Cahaya menolehkan kepalanya ke depan dan ke belakang mencari keberadaan Dirga, tidak mendapati keberadaan Dirga, Cahaya segera mengambil ponsel yang sedari tadi bergetar.
(Kami melihatmu di swalayan ini, bisa bertemu di sini saja?) bunyi pesan yang Cahaya terima, Cahaya menolehkan kembali kepalanya dan tidak mendapati seseorang. (Di mana?) tanyanya lewat pesan balasan. (Kami di foodcourt) balasan pesan yang masuk, Cahaya mendesah gusar, mereka baru saja sarapan, masa harus beralasan lapar lagi agar Dirga mau masuk ke sana. Cahaya mengetuk-ngetuk dagunya dengan telunjuknya, perempuan itu tampak sedang berpikir bagaimana dan alasan apa yang harus dia pakai. "Bagaimana ini???" Cahaya membenturkan-mbenturkan pelan keningnya pada lengannya yang ia taruh di atas troli, Dirga yang melihat mantan istrinya terlihat gelisah, akhirnya tersenyum miring. "Bingung mikir caranya bertemu?" seringai kecil muncul di bibirnya, kemudian dengan langkah percaya diri Dirga menghampiri Cahaya yang tengah memasukkan ponselnya kembali kedalam tas slempangnya. "Hmm, sudah semua?" Dirga berdehem sebentar untuk mengalihkan rasa ingin tertawanya kala melihat wajah bingung mantan istrinya. "S-su-sudahh, Tuan," jawab Cahaya gugup, kini pikirannya bercabang, orang yang menunggu dirinya tengah marah dan merajuk, akan tetapi mengajak Dirga keliling swalayan ini tidak mungkin. "Kenapa gugup seperti itu?" netra Dirga memincing, Cahaya meneguk ludahnya susah payah. Tiba-tiba hawa panas melingkupi sekitarnya, padahal ada ac yang menyala. "Sa-saya tidak gugup, saya hanya kaget saja, Tuan," kilah Cahaya yang langsung menunduk, "dasar pembohong," kata Dirga lirih, lelaki itu sangat hafal jika Cahaya selalu menunduk jika ia ajak bicara pasti dia sedang berbohong atau menutupi sesuatu. "Tuan berkata sesuatu?" Cahaya memberanikan diri mendongak menatap netra milik lelaki pemilik hatinya. Iris mata hitam pekat, beralis tebal dan bulu mata lentik mirip sekali dengan seseorang yang akan ia temui, terkadang dulu Cahaya iri melihat bulu mata Dirga yang lebih indah daripada bulu matanya. *** "Tuan, boleh saya izin ke toilet sebentar?" Cahaya mencoba memberanikan diri untuk bertanya dan meminta izin pada Dirga. Dan saat ini keduanya sedang berdiri antri di depan meja kasir. Dirga yang sedang bermain ponsel sambil menunduk seketika mendongak lalu memincing menatap Cahaya. Cahaya pun terlihat salah tingkah dengan tatapan menyelidik dari mantan suaminya, "saya mohon, Tuan," Cahaya terus merayu, dan berpura-pura gelisah dengan menyilangkan kedua kakinya, dan tangannya mencengkeram tas slempang yang ia pakai. Sesaat Dirga ingat, jika mantan istrinya paling tidak bisa menahan untuk membuang air kecil dan selalu terlihat gelisah seperti sekarang, setelah mendecakkan lidah akhirnya Dirga berkata, "pergilah cepat, nanti tidak ada yang akan mendorong troli ini kalau kau lama-lama," mendengar izin juga jawaban dari Dirga, wanita itu lantas tersenyum lebar yang justru membuat Dirga candu akan senyum itu kembali. "Terima kasih, Tuan. Anda memang terbaik," ujar Cahaya yang kemudian tanpa sadar mengelus lengan Dirga yang berotot, namun sialnya malah membuat sisi kelelakian Dirga bangkit. Ya, selemah dan se sensitif itu kulitnya jika bersentuhan langsung dengan kulit Cahaya. Tak ingin membuang banyak waktu, Cahaya segera berlalu dari sana. Dirga terus saja menatap punggung Cahaya yang kian menjauh hingga tiba-tiba fokusnya pada cara Cahaya berjalan, kakinya terlihat terseok-seok. Saat Dirga hendak memanggil Cahaya, wanita itu sudah berbelok di tembok yang bertuliskan 'toilet wanita', biarlah nanti dia menanyakan itu di rumah. Tapi jika ia bertanya, pasti mantan istrinya itu besar kepala karena merasa masih di perhatian olehnya. *** Sementara itu di toilet wanita, seorang anak kecil perempuan berusia sekitar 3 tahun terus saja menangis hingga suara menyapa indera pendengarannya, "Tasya," gadis itu menoleh lalu berlari kearah wanita yang memanggil namanya. "Mama Aya kenapa lama?" gadis kecil yang bernama Anatasya itu protes dan mengerucutkan bibirnya, namun tangannya yang pendek dan gemuk itu tetap melingkar di leher Cahaya, "maaf," katanya dengan gemas dan menghujani wajah gadis yang memiliki kemiripan hampir 100% dengan mantan suaminya. "Non Tasya dari tadi menangis mencari anda, Nyonya," seorang perempuan yang berumur dua tahun lebih muda dari Cahaya bersuara, Cahaya mendongak, tersenyum dan mengangguk. "Sekarang sudah ketemu mama, jangan nangis lagi ya," Cahaya membujuk anak gadisnya ini, "mau ketemu papa," katanya yang membuat hati Cahaya mencelos. "Iya sebentar lagi ya," sahutnya menenangkan putrinya. "Tasya mau sekarang!" Anatasya menarik tubuh mungilnya dari dekapan sang mama dan menopang kedua tangannya yang pendek dan gemuk itu di depan dada, mengerucutkan bibirnya kembali dan membuang pandangan. Cahaya tertawa kecil melihat tingkah menggemaskan putrinya ini. "Kenapa saat marah pun harus seperti dia, hmm," Cahaya mencolek dagu putrinya, "jangan mengeluarkan suara, hanya bertemu sebentar, oke?" tawar Cahaya. Ibu dari satu anak ini tidak bisa menolak apapun keinginan putri semata wayangnya, putri yang kehadirannya tidak di ketahui oleh sang ayah karena keegoisan dan kejahatan dari keluarga mantan suaminya. Anatasya mengangguk cepat dan kemudian merentangkan tangannya yang kecil dan gemuk pertanda meminta di gendong, "yuk, Mbak," Cahaya mengajak pengasuh putrinya ikut keluar. Sesampainya di pintu Cahaya tersentak kaget karena ternyata Dirga sedang berdiri di lorong sana, tatapan matanya yang tajam bak elang membuat Cahaya sedikit takut. "Memang mamanya anak ini kemana, Mbak?" Cahaya segera bertanya guna mengalihkan rasa penasaran Dirga. "maafkan Mama, Sayang," gumam Cahaya di dalam hati. dan si Mbak pengasuh itu mengerti, "ibunya sedang bekerja, jadi nona kecil ini setiap hari bersama saya," jawab mbak Sisi. "Anak siapa?" Dirga yang penasaran akhirnya maju dan menghampiri Cahaya yang sedang menggendong Anatasya, dan Cahaya menyembunyikan wajah putrinya di ceruk lehernya. "Tidak tahu, tadi dia menangis di toilet, karena tidak tega, akhirnya saya gendong," balas Cahaya dengan gugup, 'maaf nak, bukan maksud mama tidak mengakuimu, tapi ini belum saatnya ayahmu tahu jika dia memiliki putri, biarkan nenekmu yang mengatakan kebenarannya,' lagi lagi Cahaya bergumam di dalam hati. Sesekali bibirnya itu mengecup rambut Anatasya yang lurus dan hitam legam, mirip lelaki yang tengah berdiri di depannya. "Sudah jangan nangis, ya, mau ikut om?" tawar Dirga yang tiba-tiba mengusap lembut kepala Anatasya, Cahaya semakin menenggelamkan kepala Anatasya di ceruk lehernya karena gadis kecil itu hendak mengangkat kepalanya dan menerima tawaran Dirga. Sedang Dirga, hatinya menghangat dan merasa nyaman, rasanya sungguh berbeda saat ia menyentuh anak dari para temannya. "Tuan biar saya antar dia sebentar," lagi Cahaya meminta izin pada Dirga, "antar kemana?" tangan Dirga yang tadinya mengelus kepala Anatasya kini menjadi mengelus punggung gadis kecil, dan hatinya semakin menghangat. "Lalu bagaimana dengan belanjaan itu?" Dirga yang terlalu nyaman mengelus tubuh putri nya bertanya dan menunjuk belanjaan yang ada di dalam troli tak jauh dari mereka. "Tuan di sini dulu saja, saya hanya akan mengantar Tasya sebentar ke basement, mobilnya terparkir di sana," Dirga semakin curiga dengan Cahaya, dari mana wanita ini tahu nama gadis kecil itu, dari mana dia tahu mobil yang di kendarai anak kecil itu sedang berada di basement, sedang tadi mereka tidak masuk ke basement untuk parkir karena menurutnya jauh. "Aku ikut, dia biar aku yang gendong, dan kamu yang dorong troli itu," wajah Cahaya memucat seketika, takut jika lelaki ini tahu sebelum semua perilaku buruk keluarga mantan suami nya terungkap. Padahal niat Dirga hanya ingin memastikan Cahaya tidak bertemu dengan Gilang dengan alasan mengantar anak kecil itu ke parkiran, oleh karena itu ia akan ikut dan memilih menggendong Anatasya. Sungguh perasaan juga hatinya telah terpikat dengan gadis kecil yang di gendong mantan istrinya tersebut walau belum melihat wajahnya, "biar dia saya gendong saja," pengasuh Anatasya akhirnya menengahi. Cahaya mengangguk, kemudian menyerahkan putri nya pada pengasuhnya dan segera menyembunyikan wajah putrinya.“Mas Dirga, menurutmu.. apa. kita bisa benar-benar hidup tenang mulai sekarang?” Cahaya bertanya dengan suara pelan, pandangannya menatap jauh ke luar jendela, seolah-olah mencari jawaban yang tersembunyi di antara langit yang cerah pagi itu. Dirga berdiri di sampingnya, mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan Cahaya. Dirga tersenyum, menatap Cahaya dengan kelembutan yang terpancar dari matanya. “Ya, Cahaya. Aku yakin ini adalah awal yang baru untuk kita. Semua telah selesai. Semua luka dan rasa sakit itu... kita bisa mulai menyembuhkannya bersama.” Mereka berdua berdiri di ambang jendela, menikmati sinar matahari pagi yang terasa begitu hangat dan menenangkan. Di balik semua konflik dan perjuangan, hari ini terasa seperti pagi yang istimewa—sebuah permulaan dari hidup yang mereka idamkan. Di ruang tamu, suara tawa kecil Tasya terdengar, memecah keheningan yang menyelimuti mereka. Cahaya tersenyum, kemudian menoleh pada putri kecil mereka yang sedang bermain dengan bonekanya di
“Dirga, pernahkah kau benar-benar memahami rasa sakit yang kusimpan selama ini?” Cahaya bertanya dengan suara pelan, matanya menatap lurus ke arah Dirga yang duduk di sampingnya. Pertanyaan itu terdengar seperti beban yang terpendam bertahun-tahun, yang akhirnya terungkap dalam satu tarikan napas. Dirga terdiam, membiarkan kata-kata Cahaya memenuhi ruang di antara mereka. Hatinya mendadak berat, penuh penyesalan yang selama ini ia simpan. “Cahaya, aku tahu aku telah melakukan banyak kesalahan. Tapi... apakah kau bersedia memberiku kesempatan untuk menebus semuanya?” Cahaya menunduk sejenak, memandangi tangannya yang terlipat di pangkuan. Ia menarik napas panjang, mencoba meredakan perasaan yang bercampur aduk dalam dadanya. “Dirga, bukan tentang memberimu kesempatan. Ini lebih kepada... rasa sakit yang terlalu lama kusimpan sendirian. Semua yang kuhadapi selama ini... seolah tidak ada yang benar-benar memahami atau bahkan ingin mendengarnya.” Dirga menatap Cahaya dengan penuh kesun
“Kau sudah tahu apa yang terjadi dengan Gilang?” Dirga mendengar suara Roni di telepon, bernada serius dan tenang. Panggilan dari Roni ini terasa mendadak dan memunculkan perasaan yang bercampur aduk dalam hati Dirga. “Apa yang kau temukan, Roni?” Dirga mencoba menahan napas, tahu bahwa sahabatnya tidak akan menelepon jika tidak ada berita penting. Roni menarik napas panjang sebelum menjawab. “Aku berhasil menemukan bukti yang cukup kuat. Gilang terlibat dalam jaringan korupsi besar yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir. Bukti ini bisa menjatuhkannya sepenuhnya, Dirga.” Dirga terdiam, meresapi informasi itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Sebagai adik, ia merasa terkejut dan terluka, namun sebagai seorang pria yang telah melihat banyak tindakan manipulatif dari Gilang, ia menyadari bahwa ini adalah jalan keadilan yang akhirnya terungkap. “Dan pihak kepolisian sudah tahu semua ini?” Dirga bertanya, suaranya nyaris berbisik. “Ya. Aku sudah menyerahkan semua b
“Cahaya, kau pikir bisa terus bertahan? Kau tak lebih dari bayangan yang hanya membawa malapetaka,” ujar Tiara dingin, tatapannya tak beranjak dari sosok Cahaya yang berdiri di samping Dirga.Cahaya menahan napas, menatap lurus ke arah Tiara dengan tekad yang tak tergoyahkan. “Aku tidak akan mundur demi keluargaku, Tiara. Apa pun rencanamu, kau tak akan berhasil memisahkan aku dari Tasya dan Dirga.”Tiara hanya tersenyum sinis, lalu melangkah mundur. “Kita lihat saja seberapa kuat kau bertahan,” katanya sebelum pergi dengan langkah angkuh yang menusuk.---“Sudah cukup semua ini, Gilang!” Dirga menatap kakaknya yang berdiri tak jauh darinya, tatapan mata mereka saling berseteru dalam diam yang mencekam. Cahaya berdiri di samping Dirga, menggenggam tangan suaminya dengan erat, sementara Tasya berada dalam pelukannya.Gilang tertawa sinis, matanya menyiratkan kebencian yang selama ini tersembunyi di balik topeng saudara. “Kau pikir bisa hidup bahagia, Dirga? Kau kira akan bebas dari bay
"Cahaya, kau benar-benar percaya kita akan aman sekarang?" Dirga memandang ke arah Cahaya, matanya dipenuhi kekhawatiran. Dia mencoba menyembunyikannya, tetapi Cahaya dapat melihat bahwa ketakutan itu perlahan menggerogoti ketenangan suaminya.Cahaya menghela napas pelan, menatap Dirga dengan pandangan yang lembut namun penuh keyakinan. "Aku tidak tahu, Dirga. Tapi yang pasti, aku tidak akan biarkan siapa pun menyakiti kita lagi. Bukan Tiara, bukan Gilang, bukan siapa pun."Dirga meraih tangan Cahaya, menggenggamnya erat. "Kita sudah berjuang sejauh ini, Cahaya. Aku hanya ingin kita bisa hidup tenang, tanpa ancaman yang terus menghantui. Aku tidak akan membiarkan siapa pun mengganggu keluarga kita."Belum sempat Cahaya membalas, terdengar suara tawa riang Tasya dari ruang tamu, disusul langkah kaki kecil yang berlari mendekati mereka. "Mama, Papa! Lihat, aku membuat gambar kita bertiga!" serunya, menunjukkan kertas berisi gambar sederhana mereka dalam balutan warna-warni cerah.Cahaya
“Kau tidak akan mengabaikan ini lagi, Dirga,” kata Gilang dengan nada penuh penekanan. Semua mata tertuju padanya. Cahaya berhenti bergerak, piring di tangannya kini diletakkan di atas meja dengan pelan. Suasana di ruang makan itu berubah, ketegangan menggantung seperti awan gelap yang menutupi pagi. “Aku tidak mengerti maksudmu,” jawab Dirga, matanya menyipit, memandang Gilang dengan kewaspadaan yang semakin tajam. Cahaya merasakan aliran adrenalin di tubuhnya, jantungnya berdetak cepat namun ia berusaha tetap tenang. Di dalam pikirannya, rencana yang telah ia susun semalaman terasa semakin mendesak untuk diwujudkan. “Kau akan mengerti setelah ini.” Gilang melangkah maju, mengambil posisi di tengah ruangan, seakan ingin memastikan bahwa ia menjadi pusat perhatian. Cahaya menatapnya dengan hati-hati, berusaha membaca setiap gerakan dan ekspresi di wajah Gilang. Ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang lebih putus asa dan terdesak daripada biasanya. Di saat yang sama, Tiara melangkah
“Kau pikir aku akan diam saja menyaksikan semuanya berantakan?” Gilang berdiri di ujung ruangan, tangan terkepal di samping tubuhnya. Suaranya rendah tapi penuh ancaman. Tiara, yang duduk di sofa mewah dengan kaki disilangkan, hanya mengangkat alisnya. Ia tampak tak terpengaruh oleh amarah Gilang, namun kilatan matanya menunjukkan bahwa ia sama sekali tak lengah. “Gilang, apa kau benar-benar berpikir kau bisa mengontrol semuanya? Lihat sekelilingmu,” ucap Tiara, nada suaranya setengah mengejek. “Dirga tak lagi mempercayaimu. Cahaya... wanita itu mulai membuat langkah yang tak kau duga. Dan kau di sini, menggertakku, seolah aku yang menjadi ancaman terbesarmu.” Gilang melangkah maju, bayangan lampu chandelier memantulkan wajahnya yang tegang. “Kau tak tahu apa yang aku hadapi, Tiara. Kau hanya datang ke dalam hidup Dirga dengan satu tujuan—uangnya. Tapi ini lebih dari itu. Ini tentang kehormatanku. Keluarga ini adalah milikku, dan aku tak akan membiarkan Cahaya menghancurkan semua ya
Suara sirine memecah keheningan malam, menggema di sekitar rumah besar keluarga Bagaskara. Para pria berbadan tegap yang menahan Dirga dan Cahaya saling berpandangan panik, menyadari bahwa keadaan mulai berbalik. Gilang mengepalkan rahangnya, sorot matanya memancarkan amarah dan kecemasan. Dalam sekejap, ia memberi isyarat kepada anak buahnya untuk melepaskan Dirga dan Cahaya. “Pergi sekarang!” perintah Gilang kepada kedua pria itu. Tanpa menunggu perintah kedua, mereka melepaskan cengkeraman mereka dan melarikan diri keluar rumah, menghilang di balik kegelapan malam. Gilang, dengan wajah penuh emosi, memandang Dirga yang masih tersungkur di lantai. Namun sebelum Gilang bisa bergerak lebih jauh, beberapa polisi muncul dan menyuruhnya berdiri dengan tangan diangkat. “Gilang Bagaskara, Anda ditahan atas tuduhan konspirasi dan percobaan penyerangan,” ujar seorang polisi tegas, suaranya menggema di ruangan yang kini dipenuhi ketegangan. Wajah Gilang pucat, tetapi ia hanya mengangguk ke
“Kamu benar-benar percaya padanya, Mas Dirga? Itu hanya trik murahan!” Tiara berteriak, suaranya menusuk malam yang sunyi. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda di wajah Dirga. Kebimbangan yang biasanya meliputi sorot matanya kini menghilang, digantikan oleh tekad yang kuat. “Cukup, Tiara,” ujar Dirga tegas. “Aku sudah cukup dibutakan oleh kebohongan selama bertahun-tahun. Aku ingin mendengar kebenaran, bukan kebohongan lagi.” Tiara terdiam, rahangnya mengeras saat ia menyadari bahwa Dirga tak lagi mudah dipengaruhi. Gilang, yang sejak tadi berdiri di sudut ruangan dengan tangan bersilang di dada, melangkah maju. Senyum sinis menghiasi bibirnya, seakan tidak gentar meski kenyataan mulai terbuka. “Kau pikir ini sudah selesai, Dirga?” Gilang berbisik rendah, namun cukup untuk membuat semua orang di ruangan itu mendengarnya. “Kau mungkin tahu tentang Tasya, tapi kau belum tahu seberapa dalam konspirasi ini berjalan.” Wajah Dirga menegang. Cahaya, yang tadinya hanya diam, mula