangan anak BEM. Mbak Iklima dengan segala kecantikan, kepintarannya dan Mas Riswan dengan sikap cool serta ketampanannya. Siapa yang nggak kenal kalian di kampus." Risma mengungkap fakta yang didengarnya selama ini."Ah, kamu. Kayak nggak tahu gosip aja. Makin digosok makin sip, kan? Nah
Happy Reading*****"Kaget, kan? Semua itu benar, Mbak. Yustina telah bercerai dengan suaminya dan kemarin lelaki itu meninggal." Risma berkata dengan tegas. Menatap lawan bicaranya agar apa yang disampaikan dipercaya."Meninggal kenapa?" Oleh karena Dara menangis, Iklima tak menghiraukan perkataan Risma lagi. Fokusnya berpindah pada sang putri. Ternyata gadis kecil itu, bajunya terjepit kayu bangku sehingga membuatnya tidak bisa berjalan.Tingkah lucu si bocah membuat Risma tersenyum. Membayangkan jika kelak dia memiliki seorang putri. Namun, ketika teringat akan perlakuan Riswan, dia menjadi sedih."Ris, gimana kalau kita lanjut ngobrol di rumahku saja. Biar lebih leluasa. Dara sudah kelihatan bosen kalau di suruh duduk terus," saran Iklima."Apa nggak masalah, Mbak?""Nggaklah. Aku hari ini dinas malam, jadi siang sampai sore free. Tadi tuh baru aja pulang. Makanya ngajak ketemuan sesuai permintaanmu tempo hari." Wajah Iklima tampak berbinar."Oke kalau gitu. Mbak, ke sini tadi nai
Happy Reading*****"Aku nggak melindungi kesalahan Riswan, Ris. Percaya sama suamimu. Bukankah itu kunci langgengnya suatu pernikahan?" Iklima benar-benar tidak mampu untuk mengatakan yang sejujurnya. Selisih beberapa rumah dari kediamannya, berarti tempat tinggal Farel.Perempuan itu tahu apa yang dilakukan Riswan di sana. Namun, Iklima tidak bisa menceritakan hal itu karena janji yang sudah terucap pada sahabatnya. Dia sendiri belum tahu pasti untuk apa lelaki itu berkonsultasi kesehatan, sedangkan keadaannya terlihat baik-baik saja. Riswan pernah memintanya untuk berjanji agar tak mengatakan pada siapa pun, termasuk Risma, istrinya."Rasanya aku nggak percaya, Mbak. Secara dia deket banget sama kamu bahkan melebihi kedekatan denganku sebagai istrinya.""Gini aja, deh. Kamu fokus sama rumah tangga kalian dan mendapatkan momongan karena aku sering dengar Tante Rini pengen banget punya cucu. Kayak waktu itu, beliau sempat meminta vitamin untuk kesuburan kalian." Iklima menutup mulut