Share

Bab 5

Author: Violen
Vannisa menghitung hari, masa jeda perceraian masih sekitar dua puluh hari lagi.

"Masih ada sekitar dua puluh hari, kamu juga tahu, pernikahan ini belum benar-benar berakhir."

Liliyana kembali bertanya dengan perhatian, "Mantan suamimu tidak akan mengganggumu, kan?"

Bagaimanapun, Vannisa dulu adalah putri kampus di universitas mereka.

Pria mana yang mau dengan mudah melepaskan wanita secantik ini?

Vannisa tersenyum sinis. “Dia tidak akan, malah dia berharap cepat-cepat cerai denganku."

Andrian sekarang hatinya hanya untuk Renisa, bagaimana mungkin dia peduli padanya?

"Kalau begitu bagus."

Liliyana adalah orang yang berhati-hati. Dia memberinya sebuah kartu nama dan berkata, "Tentu saja kalau kamu benar-benar mengalami masalah, jangan takut. Aku akan mengenalkan seorang teman, dia bekerja di kantor hukum terbaik di Kota Yale dan paling ahli menangani kasus perceraian. Dengan adanya dia di pihakmu, kamu pasti bisa keluar dengan selamat tanpa luka sedikit pun."

Meskipun Vannisa merasa mungkin tidak akan memakai jasa itu, dia tetap tersenyum dan menerima kartu nama itu. "Kalau begitu, terima kasih ya."

...

Saat Vannisa tiba di rumah, hari sudah malam.

Di pintu masuk terletak sepasang sepatu hak tinggi.

Sementara di sofa ada pakaian dan tas wanita.

Vannisa terdiam sejenak. Mendengar suara Renisa dari lantai atas, dia baru teringat Renisa sudah pindah ke rumah itu.

Sepertinya Renisa sudah keluar dari rumah sakit.

Dia pun naik ke lantai dua, tapi suara Renisa terdengar dari kamar utama.

Hatinya jadi sedikit tidak senang.

Meskipun dia berniat cerai dengan Andrian, kamar utama masih wilayahnya, Renisa malah seenaknya masuk kamar tidurnya, terlalu keterlaluan.

Dia pun membuka pintu dan melihat Renisa yang hanya membungkus tubuh dengan handuk, dan duduk di tempat tidurnya.

Sementara Andrian berjongkok di sebelah, mengoleskan salep di pergelangan kaki Renisa.

Vannisa merasa pemandangan itu menusuk mata, tapi dia menahan diri agar tidak langsung memaki.

Renisa yang melihatnya masuk langsung buru-buru menjelaskan, "Vannisa, tadi aku terpeleset di kamar mandi, jadi Kakak Andri membantuku ke sini untuk mengoleskan obat, kamu tidak keberatan, kan?"

Vannisa bertanya dengan dingin, "Kalau begitu, kenapa kamu ada di kamarku?"

Renisa tampak terkejut dengan nada tanya Vannisa, matanya mulai memerah, lalu berkata dengan penuh kesedihan, "Pancuran di kamarku tiba-tiba rusak, jadi aku pinjam kamar Kakak Andri. Kalau kamu keberatan, aku akan pergi sekarang."

Setelah berkata demikian, dia segera berdiri.

Namun karena luka di pergelangan kakinya, tubuhnya kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh.

Secara spontan, Andrian langsung meraih pinggangnya dan memeluknya.

Seluruh tubuh Renisa langsung menempel pada tubuhnya, matanya dipenuhi kepanikan.

Andrian menenangkan dengan lembut, "Jangan khawatir, ini hal kecil, Vannisa tidak akan keberatan."

Dia lalu mengalihkan tatapannya pada Vannisa, wajahnya berubah serius. "Kamu tadi bicara terlalu kasar, minta maaf sama Reni."

Vannisa merasa lucu.

Renisa berpakaian minim, duduk di tempat tidurnya, dan sekarang dipeluk oleh suami sahnya. Tapi saat Vannisa, sang istri sah bertanya satu kalimat, dia malah disuruh minta maaf.

Vannisa tidak ingin meladeninya, berbalik dan turun tangga.

"Vannisa!"

Melihat sikapnya seperti itu, Andrian tampak tidak senang dan langsung memanggilnya.

Vannisa menoleh, ekspresinya lebih dingin dan berkata, "Kalau aku tidak minta maaf bagaimana?"

Tatapan Andrian menjadi semakin dingin, nada suaranya mengeras. "Ini perintah, bukan tawaran."

Selama tiga tahun ini, dia selalu berbicara padanya dengan nada seperti itu.

Dulu dia selalu sabar menahan semuanya.

Sekarang, dia tak mau sabar lagi.

Lagipula, dia akan segera bercerai, kenapa harus takut?

Vannisa mengangkat dagunya dan menyindir, "Baiklah, aku minta maaf, sungguh menyesal telah memergoki kedekatan kalian. Memang, seorang istri yang baik harus menutup mata terhadap perselingkuhan suami dan selingkuhannya."

"Vannisa!" Napas Andrian tiba-tiba memburu, jelas terlihat sangat marah. "Kamu sedang ngomong ngawur apa sih?"

Tatapan Vannisa tertuju pada lengannya.

"Apa aku salah? Tangan Pak Andrian sekarang sedang berada di mana?"

Andrian baru sadar tangannya masih memeluk pinggang Renisa.

Renisa malah menangis seolah menanggung kesalahan besar dan berkata, "Ini semua salahku, Vannisa, jangan salah paham sama Kakak Andri, dan jangan bertengkar dengannya. Aku akan pindah keluar malam ini."

Setelah berkata begitu, dia terpincang-pincang berlari keluar.

Andrian hendak memarahi Vannisa lagi, tapi tiba-tiba terdengar teriakan Renisa.

Vannisa pun menoleh dan melihat Renisa jatuh dari tangga.

Andrian langsung panik dan mendorong Vannisa lalu berlari keluar

Vannisa terdorong olehnya hingga terjatuh keras ke lantai, luka di lengannya mulai terasa nyeri lagi.

"Reni, kamu tidak apa-apa?"

Suara Andrian yang penuh kecemasan terdengar.

Lalu, terdengar suara pintu depan dibuka lalu ditutup.

Vannisa hanya bisa tersenyum sinis.

Sepertinya malam ini Andrian akan menemani Renisa di rumah sakit lagi.

Dia mengganti seprai tempat tidur dan membuangnya ke tempat sampah.

Barang-barang yang pernah di pakai oleh wanita itu, yang sok polos tapi licik, membuatnya jijik.

Setelah semuanya beres, Andrian mengiriminya pesan lewat WhatsApp: [Pergi ke kamar Reni, ambil dua setelan pakaian bersih dan bawa ke sini.]

Vannisa pura-pura tidak melihat, mengabaikan, dan mematikan ponsel.

Setelah mandi, dia berbaring di seprai baru, tak memikirkan lagi soal Andrian dan Renisa, dan segera tertidur.

...

Keesokan harinya, asisten Andrian datang dan bicara dengan nada hati-hati, "Ibu, Pak Andrian suruh aku ambil dua setelan pakaian milik Nona Renisa."

Vannisa menunjuk kamar di lantai dua. "Itu kamar Nona Renisa."

Asisten itu cepat keluar membawa pakaian, lalu ragu-ragu berkata, "Pak Andrian juga bilang, minta Ibu ikut ke sana untuk merawat Nona Renisa ... "

Ucapan itu membuatnya merasa agak bersalah.

Tapi Vannisa terus makan roti panggang keju telur, tak memedulikannya.

Asisten yang diabaikan itu merasa sedikit tersinggung, tapi memang tak bisa berbuat apa-apa terhadap Nyonya.

Dulu Nyonya mau melakukan apa saja untuk Direktur Andrian.

Tapi sekarang, Nyonya tampaknya tidak ingin peduli lagi.

Sebenarnya, dia juga merasa Direktur Andrian keterlaluan, bagaimana bisa menyuruh Nyonya merawat selingkuhannya ...

Dia pun tidak berkata apa-apa lagi dan segera pamit pergi.

Setelah Vannisa makan sarapan, dia pun membeli beberapa kebutuhan sehari-hari secara online, dan dikirim ke rumah barunya.

Baru saja selesai belanja, panggilan WhatsApp dari Andrian masuk.

Begitu tersambung, suara makiannya langsung terdengar.

"Vannisa, kamu jangan terlalu kelewatan! Kamu sudah bikin Reni terluka, jadi kamu harus ke rumah sakit minta maaf dan rawat dia!"

Vannisa dengan sinis berkata, "Dia jatuh sendiri, apa urusanku? Kalau aku nggak pergi, bagaimana?"

Andrian semakin marah.

Dulu Vannisa selalu patuh dan menurut padanya, belum pernah begitu membangkang seperti ini.

Dia menggeram dengan penuh amarah, "Vannisa, jangan lupa siapa yang membiayaimu! Apa pun yang kuminta, kamu harus melakukannya!"

Vannisa juga marah.

Dia sudah melakukan begitu banyak untuknya, bahkan membantu Andrian bangkit kembali, tapi sekarang pria itu malah menghina dia dengan kalimat itu.

Dia tidak ingin berbicara dengan Andrian lagi, langsung menutup panggilan Whatsappnya dan memblokirnya.

Dulu, saat Andrian memblokir nomor teleponnya, hatinya terasa sangat sesak, dan dia sulit tidur selama beberapa malam karena sedih.

Sekarang setelah memblokir WhatsApp Andrian, dia malah merasa lega dan tenang di hati.

Tak lama kemudian, asisten Andrian menelepon lagi.

Vannisa langsung blokir dan mematikan ponsel.

Akhirnya dunia terasa tenang.

Mengingat nanti harus pergi bekerja, dia berencana membeli beberapa set pakaian dan sepatu yang cocok.

Lalu dia pergi ke mal.

Setiap bulan, Andrian memberikan biaya hidup sebesar enam puluh juta dan uang jajan sepuluh juta sesuai permintaannya.

Jika perlu menemani Andrian menghadiri acara penting, dia harus mengajukan biaya tambahan untuk membeli pakaian.

Sementara tas bermerek dan perhiasan di lemari pakaian itu hanya bisa dia pakai, tapi bukan miliknya.

Biaya hidupnya, setelah dipakai untuk beli sayur dan kebutuhan sehari-hari, masih tersisa sedikit.

Selama tiga tahun ini dia juga sudah menabung, dan jumlahnya kira-kira ada satu miliar rupiah.

Setiap uang yang Andrian keluarkan untuknya selalu dihitung dengan sangat ketat.

Tapi itu bahkan tidak sebanding dengan sebagian kecil uang yang dia keluarkan untuk membeli satu tas untuk Renisa.

Setiap kali meminta uang darinya, Vannisa merasa malu.

Namun, Andrian sama sekali tak peduli perasaannya.

Perbuatannya selalu membuat Vannisa sangat jelas menyadari bahwa dia tidak mencintainya.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 100

    Setelah berkata begitu, dia dengan genit mengedipkan mata pada Riski.Oktavia berdiri di sebelah dengan tangan disilangkan, memandang adegan di depan mata dengan penuh minat. Sudut bibirnya terangkat sedikit, memperlihatkan ekspresi setengah tersenyum dan setengah menyembunyikan sesuatu.'Aku memang pintar sekali, haha.'Liliyana memang jago dalam hal menjalin kedekatan.Apalagi Heriyanto benar-benar hebat, sampai bisa mengajak bos yang biasanya sibuk itu ikut datang.Siska mengedipkan sepasang matanya yang besar dan bening, dengan penuh rasa ingin tahu menatap Riski, lalu dengan suara manja bertanya, "Kakak Riski, apakah mereka ini teman-temanmu?"Sambil berkata begitu, pandangannya tak sengaja tertuju pada Vannisa yang berdiri di sebelah Liliyana, lalu mulai mengamati dari atas ke bawah.Tak bisa dipungkiri, di antara ketiga wanita itu, Vannisa memang paling menonjol. Wajahnya yang halus, aura lembut yang kuat, seperti bunga camellia yang kokoh membuat Siska merasakan ancaman yang be

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 99

    Heriyanto seolah-olah tidak menangkap isyarat dari Riski, malah tersenyum ramah dan menyapa Siska dengan nada riang, "Siska ya? Sudah bertahun-tahun berlalu, tapi matamu tetap cuma bisa melihat Riski yang pendiam ini. Aku sungguh tak mengerti, apa sih yang begitu menarik darinya sampai kamu segitunya jatuh hati?"Mendengar itu, pipi Siska langsung memerah malu. Dia segera mencubit lengan Heriyanto dengan manja dan berkata, "Kakak Heriyanto ... "Lalu seolah ingin segera membela Riski, dia buru-buru berkata, "Kakak Riski itu bukan pendiam!"Nada suaranya penuh rasa kagum dan pembelaan terhadap Riski.Heriyanto hanya tersenyum kecil lalu menambahkan, "Karena kamu sudah datang, biar Riski traktir kita makan siang, bagaimana?"Tentu saja Siska langsung mengangguk manis dan tersenyum ceria ke arah Riski.Namun, wajah Riski yang berdiri di samping mereka justru tampak tak begitu senang.Baru saja dia berharap Heriyanto bisa membantunya mengusir Siska, tapi tak disangka Heriyanto malah mengaj

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 98

    Berpikir sampai di situ, Vannisa tak bisa menahan untuk menghela napas pelan, dalam hati bertanya-tanya bagaimana cara terbaik menghadapi situasi rumit yang ada di depan matanya ... Saat itulah, Oktavia tak bisa menahan diri untuk mengedipkan mata.Oktavia diam-diam mengeluarkan ponselnya, lalu mengambil foto Vannisa yang sedang menghela napas dengan wajah penuh kesedihan dari samping.Kemudian, dengan cekatan dia menyentuh layar ponsel dan mengirimkan foto itu kepada Heriyanto.Belakangan ini, Heriyanto sering berkunjung ke kantor pengacara itu. Karena sifatnya yang ramah, ceria, dan humoris, dia cepat akrab dengan para pengacara di sana. Selain itu, dia juga dengan cepat tahu kalau Oktavia dan Vannisa adalah sahabat.Mendengar ini, Heriyanto pun punya ide. Dia ingin membantu Riski, adiknya yang pendiam untuk mendapatkan hati wanita.Setelah mendengar permintaan Heriyanto, Oktavia langsung setuju. Bos mereka di kantor hukum yang dijuluki Jomblo Abadi itu sebenarnya orang baik, dan V

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 97

    Pagi itu, Vannisa dan Liliyana sudah datang lebih awal ke studio untuk merapikan beberapa barang.Studio mereka berada di gedung yang sama dengan Kantor Pengacara Gemilang Mitra. Oleh karena itu, Liliyana pun mengajak Oktavia untuk makan siang bersama.Tak lama kemudian, Oktavia pun datang sesuai janji. Ketiganya pergi ke sebuah restoran yang nyaman dan memiliki suasana yang tenang tak jauh dari gedung kantor.Saat sedang makan, pandangan Oktavia beberapa kali jatuh pada Vannisa. Wajahnya tampak ragu, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi masih menimbang-nimbang.Akhirnya, dia membuka suara juga dan berkata, "Vannisa, kamu mungkin belum dengar, ya? Bos kami ternyata punya teman masa kecil yang dekat banget! Katanya hubungan mereka sudah terjalin dari lama dan kelihatannya cukup spesial juga!"Selesai berkata begitu, seolah ingin membuktikan ucapannya bukan sekedar gosip belaka, Oktavia dengan sigap membuka ponselnya. Dia menggulir layar cepat-cepat, lalu menunjukkan sebuah foto yang s

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 96

    Dia membuka bibir tipisnya dengan dingin berkata, "Aku sedang sangat sibuk. Kalau kamu tidak ada urusan penting, tolong segera pergi dari sini."Belum selesai berbicara, Riski sudah berbalik dan melangkah menuju kantornya dengan langkah pasti dan tegas, seolah tidak mau tinggal satu detik lebih lama.Namun, Siska tampak sama sekali tidak menyadari sikap dingin dan ketidaksabaran Riski. Dia dengan cepat mengejarnya.Wajahnya tersenyum cerah, mata indahnya berbentuk bulan sabit, dengan suara manja berkata, "Aih, tidak apa-apa kok! Aku cuma mau lihat kamu kerja sebentar saja, dan kita kan bisa makan siang bersama, kan?"Mendengar sikap penuh semangat dari Siska, hati Riski bukan malah tergerak, melainkan semakin merasa kesal.Riski benar-benar tidak mengerti mengapa wanita ini begitu gigih, padahal dia sudah berkali-kali menegaskan tidak ada hubungan asmara di antara mereka, tapi Siska terus tak mau menyerah.Saat itu, Riski hanya ingin segera bebas dari gangguan Siska, tapi Siska seolah-

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 95

    Siska duduk santai di sofa ruang tunggu, tampak sangat nyaman dan rileks.Wajah cantik dan menawan itu tersungging senyum tipis yang menawan hati.Para pengacara yang berlalu lalang tak bisa menahan diri untuk melirik penuh rasa ingin tahu, membisikkan dalam hati siapa gerangan wanita asing ini.Namun, di bawah tatapan semua orang, Siska tetap bersikap sangat alami dan familiar.Dia tampak seperti pelanggan tetap di sini, setiap gerak-geriknya memancarkan kepercayaan diri dan ketenangan yang khas.Bahkan membuat orang-orang seolah-olah berpikir bahwa dia adalah penguasa dari kantor pengacara ini.Tak lama kemudian, resepsionis dengan senyum ramah menghampiri, membawa secangkir kopi hangat yang mengepul dan menyerahkannya pada Siska.Dia menerima cangkir itu dengan lembut, menyeruput sedikit, lalu dengan ramah memberikan saran kepada resepsionis, "Hmm ... kopinya agak terlalu manis. Aku lebih suka setengah gula, dan kalau bisa diberi es batu, rasanya jadi lebih segar. Tolong perhatikan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status