Share

Bab 4

Penulis: Violen
Vannisa juga menunjukkan wajah tidak bersahabat.

Dia menarik lengan bajunya, memperlihatkan lengannya yang dibalut kain kasa, dan berkata ringan, "Aku terluka, tidak bisa memasak."

Kata-kata amarah yang awalnya ingin dikatakan oleh Andrian pun langsung tersangkut di tenggorokannya.

"Kalau kamu sudah terluka, kenapa tidak bilang dari tadi?"

Vannisa tersenyum pahit.

'Apa gunanya aku bilang?'

Selama tiga tahun ini, setiap kali Vannisa sakit atau terluka, dia tidak pernah benar-benar peduli.

Vannisa masih ingat saat terakhir kali terkena radang usus buntu. Saat itu, Hana dan sopir tidak ada, jadi Vannisa meneleponnya dan memintanya mengantar ke rumah sakit.

Tapi saat itu Andrian sedang bersiap naik pesawat ke Negara Gordon, dan hanya berkata padanya untuk mencari cara sendiri.

Pada akhirnya, dia hanya bisa memanggil ambulans.

Setelah operasi, dia juga menyewa seorang perawat rumah sakit untuk merawat dirinya, tapi Andrian tidak pernah sekalipun datang menjenguknya.

Kekecewaan yang terus menumpuk itu membuat Vannisa tak lagi menaruh harapan padanya.

Untungnya, hubungan mereka akan segera berakhir.

Suara dering ponsel Andrian memecah keheningan di antara mereka.

Dia melihat sekilas layar ponsel, lalu berjalan menuju balkon.

Vannisa menatap punggungnya, samar-samar mendengar suara lembutnya memanggil, "Reni."

Angin dari balkon berhembus masuk.

Dia merasa agak dingin, lalu mengenakan jaket dan turun ke bawah.

Pada dini hari, Hana mengirim pesan minta izin, mengatakan cucunya sedang tidak enak badan, jadi hari ini tidak bisa datang.

Dia pun memberitahu Hana agar tidak usah khawatir, dia bisa mengurus semuanya sendiri.

Dia pun mengambil oat dari lemari penyimpanan, lalu menyendok satu sendok dan memasukkannya ke dalam cangkir.

Kemudian dia mengambil satu telur dari kulkas, memecahkannya di atas oat, menusuk kuning telurnya, menambahkan air panas, menutupnya, lalu memasukkannya ke dalam oven.

Tiga menit kemudian, sarapan pun siap.

Dia membawa cangkir itu keluar dari dapur, lalu menambahkan susu murni rendah lemak, dan menaburkan beberapa biji kacang.

Baru saja hendak makan, Andrian sudah turun dari lantai atas.

Melihat dia hanya menyiapkan sarapan untuk satu orang, dia tampak sedikit tidak senang.

Namun, mengingat dia sedang terluka, dia juga tak tega untuk memarahinya.

Jadi dia melangkah maju untuk melihat apa yang dia makan, melihat hanya oat sederhana, lalu mengernyit dan berkata, "Kamu cuma makan ini saja?"

Vannisa bahkan tidak menatapnya, dengan nada datar berkata, "Beberapa hari ini, kamu urus sendiri makananmu. Aku yakin asistenmu yang hebat itu pasti bisa membuatmu puas."

Sebenarnya Andrian ingin menanyakan cara membuat bubur sumsum, supaya bisa menyuruh asistennya menyiapkan untuk Renisa.

Namun melihat ekspresinya yang begitu dingin, dia pun tak lagi ingin bertanya.

Dia berbalik dan bersiap meninggalkan rumah menuju rumah sakit.

"Beberapa hari ini aku akan menemani Reni di rumah sakit, kalau kamu merasa tidak enak badan, hubungi asisten aku saja."

Vannisa mengunyah kacang dengan saksama, lalu berkata, "Aku tahu."

Dua tahun lalu, setelah Andrian kembali bangkit pergi bekerja, Vannisa setiap hari menelepon dan mengirim pesan, memperhatikan kesehatannya, dan menanyakan kapan dia pulang untuk makan.

Namun, Andrian justru merasa kesal dengan perhatiannya dan langsung memblokir nomornya.

Vannisa juga tak lagi bisa menghubungi teleponnya, hanya bisa mengontaknya lewat WhatsApp.

Sejak saat itu, Vannisa pun jarang lagi menghubunginya.

Sebaliknya, ketika Andrian ada urusan mendesak, akan menggunakan ponsel asistennya untuk menelepon ke Vannisa.

...

Beberapa saat kemudian.

Andrian tiba di rumah sakit, dan asistennya sudah mengantarkan sarapan.

"Pak Andrian, ini sarapan yang dibeli dari Warung Leko dan Pondok Bambu Sejuk, ada bubur sumsum yang Anda pesan, mie kuah ayam, dan beberapa camilan."

Andrian mengangguk dan menyuruhnya antar sarapan ke kamar rawat Renisa.

Renisa baru saja menyelesaikan riasan naturalnya, mendengar ketukan pintu, dia segera menyimpan semua kosmetik ke dalam lemari.

Lalu dia berbaring di tempat tidur dan berkata, "Masuklah."

Begitu Andrian dan asistennya masuk, dia baru pelan-pelan duduk dan menguap.

"Mengganggu tidurmu ya, Reni?"

Andrian mendekat dan menggenggam tangan Reni.

Renisa tersenyum padanya dan berkata, "Mana mungkin? Kamu menemani aku semalam, Vannisa nggak marah, kan?"

Andrian terdiam.

Benar juga.

Perkataan Renisa mengingatkannya, sikap Vannisa pagi tadi memang terasa aneh.

Meskipun dia dan Renisa tidak ada hubungan yang melanggar, tapi dia datang menemani Renisa, Vannisa seharusnya tidak bersikap acuh seperti itu.

Seharusnya ...

Tapi dia juga tidak bisa membayangkan sikap apa yang seharus Vannisa tunjukkan.

"Dia punya sifat yang baik, tidak akan marah, mari makan sarapan dulu."

Renisa mengangguk dan berkata, "Kalau begitu, kamu makan bersama aku dong, boleh?"

"Tentu."

Andrian menyendok bubur dan meletakkannya di depannya.

Dia sendiri juga mencicipinya, tapi merasa rasanya tidak tepat.

Dia sudah terbiasa dengan sarapan yang dibuat oleh Vannisa, jadi selalu merasa sarapan di luar ada yang kurang.

Renisa melihat dia mengerutkan dahi, lalu bertanya, "Ada apa? Kakak Andri, rasanya tidak enak kah? Ini adalah bubur sumsum dari Warung Leko, dulu waktu kecil kita sering makan di sana, rasanya masih seperti dulu."

Andrian tidak mengungkapkan apa yang dia pikirkan, lalu berkata dengan lembut, "Tidak apa-apa, kamu makan saja, aku tidak terlalu lapar."

Dia pun meletakkan sendoknya dan tak menyentuh sarapan lagi.

Dia berjalan keluar dari kamar rawat, berdiri di balkon, mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya, menyalakannya, lalu mengisapnya sekali.

Keresahan di hatinya barulah mulai mereda sedikit.

Saat ini asisten menghampirinya dan bertanya, "Pak Andrian, pukul sembilan tiga puluh pagi ini ada rapat, perlu ditunda?"

"Tidak usah."

Suara Andrian terdengar datar dan dingin, namun tanpa sadar wajah Vannisa yang lembut dan tenang terlintas di benaknya.

Dia berkata kepada asistennya, "Wendi, biarkan Yani yang memimpin rapat. Kamu pergi menjemput Nyonya untuk dibawa ke rumah sakit, periksa lengannya."

Asistennya tertegun.

Biasanya, dia memang sering membantu Direktur Andrian mengurus urusan pribadi, tetapi Direktur Andrian tidak pernah memintanya untuk mengurus Nyonya.

Namun karena itu adalah perintah dari Direktur Andrian, tentu saja dia harus patuh.

"Baik, aku akan segera ke sana."

Andrian pun kembali masuk dan pamit ke Renisa, lalu meninggalkan rumah sakit.

Saat asistennya merapikan kotak makan Renisa dan hendak pamit, tiba-tiba mendengar Renisa berkata, "Wendi, aku agak sakit kepala, bisa tinggal di sini menemani aku pergi periksa?"

Asisten mendengar perkataannya, lalu mempertimbangkan sejenak di dalam pikirannya.

Di dalam hati Direktur Andrian, Nona Renisa jelas jauh lebih penting daripada Nyonya.

Karena Nona Renisa sedang tidak enak badan, tentu saja dia harus mengutamakan merawat Nona Renisa terlebih dahulu.

Sedangkan untuk Nyonya, meskipun dia tidak pergi menjemput karena harus mengurus Nona Renisa, Direktur Andrian juga tidak akan marah.

Dia langsung menunjukkan senyum sopan. "Baik, Nona Renisa, aku akan segera memanggil dokter penanggung jawab untuk mengatur pemeriksaan Anda."

Renisa melihat sikap dia menurut, tanpa sadar tersenyum puas.

...

Di rumah, Vannisa tidak ada kegiatan, lalu menghubungi seniornya untuk makan bersama.

Sekalian ingin mengobrol tentang pekerjaan di masa depan.

Mereka bertemu di sebuah kafe.

Begitu melihat Vannisa, Liliyana langsung memeluknya erat.

"Vanni, kita benar-benar sudah lama sekali tidak bertemu."

Keduanya banyak bercerita tentang kenangan masa kuliah, tak bisa menahan perasaan pilu yang muncul.

"Ngomong-ngomong, Vanni, seandainya waktu itu kamu ikut berbisnis sama aku, pasti seru. Kamu sudah beberapa kali juara kompetisi nasional, bahkan Pak Guru Martinus pun ingin kamu jadi mahasiswa bimbingannya."

Vannisa mengenang masa lalu, hanya merasa semuanya sudah berubah dan orang-orang pun tak seperti dulu.

Dulu saat ayahnya meninggal, ibunya butuh biaya pengobatan, dia terpaksa menikah dengan Andrian karena tak punya pilihan lain.

Tapi kini, dia akhirnya bisa bebas.

Liliyana melanjutkan membicarakan soal pekerjaan dengannya.

Instansi tempat Liliyana bekerja bernama Pusat Seni Nada Harmoni, bosnya adalah seorang putri keluarga kaya raya, biasanya dia jarang ikut campur, kebanyakan yang mengelola adalah beberapa mitra mereka.

Pusat Seni Nada Harmoni kaya akan dana, sumber daya, dan jaringan, sehingga klien yang dilayani berasal dari kalangan atas, dan gaji yang diberikan kepada para guru juga sangat tinggi.

"Kalau kamu kerja di tempat kami, kamu nggak perlu khawatir soal biaya pengobatan ibumu. Gaji di Pusat Seni Nada Harmoni bukan cuma yang tertinggi di industri ini, tapi bonus akhir tahun untuk para guru juga sangat besar. Tapi klien kami semua orang kaya, banyak anak-anak dan keluarganya punya sifat buruk, jadi di awal kamu mungkin akan mengalami kesulitan."

Vannisa mengangguk. "Aku tahu, aku akan berusaha beradaptasi."

Dia sudah berada di sisi Andrian selama tiga tahun, menahan sifat buruknya selama tiga tahun, dan menganggap dirinya cukup tahan banting.

Liliyana menyeruput kopi, lalu melanjutkan bertanya, "Vanni, kamu berencana kapan mulai kerja?"
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 100

    Setelah berkata begitu, dia dengan genit mengedipkan mata pada Riski.Oktavia berdiri di sebelah dengan tangan disilangkan, memandang adegan di depan mata dengan penuh minat. Sudut bibirnya terangkat sedikit, memperlihatkan ekspresi setengah tersenyum dan setengah menyembunyikan sesuatu.'Aku memang pintar sekali, haha.'Liliyana memang jago dalam hal menjalin kedekatan.Apalagi Heriyanto benar-benar hebat, sampai bisa mengajak bos yang biasanya sibuk itu ikut datang.Siska mengedipkan sepasang matanya yang besar dan bening, dengan penuh rasa ingin tahu menatap Riski, lalu dengan suara manja bertanya, "Kakak Riski, apakah mereka ini teman-temanmu?"Sambil berkata begitu, pandangannya tak sengaja tertuju pada Vannisa yang berdiri di sebelah Liliyana, lalu mulai mengamati dari atas ke bawah.Tak bisa dipungkiri, di antara ketiga wanita itu, Vannisa memang paling menonjol. Wajahnya yang halus, aura lembut yang kuat, seperti bunga camellia yang kokoh membuat Siska merasakan ancaman yang be

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 99

    Heriyanto seolah-olah tidak menangkap isyarat dari Riski, malah tersenyum ramah dan menyapa Siska dengan nada riang, "Siska ya? Sudah bertahun-tahun berlalu, tapi matamu tetap cuma bisa melihat Riski yang pendiam ini. Aku sungguh tak mengerti, apa sih yang begitu menarik darinya sampai kamu segitunya jatuh hati?"Mendengar itu, pipi Siska langsung memerah malu. Dia segera mencubit lengan Heriyanto dengan manja dan berkata, "Kakak Heriyanto ... "Lalu seolah ingin segera membela Riski, dia buru-buru berkata, "Kakak Riski itu bukan pendiam!"Nada suaranya penuh rasa kagum dan pembelaan terhadap Riski.Heriyanto hanya tersenyum kecil lalu menambahkan, "Karena kamu sudah datang, biar Riski traktir kita makan siang, bagaimana?"Tentu saja Siska langsung mengangguk manis dan tersenyum ceria ke arah Riski.Namun, wajah Riski yang berdiri di samping mereka justru tampak tak begitu senang.Baru saja dia berharap Heriyanto bisa membantunya mengusir Siska, tapi tak disangka Heriyanto malah mengaj

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 98

    Berpikir sampai di situ, Vannisa tak bisa menahan untuk menghela napas pelan, dalam hati bertanya-tanya bagaimana cara terbaik menghadapi situasi rumit yang ada di depan matanya ... Saat itulah, Oktavia tak bisa menahan diri untuk mengedipkan mata.Oktavia diam-diam mengeluarkan ponselnya, lalu mengambil foto Vannisa yang sedang menghela napas dengan wajah penuh kesedihan dari samping.Kemudian, dengan cekatan dia menyentuh layar ponsel dan mengirimkan foto itu kepada Heriyanto.Belakangan ini, Heriyanto sering berkunjung ke kantor pengacara itu. Karena sifatnya yang ramah, ceria, dan humoris, dia cepat akrab dengan para pengacara di sana. Selain itu, dia juga dengan cepat tahu kalau Oktavia dan Vannisa adalah sahabat.Mendengar ini, Heriyanto pun punya ide. Dia ingin membantu Riski, adiknya yang pendiam untuk mendapatkan hati wanita.Setelah mendengar permintaan Heriyanto, Oktavia langsung setuju. Bos mereka di kantor hukum yang dijuluki Jomblo Abadi itu sebenarnya orang baik, dan V

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 97

    Pagi itu, Vannisa dan Liliyana sudah datang lebih awal ke studio untuk merapikan beberapa barang.Studio mereka berada di gedung yang sama dengan Kantor Pengacara Gemilang Mitra. Oleh karena itu, Liliyana pun mengajak Oktavia untuk makan siang bersama.Tak lama kemudian, Oktavia pun datang sesuai janji. Ketiganya pergi ke sebuah restoran yang nyaman dan memiliki suasana yang tenang tak jauh dari gedung kantor.Saat sedang makan, pandangan Oktavia beberapa kali jatuh pada Vannisa. Wajahnya tampak ragu, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi masih menimbang-nimbang.Akhirnya, dia membuka suara juga dan berkata, "Vannisa, kamu mungkin belum dengar, ya? Bos kami ternyata punya teman masa kecil yang dekat banget! Katanya hubungan mereka sudah terjalin dari lama dan kelihatannya cukup spesial juga!"Selesai berkata begitu, seolah ingin membuktikan ucapannya bukan sekedar gosip belaka, Oktavia dengan sigap membuka ponselnya. Dia menggulir layar cepat-cepat, lalu menunjukkan sebuah foto yang s

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 96

    Dia membuka bibir tipisnya dengan dingin berkata, "Aku sedang sangat sibuk. Kalau kamu tidak ada urusan penting, tolong segera pergi dari sini."Belum selesai berbicara, Riski sudah berbalik dan melangkah menuju kantornya dengan langkah pasti dan tegas, seolah tidak mau tinggal satu detik lebih lama.Namun, Siska tampak sama sekali tidak menyadari sikap dingin dan ketidaksabaran Riski. Dia dengan cepat mengejarnya.Wajahnya tersenyum cerah, mata indahnya berbentuk bulan sabit, dengan suara manja berkata, "Aih, tidak apa-apa kok! Aku cuma mau lihat kamu kerja sebentar saja, dan kita kan bisa makan siang bersama, kan?"Mendengar sikap penuh semangat dari Siska, hati Riski bukan malah tergerak, melainkan semakin merasa kesal.Riski benar-benar tidak mengerti mengapa wanita ini begitu gigih, padahal dia sudah berkali-kali menegaskan tidak ada hubungan asmara di antara mereka, tapi Siska terus tak mau menyerah.Saat itu, Riski hanya ingin segera bebas dari gangguan Siska, tapi Siska seolah-

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 95

    Siska duduk santai di sofa ruang tunggu, tampak sangat nyaman dan rileks.Wajah cantik dan menawan itu tersungging senyum tipis yang menawan hati.Para pengacara yang berlalu lalang tak bisa menahan diri untuk melirik penuh rasa ingin tahu, membisikkan dalam hati siapa gerangan wanita asing ini.Namun, di bawah tatapan semua orang, Siska tetap bersikap sangat alami dan familiar.Dia tampak seperti pelanggan tetap di sini, setiap gerak-geriknya memancarkan kepercayaan diri dan ketenangan yang khas.Bahkan membuat orang-orang seolah-olah berpikir bahwa dia adalah penguasa dari kantor pengacara ini.Tak lama kemudian, resepsionis dengan senyum ramah menghampiri, membawa secangkir kopi hangat yang mengepul dan menyerahkannya pada Siska.Dia menerima cangkir itu dengan lembut, menyeruput sedikit, lalu dengan ramah memberikan saran kepada resepsionis, "Hmm ... kopinya agak terlalu manis. Aku lebih suka setengah gula, dan kalau bisa diberi es batu, rasanya jadi lebih segar. Tolong perhatikan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status