Happy Reading*****"Maksud dokter apa, ya?" Tak kuat menyembunyikan rasa penasaran, Risma melontarkan pertanyaan itu."Boleh duduk di sini?" tanya Farel menunjuk kursi kosong di sebelah Risma. "Beberapa waktu lalu, suamimu sempat berkonsultasi agar cepat mendapat momongan. Kayaknya berhasil, nih. Buktinya kamu sekarang lagi kontrol ke dokter kandungan."Risma tersenyum miris, antara bahagia dan juga sedih. Bahagia karena sang suami juga tengah berusaha mewujudkan keinginannya dan juga harapan para orang tua. Sedih, karena sampai saat ini sikap Riswan belum berubah. Haruskah dia menceritakan yang sebenarnya?"Lah, malah ngelamun? Jadi, sudah berapa bulan nih kandungannya?" Sang dokter sampai memiringkan kepala agar pertanyaannya tak diabaikan."Alhamdulillah belum, Dok. Ke sini cuma nganter temen, kebetulan suaminya lagi sibuk kerja, jadi nggak ada yang nemeni."Ada ekspresi aneh dari wajah Farel yang ditangkap indera Risma. Belum bisa diartikan antara terkejut atau kecewa. Risma memb
Happy Reading*****"Duduk, dulu. Nggak perlu kaget gitu. Nggak nyangka kamu yang melamar kerja jadi admin. Apa Riswan mengijinkanmu kerja?" tanya lelaki yang kini duduk di depan Risma. Ya, dia adalah Farel. Seorang dokter yang bersahabat dengan Riswan."Dunia ini sempit sekali ternyata. Tadi di rumah sakit ketemu. Eh, sekarang ketemu lagi." Untuk menetralisir rasa terkejutnya, Risma sedikit memberikan gurauan. "Saya sudah ijin suami, kok, Dok. Jadi, nggak perlu kuatir bakalan dimarah sama Mas Riswan.""Oke. Kalau gitu, besok kamu boleh langsung kerja. Masalah sif, nanti diatur bergantian sama Septi. Selamat bergabung, semoga betah kerja di klinik kecil ini." Farel mengulurkan tangan hendak menjabat, tetapi Risma malah menangkupkan kedua tangan."Saya permisi, Dok." Tak ingin berlama-lama berada di ruangan Farel, Risma berpamitan.Dokter muda itu tersenyum penuh arti. Berkata dalam hati, 'gila kamu, Wan. Ngebiarin perempuan sebaik Risma sampai setahun. Aku tikung baru tahu rasa, kamu.
Happy Reading*****"Siapa yang kamu maksud dokter Farel? Apa doktet Farel Hardiyan, sahabatku yang waktu itu datang di pembukaan warung sate?" Suara Riswan terdengar mengintimidasi."Iya. Kenapa memangnya, Mas? Bukannya lebih baik bekerja pada atasan yang sudah mengenal latar belakang kita?" Risma sudah menyelesaikan acara cuci cangkir dan peralatan lainnya. "Aku mau salat dulu udah azan magrib."Risma meninggalkan suaminya yang berdiri di dekat wastafel. Entah apa yang sedang dipikirkan lelaki itu. Dia sudah tak mau ambil pusing.*****Mengawali hari penuh semangat. Risma sudah bersiap berangkat kerja setelah menyelesaikan semua urusan rumah tangganya. Janjinya semalam pada sang suami tak akan mengabaikan kewajiban sebagai istri telah dijalankan dengan baik.Risma tetap melayani segala kebutuhan Riswan. Tak kurang sedikit pun meski harus bangun lebih pagi menyiapkan semuanya."Mas antar kamu kerja sekalian pengen tahu kamu beneran kerja di klinik Farel atau tidak." Tatapan mata Risw
Happy Reading*****Setelah menutup percakapan dengan Risma. Riswan segera menghubungi sahabatnya. Begitu panggilannya terangkat, suami Risma itu langsung berkata dengan suara keras. "Ngapain kamu beliin makan siang istriku? Nggak usah sok perhatian sama Risma. Aku emang ngasih ijin dia kerja, tapi bukan berarti ngasih kebebasan buat lelaki lain deket-deket."Masih di ruangannya, Farel menahan tawa. Apa-apaan sahabatnya itu. Belum juga dia ngasih perhatian lebih sama Risma. Riswan sudah kebakaran jenggot karena cemburu. "Salah sendiri kenapa istri secantik dan sebaik Risma dianggurin gitu aja. Jiwa jombloku tergerak deketin jadinya," jawabnya enteng. Si dokter yakin bahwa di seberang sana, Riswan mengumpat dan semakin kesal. "Aku pernah ngomong, kalau emang nggak bisa ngasih jatah batin sama istrimu. Aku bersedia kok membantu.""Sialan. Bisa nggak mulutmu ngomong yang baik-baik aja. Temen macam apa kamu itu?" Suara Riswan terdengar makin keras dan sukses membuat Farel terpingkal-pingk
Happy Reading*****Sesampainya di rumah, Risma langsung masuk kamar. Segala macam omongan dan alibi yang dikeluarkan suaminya tak digubris. Alasan sama yang akan selalu diberikan Riswan, sebatas teman, rasa kemanusiaan dan tidak enak hati.Terus saja begitu. Apa jika nanti Yustina atau perempuan lain meminta Riswan untuk menikahi mereka dia akan berdalih seperti itu juga? Entahlah, mungkin lingkar pergaulan Riswan hanya ada perempuan saja.Risma teringat kembali pada si dokter. Apa kabar luka yang diterimanya karena pukulan Riswan? Perempuan itu mengeluarkan ponsel. Memainkan jemarinya mengetikkan chat.[Gimana keadaannya, Dok? Maafkan Mas Riswan, ya. Dia pasti nggak berniat nyakiti Dokter.] tulis Risma.Bukannya menjawab chat yang dikirimkan Risma. Farel malah terlihat melakukan panggilan video. Jantung Risma berpacu, antara ingin mengetahui keadaan sang dokter dengan ketakutan akan kemarahan Riswan jika sampai tahu."Sayang, Mas sudah siapin makan. Cepetan ke sini!" Suara Riswan te
Happy Reading*****Tak terasa sudah seminggu Risma bekerja. Kedekatannya dengan Farel pun makin membuat Riswan kebakaran jenggot. Padahal yang mereka lakukan hanya sebatas dekat karena urusan pekerjaan. Hal yang paling membuat Riswan murka adalah ketika Farel mengantar pulang Risma dengan alasan ban motor si istri bocor.Setiap hari saat akan berangkat selalu diwarnai cekcok dan adu mulut dengan suaminya. Sikap Riswan makin posesif saja setelah kejadian Risma diantar pulang oleh sahabatnya. Perempuan itu dilarang membawa kendaraan sendiri. Pulang pergi selalu dijemput. Sampai urusan makan siang saja, Riswan rela mengantarkannya sendiri."Asyik, nih. Udah kayak perangko aja si Riswan. Nempel terus!" goda Farel ketika melihat Risma makan dengan bekal yang baru saja diantar oleh suaminya.Risma mengunyah makanannya sebentar dan menelannya. Setelah itu baru mengeluarkan suara. "Ish, Pak Dokter. Ngagetin aja, deh. Udah makan, Dok?"Farel tertawa lebar. Sedikit jahil, mencomot nuget di had
Happy Reading*****"Kok diem, Ma?""Apaan, sih. Aku pulang dulu, ya. Dara ngantuk kayaknya." Pipi Iklima memanas."Aku antar, ya.""Nggak ... nggak," ucap perempuan satu anak itu, "rumahku lho nggak jauh dari sini. Aneh aja kalau dianter apalagi sama lelaki. Akan timbul fitnah nantinya.""Ya sudah kalau nggak mau. Aku ke klinik saja." Farel menyerahkan Dara pada Iklima. Ibu satu anak itu sedikit terkejut, pasalnya walau klinik itu milik keluarga si lelaki, mengapa di hari libur juga tetap bekerja.Sambil berjalan pulang, Iklima berpikir tetang perkataan Farel tadi. Sebuah kisah masa lalu yang sudah dilupakan oleh Iklima. Ya, Farel memang pernah menyatakan rasa cintanya dulu. Namun, usia mereka baru belasan tahun saat itu dan Iklima tidak pernah berpikir untuk menjalin hubungan pacaran seperti teman-temannya yang lain. Oleh karenanya dia menolak ajakan Farel dan pernyataan cintanya. Iklima berpikir cinta itu, hanya cinta monyet yang mampir sebentar. Ternyata sekarang, si lelaki malah
Happy Reading*****"Diammu adalah jawaban iya. Tega kamu mengkhianati Risma, Wan." Iklima mengangkat putrinya dari kereta dorong. Dara terbangun ketika mendengar suara keras bundanya baru saja. "Laki-laki macam apa kamu? Bersedia menikah dengan perempuan pilihan orang tua, tetapi hatimu nggak sepenuhnya menerima. Kamu sama saja mempermainkan pernikahan.""Jangan berasumsi sendiri, Ma. Aku nggak pernah mencintai Yustina. Walaupun dulu, aku sempat ingin menerima cintanya. Semua itu aku lakukan karena kasihan melihat dia diejek teman-temannya karena cinta bertepuk sebelah tangan." Riswan diam kembali. Apa yang dilakukannya dulu memang murni karena kasihan.Namun, tak menyangka jika kelakuan Yustina sungguh menjijikkan. Riswan bergedik ngeri kala mengingat video itu. Bagaimana si lelaki dengan mudahnya menjamah setiap bagian tubuh kekasihnya. Lalu, Riswan teringat saat Yustina melakukan panggilan video di warung. Bagaimana dengan mudahnya perempuan itu mempertontonkan kemolekan tubuhnya