Happy Reading*****Sesampainya di rumah, Risma langsung masuk kamar. Segala macam omongan dan alibi yang dikeluarkan suaminya tak digubris. Alasan sama yang akan selalu diberikan Riswan, sebatas teman, rasa kemanusiaan dan tidak enak hati.Terus saja begitu. Apa jika nanti Yustina atau perempuan lain meminta Riswan untuk menikahi mereka dia akan berdalih seperti itu juga? Entahlah, mungkin lingkar pergaulan Riswan hanya ada perempuan saja.Risma teringat kembali pada si dokter. Apa kabar luka yang diterimanya karena pukulan Riswan? Perempuan itu mengeluarkan ponsel. Memainkan jemarinya mengetikkan chat.[Gimana keadaannya, Dok? Maafkan Mas Riswan, ya. Dia pasti nggak berniat nyakiti Dokter.] tulis Risma.Bukannya menjawab chat yang dikirimkan Risma. Farel malah terlihat melakukan panggilan video. Jantung Risma berpacu, antara ingin mengetahui keadaan sang dokter dengan ketakutan akan kemarahan Riswan jika sampai tahu."Sayang, Mas sudah siapin makan. Cepetan ke sini!" Suara Riswan te
Happy Reading*****Tak terasa sudah seminggu Risma bekerja. Kedekatannya dengan Farel pun makin membuat Riswan kebakaran jenggot. Padahal yang mereka lakukan hanya sebatas dekat karena urusan pekerjaan. Hal yang paling membuat Riswan murka adalah ketika Farel mengantar pulang Risma dengan alasan ban motor si istri bocor.Setiap hari saat akan berangkat selalu diwarnai cekcok dan adu mulut dengan suaminya. Sikap Riswan makin posesif saja setelah kejadian Risma diantar pulang oleh sahabatnya. Perempuan itu dilarang membawa kendaraan sendiri. Pulang pergi selalu dijemput. Sampai urusan makan siang saja, Riswan rela mengantarkannya sendiri."Asyik, nih. Udah kayak perangko aja si Riswan. Nempel terus!" goda Farel ketika melihat Risma makan dengan bekal yang baru saja diantar oleh suaminya.Risma mengunyah makanannya sebentar dan menelannya. Setelah itu baru mengeluarkan suara. "Ish, Pak Dokter. Ngagetin aja, deh. Udah makan, Dok?"Farel tertawa lebar. Sedikit jahil, mencomot nuget di had
Happy Reading*****"Kok diem, Ma?""Apaan, sih. Aku pulang dulu, ya. Dara ngantuk kayaknya." Pipi Iklima memanas."Aku antar, ya.""Nggak ... nggak," ucap perempuan satu anak itu, "rumahku lho nggak jauh dari sini. Aneh aja kalau dianter apalagi sama lelaki. Akan timbul fitnah nantinya.""Ya sudah kalau nggak mau. Aku ke klinik saja." Farel menyerahkan Dara pada Iklima. Ibu satu anak itu sedikit terkejut, pasalnya walau klinik itu milik keluarga si lelaki, mengapa di hari libur juga tetap bekerja.Sambil berjalan pulang, Iklima berpikir tetang perkataan Farel tadi. Sebuah kisah masa lalu yang sudah dilupakan oleh Iklima. Ya, Farel memang pernah menyatakan rasa cintanya dulu. Namun, usia mereka baru belasan tahun saat itu dan Iklima tidak pernah berpikir untuk menjalin hubungan pacaran seperti teman-temannya yang lain. Oleh karenanya dia menolak ajakan Farel dan pernyataan cintanya. Iklima berpikir cinta itu, hanya cinta monyet yang mampir sebentar. Ternyata sekarang, si lelaki malah
Happy Reading*****"Diammu adalah jawaban iya. Tega kamu mengkhianati Risma, Wan." Iklima mengangkat putrinya dari kereta dorong. Dara terbangun ketika mendengar suara keras bundanya baru saja. "Laki-laki macam apa kamu? Bersedia menikah dengan perempuan pilihan orang tua, tetapi hatimu nggak sepenuhnya menerima. Kamu sama saja mempermainkan pernikahan.""Jangan berasumsi sendiri, Ma. Aku nggak pernah mencintai Yustina. Walaupun dulu, aku sempat ingin menerima cintanya. Semua itu aku lakukan karena kasihan melihat dia diejek teman-temannya karena cinta bertepuk sebelah tangan." Riswan diam kembali. Apa yang dilakukannya dulu memang murni karena kasihan.Namun, tak menyangka jika kelakuan Yustina sungguh menjijikkan. Riswan bergedik ngeri kala mengingat video itu. Bagaimana si lelaki dengan mudahnya menjamah setiap bagian tubuh kekasihnya. Lalu, Riswan teringat saat Yustina melakukan panggilan video di warung. Bagaimana dengan mudahnya perempuan itu mempertontonkan kemolekan tubuhnya
Happy Reading*****"Ris, kenapa diem?" tanya Zikri."Gimana aku jelasinnya, ya." Risma mulai berpikir keras. "Gini, lho, Zik. Aku sama Mas Riswan kan belum dikaruniai momongan. Jadi buat ngusir rasa jenuh, aku nyari kesibukan dengan bekerja." Akhirnya alasan itu yang terlontar.Namun, Risma tetap ketar-ketir jika Zikri akan menceritakan masalah ini pada orang tuanya. Terus terang walau sudah menjadi sarjana ekonomi, perempuan itu tidak diperkenankan bekerja. Kalaupun harus bekerja, Risma bisa mengelola usaha ayahnya sendiri.Rini sering berkata bahwa bekerja di suatu perusahaan atau instansi tetap membawa beban tersendiri. Risma tak akan kuat menanggungnya. Oleh karena itu juga menjadi sebab alasan orang tuanya lebih menyukai usaha sendiri walau kecil-kecilan.Zikri menatap sahabatnya, mengembuskan napas panjang. "Bukannya dengan bekerja kamu akan lebih lama dapat momongan. Beban pekerjaan dan capek yang diakibatkan akan membuatmu nggak maksimal melayani suamimu," nasihat bapak satu
Happy Reading*****"Mas kamu baik-baik saja, kan?" tanya Risma. Tak tahan melihat tingkah laku suaminya yang terbilang di luar kebiasaan."Sangat baik, Sayang." Tak disangka-sangka, Riswan menangkupkan tangannya di atas tangan Risma. Menelusupkan jemarinya, tersenyum begitu manis dan mengecup tangan itu sepenuh perasaan.Risma diam mematung. Bukannya bahagia, dia malah bingung. Menatap ke arah Farel, memainkan dagu dan mata. Seolah perempuan itu bertanya pada sang dokter, ada apa sebenarnya dengan suaminya.Farel mengedikkan bahu dan tersenyum. Lalu, berdeham keras. "Bisa kali, mesra-mesraannya di rumah atau di kamar saja. Ada jomblo lho di sini.""Makanya nikah," seloroh Riswan tak terima, "aku percaya kalian berdua nggak akan mengkhianatiku, jadi mulai sekarang aku nggak akan marah atau cemburu lagi.""Benarkah itu? Gimana kalau Risma malah memilihku karena kamu nggak kunjung memberikan hak sebagai istri sepenuhnya?" Farel menatap Risma. Perempuan itu sudah melotot terlebih dahulu.
Happy Reading*****Meluapkan emosi dan juga kesedihannya, menangis adalah salah satu cara Risma. Perempuan itu menelungkup di ranjang kamar dengan menggunakan daster batik. Baju baru itu sudah dia singkirkan ke dalam koper bersama tumpukan pakaian yang telah digunakan untuk menggoda suaminya, tetapi tidak berhasil. Biarlah semua pakaian itu menjadi saksi betapa selama ini usaha Risma selalu gagal. Bukan dia yang memiliki masalah, tetapi suaminya. Bahkan kejadian tadi sungguh sangat menyakiti harga diri sebagai istri. Riswan yang memintanya sendiri untuk berpakaian menarik, serta berdandan dan mendatanginya, tetapi mengapa lelaki itu juga yang menolak. Risma manatap tampilannya pada cermin. Sedikit mendongakkan kepala. Harus dengan cara apalagi dia mendekati suaminya. Apakah tampilannya benar-benar menjijikkan. "Aku nggak mungkin seperti ini terus. Aku harus tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan Mas Riswan." Risma bangkit dari pembaringan. Walau indera penglihatannya terasa bengk
Happy Readig*****Riswan meminum air dingin di hadapannya kembali. Helaan napasnya terdengar keras. "Susah buat aku mengakui semua kesalahan itu, Rel. Sampai saat ini aku berusaha keras untuk keluar dan nggak terjebak lagi dengan keputusan salah itu.""Tak pikir-pikir, kamu tuh aneh. Hidup cuma sekali kenapa dibikin ribet. Sebagai lelaki kamu itu sudah memiliki kriteria idaman semua orang. Punya usaha yang mapan, ganteng iya, punya istri cantik dan baik. Apalagi yang membuatmu nggak bisa keluar dari keputusan salah itu. Lingkungan dan keluargamu pastinya selalu mendukung apa pun yang kamu putuskan.""Kapan-kapan, aku cerita lagi saat sudah siap. Nge-game yuk! Sudah lama nggak mabar."Ucapan Riswan tak urung membuat Farel gemas. Dilemparnya buah anggur di meja pada sahabatnya itu. "Beneran edan kamu. Capek-capek nungguin pengen denger curhatanmu. Eh, sekarang malah ngajak mabar. Pulang sana! Sudah malam, lagian kita bukan anak-anak lagi besok aku dinas pagi di RS umum," bohong Farel.