~••°••~
Malam ini, kami berkumpul semua. Aku, Emak, Kak Kasih dan suaminya, Aldo dan Rafif—anak Kak Kasih. Suka cita lebur, menyantap goreng ayam balado ditambah nasi hangat. Tidak lupa sayur pucuk daun singkong.Masakan Emak tidak pernah mengecewakan. Selalu menjadi masakan terenak dalam versi apa pun itu. Apalagi menikmatinya dengan hati gembira begini.Secercah kenangan masa lalu, melintas dalam kepala. Ingatan tentang Bapak berpendar di sana. Berduyun-duyun menjadi genangan air mata yang siap terserak.Dahulu, jika Emak masak ayam begini, bapak selalu berpesan agar disisakan hatinya untuk beliau. Lauknya tidak begitu disukai. Bapak lebih memilih ceker, ujung sayap, leher, kepala, dan hatinya."Rin?" tegur Emak. Sepertinya beliau menyadari aku yang mendadak sedih.Tidak kujawab, karena jika satu kata lepas keluar, air mataku juga akan berhamburan bersamanya. Sebaris senyum aku berikan pada Emak. Kak Kasih juga menatap lama ke arahku."Bawang punya Pak RT banyak busuknya, Mak. Agak sulit dibersihkan. Jadi, aku lapor kepada beliau. Dari yang awalnya upah seribu perkilo, beliau naikkan jadi dua ribu. Memang memakan waktu pengerjaannya." Kak Kasih membuka pembicaraan."Sama dengan bawang yang di sini, punya Pak Rinto. Itu bukan busuk, Kasih. Bawang itu belum waktunya dipanen. Karena cuaca buruk, dari pada busuk semua, mending panen dini. Setidaknya separoh masih bisa diselamatkan."Aku tahu, Kak Kasih membahas ini hanya ingin mengalihkan topik. Padahal sebenarnya ada tangis yang ia tahan. Aku tahu itu, suaranya timbul tenggelam dan bergetar."Kapan ke Padang, Rin?" Bang Doni, suami Kak Kasih kini yang bertanya."Belum tahu, Bang. Masih lama waktunya, sampai akhir bulan depan.""Itu nanti ngapain ke Padang, Rin?" sela Emak."Istilahnya registrasi, Mak. Nggak perlu ke Padang, bisa lewat online. Tapi ....""Ada apa?"Seakan-akan semua kalimat yang ingin aku katakan, tercekat di tenggorokan. Aku menjadi orang yang dilanda banyak ketakutan. Demi Emak, demi Kak Kasih, demi keluarga ini, semua demi mereka. Jika itu berurusan soal uang, tiba-tiba keberanian menguap hilang entah kemana."Soal ijazah ya, Rin?" tebak Emak, aku menunduk."Besok jemput ke sekolah, ya.""Tapi, Mak. Tunggakan uang sekolah banyak. Hampir satu juta.""Sudah, nggak usah memusingkan itu. Sudah Emak bilang, 'kan? Urusan uang itu tugas Emak."Jika sudah keluar kalimat itu, aku tidak bisa berkata lagi. Emak, lelah dan letih nyata bergelayut di matanya. Tetapi, tidak kudengar mulutnya berkeluh barang sekali pun.Selesai makan bersama, aku dan Kak Kasih membereskan kembali hidangan. Membawa piring kotor ke dapur. Menyimpan nasi dan lauk ke bawah tudung. Barulah berkumpul lagi di ruang tengah."Ini, ambil, Rin!" Bang Doni menyerahkan tiga lembar uang pecahan seratus ribu. "Untuk tambah-tambah penebus ijazah esok.""Tapi, Bang ....""Ambillah, Rindu! Kakak dan Abang tidak bisa membantu banyak, barangkali yang sedikit ini menjadi penolong juga." Kak Kasih yang menjawab. Aku menerima pemberian Bang Doni dengan dada berdegup keras. Rasa haru itu menyusup sampai ke dasar hati."Aldo kalau besar nanti mau seperti Ateu Rindu juga, Ma. Jadi dokter, kalau Nenek sakit biar Aldo yang obatin. Boleh ya, Ma?"Semua orang tertawa mendengar ocehan mulut anak kecil berumur tujuh itu. Apalagi aku, dia menggemaskan, tapi juga mendatangkan titik bening di mata ini."Boleh, Mama usahakan cita-cita Aldo terwujud."~••°••~Selesai salat Subuh, aku langsung mengumpulkan baju-baju kotor. Semuanya direndam dalam baskom besar. Nanti jika sudah agak terang, barulah aku mencucinya. Karena kamar mandi kami terpisah dari rumah. Itu merupakan sumur yang sekelilingnya diberi sekat pakai terpal. Supaya kalau mandi tidak ada yang melihat.Emak sudah menyapu, aku bagian mengumpulkan piring dan membawanya juga ke sumur. Perlahan mulai terbit matahari. Meski udara dingin di kampung ini, kami sudah terbiasa bangun sebelum Subuh. Setelah menunaikan ibadah wajib dua rakaat, tidak boleh tidur lagi. Bapak dulu begitu keras menanamkan kedisplinan ini untukku dan Kak Kasih.Tidur setelah Subuh itu pamali, demikian kata beliau dulu."Rindu, sebentar lagi Emak ke rumah Pak Rinto mengantarkan bawang-bawang ini, ya. Kamu bisa masak nasi goreng bawang dulu kalau mau. Eh tapi masih ada sisa lauk semalam. Kalau malas masak nasi goreng, makan itu saja dulu." Emak berkata sambil merapikan kain sampingnya."Kok tumben Emak yang antar? Biasanya 'kan anak-anak buah Pak Rinto yang jemput pakai gerobak motor. Itu berat loh, Mak."Emak hanya tersenyum. Lalu berjalan ke depan dan menaikkan karung berisi bawang ke atas gerobak dorong. Sebelum pergi, Emak menyapu sisa-sisa daun bawang yang berserakan."Mak, Rindu saja yang dorong.""Jangan, kamu di rumah aja. Cuci piringnya segera, nanti dijilat anjing kalau ditinggal kelamaan."Belum sempat aku menjawab, Emak sudah mulai berjalan mendorong gerobak. Cemas sekali rasanya melihat Emak begitu payah menahan agar gerobaknya yang datt tetap seimbang. Aku buru-buru ke belakang, membawa piring yang kotor tadi ke dapur. Menutup rapat pintu.Setengah berlari menyusul Emak. Di perjalanan beliau berdiri berkacak pinggang dengan napas terengah-engah. Naik turun bahu Emak mengatur napas."Mak.""Loh, kok kamu nyusul Emak?""Rindu tahu Emak akan kepayahan. Sini biar Rindu saja yang mendorong."Kusambar cepat pegangan gerobak. Mulai mendorong menuju rumah Pak Rinto. Di rumah masih ada dua karung lagi untuk dijemput. Secepatnya aku berjalan, meninggalkan Emak beberapa langkah di belakang."Astaghfirullah, Rindu!" seru Pak Rinto melihat aku datang bercucuran keringat."Sudah, sudah. Biarkan di sana, biar nanti dijemput saja ya. Kasihan kamu, Nak." Pak Rinto membawaku duduk di bangku."Apa halnya pagi-pagi kamu datang mendorong gerobak begini, Rindu?" tanya beliau.Setelah mengatur napas agar lebih tenang, "Rindu cuma bantu Emak, Pak.""Mana Emakmu, Nak?" Lelaki yang kepalanya sudah memutih sempurna itu celingak-celinguk mencari keberadaan Emak."Itu," jawabku menaikkan dagu memberi arah kemunculan Emak."Assalamualaikum," ucap Emak.Aku dan Pak Rinto serentak menjawab. Emak duduk di sampingku. Mengusap-usap punggungku dengan lembut."Kamu bisa pulang duluan, Rindu? Emak mau bicara penting dengan Pak Rinto," bisik Emak ke telingaku.Perlahan aku beranjak dan berpamitan pada Pak Rinto. Tidak lupa bersalaman dan mencium tangan beliau sebagai tanda hormat. Tangan tua itu mengusap sebentar puncak kepalaku."Masya Allah, Rindu. Calon dokter, tetaplah rendah hati, Nak." Pak Rinto berkata lembut.Tidak langsung aku bergegas pulang. Aku bersembunyi di balik pohon bonsai yang merupakan pagar rumah Pak Rinto. Bukan tidak sopan apalagi lancang, aku ingin tahu Emak sedang membicarakan apa."Kalau boleh, saya mau meminjam uang, Pak. Untuk menebus ijazah Rindu. Seperti yang Pak Rinto dengar, anak itu dapat undangan beasiswa di UNAND.""Mau pinjam berapa, Ros?" Pak Rinto menjawab tenang."Delapan ratus, Pak. Saya bayarnya mungkin dicicil, kalau ada pekerjaan membersihkan bawang, saya nggak ambil upahnya.""Apa cukup sebanyak itu, Ros. Barangkali ada keperluan lain. Genapkan saja satu juta bagaimana?"Aku menahan tangis sekuat-kuatnya. Menggigit bibir bawah agar tak mengeluarkan suara. Emak sampai meminjam uang pada orang untuk menebus ijazahku. Bertambah lagi beban hidup Emak. Ya Allah."Ini, Ros. Satu juta semuanya!" kata Pak Rinto. Aku hanya bisa menebak-nebak, bahwa Pak Rinto sedang memberikan uangnya pada Emak."Ya Allah, terima kasih banyak, Pak Rinto." Suara Emak terdengar bergetar."Hutangmu hanya lima ratus, Ros. Sisanya itu anggap saja sedekahku untuk Rindu. Aku turut menggantungkan harapan padanya. Semoga cita-citanya menjadi dokter dapat terwujud. Kalau ada keperluan, jangan sungkan untuk mengatakan. Jika aku sanggup, Insya Allah akan kubantu."Mengendap-endap aku berjalan meninggalkan bonsai persembunyian. Berjalan sangat cepat agar segera sampai di rumah. Di sini, di dadaku ini ... sebongkah daging merah seakan sedang diperas.~••°••~To be continue!~••°••~"Dari mana, Rindu? Kakak dari tadi di sini, pintu nggak dikunci. Emak nggak ada, kamu nggak ada!"Kak Kasih bersama dua anaknya sudah menunggu di depan rumah. Saking buru-buru menyusul Emak, aku sampai lupa mengunci pintu. Padahal rasanya tadi sudah kukunci sebelum berlari pergi."Habis bantu Emak, Kak. Ngantar bawang ke rumah Pak Rinto."Di waktu bersamaan, seorang anak buah Pak Rinto datang menjemput bawang. Dua karung bawang dimuat ke atas gerobak motor. Kak Kasih membantu mengangkat satu karung yang besar."Kok tumben Emak yang antar? Bukannya sebelum ini selalu dijemput?""Emak ada kepentingan lain dengan Pak Rinto, Kak." Mengatakan ini rasanya pedih di hati. Gara-gara aku, Emak harus berhutang sama orang.Kak Kasih hanya mengangguk. Aku paham dia nggak bertanya banyak. Dia pasti menebak-nebak kepentingan Emak yang aku maksud.Anak-anak Kak Kasih merengek ingin makan dengan ayam goreng lagi. Aku membantu mengambilkan nasi. Kak Kasih bagian memipilkan lauknya.Tidak lama,
~••°••~Pukul sembilan kurang beberapa menit, aku sampai di sekolah. Menaiki ojek pangkalan dari rumah, dengan ongkos sepuluh ribu rupiah. Sebelum melangkah masuk memasuki gerbang, mataku menatap lekat pada tulisan besar yang melengkung di atas gapura."Sekolah Menengah Atas Negeri 01 Gunung Sandi." Di bawah tulisan itu tertulis lagi "Tut Wuri Handayani." Ada desir di dada ini. Tanpa terasa sudah tiga tahun lamanya aku menimba ilmu di sini.Tujuan pertamaku adalah bagian tata usaha. Di loket pembayaran yang merupakan hasil sulap sebuah pintu ruangan tersebut dikerumuni banyak siswa. Mereka pastilah punya hajat yang sama denganku."Rindu!" seru seorang teman dekatku. Dari kelas satu, kami sudah akrab. Ranti, adalah teman pertamaku ketika memasuki sekolah ini. Lalu, keisengan jiwa anak remaja membuat label 2R sebagai tanda best friend forever."Sudah selesai punyamu?" Aku menyuguhkan senyum terbaik untuknya."Belum, itu lihat antriannya panjang. Mana Bu Erna ngomel-ngomel nggak jelas da
~••°••~Hampir 10 menit aku berjalan, bergegas tanpa menoleh lagi ke belakang. Harusnya aku ikuti apa kata Kak Kasih. Tetapi, men-tidak-kan permintaan Emak juga tak sanggup. Kak Kasih itu benar, Etek memang tidak pernah menyukai kami."Rindu?"Kalau di kota, orang menyebutnya Pak RT. Namun, di sini kami menyebutnya Pak Jorong. Sebut saja nama beliau Muslim. Rumahnya dekat dengan rumahku. Oh ya, rumahku dan rumah Etek Yarni beda jorong. Kurang lebih 8-10 menit perjalanan naik motor."Pak Mus." Aku sedikit menunduk, menyembunyikan mata yang basah."Dari mana, kenapa sendiri?""Iya, Pak Mus. Dari rumah Etek, mau kembali ke rumah.""Oh begitu, ada yang mengantar? Atau sedang menunggu jemputan?"Aku menggeleng, masih menumpukan tatapan ke ujung sepatu."Kalau begitu, naiklah. Kebetulan saya mau pulang juga."Tanpa berpikir lama, segera aku membonceng sepeda motor Pak Mus. Setidaknya, aku tidak perlu berjalan kaki untuk sampai ke rumah. Di belakang Pak Mus, kuhela napas sedalam mungkin, mele
~••°••~"Sudah, ya. Jangan dijadikan beban pikiran juga omongan Emak."Kak Kasih pamit pulang. Aku bantu Emak merapikan sisa pekerjaannya. Melipat terpal dan menyapu bekas urat bawang.Emak duduk meluruskan kaki di bangku rotan tua. Kursi yang dibeli saat Emak kembali dari Bengkulu. Tentunya banyak kenangan di benda mati nan usang itu. Dia adalah saksi bisu keluarga ini melewati badai kehidupan.Kulihat Emak duduk diam, memandang jauh ke depan. Nelangsa menghampiri hatiku. Pasti Emak sangat lelah. Bagaimana bisa aku meninggalkan Emak sendirian? Sedangkan Kak Kasih sudah hidup terpisah dengan Emak."Ateu!" seru Aldo, putra sulung kakakku."Loh, Aldo dari mana? Sendirian?" Emak yang menjawab."Dari rumah, Nek. Kata Mama, Ateu sama Nenek nanti tidur di rumah. Papa nggak pulang, pulangnya besok. Dedek Rafif agak demam," jelas Aldo."Biar Ateu Rindu nanti, ya. Nenek nggak ikut.""Emak sendirian di rumah, gimana?" selaku."Mau lipat kain yang kering, Rin. Sudah setinggi gunung tumpukannya.
~••°••~"Sudah, Rin. Sudah, hentikan tangisanmu!" Kak Kasih melonggarkan pelukannya."Rindu ingin Bapak," kataku tersedu-sedu."Astaghfirullah, mengucap, Rindu! Bapak akan sedih melihatmu begini. Munculkan semangat itu, Rin. Tunjukkan pada dunia, kita bisa. Kaki kita kuat menopang semuanya. Bersama Kakak, bersama Emak. Demi Allah, tidak akan Kakak biarkan kamu sendirian, Rin."Sekali lagi aku terisak. Menutup wajah dengan dua telapak tangan. Senyum Bapak menari-nari di pelupuk mataku. Sosok pria yang selalu kutunggu kepulangannya setiap senja."Kamu istirahat dulu, ya. Kalau mau makan, itu tadi kakak masak ikan asin.""Kakak nggak tidur?""Ada sedikit jahitan, orang permak celana. Katanya dijemput besok pagi. Mau dipakai mungkin. Kasihan kalau iya, makanya mau diselesaikan malam ini."Kakak persis seperti Emak. Apa yang bisa ia kerjakan sekarang, akan ia lakukan segera. Tidak pakai entar, tidak pakai nanti. Kehidupan benar-benar membentuk Kak Kasih menjadi pribadi yang kuat dan tanggu
~••°••~"Rindu, langsung ke ruangan kepala sekolah. Silakan, Bu." Pak Huspri mempersilakan kami berjalan lebih dulu.Pak Arzen tersenyum sangat lebar menyambut aku dan Emak. Tidak pernah aku lihat beliau se-semringah itu selama tiga tahun sekolah di SMAN 1 Gunung Sandi. Meski beliau memang selalu tersenyum pada siapa pun, tetapi senyuman kali terasa berbeda."Ibundanya Rindu siapa namanya?" ucap Pak Arzen."Rosmayah," jawab Emak malu-malu."Sebentar, Harmoni Rindu Umayyah. Maaf kalau boleh tahu lagi, ayahandanya Rindu namanya siapa?""Umar Basdi," balas Emak masih bersikap kaku."Umar, Rosmayah. Aah, apakah Umayyah itu gabungan keduanya?"Emak mengangguk dengan senyum terukir indah. Ada binar keceriaan yang tergambar di wajah Emak. Ketakutan dan gugup yang awalnya menahan langkah, sepertinya sudah menguap bersama sambutan dan candaan dari Pak Arzen.Bapak memberi kami nama memang cukup unik. Kak Kasih bernama lengkap Senandung Kasih Umayyah. Sementara aku disematkan nama Harmoni Rindu
~••°••~"Guru kamu baik-baik semua, Rin. Emak keburu keder, kirain pada galak.""Namanya guru ya baik, Mak. Kan untuk digugu dan ditiru. Rindu nggak menyangka sama sekali, sampai begininya penghargaan dari sekolah. Kok Rindu jadi merasa terlalu besar ya, Mak."🌻🌻🌻Sesampainya di rumah, sudah dekat ke waktu Dzuhur. Emak mulai mengeluarkan terpal dan karung bawang. Aku bersalin pakaian, sebelum membantu pekerjaan Emak.Sebelum memulai mengurati bawang, Emak menyeduh kopi dulu, sambil menunggu waktu salat masuk. Aku duduk dekat Emak, memperhatikan gurat bahagia yang tersirat begitu jelas di wajah beliau."Emak kok senyum-senyum terus?""Kamu ini, Rin, Rin. Emak bahagia sekali rasanya. Selama ini, orang sekampung memandang keluarga kita ini begitu lemah. Apalagi semenjak Bapak tidak ada, semakin remeh pandangan orang terhadap kita.Emak merasa, Allah maha baik sedang menunjukkan bagaimana membalas dengan cara terbaik. Melalui nasibmu, Rin. Allah memilih si bungsu Emak untuk menaikkan d
~••°••~Tidak butuh waktu lama untuk tersebarnya berita tentang penarikan kembali sawah oleh Etek Yarni. Warga silih berganti datang bertamu ke rumah. Ada yang betul-betul peduli dan mengecam sikap Etek Yarni, ada yang hanya ingin tahu dan mengompor-ngompori. Emak menjawab semua pertanyaan dengan kalimat senada."Pada dasarnya, sawah itu memang bukan hak milik kami. Hanya hibah dari mertua untuk menantu dan cucunya. Benar juga kata Yarni, aku bisa kewalahan sendirian. Apalagi Rindu akan kuliah di Padang." Demikian jawaban Emak.Etek Yarni seakan menutup mata dan telinga. Santer pembicaraan terdengar tentangnya. Serakah, rakus, tamak, medit, dengki, semua cap buruk berhamburan keluar. Tetapi, dia santai dan seolah-olah tidak peduli.Sore itu Kak Kasih datang tergesa-gesa. Kabar tentang datangnya Etek Yarni kemarin siang baru sampai ke telinganya. Pias wajah Kak Kasih menghampiri aku dan Emak yang sedang mengurat bawang."Assalamualaikum.""Walaikumsalam," jawab kami serempak."Mak, Kas