Share

Bab 3

Author: Violen
Fika sedang berbincang dengan orang Keluarga Lukman, sementara dia sendiri tak bisa ikut dalam percakapan itu, jadi dia pun berjalan-jalan ke taman untuk menghirup udara segar.

Keluarga Lukman juga merupakan salah satu keluarga terpandang di Kota Yale, dan taman mereka sangat luas.

Dia merasa agak lelah setelah berjalan cukup jauh, lalu melihat sebuah ayunan dan duduk di atasnya.

Tiba-tiba, dia menyadari ada sebaris tulisan kecil terukir di pagar dekat ayunan.

[Andrian dan Renisa akan bersama selamanya.]

Tulisan itu terlihat kekanak-kanakan, sepertinya diukir oleh anak kecil.

Dia teringat bahwa Andrian dan Renisa adalah teman masa kecil, dan saat kecil mereka pasti sering bermain ke rumah Keluarga Lukman. Jadi, meninggalkan jejak seperti ini bukanlah hal yang aneh.

Saat dia hendak pergi, tiba-tiba terdengar suara Andrian dan Renisa dari arah depan.

"Kakak Andri, rumahku mau direnovasi, aku nggak mau pulang dan dengar omelan orang tuaku, boleh nggak aku tinggal sementara di tempatmu dulu?"

Suara Andrian terdengar lembut, "Tentu saja boleh, kamar kamu dari dulu sampai sekarang, selalu aku siapkan."

Vannisa secara refleks menggenggam erat tali ayunan.

Di vila tempat dia tinggal bersama dengan Andrian, ada satu kamar tamu yang paling besar dan terang.

Pembantu membersihkan kamar itu setiap hari, dan seprai tempat tidurnya diganti setiap beberapa hari sekali.

Awalnya dia sangat penasaran, kenapa kamar tamu itu sering dibersihkan padahal tak pernah ada yang tinggal di sana.

Baru sekarang dia tahu, ternyata kamar tamu itu memang khusus disediakan oleh Andrian untuk Renisa.

...

Setelah pemakaman selesai, Vannisa berjalan di belakang Andrian.

Tapi Andrian diam-diam menatap ponselnya, sama sekali tidak berniat bicara dengannya.

Vannisa juga tidak tertarik membalas sikap dinginnya. Saat ini, dia hanya tetap berada di sisinya karena terikat kontrak saja.

Saat ini Renisa mengejar dari belakang dan dengan sangat natural merangkul lengan Andrian.

"Kakak Andri, kita ke rumahku ambil barang dulu, ya?"

Andrian mengangguk, seolah baru teringat dia harus memberi tahu Vannisa tentang hal ini.

"Vannisa, Renisa akan tinggal di rumah kita untuk sementara, toh kamu juga nggak ada kerjaan, jadi jagain dia yang baik, ya."

Nada bicaranya bukan seperti orang yang sedang meminta pendapat, melainkan memberi perintah.

Dia tahu, di mata suaminya, dirinya sebagai istri tak ada bedanya dengan seorang pembantu.

Lagipula, mereka akan segera bercerai, Vannisa pun tidak berniat berdebat sengit dengannya soal apakah hal ini masuk akal atau tidak.

Dengan wajah yang sangat tenang, dia berkata, "Baik."

Mungkin karena dia menyetujuinya terlalu cepat, Andrian merasa aneh dan tak bisa menahan diri untuk mengangkat kepala dan menatapnya.

Dia tak pernah menutupi soal pertemuannya dengan Renisa.

Dulu, setiap kali dia pulang dari Negara Gordon, dia selalu bisa merasakan suasana hati istrinya yang murung.

Namun kali ini, raut wajahnya tampak tenang, seolah tak terpengaruh sedikit pun.

Tiba-tiba, dia merasa sedikit kesal.

Sesampainya di area parkir, Andrian membuka pintu kursi penumpang depan dan membiarkan Renisa masuk.

Vannisa duduk di bagian belakang, baru saja hendak membuka pintu bagasi, tiba-tiba mendengar Andrian berkata, "Aku akan pergi ke rumah Reni dulu, jalannya nggak searah, kamu naik taksi sendiri saja.

Vila Keluarga Lukman berada di atas bukit, cukup sulit untuk mendapatkan taksi dari sana.

Namun Andrian bersikap seolah tak tahu, dan langsung pergi bersama Renisa.

Vannisa pun berdiri di atas bukit, terkena angin dingin lebih dari satu jam. Akhirnya, dia harus mengeluarkan biaya tambahan empat ratus ribu rupiah agar ada sopir yang mau menerima pesanan dan mengantarnya turun bukit.

Saat sampai di rumah, dia merasa sangat lapar dan kelelahan.

Namun di meja makan, suasananya justru hangat dan penuh kebahagiaan.

Andrian, Renisa, dan Sinti sedang menikmati sup daging.

Sinti dengan wajah kesal berkata, "Vannisa kamu ke mana, kenapa baru pulang sekarang? Di rumah nggak ada yang masak, jadi kita terpaksa makan sup daging."

Andrian baru saja menaruh irisan daging sapi ke dalam mangkuk Renisa, lalu menoleh dan berkata, "Saus racikan Bibi Hana rasanya aneh, tolong kamu ke dapur dan buat yang baru."

Hana memandangnya dengan sedikit rasa bersalah.

Hana sebenarnya adalah juru masak di rumah, tapi karena Andrian tidak pernah suka dengan masakannya, sekarang dia hanya bertugas membersihkan rumah.

Karena Vannisa tiba-tiba tidak ada di rumah, Hana tidak tahu selera Andrian, jadi masakan yang dibuatnya tak disukai Andrian. Makanya terpaksa mengikuti perintah Andrian, menggantinya dengan sup ikan.

Hana baik kepada Vannisa, jadi Vannisa tak ingin menyusahkan dia. Dia pun masuk ke dalam rumah untuk menyiapkan saus.

Baru saja meletakkan saus, Sinti langsung kembali memerintah, "Vannisa, buatkan bakso untuk kami, yang dijual di luar nggak enak, semuanya seperti pakai banyak pengawet."

Vannisa yang sudah kelelahan dan kelaparan, tentu tak sanggup membuat bakso.

Dia langsung duduk dan memasukkan semua kentang serta bakso daging sapi dan bakso cumi yang sudah direbus ke dalam mangkuknya sendiri.

Sinti melihat dia tidak pergi ke dapur membantu, malah memakan semua bakso yang sudah dimasak, dengan marah berkata, "Vannisa, kamu ini kenapa? Kamu nggak paham apa yang aku katakan?"

Vannisa mengunyah satu butir bakso dan dengan santai menjawab, "Ini semua sudah pakai banyak pengawet, aku bantu habiskan duluan. Mengenai kamu minta aku buat bakso sendiri, hari ini sepertinya tidak bisa, bahan di rumah kurang, atau kamu keluar beli saja?"

Sinti sampai tersedak karena kesal, lalu menoleh ke arah Andrian, bersiap untuk mengadu.

Namun Andrian memotong ucapannya, "Kalau nggak mau makan, pesan sendiri saja."

Biasanya kalau Vannisa dan Sinti bertengkar, Andrian selalu membela adiknya.

Namun karena hari ini Vannisa setuju membiarkan Renisa tinggal di rumah, Andrian merasa dia sudah cukup pengertian, jadi tidak berniat membela adiknya.

Sinti merasa dipermalukan, lalu dengan kesal menggigit sepotong daging sapi.

Vannisa tentu saja tidak percaya Andrian begitu baik hati membelanya. Ternyata benar, di detik berikutnya, dia mendengar Andrian berkata, "Renisa suka bubur sumsum. Bubur itu agak merepotkan, jadi besok pagi bangunlah lebih awal untuk menyiapkannya."

Vannisa menggenggam sumpitnya erat, tatapannya tanpa sadar menjadi lebih dingin.

Di dalam hatinya, Renisa jelas jauh lebih penting daripada Sinti.

Dia boleh menolak melayani Sinti, tapi tidak bisa menolak melayani Renisa.

Vannisa pun hanya bisa tersenyum tipis. "Baiklah."

Dia bisa setuju.

Tapi soal enak atau tidaknya, dia tidak bisa menjamin.

Renisa tersenyum manis kepada Vannisa. "Kalau begitu, maaf merepotkan Vannisa ya."

Vannisa tidak berkata apa-apa, hanya makan bakso di mangkuknya sendiri.

Karena semua bakso sudah diambil Vannisa, Sinti tidak mendapatkan satu pun, hatinya jadi sangat marah.

Dia menunggu tepat saat Vannisa berdiri, lalu dengan sengaja mendorong panci yang panas itu menggunakan sumpit ...

Kuah yang sangat panas langsung tersiram ke arah Vannisa.

Vannisa menghindar ke samping, tapi lengannya tetap terkena luka bakar. Rasa sakit yang menusuk segera menyebar dari lengan ke seluruh tubuhnya.

Wajahnya seketika menjadi pucat, dan keringat dingin mulai membasahi dahinya.

Sementara Andrian malah tidak menatapnya, justru dengan wajah cemas menatap ke arah Renisa.

Beberapa tetes kuah juga menyentuh tangan Renisa, hingga tangannya memerah sedikit.

"Aku antar kamu ke rumah sakit!"

Dia segera mengangkat Renisa dan keluar rumah.

Sinti dengan penuh puas melirik Vannisa, lalu ikut pergi.

Di sisi lain, Hana cepat-cepat menghampiri dan membantu Vannisa berdiri.

Setelah menggulung lengan baju, deretan lepuhan kecil yang memenuhi kulit membuat mata Hana memerah karena iba.

"Nyonya ... "

Vannisa kesakitan sampai terengah-engah, "Aku tidak apa-apa, Bibi Hana, kamu tidak perlu khawatir."

Akhirnya, Hana memanggil taksi untuk mengantar Vannisa ke rumah sakit pribadi milik investasi Perusahaan Farhan.

Dokter menangani lukanya Vannisa, kemudian memerintahkan perawat untuk memasang infus padanya.

Vannisa tahu Hana masih harus pulang malam ini untuk menjaga cucunya di rumah, jadi Vannisa menyuruhnya pulang lebih dulu.

Dia pun duduk di bangku sambil terlelap, dan baru sadar infusnya selesai ketika perawat datang mengingatkan.

Dia mengambil tasnya dan bersiap pergi, tapi tiba-tiba dia mendengar dua perawat di samping sedang berdiskusi.

"Dengar-dengar lantai VIP di atas semuanya disewa oleh Pak Andrian, agar Nona Renisa bisa mendapat ketenangan malam ini dan beristirahat dengan baik."

"Padahal cuma luka luar sedikit, kalau bukan karena cepat datang, lukanya bahkan sudah hampir hilang, apa benar sampai layak sewa satu lantai rumah sakit?"

Langkah Vannisa terhenti sejenak.

Dia melihat lengannya yang terluka, seketika merasa sangat lucu.

Setibanya di vila, dia langsung mencuci muka dan tidur.

...

Keesokan paginya, dia dibangunkan oleh Andrian.

Dengan mata masih setengah mengantuk, dia memandangnya bingung dan berkata, "Ada apa?"

Andrian dengan wajah dingin, aura kesalnya terpancar kuat dan berkata, "Bukankah aku suruh kamu bangun lebih awal untuk menyiapkan bubur sumsum, buburnya mana?"
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 100

    Setelah berkata begitu, dia dengan genit mengedipkan mata pada Riski.Oktavia berdiri di sebelah dengan tangan disilangkan, memandang adegan di depan mata dengan penuh minat. Sudut bibirnya terangkat sedikit, memperlihatkan ekspresi setengah tersenyum dan setengah menyembunyikan sesuatu.'Aku memang pintar sekali, haha.'Liliyana memang jago dalam hal menjalin kedekatan.Apalagi Heriyanto benar-benar hebat, sampai bisa mengajak bos yang biasanya sibuk itu ikut datang.Siska mengedipkan sepasang matanya yang besar dan bening, dengan penuh rasa ingin tahu menatap Riski, lalu dengan suara manja bertanya, "Kakak Riski, apakah mereka ini teman-temanmu?"Sambil berkata begitu, pandangannya tak sengaja tertuju pada Vannisa yang berdiri di sebelah Liliyana, lalu mulai mengamati dari atas ke bawah.Tak bisa dipungkiri, di antara ketiga wanita itu, Vannisa memang paling menonjol. Wajahnya yang halus, aura lembut yang kuat, seperti bunga camellia yang kokoh membuat Siska merasakan ancaman yang be

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 99

    Heriyanto seolah-olah tidak menangkap isyarat dari Riski, malah tersenyum ramah dan menyapa Siska dengan nada riang, "Siska ya? Sudah bertahun-tahun berlalu, tapi matamu tetap cuma bisa melihat Riski yang pendiam ini. Aku sungguh tak mengerti, apa sih yang begitu menarik darinya sampai kamu segitunya jatuh hati?"Mendengar itu, pipi Siska langsung memerah malu. Dia segera mencubit lengan Heriyanto dengan manja dan berkata, "Kakak Heriyanto ... "Lalu seolah ingin segera membela Riski, dia buru-buru berkata, "Kakak Riski itu bukan pendiam!"Nada suaranya penuh rasa kagum dan pembelaan terhadap Riski.Heriyanto hanya tersenyum kecil lalu menambahkan, "Karena kamu sudah datang, biar Riski traktir kita makan siang, bagaimana?"Tentu saja Siska langsung mengangguk manis dan tersenyum ceria ke arah Riski.Namun, wajah Riski yang berdiri di samping mereka justru tampak tak begitu senang.Baru saja dia berharap Heriyanto bisa membantunya mengusir Siska, tapi tak disangka Heriyanto malah mengaj

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 98

    Berpikir sampai di situ, Vannisa tak bisa menahan untuk menghela napas pelan, dalam hati bertanya-tanya bagaimana cara terbaik menghadapi situasi rumit yang ada di depan matanya ... Saat itulah, Oktavia tak bisa menahan diri untuk mengedipkan mata.Oktavia diam-diam mengeluarkan ponselnya, lalu mengambil foto Vannisa yang sedang menghela napas dengan wajah penuh kesedihan dari samping.Kemudian, dengan cekatan dia menyentuh layar ponsel dan mengirimkan foto itu kepada Heriyanto.Belakangan ini, Heriyanto sering berkunjung ke kantor pengacara itu. Karena sifatnya yang ramah, ceria, dan humoris, dia cepat akrab dengan para pengacara di sana. Selain itu, dia juga dengan cepat tahu kalau Oktavia dan Vannisa adalah sahabat.Mendengar ini, Heriyanto pun punya ide. Dia ingin membantu Riski, adiknya yang pendiam untuk mendapatkan hati wanita.Setelah mendengar permintaan Heriyanto, Oktavia langsung setuju. Bos mereka di kantor hukum yang dijuluki Jomblo Abadi itu sebenarnya orang baik, dan V

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 97

    Pagi itu, Vannisa dan Liliyana sudah datang lebih awal ke studio untuk merapikan beberapa barang.Studio mereka berada di gedung yang sama dengan Kantor Pengacara Gemilang Mitra. Oleh karena itu, Liliyana pun mengajak Oktavia untuk makan siang bersama.Tak lama kemudian, Oktavia pun datang sesuai janji. Ketiganya pergi ke sebuah restoran yang nyaman dan memiliki suasana yang tenang tak jauh dari gedung kantor.Saat sedang makan, pandangan Oktavia beberapa kali jatuh pada Vannisa. Wajahnya tampak ragu, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi masih menimbang-nimbang.Akhirnya, dia membuka suara juga dan berkata, "Vannisa, kamu mungkin belum dengar, ya? Bos kami ternyata punya teman masa kecil yang dekat banget! Katanya hubungan mereka sudah terjalin dari lama dan kelihatannya cukup spesial juga!"Selesai berkata begitu, seolah ingin membuktikan ucapannya bukan sekedar gosip belaka, Oktavia dengan sigap membuka ponselnya. Dia menggulir layar cepat-cepat, lalu menunjukkan sebuah foto yang s

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 96

    Dia membuka bibir tipisnya dengan dingin berkata, "Aku sedang sangat sibuk. Kalau kamu tidak ada urusan penting, tolong segera pergi dari sini."Belum selesai berbicara, Riski sudah berbalik dan melangkah menuju kantornya dengan langkah pasti dan tegas, seolah tidak mau tinggal satu detik lebih lama.Namun, Siska tampak sama sekali tidak menyadari sikap dingin dan ketidaksabaran Riski. Dia dengan cepat mengejarnya.Wajahnya tersenyum cerah, mata indahnya berbentuk bulan sabit, dengan suara manja berkata, "Aih, tidak apa-apa kok! Aku cuma mau lihat kamu kerja sebentar saja, dan kita kan bisa makan siang bersama, kan?"Mendengar sikap penuh semangat dari Siska, hati Riski bukan malah tergerak, melainkan semakin merasa kesal.Riski benar-benar tidak mengerti mengapa wanita ini begitu gigih, padahal dia sudah berkali-kali menegaskan tidak ada hubungan asmara di antara mereka, tapi Siska terus tak mau menyerah.Saat itu, Riski hanya ingin segera bebas dari gangguan Siska, tapi Siska seolah-

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 95

    Siska duduk santai di sofa ruang tunggu, tampak sangat nyaman dan rileks.Wajah cantik dan menawan itu tersungging senyum tipis yang menawan hati.Para pengacara yang berlalu lalang tak bisa menahan diri untuk melirik penuh rasa ingin tahu, membisikkan dalam hati siapa gerangan wanita asing ini.Namun, di bawah tatapan semua orang, Siska tetap bersikap sangat alami dan familiar.Dia tampak seperti pelanggan tetap di sini, setiap gerak-geriknya memancarkan kepercayaan diri dan ketenangan yang khas.Bahkan membuat orang-orang seolah-olah berpikir bahwa dia adalah penguasa dari kantor pengacara ini.Tak lama kemudian, resepsionis dengan senyum ramah menghampiri, membawa secangkir kopi hangat yang mengepul dan menyerahkannya pada Siska.Dia menerima cangkir itu dengan lembut, menyeruput sedikit, lalu dengan ramah memberikan saran kepada resepsionis, "Hmm ... kopinya agak terlalu manis. Aku lebih suka setengah gula, dan kalau bisa diberi es batu, rasanya jadi lebih segar. Tolong perhatikan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status