แชร์

3. Tak Kuat Lagi

ผู้เขียน: Lis Susanawati
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-10-06 20:49:25

SETELAH AKU KAU MILIKI

- Tak Kuat Lagi

"Ma, bagus kuda poni milik Aurel," bisik lirih Zahra pada mamanya. Gadis kecil itu memegangi tangan Naima.

"Iya. Kapan-kapan Mama beliin, ya."

"Hu um." Zahra mengangguk sambil terus memandangi Aurel yang sedang membongkar tas-tas berisi mainan. Namanya anak-anak, jika saudaranya punya mainan baru, pasti Zahra juga teringin.

Emir bangkit dari duduknya, lalu menghampiri Zahra dan mengulurkan tangan. "Ayo, kita main bareng-bareng sama Aurel."

Zahra menyambut tangan papa tirinya. Kemudian melangkah pelan ke ruang tengah. Saat bersamaan Bu Anjar keluar kamar. Zahra semakin berpegangan erat pada Emir karena takut.

Yesi dan Bu Anjar ngobrol begitu akrab. Terkadang tawa menyelingi percakapan mereka tentang masa lalu, tanpa memikirkan perasaan Naima. Sedangkan Zahra dan Aurel bermain di depan diawasi oleh Emir. Naima sibuk di dapur.

Keadaan seperti ini, sudah hampir setahun ia alami. Lalu sampai kapan sanggup bertahan lagi? Aurel ini kalau bermain diawasi papanya, sangat penurut dan kalem. Tapi kenapa kalau hanya berdua dengan Zahra, ada saja tingkahnya yang memicu pertengkaran. Makanya Emir tidak pernah percaya dengan cerita Naima.

Anak seusia Aurel, bagaimana mungkin bisa manipulatif. Anak-anak seusia ini biasanya masih polos. Apa dia dipengaruhi?

"Nai, ini bajunya Mas Emir yang aku belikan tadi. Kebetulan ada warna kesukaannya, jadi aku ambil." Tanpa rasa bersalah, dengan wajah yang terlihat berbinar, Yesi memberikan paper bag pada Naima.

Tanpa menjawab apapun, Naima menerimanya dan meletakkan benda itu di meja dapur.

"Kamu masak apa?" Yesi melongok ke dalam panci yang ada di atas kompor.

"Gulai ikan, Mbak?" jawab Naima datar sambil menahan gemuruh di dadanya.

"Nggak kebanyakan minyak itu? Mas Emir kan nggak suka masakan berlemak karena kebanyakan minyak." Begitu santainya Yesi berseloroh.

Naima tersenyum sinis sambil mematikan kompor. Dia tidak ingin menanggapi ucapan itu. Mantan istri dari suaminya ini sepertinya hendak mencari celah untuk membuat cemburu dan menjatuhkannya. Dengan santainya, Naima memindahkan gulai ke dalam mangkuk beling berbentuk oval.

"Ada apa, Yes?" Bu Anjar menghampiri.

"Ini, Ma. Aku ngasih tahu ke Naima, kalau Mas Emir nggak suka masakan berkuah yang banyak minyaknya."

"Dia selalu begitu kalau masak. Semaunya sendiri. Mana dengerin saran orang. Nggak tahu apa, kalau terlalu berlemak bisa nimbulin penyakit," sungut Bu Anjar seraya melangkah pergi. Tak lama kemudian Yesi mengikuti.

Mata Naima sudah berkabut, hatinya demikian pedih sekali. Rasanya seperti ditusuk-tusuk. Berulang kali ia menarik napas panjang. Ingin sekali ia menjawab, tapi khawatir ada keributan. Naima tidak ingin Zahra melihatnya bertengkar.

Dengan cekatan dibersihkannya dapur. Kemudian mengurus cucian di belakang. Biasanya si mbak yang bekerja paruh waktu yang mengurusi pakaian kotor sampai menyetrikanya. Karena enggan berbaur dengan mereka, Naima mengerjakan semua itu. Saat ia kembali ke depan, Yesi sudah pulang.

🖤LS🖤

"Ayo, anak-anak. Kita makan dulu," panggil Naima di ambang pintu kamar mereka.

Zahra langsung menyimpan mainannya, lalu menghampiri sang mama. Tapi Aurel masih duduk di atas karpet, asyik dengan Lego barunya.

"Aurel, ayo makan dulu, Sayang," ujar Naima seraya menghampiri anak itu.

"Sebentar lagi, Ma. Aku nyelesain ini," jawab Aurel yang masih asyik menyusun lego.

Dengan sabar Naima duduk menunggu di dekatnya. Toh kurang sedikit lagi. Zahra akhirnya mengambil lagi bonekanya karena mesti menunggu saudaranya.

Tepat saat itu Bu Anjar muncul di pintu kamar. "Kalian malah duduk-duduk di sini, sudah ditunggu juga sama suami dan orang tua di ruang makan," ujarnya dengan tatapan tajam.

"Masih nungguin Aurel nyelesain mainnya, Ma," jawab Naima.

"Anakmu yang masih asyik bermain, Aurel sudah selesai itu. Bisa-bisanya kamu melimpahkan kesalahan pada Aurel." Bu Anjar terlihat begitu sengit menatap Naima dan Zahra. Sampai anak itu ketakutan dan menempel pada ibunya. Naima bisa merasakan detak jantung Zahra yang berdegup kencang di punggungnya.

Aurel berlari keluar, sedangkan Naima menggendong Zahra yang ketakutan.

"Jangan kelewatan manjain anak. Jadi nggak tahu diri dia," sungut Bu Anjar lantas melangkah ke ruang makan.

Dada Naima kembali tersayat. Namun ia tetap ke meja makan. Mendudukkan Zahra di sebelahnya. Lalu mengambilkan nasi untuk suami dan anak-anak.

"Nai, mana gulai ikannya?" tanya Emir pelan seraya memperhatikan satu demi satu menu di atas meja. Di sana hanya ada tahu, tempe goreng, dan telur dadar. Padahal tadi ia tahu kalau istrinya masak gulai. "Kamu nggak jadi masak?"

"Masak tadi, Mas. Tapi sudah kubuang ke tempat sampah," jawab Naima dengan tenang. Sambil mengambilkan lauk untuk anak-anak.

Tidak hanya Emir, tapi Bu Anjar juga terkejut mendengar jawaban Naima.

Dahi Emir berkerut seraya memandang istrinya. Belum sampai bertanya, sang mama sudah bicara. "Kenapa kamu buang? Seenaknya buang-buang makanan. Semua dibeli pakai uang. Jadi istri kok nggak paham berhemat. Sesuka hati saja membuang makanan."

"Daripada nanti jadi penyakit, Ma," jawab Naima dengan pembawaan begitu tenang.

"Maksudnya apa, May? Apa ikannya sudah rusak?" tanya Emir.

"Nggak, Mas. Tadi Mama dan Mbak Yesi bilang, kalau gulai yang kumasak tadi katanya terlalu berminyak. Mereka sepertinya jauh lebih tahu kalau Mas nggak suka makanan berlemak. Makanya aku buang saja. Daripada nanti aku dikatai hendak meracunimu."

Emir terhenyak. Bu Anjar pias. Ia tak menyangka kalau Naima bisa menjawab demikian. Padahal sore tadi hanya diam tanpa membantah.

Ketika mereka masih diam, Naima menceritakan tentang apa yang diucapkan Yesi dan Bu Anjar tadi.

"Benar begitu, Ma?" Emir memandang mamanya.

"Nggak. Istrimu pandai berbohong," jawab Bu Anjar seolah tak merasa bersalah. Lantas ia mengambil lauk dan sambal.

Naima tidak menanggapi untuk membela diri. Ada Zahra dan Aurel duduk di sana. Ia tidak ingin anak-anak melihat pertengkaran di antara mereka. Dengan tenang ia mengambilkan telur dan sepotong tahu untuk Emir. "Makan, Mas," ucapnya tanpa memandang sang suami.

Suasana meja makan hening. Hanya terdengar denting sendok yang beradu dengan piring. Anak-anak juga diam sambil makan.

Selesai makan, Bu Anjar pergi lebih dulu bersama Aurel dan masuk ke kamarnya. Aurel memang lebih sering tidur dengan neneknya. Sedangkan Naima meminta Zahra untuk masuk kamar dan belajar.

"Ada apa sebenarnya, Nai?" tanya Emir setelah selesai minum.

"Bukankah tadi sudah kuceritakan. Aku nggak akan mengulanginya lagi. Tadi sudah cukup jelas, kan? Ternyata masih seperhatian itu mantanmu, Mas." Naima berdiri untuk mengemas meja.

"Aku sudah nggak sanggup lagi menjalani semua ini, Mas."

Emir terkejut. "Kamu ngomong apa?"

"Aku memikirkan mental Zahra juga. Tumbuh kembangnya. Dia tertekan di sini. Sebaiknya kita pisah saja."

Next ....

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
ความคิดเห็น (5)
goodnovel comment avatar
Helmy Rafisqy Pambudi
ya mending pisa aja lah..gak usah nikah LG kalo dah pisah nai..
goodnovel comment avatar
Sri Mayani Roeslan
bagus, Nai! lebih baik menyelamatkan mental anak daripada punya mertua toxic
goodnovel comment avatar
Sri Mayani Roeslan
jadi mertua koq jahat banget nih emak lampir
ดูความคิดเห็นทั้งหมด

บทล่าสุด

  • Setelah Aku Kau Miliki    6. Sesal

    SETELAH AKU KAU MILIKI - Sesal"Bu Nai pergi jam dua belas tadi, Pak," jawab Mak Tam dengan tubuh gemetar saat menerima bosnya duduk di ruang tamu, di rumahnya yang sangat sederhana.Saat melihat Emir berbelok menuju rumahnya tadi, Mak Tam sudah panas dingin."Apa yang terjadi, Mak?"Wanita usia lima puluh tahun itu terlihat kebingungan sekaligus takut. Dia harus jujur atau menutupi karena sudah diancam oleh Bu Anjar. "Kalau sampai kamu buka mulut, jangan harap bisa bekerja di sini lagi." Wanita itu takut karena pekerjaan itu penting baginya."Mak, kenapa diam?" tanya Emir semakin gusar."Maaf, Pak. Saya sebenarnya kurang tahu apa yang terjadi tadi.""Apa benar, Naima memang sengaja pergi meninggalkan rumah? Atau ada sesuatu yang membuatnya pergi?" Emir terus mendesak. Menyebabkan Mak Tam kian terpojok. Wajah wanita itu pias dan pucat. Membuat Emir semakin yakin kalau telah terjadi sesuatu. Jika memang tak ada apapun, Mak Tam pasti sudah bicara."Jujur saja, Mak.""Nanti Pak Emir mem

  • Setelah Aku Kau Miliki    5. Pergi

    SETELAH AKU KAU MILIKI- Pergi"Ma, kita mau ke mana?" tanya Zahra tampak kebingungan. "Kita pergi jauh. Biar Zahra nggak ketakutan lagi kalau Nenek Anjar marah-marah. Biar Zahra nggak selalu disalahkan sama nenek. Zahra nanti tinggal bersama Mama saja," jawab Naima terus melangkah sambil menyeret kopernya. Dia agak kesulitan karena sambil menggendong Zahra."Zahra, jalan sendiri ya. Sampai depan sana. Nanti kita naik taksi," kata Naima."Iya," jawab Zahra lantas minta turun.Tangan kiri Naima mengandeng anaknya, sedangkan tangan kanan menarik koper. Saat itu matahari tepat berada di atas kepala. Panas musim kemarau membakar bumi. Dan mereka terus saja melangkah keluar perumahan. Suasana saat itu juga sepi. Cuaca panas membuat orang-orang malas keluar rumah. "Ma, kita nanti nggak bisa ketemu Papa lagi?" tanya Zahra di tengah terik matahari.Naima menatap anaknya lalu tersenyum. "Yang penting Zahra nggak dimarahi nenek dan Aurel lagi."Zahra lalu diam sambil menatap lurus ke depan. N

  • Setelah Aku Kau Miliki    4. Kita Pernah Saling Kehilangan

    SETELAH AKU KAU MILIKIPart 4 Kita Pernah Saling Kehilangan "Aku sudah bersabar, Mas. Tapi lama-lama aku bisa gila di sini." Air mata Naima luruh. "Aku kasihan anakku. Dia nggak punya siapa-siapa selain aku. Zahra sejak kecil nggak mengenal ayah kandungnya. Yang dia tahu, Mas Emirlah ayahnya. Namun dalam pernikahan ini, yang kupertaruhkan adalah mental anakku." Naima menatap lekat wajah suaminya. "Mari kita berpisah secara baik-baik."Emir menahan napas. Mengendalikan gejolak tak terima dalam dadanya yang terasa sesak. Satu kata itu tidak ingin didengarnya dari mulut Naima. "Nai, setelah Zahra tidur nanti. Kita bahas ini di kamar," ucap Emir dengan nada pelan. Dengan kasar Naima menghapus air matanya. Kemudian berbalik dan melangkah ke kamarnya anak-anak. Bocah itu terdiam di tepi tempat tidurnya. Naima menghampiri. "Zahra, gosok gigi dulu. Setelah itu bobok, ya.""Mama, temani Zahra, ya?"Naima merangkul anaknya. "Ya, Mama temani, Sayang. Yuk, kita gosok gigi dulu.""Hu um." Zahr

  • Setelah Aku Kau Miliki    3. Tak Kuat Lagi

    SETELAH AKU KAU MILIKI- Tak Kuat Lagi"Ma, bagus kuda poni milik Aurel," bisik lirih Zahra pada mamanya. Gadis kecil itu memegangi tangan Naima."Iya. Kapan-kapan Mama beliin, ya.""Hu um." Zahra mengangguk sambil terus memandangi Aurel yang sedang membongkar tas-tas berisi mainan. Namanya anak-anak, jika saudaranya punya mainan baru, pasti Zahra juga teringin.Emir bangkit dari duduknya, lalu menghampiri Zahra dan mengulurkan tangan. "Ayo, kita main bareng-bareng sama Aurel." Zahra menyambut tangan papa tirinya. Kemudian melangkah pelan ke ruang tengah. Saat bersamaan Bu Anjar keluar kamar. Zahra semakin berpegangan erat pada Emir karena takut.Yesi dan Bu Anjar ngobrol begitu akrab. Terkadang tawa menyelingi percakapan mereka tentang masa lalu, tanpa memikirkan perasaan Naima. Sedangkan Zahra dan Aurel bermain di depan diawasi oleh Emir. Naima sibuk di dapur.Keadaan seperti ini, sudah hampir setahun ia alami. Lalu sampai kapan sanggup bertahan lagi? Aurel ini kalau bermain diawa

  • Setelah Aku Kau Miliki    2. Apa aku yang salah?

    SETELAH AKU KAU MILIKI- Apa Aku yang Salah?"Kalian baru dua tahun menikah, belum terlambat untuk membuat keputusan. Lagian kalian juga belum punya anak." Kata-kata itu kembali menghantam dada Naima. Ia mematung dibalik tembok."Mama sejak dulu kan sudah bilang sih, Mir. Ngapain kamu nikahi janda itu. Bikin susah saja anaknya. Nanti lama kelamaan, Aurel yang kalah.""Ma, mereka masih kanak-kanak. Nanti usia bertambah, akan semakin mengerti.""Kamu selalu membelanya, kan? Perempuan itu sudah menghasutmu. Apa yang dikatakannya padamu, hingga kamu begitu tunduk padanya. Sampai nggak mau dengerin Mama. Apa kamu nggak kasihan sama anakmu?"Mama nggak habis pikir. Bisa-bisanya kamu nikahin anak preman itu. Nah sekarang cucunya jadi preman perempuan. Masih kecil dah pinter membully."Pertahanan Naima benar-benar runtuh. Air matanya tumpah tak terbendung mendengar ucapan mertuanya tentang masa lalu ayahnya. Ya, ayahnya dulu memang seorang preman. Tapi itu dulu sekali sebelum menikah. Sudah b

  • Setelah Aku Kau Miliki    1. Hanya Anak-anak

    SETELAH AKU KAU MILIKI - Hanya Anak-anak"Hai, Mas. Baru pulang kerja?" Yesi tersenyum ramah pada Emir yang muncul di pintu. Pria itu membalas senyum mantan istrinya sekilas. Lalu menyambut tangan dua anak perempuan usia tujuh tahun yang berebut menyalaminya.Emir mengusap kepala anak kandung dan anak tirinya. Lantas kedua gadis kecil itu kembali duduk di pangkuan mamanya masing-masing."Kenapa lengan Aurel terluka?" Emir yang baru duduk memperhatikan tangan putri kandungnya yang tergores. Masih tampak memerah oleh bekas darah yang mengering."Jatuh katanya, Mas." Yesi menjawab sambil memperhatikan luka itu."Nggak sengaja tadi. Senggolan sama Zahra di halaman, Mas." Naima menjelaskan sambil memandang sang suami. Sementara Yesi ini mantan istrinya Emir yang sudah bercerai tiga tahun lalu."Di dorong sama Zahra tadi," sahut Bu Anjar dengan tatapan sinis pada Zahra. Naima kian erat memeluk putrinya yang selalu ketakutan di depan nenek tirinya. Naima memilih diam untuk menghindari ker

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status