Mag-log inSETELAH AKU KAU MILIKI
- Tak Kuat Lagi "Ma, bagus kuda poni milik Aurel," bisik lirih Zahra pada mamanya. Gadis kecil itu memegangi tangan Naima. "Iya. Kapan-kapan Mama beliin, ya." "Hu um." Zahra mengangguk sambil terus memandangi Aurel yang sedang membongkar tas-tas berisi mainan. Namanya anak-anak, jika saudaranya punya mainan baru, pasti Zahra juga teringin. Emir bangkit dari duduknya, lalu menghampiri Zahra dan mengulurkan tangan. "Ayo, kita main bareng-bareng sama Aurel." Zahra menyambut tangan papa tirinya. Kemudian melangkah pelan ke ruang tengah. Saat bersamaan Bu Anjar keluar kamar. Zahra semakin berpegangan erat pada Emir karena takut. Yesi dan Bu Anjar ngobrol begitu akrab. Terkadang tawa menyelingi percakapan mereka tentang masa lalu, tanpa memikirkan perasaan Naima. Sedangkan Zahra dan Aurel bermain di depan diawasi oleh Emir. Naima sibuk di dapur. Keadaan seperti ini, sudah hampir setahun ia alami. Lalu sampai kapan sanggup bertahan lagi? Aurel ini kalau bermain diawasi papanya, sangat penurut dan kalem. Tapi kenapa kalau hanya berdua dengan Zahra, ada saja tingkahnya yang memicu pertengkaran. Makanya Emir tidak pernah percaya dengan cerita Naima. Anak seusia Aurel, bagaimana mungkin bisa manipulatif. Anak-anak seusia ini biasanya masih polos. Apa dia dipengaruhi? "Nai, ini bajunya Mas Emir yang aku belikan tadi. Kebetulan ada warna kesukaannya, jadi aku ambil." Tanpa rasa bersalah, dengan wajah yang terlihat berbinar, Yesi memberikan paper bag pada Naima. Tanpa menjawab apapun, Naima menerimanya dan meletakkan benda itu di meja dapur. "Kamu masak apa?" Yesi melongok ke dalam panci yang ada di atas kompor. "Gulai ikan, Mbak?" jawab Naima datar sambil menahan gemuruh di dadanya. "Nggak kebanyakan minyak itu? Mas Emir kan nggak suka masakan berlemak karena kebanyakan minyak." Begitu santainya Yesi berseloroh. Naima tersenyum sinis sambil mematikan kompor. Dia tidak ingin menanggapi ucapan itu. Mantan istri dari suaminya ini sepertinya hendak mencari celah untuk membuat cemburu dan menjatuhkannya. Dengan santainya, Naima memindahkan gulai ke dalam mangkuk beling berbentuk oval. "Ada apa, Yes?" Bu Anjar menghampiri. "Ini, Ma. Aku ngasih tahu ke Naima, kalau Mas Emir nggak suka masakan berkuah yang banyak minyaknya." "Dia selalu begitu kalau masak. Semaunya sendiri. Mana dengerin saran orang. Nggak tahu apa, kalau terlalu berlemak bisa nimbulin penyakit," sungut Bu Anjar seraya melangkah pergi. Tak lama kemudian Yesi mengikuti. Mata Naima sudah berkabut, hatinya demikian pedih sekali. Rasanya seperti ditusuk-tusuk. Berulang kali ia menarik napas panjang. Ingin sekali ia menjawab, tapi khawatir ada keributan. Naima tidak ingin Zahra melihatnya bertengkar. Dengan cekatan dibersihkannya dapur. Kemudian mengurus cucian di belakang. Biasanya si mbak yang bekerja paruh waktu yang mengurusi pakaian kotor sampai menyetrikanya. Karena enggan berbaur dengan mereka, Naima mengerjakan semua itu. Saat ia kembali ke depan, Yesi sudah pulang. 🖤LS🖤 "Ayo, anak-anak. Kita makan dulu," panggil Naima di ambang pintu kamar mereka. Zahra langsung menyimpan mainannya, lalu menghampiri sang mama. Tapi Aurel masih duduk di atas karpet, asyik dengan Lego barunya. "Aurel, ayo makan dulu, Sayang," ujar Naima seraya menghampiri anak itu. "Sebentar lagi, Ma. Aku nyelesain ini," jawab Aurel yang masih asyik menyusun lego. Dengan sabar Naima duduk menunggu di dekatnya. Toh kurang sedikit lagi. Zahra akhirnya mengambil lagi bonekanya karena mesti menunggu saudaranya. Tepat saat itu Bu Anjar muncul di pintu kamar. "Kalian malah duduk-duduk di sini, sudah ditunggu juga sama suami dan orang tua di ruang makan," ujarnya dengan tatapan tajam. "Masih nungguin Aurel nyelesain mainnya, Ma," jawab Naima. "Anakmu yang masih asyik bermain, Aurel sudah selesai itu. Bisa-bisanya kamu melimpahkan kesalahan pada Aurel." Bu Anjar terlihat begitu sengit menatap Naima dan Zahra. Sampai anak itu ketakutan dan menempel pada ibunya. Naima bisa merasakan detak jantung Zahra yang berdegup kencang di punggungnya. Aurel berlari keluar, sedangkan Naima menggendong Zahra yang ketakutan. "Jangan kelewatan manjain anak. Jadi nggak tahu diri dia," sungut Bu Anjar lantas melangkah ke ruang makan. Dada Naima kembali tersayat. Namun ia tetap ke meja makan. Mendudukkan Zahra di sebelahnya. Lalu mengambilkan nasi untuk suami dan anak-anak. "Nai, mana gulai ikannya?" tanya Emir pelan seraya memperhatikan satu demi satu menu di atas meja. Di sana hanya ada tahu, tempe goreng, dan telur dadar. Padahal tadi ia tahu kalau istrinya masak gulai. "Kamu nggak jadi masak?" "Masak tadi, Mas. Tapi sudah kubuang ke tempat sampah," jawab Naima dengan tenang. Sambil mengambilkan lauk untuk anak-anak. Tidak hanya Emir, tapi Bu Anjar juga terkejut mendengar jawaban Naima. Dahi Emir berkerut seraya memandang istrinya. Belum sampai bertanya, sang mama sudah bicara. "Kenapa kamu buang? Seenaknya buang-buang makanan. Semua dibeli pakai uang. Jadi istri kok nggak paham berhemat. Sesuka hati saja membuang makanan." "Daripada nanti jadi penyakit, Ma," jawab Naima dengan pembawaan begitu tenang. "Maksudnya apa, May? Apa ikannya sudah rusak?" tanya Emir. "Nggak, Mas. Tadi Mama dan Mbak Yesi bilang, kalau gulai yang kumasak tadi katanya terlalu berminyak. Mereka sepertinya jauh lebih tahu kalau Mas nggak suka makanan berlemak. Makanya aku buang saja. Daripada nanti aku dikatai hendak meracunimu." Emir terhenyak. Bu Anjar pias. Ia tak menyangka kalau Naima bisa menjawab demikian. Padahal sore tadi hanya diam tanpa membantah. Ketika mereka masih diam, Naima menceritakan tentang apa yang diucapkan Yesi dan Bu Anjar tadi. "Benar begitu, Ma?" Emir memandang mamanya. "Nggak. Istrimu pandai berbohong," jawab Bu Anjar seolah tak merasa bersalah. Lantas ia mengambil lauk dan sambal. Naima tidak menanggapi untuk membela diri. Ada Zahra dan Aurel duduk di sana. Ia tidak ingin anak-anak melihat pertengkaran di antara mereka. Dengan tenang ia mengambilkan telur dan sepotong tahu untuk Emir. "Makan, Mas," ucapnya tanpa memandang sang suami. Suasana meja makan hening. Hanya terdengar denting sendok yang beradu dengan piring. Anak-anak juga diam sambil makan. Selesai makan, Bu Anjar pergi lebih dulu bersama Aurel dan masuk ke kamarnya. Aurel memang lebih sering tidur dengan neneknya. Sedangkan Naima meminta Zahra untuk masuk kamar dan belajar. "Ada apa sebenarnya, Nai?" tanya Emir setelah selesai minum. "Bukankah tadi sudah kuceritakan. Aku nggak akan mengulanginya lagi. Tadi sudah cukup jelas, kan? Ternyata masih seperhatian itu mantanmu, Mas." Naima berdiri untuk mengemas meja. "Aku sudah nggak sanggup lagi menjalani semua ini, Mas." Emir terkejut. "Kamu ngomong apa?" "Aku memikirkan mental Zahra juga. Tumbuh kembangnya. Dia tertekan di sini. Sebaiknya kita pisah saja." Next ....Ketegangan mulai melunak. Aprilia mengeluarkan dua kotak kecil, kado untuk Aurel dan Zahra. "Ini kado dari Nenek, ya. Ayo kalian terima.""Tante, Nenek sudah ngasih sepatu sama Aurel kemarin," ujar Aurel."Nggak apa-apa. Ini hadiah kembaran untuk kalian," jawab Aprilia. Dua hari yang lalu mama mertuanya minta tolong padanya untuk memberikan dua kalung emas yang liontinnya merupakan inisial nama Aurel dan Zahra."Terima kasih, Nek." Zahra bicara sambil menyentuh tangan Bu Anjar. Aurel juga melakukan hal yang sama."Dipakai selama liburan, ya. Kalau sekolah nggak boleh pakai perhiasan kecuali anting-anting." Naima memberitahu dua anaknya.Dua gadis kecil itu mengangguk.Kemudian mereka duduk berbincang-bincang. Emir menceritakan kedatangan pamannya Zahra dari Kalimantan. Cerita maksud kedatangannya mencari Zahra. Intinya untuk tanggung jawab. Ia juga menjelaskan kenapa mereka diam untuk beberapa tahun ini, karena kondisi mereka sedang tidak baik-baik saja. Emir sengaja membahasnya di de
"Sewaktu Kak Ridho baru meninggal, kondisi kami nggak baik-baik saja karena Papa sakit, Mbak. Beliau shock juga mendengar Kakak nggak ada. Saya sendiri juga masih tahap nyari pekerjaan waktu itu. Sedangkan kakak satunya juga baru menikah." Cerita Rony. Dia adiknya Ridho yang nomer dua. Mereka tiga bersaudara."Nggak apa-apa, Ron. Mbak juga ngerti. Alhamdulillah, kami baik-baik saja di sini bersama Mas Emir." Naima memandang pada suaminya. Tentu saja Naima tidak menceritakan kisah pahit yang dijalani selama ini.Rony manggut-manggut sambil menatap Emir. Melihat keadaan mereka, Rony yakin kalau kakak ipar dan keponakannya bersama orang yang tepat. Rumahnya besar dan mewah. Naima juga sudah berhijab. Zahra sangat terawat. Emir kelihatan sosok yang sangat bertanggung jawab dan melindungi."Ketika Papa sudah mulai pulih, kami menghubungi Mbak Naima. Tapi sudah nggak bisa. Papa sempat kepikiran, karena Zahra sebenarnya tanggung jawab kami."Emir yang duduk dengan tenang merasa kagum dengan
SETELAH AKU KAU MILIKI - 54 Tamu Dari JauhEmir melangkah ke arah pintu pagar. Dadanya sedikit berdebar saat memandang wajah pria itu. Dia seperti teringat seseorang yang tidak seberapa dikenalnya."Assalamu'alaikum," ucap lelaki yang berdiri di luar pagar, saat Emir membuka pintu."Wa'alaikumsalam. Maaf, Mas mencari siapa, ya?"Lelaki itu mengulurkan tangannya. "Saya Rony. Benarkah ini rumah Mas Emir suaminya Mbak Naima Fahira?""Ya, saya sendiri. Emir.""Saya adiknya Kak Ridho. Almarhum suaminya Mbak Naima. Maaf, kalau kedatangan saya mengganggu. Tadi saya ke alamatnya Mbak Naima, lalu di kasih tahu sama tetangga di sana, tentang Mas Emir dan alamat rumah ini. Saya datang dari Samarinda, Mas. Ingin bertemu ponakan saya. Maulida. Baru kali ini saya bisa berkunjung setelah kepergian kakak saya."Emir sekarang ingat dengan wajah itu. Mirip sekali dengan Ridho. Dia tidak pernah bertemu Ridho. Hanya melihat dari foto yang ada di rumah Naima waktu itu. Tapi masih lumayan ingat bagaimana
"Nggak pakai kausnya Mas malam ini?" tanya Emir sambil memandang istrinya.Spontan Naima memandang sang suami. "Zahra yang ngasih tahu," lanjut Emir. Membuat wajah Naima bersemu merah karena malu. Bisa-bisanya Zahra bocor pada papanya. Lalu apalagi yang diceritakan anak itu.Tapi kalau malam ini tidak memakai baju Emir, karena suaminya sedang bersamanya. Bukankah aroma tubuhnya yang digandrungi selama hamil ini. Duh, Naima mendadak melankolis. Dadanya sesak ingin menangis di pelukan suaminya. 'Sungguh kamu bikin malu ibu, Nak.'"Sini!" Emir menarik pelan lengan istrinya. Dan Naima tidak bisa menahan diri dan benar-benar menangis di dada sang suami. Emir mendekapnya erat. Semenjak kehamilan ini, ia menjadi berbeda. Apa ini bawaan bayi?Hari-hari yang dilalui tanpa Emir, dia menjadi sosok ibu yang kuat. Bahkan sanggup merahasiakan segala keluhan agar suaminya tidak khawatir. Tapi malam ini, Naima menyerah dan ingin dimanja. Untung anak-anak tidur lebih cepat.Malam beranjak larut dan
Emir membantu menata makanan di atas meja. Ada ayam goreng, ikan bakar, sup hangat, sambal matah, lalapan, dan buah-buahan yang kini memenuhi meja makan. Ia memanggil anak-anak, sedangkan Naima mencuci anggur dan memotong apel.Malam itu suasana ruang makan begitu hangat. 🖤Di Tulungagung, mobil Yesi melaju pelan menembus jalanan yang mulai sepi. Dia sedang perjalanan pulang dari rumah mamanya.Masih terngiang bagaimana percakapannya dengan mantan suaminya tadi. Lelaki yang seharusnya memaki-maki karena sudah dijebak, tapi Emir hanya memberikan ultimatum bahwa dirinya tidak bisa menemui Aurel dalam waktu dekat. Dan itu memang hukuman yang paling berat bagi seorang ibu."Aurel sudah liburan, Mbak nggak mau mengajaknya ke sini. Bisa dikenalin sama Mas Doni sebagai ayah sambungnya. Toh Mas Doni juga kelihatan welcome banget menerima kenyataan tentang kalian." Weni berkata demikian saat mereka ngobrol berdua di rumah mamanya.Mendengar itu Yesi masih diam."Nggak usah kelamaan mikir. Se
SETELAH AKU KAU MILIKI - 53 Ingin Bertemu "Halo," sapa Emir dengan dingin setelah menjauh dari anak-anak."Aku ingin bertemu Aurel. Dia sudah liburan sekolah, kan? Biarlah beberapa hari bersamaku." Suara Yesi di seberang. Kali ini nada suaranya merendah."Kamu ingin mengenalkan Aurel pada Papa barunya?" todong Emir. Hening. Saat itu Emir benar-benar mengendalikan emosinya biar tidak meledak. Kalau ikutkan kata hati, ingin rasanya memaki Yesi karena telah merencanakan jebakan untuknya malam itu. Namun ia menahan diri. Ingat kalau sekarang Naima sedang hamil dan dia sedang berada di hadapan anak-anak."Aku kangen sama dia. Paling nggak biarkan dua atau tiga hari bersamaku. Liburannya panjang, kan?""Aku nggak tega dia bersamamu untuk saat-saat sekarang ini.""Maaf. Aku benar-benar minta maaf atas kejadian beberapa hari yang lalu. Mungkin kamu nggak akan memaafkanku. Tapi tolong izinkan aku bertemu Aurel." "Kamu masih punya muka juga bertemu dengan anakmu. Jujur saja, aku nggak ingi







