SETELAH AKU KAU MILIKI
- Apa Aku yang Salah? "Kalian baru dua tahun menikah, belum terlambat untuk membuat keputusan. Lagian kalian juga belum punya anak." Kata-kata itu kembali menghantam dada Naima. Ia mematung dibalik tembok. "Mama sejak dulu kan sudah bilang sih, Mir. Ngapain kamu nikahi janda itu. Bikin susah saja anaknya. Nanti lama kelamaan, Aurel yang kalah." "Ma, mereka masih kanak-kanak. Nanti usia bertambah, akan semakin mengerti." "Kamu selalu membelanya, kan? Perempuan itu sudah menghasutmu. Apa yang dikatakannya padamu, hingga kamu begitu tunduk padanya. Sampai nggak mau dengerin Mama. Apa kamu nggak kasihan sama anakmu? "Mama nggak habis pikir. Bisa-bisanya kamu nikahin anak preman itu. Nah sekarang cucunya jadi preman perempuan. Masih kecil dah pinter membully." Pertahanan Naima benar-benar runtuh. Air matanya tumpah tak terbendung mendengar ucapan mertuanya tentang masa lalu ayahnya. Ya, ayahnya dulu memang seorang preman. Tapi itu dulu sekali sebelum menikah. Sudah berapa puluh tahun sekarang ini. Kenapa masih saja diungkit. Sementara sang ayah pun sudah lama insyaf. Dan kenapa, Bu Anjar begitu kejam berkata seperti itu pada Zahra. Kurang mengalah apa Zahra sama Aurel. Dirinya sebagai istri, kurang berbakti bagaimana lagi. Semua pekerjaan rumah, menjaga dua anak, dilakukannya sendiri. Memang ada pekerja paruh waktu yang bersih-bersih rumah, tapi itu tidak setiap hari. "Apa aku salah memutuskan menikah dengan Mas Emir?" rintihnya dalam hati. Pria yang menjadi cinta pertamanya. Namun saat itu mereka berpisah, karena Bu Anjar menentang. Setahun kemudian Emir menikah dengan Yesi, teman kuliahnya. Sedangkan setengah tahun setelah itu Naima menikah dengan Ridho. Namun Ridho meninggal karena sakit saat Zahra baru berumur dua tahun. Tiga tahun yang lalu, tanpa sengaja mereka dipertemukan kembali. Dalam keadaan sudah sama-sama sendiri. Saat itu pun Naima tak langsung menerima pendekatan Emir. Sebab menyadari kalau Bu Anjar pasti tetap tidak merestui. Terlebih Naima sudah menjanda. Emir berjuang keras meyakinkan, didukung juga oleh Pak Imam. Papanya Emir. Hingga akhirnya Naima luluh juga. Mereka menikah. Hidup bahagia. Namun setahun kemudian, setelah Pak Imam meninggal dunia, Bu Anjar memutuskan ikut tinggal serumah dengan Emir. Padahal rumahnya sendiri megah dan besar. Aurel yang semula ikut Yesi, akhirnya ikut Emir karena Yesi bekerja dan tidak tega dijaga baby sitter. Dan dari sanalah kemelut bermula. Naima masih mematung di balik tembok, sampai mertuanya selesai bicara dan masuk ke kamar. "Nai," panggil Emir di depan pintu kamarnya Zahra. "Aku di sini, Mas," jawabnya pelan. Emir berbalik dan mendapati Naima menghapus air mata. Pria itu menghampiri. "Kamu dengar semuanya?" "Hmm," gumam Naima. "Maafkan mamaku dengan kata-katanya yang kasar tadi." Naima mengangguk samar, kemudian melangkah masuk ke kamar mereka. Ia duduk di tepi pembaringan. Emir duduk di sebelahnya. Keheningan menerpa. "Maafkan Mama, Nai," ucap Emir memecah sunyi. "Aku capek, Mas. Setahun ini aku sudah menahan semuanya. Aku kasihan sama Zahra yang nggak pernah benar di mata Mama." "Nai, Mama ingin anak-anak rukun. Mama ingin Zahra belajar sedikit mengalah, mungkin keadaan akan lebih baik." Mendengar ucapan itu, spontan Naima menoleh. Dadanya serasa membara dan sorot matanya begitu tajam memandang suaminya. Dia sudah bersabar dan tak pernah melawan. Tapi kali ini ia tidak bisa diam. "Mas, pikir Zahra tidak pernah mengalah? Dia selalu mengalah. Mas, hanya di rumah kalau malam dan hari libur saja. Nggak melihat apa yang terjadi di rumah dan di sekolah. Tiap akhir pekan Aurel dijemput mamanya. Jadi Mas nggak pernah melihat apa yang terjadi kalau mereka bermain bersama. Sebab Aurel nggak di rumah. "Aku sudah menyarankan Mas untuk memasang CCTV, kan? Biar Mas bisa melihat apa yang dilakuakan anak-anak kalau di rumah. Mas, nggak mau karena Mama melarang." "Mama ingin kita punya privasi. Toh di pemukiman sini selalu aman. Kenapa untuk urusan anak-anak saja harus memasang CCTV." "Biar Mas melihat apa yang terjadi. Sebab omonganku nggak pernah Mas percayai." Emir menarik napas panjang. Dia pun dalam dilema. Antara putri kandungnya dan anak sambung. Namun melihat goresan di lengan Aurel tadi, ia merasa kecewa. Dan malam itu percakapan berhenti begitu saja seperti waktu-waktu sebelumnya. Melihat suaminya masih diam, Naima meraih selimut. Namun tangan lelaki itu menahannya. "Aku sedang haid, Mas," ucapnya sambil melepaskan tangan Emir. Dia tahu, suaminya mau apa. Mereka berbaring dalam diam. Naima merasakan ada jarak yang mulai membentang. Dulu waktu masih pacaran sama Emir, dia pria yang sangat care dan baik. Tapi dunia pacaran dan dunia rumah tangga sungguh memang jauh berbeda. Terlebih mereka bersatu lagi setelah pernah menikah dengan orang lain dan membawa anak masing-masing dalam hubungan mereka yang sekarang. 🖤LS🖤 "Zahra, jangan pegang apapun mainan milik Aurel, ya." Naima bicara pada sang anak, saat Zahra memandangi boneka panda milik Aurel yang ada di atas tempat tidurnya. "Nggak, Ma," jawab bocah perempuan itu lalu mengekori mamanya keluar kamar. "Zahra, sini!" Emir memanggil Zahra yang berdiri di samping sang mama yang sedang mencuci piring. Gadis kecil itu menoleh, lantas berlari dan jatuh dipangkuan Emir. Tawa mereka memecah hening di Minggu pagi. Zahra bisa bermanja dengan Emir kalau Aurel tidak di rumah. Naima menoleh sekilas. Hatinya terenyuh. Zahra tahunya, Emir adalah papa kandungnya. Saat ia menikah dengan Emir, usia Zahra empat tahun. Zahra belum mengerti apa yang terjadi. Mungkin dia bingung, kenapa punya nenek yang membencinya tapi sayang sama saudara perempuannya, Aurel. Saat Bu Anjar muncul dari pintu depan, Zahra yang sedang tertawa langsung terdiam. Dia minta turun dan duduk di sofa. Saat itu Emir baru menyadari, kalau Zahra sangat takut dengan nenek tirinya. "Zahra mau ikut Mama, Pa." Zahra melorot dari sofa, lalu berlari menyusul Naima. "Zahra takut sama, Mama," ucap Emir. "Biar saja takut. Supaya nggak gangguin Aurel." "Ma, mereka masih anak-anak. Wajar kalau ...." "Kamu sudah kepelet sama dua perempuan itu," potong Bu Anjar cepat. "Anak preman, pasti punya banyak cara untuk memikatmu. Dulu kalian sudah pisah, ngapain juga balikan lagi. Kamu terlalu gegabah menceraikan Yesi." "Dia yang mengajukan cerai saat usahaku jatuh, Ma." Bu Anjar melengos lantas beranjak pergi. Emir menghela napas panjang. Ia heran dengan sang mama, kenapa masih tetap membela mantan menantunya itu. Ketika Emir hendak bangkit dari duduknya, dari arah depan terdengar ucapan salam. Aurel muncul bersama mamanya. Bocah perempuan itu berlari dan memeluk papanya. "Hai, Mas," sapa Yesi tersenyum pada Emir. Wanita itu meletakkan beberapa paper bag di atas meja. "Aku beliin kemeja untukmu tadi." Satu paper bag diletakkan di depan Emir. "Lain kali nggak usah repot-repot." "Nggak apa-apa," jawab Yesi kemudian duduk di sofa. Dengan antusias, Aurel mengeluarkan mainannya. "Zahra, aku punya mainan baru." Bocah itu memamerkan boneka kuda poni warna ungu pada Zahra yang berdiri di samping mamanya. Yang dipanggil hanya diam saja. Emir memandang Zahra. "Sini, Zahra!" Namun Zahra menggelengkan kepala. Next ....SETELAH AKU KAU MILIKI - Sesal"Bu Nai pergi jam dua belas tadi, Pak," jawab Mak Tam dengan tubuh gemetar saat menerima bosnya duduk di ruang tamu, di rumahnya yang sangat sederhana.Saat melihat Emir berbelok menuju rumahnya tadi, Mak Tam sudah panas dingin."Apa yang terjadi, Mak?"Wanita usia lima puluh tahun itu terlihat kebingungan sekaligus takut. Dia harus jujur atau menutupi karena sudah diancam oleh Bu Anjar. "Kalau sampai kamu buka mulut, jangan harap bisa bekerja di sini lagi." Wanita itu takut karena pekerjaan itu penting baginya."Mak, kenapa diam?" tanya Emir semakin gusar."Maaf, Pak. Saya sebenarnya kurang tahu apa yang terjadi tadi.""Apa benar, Naima memang sengaja pergi meninggalkan rumah? Atau ada sesuatu yang membuatnya pergi?" Emir terus mendesak. Menyebabkan Mak Tam kian terpojok. Wajah wanita itu pias dan pucat. Membuat Emir semakin yakin kalau telah terjadi sesuatu. Jika memang tak ada apapun, Mak Tam pasti sudah bicara."Jujur saja, Mak.""Nanti Pak Emir mem
SETELAH AKU KAU MILIKI- Pergi"Ma, kita mau ke mana?" tanya Zahra tampak kebingungan. "Kita pergi jauh. Biar Zahra nggak ketakutan lagi kalau Nenek Anjar marah-marah. Biar Zahra nggak selalu disalahkan sama nenek. Zahra nanti tinggal bersama Mama saja," jawab Naima terus melangkah sambil menyeret kopernya. Dia agak kesulitan karena sambil menggendong Zahra."Zahra, jalan sendiri ya. Sampai depan sana. Nanti kita naik taksi," kata Naima."Iya," jawab Zahra lantas minta turun.Tangan kiri Naima mengandeng anaknya, sedangkan tangan kanan menarik koper. Saat itu matahari tepat berada di atas kepala. Panas musim kemarau membakar bumi. Dan mereka terus saja melangkah keluar perumahan. Suasana saat itu juga sepi. Cuaca panas membuat orang-orang malas keluar rumah. "Ma, kita nanti nggak bisa ketemu Papa lagi?" tanya Zahra di tengah terik matahari.Naima menatap anaknya lalu tersenyum. "Yang penting Zahra nggak dimarahi nenek dan Aurel lagi."Zahra lalu diam sambil menatap lurus ke depan. N
SETELAH AKU KAU MILIKIPart 4 Kita Pernah Saling Kehilangan "Aku sudah bersabar, Mas. Tapi lama-lama aku bisa gila di sini." Air mata Naima luruh. "Aku kasihan anakku. Dia nggak punya siapa-siapa selain aku. Zahra sejak kecil nggak mengenal ayah kandungnya. Yang dia tahu, Mas Emirlah ayahnya. Namun dalam pernikahan ini, yang kupertaruhkan adalah mental anakku." Naima menatap lekat wajah suaminya. "Mari kita berpisah secara baik-baik."Emir menahan napas. Mengendalikan gejolak tak terima dalam dadanya yang terasa sesak. Satu kata itu tidak ingin didengarnya dari mulut Naima. "Nai, setelah Zahra tidur nanti. Kita bahas ini di kamar," ucap Emir dengan nada pelan. Dengan kasar Naima menghapus air matanya. Kemudian berbalik dan melangkah ke kamarnya anak-anak. Bocah itu terdiam di tepi tempat tidurnya. Naima menghampiri. "Zahra, gosok gigi dulu. Setelah itu bobok, ya.""Mama, temani Zahra, ya?"Naima merangkul anaknya. "Ya, Mama temani, Sayang. Yuk, kita gosok gigi dulu.""Hu um." Zahr
SETELAH AKU KAU MILIKI- Tak Kuat Lagi"Ma, bagus kuda poni milik Aurel," bisik lirih Zahra pada mamanya. Gadis kecil itu memegangi tangan Naima."Iya. Kapan-kapan Mama beliin, ya.""Hu um." Zahra mengangguk sambil terus memandangi Aurel yang sedang membongkar tas-tas berisi mainan. Namanya anak-anak, jika saudaranya punya mainan baru, pasti Zahra juga teringin.Emir bangkit dari duduknya, lalu menghampiri Zahra dan mengulurkan tangan. "Ayo, kita main bareng-bareng sama Aurel." Zahra menyambut tangan papa tirinya. Kemudian melangkah pelan ke ruang tengah. Saat bersamaan Bu Anjar keluar kamar. Zahra semakin berpegangan erat pada Emir karena takut.Yesi dan Bu Anjar ngobrol begitu akrab. Terkadang tawa menyelingi percakapan mereka tentang masa lalu, tanpa memikirkan perasaan Naima. Sedangkan Zahra dan Aurel bermain di depan diawasi oleh Emir. Naima sibuk di dapur.Keadaan seperti ini, sudah hampir setahun ia alami. Lalu sampai kapan sanggup bertahan lagi? Aurel ini kalau bermain diawa
SETELAH AKU KAU MILIKI- Apa Aku yang Salah?"Kalian baru dua tahun menikah, belum terlambat untuk membuat keputusan. Lagian kalian juga belum punya anak." Kata-kata itu kembali menghantam dada Naima. Ia mematung dibalik tembok."Mama sejak dulu kan sudah bilang sih, Mir. Ngapain kamu nikahi janda itu. Bikin susah saja anaknya. Nanti lama kelamaan, Aurel yang kalah.""Ma, mereka masih kanak-kanak. Nanti usia bertambah, akan semakin mengerti.""Kamu selalu membelanya, kan? Perempuan itu sudah menghasutmu. Apa yang dikatakannya padamu, hingga kamu begitu tunduk padanya. Sampai nggak mau dengerin Mama. Apa kamu nggak kasihan sama anakmu?"Mama nggak habis pikir. Bisa-bisanya kamu nikahin anak preman itu. Nah sekarang cucunya jadi preman perempuan. Masih kecil dah pinter membully."Pertahanan Naima benar-benar runtuh. Air matanya tumpah tak terbendung mendengar ucapan mertuanya tentang masa lalu ayahnya. Ya, ayahnya dulu memang seorang preman. Tapi itu dulu sekali sebelum menikah. Sudah b
SETELAH AKU KAU MILIKI - Hanya Anak-anak"Hai, Mas. Baru pulang kerja?" Yesi tersenyum ramah pada Emir yang muncul di pintu. Pria itu membalas senyum mantan istrinya sekilas. Lalu menyambut tangan dua anak perempuan usia tujuh tahun yang berebut menyalaminya.Emir mengusap kepala anak kandung dan anak tirinya. Lantas kedua gadis kecil itu kembali duduk di pangkuan mamanya masing-masing."Kenapa lengan Aurel terluka?" Emir yang baru duduk memperhatikan tangan putri kandungnya yang tergores. Masih tampak memerah oleh bekas darah yang mengering."Jatuh katanya, Mas." Yesi menjawab sambil memperhatikan luka itu."Nggak sengaja tadi. Senggolan sama Zahra di halaman, Mas." Naima menjelaskan sambil memandang sang suami. Sementara Yesi ini mantan istrinya Emir yang sudah bercerai tiga tahun lalu."Di dorong sama Zahra tadi," sahut Bu Anjar dengan tatapan sinis pada Zahra. Naima kian erat memeluk putrinya yang selalu ketakutan di depan nenek tirinya. Naima memilih diam untuk menghindari ker