Pagi harinya, "aku harus meminta izin pada Tuan Dirga hari ini untuk bertemu dengannya," gumam Cahaya, tangannya sibuk memotong wortel yang akan ia olah nanti bersama kembang kol menjadi sayur sop.
"Apa dia juga mau ya? Ah, nanti selepas meminta izin aku akan membungkuskan sedikit sayur sop bakso kesukaan nya," lagi, Cahaya bergumam sembari tersenyum mengingat seseorang yang memiliki makanan kesukaan, memiliki kebiasaan yang sama dengan mantan suaminya. Di dalam kamar, "hari ini kamu tidak akan bisa bertemu dengan orang yang sudah membuat janji denganmu, karena hari ini aku akan membuatmu sibuk seharian denganku," Dirga menyeringai membayangkan wajah kecewa dua orang yang sudah membuatnya marah dan kecewa. Dirga keluar dari kamar dan berjalan menuruni anak tangga, tubuhnya membawa langkah kakinya menuju dapur karena sepagi ini Dirga yakin jika wanita itu pasti sedang ada di sana, seperti kebiasaannya dulu, selalu memasakkan sarapan untuk dirinya. Walau memiliki asisten rumah tangga, mantan istrinya itu dulu yang selalu memegang kendali masalah dapur, hingga tak beberapa lama wanita itu seakan enggan menyentuh dan mendatangi dapur. "Mas, aku ingin berkerja. Aku bosan di rumah," kata mantan istrinya dulu saat masih menjadi istrinya, terdengar mendayu ndayu tapi Dirga suka itu karena wanita itu hanya mau bermanja-manja dengan dirinya. Hingga mantan istrinya itu menerima pekerjaan menjadi model, sesibuk apapun wanita itu pasti tetap akan mengabari keberadaan dirinya, sampai suatu malam ia menerima pesan berupa gambar, di mana mantan istrinya itu sedang tidur tanpa sehelai benang pun di tubuhnya, hanya selimut yang menutupi tubuh polos itu. Tubuh polos itupun sedang berada di dalam pelukan lelaki lain yang tak lain dan tak bukan Gilang, kakak kandungnya yang akan selalu merebut dan mengambil apapun yang dia miliki. Dirga menggeleng kuat mencoba mengusir bayangan masa lalu mereka, dan akan memberi pelajaran berharga pada para penghianat itu. Sesampainya di dapur, Dirga harus menelan ludah berkali-kali melihat penampilan mantan istrinya. Rambutnya yang panjang di cepol keatas, memperlihatkan lehernya yang jenjang, walau Cahaya memakai daster hampir sebatas mata kaki, tetap tidak bisa menyembunyikan tubuhnya yang tinggi dan makin berisi. Dirga berjalan kearah di mana lemari pendingin berada, kemudian membukanya, mengamati sesaat lalu menutupnya. Cahaya terjengit saat mendengar suara pintu lemari pendingin tersebut di tutup agak kencang, Cahaya menoleh kan kepalanya dan mendapati Dirga sedang berjalan kearah di mana mesin cuci berada, "sedang apa dia?" gumam Cahaya pelan. Cahaya segera berbalik begitu melihat Dirga memutar tubuhnya, terdengar suara sandal mendekat, lalu kursi di tarik dan ada yang menghenyakkan bobotnya di kursi tersebut. Selang beberapa menit terdengar hembusan nafas kasar yang Cahaya yakin Dirga pelaku nya, dan lelaki itu pasti tengah menahan kesal, namun entah itu apa ia tak tahu. "Hari ini ikut dengan ku berbelanja kebutuhan rumah," Cahaya yang sedang menggoreng ikan segera menoleh dan mengernyit, "biar saya saja, Tuan," Cahaya menolak, jika hari ini dia keluar bersama Dirga, barang tentu tidak akan bisa bertemu dengan dia. "Saya bosan di rumah, ada barang yang ingin saya cari juga," kata Dirga tak terbantahkan, Cahaya akhirnya mengangguk mengiyakan perintah mantan suaminya. "Nanti aku mampir ke restaurant dulu saja, dan menyuruhnya kesana," gumam Cahaya sambil mengangkat ikan yang sudah matang lalu meniriskan. Sedari tadi Dirga sengaja duduk di sana memperhatikan apapun yang mantan istrinya lakukan, "kenapa kau harus selingkuh dengan kakakku? Jika kau tidak selingkuh, maka kita pasti sudah bahagia," lirih Dirga, tangannya memijat pangkal hidungnya. Cahaya segera memindahkan sayur tadi kedalam mangkok sop. Lalu memindah ikan goreng yang sudah matang ke atas piring ceper. Kemudian mengambil sedikit nasi dari magic jar kedalam mangkok lalu meletakkan di atas meja di depan Dirga duduk. "Mana sambalnya?" ketus Dirga yang seolah mencari kesalahan Cahaya. " Astaga! maaf, Tuan," Cahaya menepuk keningnya segera berlari menuju lemari pendingin, mengambil cabai kecil lalu mencucinya kemudian memotong cabai tersebut dan ia masukkan kedalam mangkok kecil, kemudian mengerusnya pakai sendok dan menuang kecap di atasnya, mengaduk-aduk sambal kecap itu sampai tercampur kemudian meletakkan mangkok kecil itu di samping sayur sop. Cahaya memilih menjauh saat Dirga makan, dia harus menghubungi seseorang agar bisa bertemu di sana. Selang beberapa menit, dering telepon rumah berbunyi, dengan susah payah Cahaya berjalan menuju di mana telepon itu terletak. "Mbak Siti, tolong bilang Tuan Dirga jika Nyonya Besar ingin berkunjung, bersama Nona Tiara," suara wanita dari seberang yang tentu saja Cahaya hafal siapa, "iya, akan saya sampaikan," balas Cahaya yang langsung mematikan sambungan telepon tersebut. "Tuan, tadi Bi Sumi menelepon, katanya Nyonya Besar dan Nona Tiara akan datang," Cahaya menyampaikan pesan asisten rumah tangga mantan ibu mertuanya. Tampak Dirga terdiam lalu akhirnya mengangguk, "biar aku yang kasih kabar mama," ucapnya yang langsung di angguki oleh Cahaya. "Sekarang bersiap-siaplah,kita akan berbelanja," setelah berkata demikian, Dirga bangkit dan berjalan menapaki tangga. Sedang Cahaya gusar, "jika dia di sini pasti dia akan bertingkah seperti yang sudah-sudah," gumam Cahaya yang kemudian tangannya sibuk membersihkan bekas makanan Dirga. Mencari kantong plastik bening, lalu mengisinya dengan sayur sop yang tadi ia olah. Selesai dengan urusannya, Cahaya segera ke kamar pembantu dan bersiap-siap untuk pergi berdua dengan mantan suaminya. Saat Cahaya keluar dari kamar, ia tersentak kaget melihat Dirga yang sudah duduk menunggu dirinya di ruang tamu, "lelet," ucap Dirga ketus, kemudian lelaki itu berdiri dan melangkah meninggalkan Cahaya yang masih berdiri sambil menatap punggung kekar mantan suaminya, tubuh itu terlihat lebih kurus dari sebelum mereka berpisah. "Cepetan!!!" Dirga berteriak dari dalam mobil dan berulang kali membunyikan klakson mobilnya, "astaga, dia tidak pernah berubah. Tidak sabaran," gerutu Cahaya yang kemudian menyambar kantong plastik yang langsung ia masukkan kedalam tas slempangnya, kemudian melangkah keluar sebelum mencabut kunci yang selalu menggantung di sisi dalam pintu itu. Menutupnya lalu menguncinya dari luar dan segera berlari kearah Dirga yang sudah menunggu dirinya di dalam mobil, Dirga memindai penampilan Cahaya yang terlihat biasa namun tetap mempesona dan terus bisa membuatnya jatuh cinta. Hanya memakai kaus berwarna pink dan rok di bawah lutut berwarna putih, serta telapak kakinya terbungkus sepatu flatshoes berwarna putih, tak lupa perempuan itu membawa tas slempang berwarna hitam yang ia sampirkan di pundaknya. "Kau pikir aku supirmu?" Cahaya yang membuka pintu belakang terkejut saat suara menggelegar menyapa indera pendengarannya, "duduk depan!" ketus Dirga yang langsung di angguki Cahaya. Perempuan itu menutup pintu belakang dan kemudian membuka pintu bagian depan, menundukkan kepala lalu merangsek masuk dan duduk di bangku depan seperti yang Dirga perintahkan. 'Padahal tadi aku mau duduk di belakang biar ngga deg-degan gini, ee dia malah nyuruh aku pindah,' Cahaya menggerutu dalam hati. Mobil perlahan meninggalkan pekarangan rumah milik Dirga menuju swalayan. Dalam diam, Dirga sudah merancang beribu rencana agar Cahaya tidak bertemu dengan selingkuhannya. Sedang Cahaya, dalam diam ia berpikir bagaimana caranya agar bisa bertemu dengan orang itu, Cahaya merasa sepertinya Dirga saat ini tidak mudah percaya pada orang lain. Dirga dan Cahaya keluar dari mobil setelah memarkirkan mobilnya dan berjalan melewati beribu mobil yang terparkir di basemant swalayan yang hampir mirip mall tersebut. Dirga memilih barang-barang yang ia butuhkan, Cahaya pun mendorong troli memisah dari Dirga dan mengambil kebutuhan dapur serta perlengkapan mencuci juga perlengkapan mandi untuk mereka berdua.“Mas Dirga, menurutmu.. apa. kita bisa benar-benar hidup tenang mulai sekarang?” Cahaya bertanya dengan suara pelan, pandangannya menatap jauh ke luar jendela, seolah-olah mencari jawaban yang tersembunyi di antara langit yang cerah pagi itu. Dirga berdiri di sampingnya, mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan Cahaya. Dirga tersenyum, menatap Cahaya dengan kelembutan yang terpancar dari matanya. “Ya, Cahaya. Aku yakin ini adalah awal yang baru untuk kita. Semua telah selesai. Semua luka dan rasa sakit itu... kita bisa mulai menyembuhkannya bersama.” Mereka berdua berdiri di ambang jendela, menikmati sinar matahari pagi yang terasa begitu hangat dan menenangkan. Di balik semua konflik dan perjuangan, hari ini terasa seperti pagi yang istimewa—sebuah permulaan dari hidup yang mereka idamkan. Di ruang tamu, suara tawa kecil Tasya terdengar, memecah keheningan yang menyelimuti mereka. Cahaya tersenyum, kemudian menoleh pada putri kecil mereka yang sedang bermain dengan bonekanya di
“Dirga, pernahkah kau benar-benar memahami rasa sakit yang kusimpan selama ini?” Cahaya bertanya dengan suara pelan, matanya menatap lurus ke arah Dirga yang duduk di sampingnya. Pertanyaan itu terdengar seperti beban yang terpendam bertahun-tahun, yang akhirnya terungkap dalam satu tarikan napas. Dirga terdiam, membiarkan kata-kata Cahaya memenuhi ruang di antara mereka. Hatinya mendadak berat, penuh penyesalan yang selama ini ia simpan. “Cahaya, aku tahu aku telah melakukan banyak kesalahan. Tapi... apakah kau bersedia memberiku kesempatan untuk menebus semuanya?” Cahaya menunduk sejenak, memandangi tangannya yang terlipat di pangkuan. Ia menarik napas panjang, mencoba meredakan perasaan yang bercampur aduk dalam dadanya. “Dirga, bukan tentang memberimu kesempatan. Ini lebih kepada... rasa sakit yang terlalu lama kusimpan sendirian. Semua yang kuhadapi selama ini... seolah tidak ada yang benar-benar memahami atau bahkan ingin mendengarnya.” Dirga menatap Cahaya dengan penuh kesun
“Kau sudah tahu apa yang terjadi dengan Gilang?” Dirga mendengar suara Roni di telepon, bernada serius dan tenang. Panggilan dari Roni ini terasa mendadak dan memunculkan perasaan yang bercampur aduk dalam hati Dirga. “Apa yang kau temukan, Roni?” Dirga mencoba menahan napas, tahu bahwa sahabatnya tidak akan menelepon jika tidak ada berita penting. Roni menarik napas panjang sebelum menjawab. “Aku berhasil menemukan bukti yang cukup kuat. Gilang terlibat dalam jaringan korupsi besar yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir. Bukti ini bisa menjatuhkannya sepenuhnya, Dirga.” Dirga terdiam, meresapi informasi itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Sebagai adik, ia merasa terkejut dan terluka, namun sebagai seorang pria yang telah melihat banyak tindakan manipulatif dari Gilang, ia menyadari bahwa ini adalah jalan keadilan yang akhirnya terungkap. “Dan pihak kepolisian sudah tahu semua ini?” Dirga bertanya, suaranya nyaris berbisik. “Ya. Aku sudah menyerahkan semua b
“Cahaya, kau pikir bisa terus bertahan? Kau tak lebih dari bayangan yang hanya membawa malapetaka,” ujar Tiara dingin, tatapannya tak beranjak dari sosok Cahaya yang berdiri di samping Dirga.Cahaya menahan napas, menatap lurus ke arah Tiara dengan tekad yang tak tergoyahkan. “Aku tidak akan mundur demi keluargaku, Tiara. Apa pun rencanamu, kau tak akan berhasil memisahkan aku dari Tasya dan Dirga.”Tiara hanya tersenyum sinis, lalu melangkah mundur. “Kita lihat saja seberapa kuat kau bertahan,” katanya sebelum pergi dengan langkah angkuh yang menusuk.---“Sudah cukup semua ini, Gilang!” Dirga menatap kakaknya yang berdiri tak jauh darinya, tatapan mata mereka saling berseteru dalam diam yang mencekam. Cahaya berdiri di samping Dirga, menggenggam tangan suaminya dengan erat, sementara Tasya berada dalam pelukannya.Gilang tertawa sinis, matanya menyiratkan kebencian yang selama ini tersembunyi di balik topeng saudara. “Kau pikir bisa hidup bahagia, Dirga? Kau kira akan bebas dari bay
"Cahaya, kau benar-benar percaya kita akan aman sekarang?" Dirga memandang ke arah Cahaya, matanya dipenuhi kekhawatiran. Dia mencoba menyembunyikannya, tetapi Cahaya dapat melihat bahwa ketakutan itu perlahan menggerogoti ketenangan suaminya.Cahaya menghela napas pelan, menatap Dirga dengan pandangan yang lembut namun penuh keyakinan. "Aku tidak tahu, Dirga. Tapi yang pasti, aku tidak akan biarkan siapa pun menyakiti kita lagi. Bukan Tiara, bukan Gilang, bukan siapa pun."Dirga meraih tangan Cahaya, menggenggamnya erat. "Kita sudah berjuang sejauh ini, Cahaya. Aku hanya ingin kita bisa hidup tenang, tanpa ancaman yang terus menghantui. Aku tidak akan membiarkan siapa pun mengganggu keluarga kita."Belum sempat Cahaya membalas, terdengar suara tawa riang Tasya dari ruang tamu, disusul langkah kaki kecil yang berlari mendekati mereka. "Mama, Papa! Lihat, aku membuat gambar kita bertiga!" serunya, menunjukkan kertas berisi gambar sederhana mereka dalam balutan warna-warni cerah.Cahaya
“Kau tidak akan mengabaikan ini lagi, Dirga,” kata Gilang dengan nada penuh penekanan. Semua mata tertuju padanya. Cahaya berhenti bergerak, piring di tangannya kini diletakkan di atas meja dengan pelan. Suasana di ruang makan itu berubah, ketegangan menggantung seperti awan gelap yang menutupi pagi. “Aku tidak mengerti maksudmu,” jawab Dirga, matanya menyipit, memandang Gilang dengan kewaspadaan yang semakin tajam. Cahaya merasakan aliran adrenalin di tubuhnya, jantungnya berdetak cepat namun ia berusaha tetap tenang. Di dalam pikirannya, rencana yang telah ia susun semalaman terasa semakin mendesak untuk diwujudkan. “Kau akan mengerti setelah ini.” Gilang melangkah maju, mengambil posisi di tengah ruangan, seakan ingin memastikan bahwa ia menjadi pusat perhatian. Cahaya menatapnya dengan hati-hati, berusaha membaca setiap gerakan dan ekspresi di wajah Gilang. Ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang lebih putus asa dan terdesak daripada biasanya. Di saat yang sama, Tiara melangkah
“Kau pikir aku akan diam saja menyaksikan semuanya berantakan?” Gilang berdiri di ujung ruangan, tangan terkepal di samping tubuhnya. Suaranya rendah tapi penuh ancaman. Tiara, yang duduk di sofa mewah dengan kaki disilangkan, hanya mengangkat alisnya. Ia tampak tak terpengaruh oleh amarah Gilang, namun kilatan matanya menunjukkan bahwa ia sama sekali tak lengah. “Gilang, apa kau benar-benar berpikir kau bisa mengontrol semuanya? Lihat sekelilingmu,” ucap Tiara, nada suaranya setengah mengejek. “Dirga tak lagi mempercayaimu. Cahaya... wanita itu mulai membuat langkah yang tak kau duga. Dan kau di sini, menggertakku, seolah aku yang menjadi ancaman terbesarmu.” Gilang melangkah maju, bayangan lampu chandelier memantulkan wajahnya yang tegang. “Kau tak tahu apa yang aku hadapi, Tiara. Kau hanya datang ke dalam hidup Dirga dengan satu tujuan—uangnya. Tapi ini lebih dari itu. Ini tentang kehormatanku. Keluarga ini adalah milikku, dan aku tak akan membiarkan Cahaya menghancurkan semua ya
Suara sirine memecah keheningan malam, menggema di sekitar rumah besar keluarga Bagaskara. Para pria berbadan tegap yang menahan Dirga dan Cahaya saling berpandangan panik, menyadari bahwa keadaan mulai berbalik. Gilang mengepalkan rahangnya, sorot matanya memancarkan amarah dan kecemasan. Dalam sekejap, ia memberi isyarat kepada anak buahnya untuk melepaskan Dirga dan Cahaya. “Pergi sekarang!” perintah Gilang kepada kedua pria itu. Tanpa menunggu perintah kedua, mereka melepaskan cengkeraman mereka dan melarikan diri keluar rumah, menghilang di balik kegelapan malam. Gilang, dengan wajah penuh emosi, memandang Dirga yang masih tersungkur di lantai. Namun sebelum Gilang bisa bergerak lebih jauh, beberapa polisi muncul dan menyuruhnya berdiri dengan tangan diangkat. “Gilang Bagaskara, Anda ditahan atas tuduhan konspirasi dan percobaan penyerangan,” ujar seorang polisi tegas, suaranya menggema di ruangan yang kini dipenuhi ketegangan. Wajah Gilang pucat, tetapi ia hanya mengangguk ke
“Kamu benar-benar percaya padanya, Mas Dirga? Itu hanya trik murahan!” Tiara berteriak, suaranya menusuk malam yang sunyi. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda di wajah Dirga. Kebimbangan yang biasanya meliputi sorot matanya kini menghilang, digantikan oleh tekad yang kuat. “Cukup, Tiara,” ujar Dirga tegas. “Aku sudah cukup dibutakan oleh kebohongan selama bertahun-tahun. Aku ingin mendengar kebenaran, bukan kebohongan lagi.” Tiara terdiam, rahangnya mengeras saat ia menyadari bahwa Dirga tak lagi mudah dipengaruhi. Gilang, yang sejak tadi berdiri di sudut ruangan dengan tangan bersilang di dada, melangkah maju. Senyum sinis menghiasi bibirnya, seakan tidak gentar meski kenyataan mulai terbuka. “Kau pikir ini sudah selesai, Dirga?” Gilang berbisik rendah, namun cukup untuk membuat semua orang di ruangan itu mendengarnya. “Kau mungkin tahu tentang Tasya, tapi kau belum tahu seberapa dalam konspirasi ini berjalan.” Wajah Dirga menegang. Cahaya, yang tadinya hanya diam, mula