Share

Episode 3

~••°••~

Malam ini, kami berkumpul semua. Aku, Emak, Kak Kasih dan suaminya, Aldo dan Rafif—anak Kak Kasih. Suka cita lebur, menyantap goreng ayam balado ditambah nasi hangat. Tidak lupa sayur pucuk daun singkong.

Masakan Emak tidak pernah mengecewakan. Selalu menjadi masakan terenak dalam versi apa pun itu. Apalagi menikmatinya dengan hati gembira begini.

Secercah kenangan masa lalu, melintas dalam kepala. Ingatan tentang Bapak berpendar di sana. Berduyun-duyun menjadi genangan air mata yang siap terserak.

Dahulu, jika Emak masak ayam begini, bapak selalu berpesan agar disisakan hatinya untuk beliau. Lauknya tidak begitu disukai. Bapak lebih memilih ceker, ujung sayap, leher, kepala, dan hatinya.

"Rin?" tegur Emak. Sepertinya beliau menyadari aku yang mendadak sedih.

Tidak kujawab, karena jika satu kata lepas keluar, air mataku juga akan berhamburan bersamanya. Sebaris senyum aku berikan pada Emak. Kak Kasih juga menatap lama ke arahku.

"Bawang punya Pak RT banyak busuknya, Mak. Agak sulit dibersihkan. Jadi, aku lapor kepada beliau. Dari yang awalnya upah seribu perkilo, beliau naikkan jadi dua ribu. Memang memakan waktu pengerjaannya." Kak Kasih membuka pembicaraan.

"Sama dengan bawang yang di sini, punya Pak Rinto. Itu bukan busuk, Kasih. Bawang itu belum waktunya dipanen. Karena cuaca buruk, dari pada busuk semua, mending panen dini. Setidaknya separoh masih bisa diselamatkan."

Aku tahu, Kak Kasih membahas ini hanya ingin mengalihkan topik. Padahal sebenarnya ada tangis yang ia tahan. Aku tahu itu, suaranya timbul tenggelam dan bergetar.

"Kapan ke Padang, Rin?" Bang Doni, suami Kak Kasih kini yang bertanya.

"Belum tahu, Bang. Masih lama waktunya, sampai akhir bulan depan."

"Itu nanti ngapain ke Padang, Rin?" sela Emak.

"Istilahnya registrasi, Mak. Nggak perlu ke Padang, bisa lewat online. Tapi ...."

"Ada apa?"

Seakan-akan semua kalimat yang ingin aku katakan, tercekat di tenggorokan. Aku menjadi orang yang dilanda banyak ketakutan. Demi Emak, demi Kak Kasih, demi keluarga ini, semua demi mereka. Jika itu berurusan soal uang, tiba-tiba keberanian menguap hilang entah kemana.

"Soal ijazah ya, Rin?" tebak Emak, aku menunduk.

"Besok jemput ke sekolah, ya."

"Tapi, Mak. Tunggakan uang sekolah banyak. Hampir satu juta."

"Sudah, nggak usah memusingkan itu. Sudah Emak bilang, 'kan? Urusan uang itu tugas Emak."

Jika sudah keluar kalimat itu, aku tidak bisa berkata lagi. Emak, lelah dan letih nyata bergelayut di matanya. Tetapi, tidak kudengar mulutnya berkeluh barang sekali pun.

Selesai makan bersama, aku dan Kak Kasih membereskan kembali hidangan. Membawa piring kotor ke dapur. Menyimpan nasi dan lauk ke bawah tudung. Barulah berkumpul lagi di ruang tengah.

"Ini, ambil, Rin!" Bang Doni menyerahkan tiga lembar uang pecahan seratus ribu. "Untuk tambah-tambah penebus ijazah esok."

"Tapi, Bang ...."

"Ambillah, Rindu! Kakak dan Abang tidak bisa membantu banyak, barangkali yang sedikit ini menjadi penolong juga." Kak Kasih yang menjawab. Aku menerima pemberian Bang Doni dengan dada berdegup keras. Rasa haru itu menyusup sampai ke dasar hati.

"Aldo kalau besar nanti mau seperti Ateu Rindu juga, Ma. Jadi dokter, kalau Nenek sakit biar Aldo yang obatin. Boleh ya, Ma?"

Semua orang tertawa mendengar ocehan mulut anak kecil berumur tujuh itu. Apalagi aku, dia menggemaskan, tapi juga mendatangkan titik bening di mata ini.

"Boleh, Mama usahakan cita-cita Aldo terwujud."

~••°••~

Selesai salat Subuh, aku langsung mengumpulkan baju-baju kotor. Semuanya direndam dalam baskom besar. Nanti jika sudah agak terang, barulah aku mencucinya. Karena kamar mandi kami terpisah dari rumah. Itu merupakan sumur yang sekelilingnya diberi sekat pakai terpal. Supaya kalau mandi tidak ada yang melihat.

Emak sudah menyapu, aku bagian mengumpulkan piring dan membawanya juga ke sumur. Perlahan mulai terbit matahari. Meski udara dingin di kampung ini, kami sudah terbiasa bangun sebelum Subuh. Setelah menunaikan ibadah wajib dua rakaat, tidak boleh tidur lagi. Bapak dulu begitu keras menanamkan kedisplinan ini untukku dan Kak Kasih.

Tidur setelah Subuh itu pamali, demikian kata beliau dulu.

"Rindu, sebentar lagi Emak ke rumah Pak Rinto mengantarkan bawang-bawang ini, ya. Kamu bisa masak nasi goreng bawang dulu kalau mau. Eh tapi masih ada sisa lauk semalam. Kalau malas masak nasi goreng, makan itu saja dulu." Emak berkata sambil merapikan kain sampingnya.

"Kok tumben Emak yang antar? Biasanya 'kan anak-anak buah Pak Rinto yang jemput pakai gerobak motor. Itu berat loh, Mak."

Emak hanya tersenyum. Lalu berjalan ke depan dan menaikkan karung berisi bawang ke atas gerobak dorong. Sebelum pergi, Emak menyapu sisa-sisa daun bawang yang berserakan.

"Mak, Rindu saja yang dorong."

"Jangan, kamu di rumah aja. Cuci piringnya segera, nanti dijilat anjing kalau ditinggal kelamaan."

Belum sempat aku menjawab, Emak sudah mulai berjalan mendorong gerobak. Cemas sekali rasanya melihat Emak begitu payah menahan agar gerobaknya yang datt tetap seimbang. Aku buru-buru ke belakang, membawa piring yang kotor tadi ke dapur. Menutup rapat pintu.

Setengah berlari menyusul Emak. Di perjalanan beliau berdiri berkacak pinggang dengan napas terengah-engah. Naik turun bahu Emak mengatur napas.

"Mak."

"Loh, kok kamu nyusul Emak?"

"Rindu tahu Emak akan kepayahan. Sini biar Rindu saja yang mendorong."

Kusambar cepat pegangan gerobak. Mulai mendorong menuju rumah Pak Rinto. Di rumah masih ada dua karung lagi untuk dijemput. Secepatnya aku berjalan, meninggalkan Emak beberapa langkah di belakang.

"Astaghfirullah, Rindu!" seru Pak Rinto melihat aku datang bercucuran keringat.

"Sudah, sudah. Biarkan di sana, biar nanti dijemput saja ya. Kasihan kamu, Nak." Pak Rinto membawaku duduk di bangku.

"Apa halnya pagi-pagi kamu datang mendorong gerobak begini, Rindu?" tanya beliau.

Setelah mengatur napas agar lebih tenang, "Rindu cuma bantu Emak, Pak."

"Mana Emakmu, Nak?" Lelaki yang kepalanya sudah memutih sempurna itu celingak-celinguk mencari keberadaan Emak.

"Itu," jawabku menaikkan dagu memberi arah kemunculan Emak.

"Assalamualaikum," ucap Emak.

Aku dan Pak Rinto serentak menjawab. Emak duduk di sampingku. Mengusap-usap punggungku dengan lembut.

"Kamu bisa pulang duluan, Rindu? Emak mau bicara penting dengan Pak Rinto," bisik Emak ke telingaku.

Perlahan aku beranjak dan berpamitan pada Pak Rinto. Tidak lupa bersalaman dan mencium tangan beliau sebagai tanda hormat. Tangan tua itu mengusap sebentar puncak kepalaku.

"Masya Allah, Rindu. Calon dokter, tetaplah rendah hati, Nak." Pak Rinto berkata lembut.

Tidak langsung aku bergegas pulang. Aku bersembunyi di balik pohon bonsai yang merupakan pagar rumah Pak Rinto. Bukan tidak sopan apalagi lancang, aku ingin tahu Emak sedang membicarakan apa.

"Kalau boleh, saya mau meminjam uang, Pak. Untuk menebus ijazah Rindu. Seperti yang Pak Rinto dengar, anak itu dapat undangan beasiswa di UNAND."

"Mau pinjam berapa, Ros?" Pak Rinto menjawab tenang.

"Delapan ratus, Pak. Saya bayarnya mungkin dicicil, kalau ada pekerjaan membersihkan bawang, saya nggak ambil upahnya."

"Apa cukup sebanyak itu, Ros. Barangkali ada keperluan lain. Genapkan saja satu juta bagaimana?"

Aku menahan tangis sekuat-kuatnya. Menggigit bibir bawah agar tak mengeluarkan suara. Emak sampai meminjam uang pada orang untuk menebus ijazahku. Bertambah lagi beban hidup Emak. Ya Allah.

"Ini, Ros. Satu juta semuanya!" kata Pak Rinto. Aku hanya bisa menebak-nebak, bahwa Pak Rinto sedang memberikan uangnya pada Emak.

"Ya Allah, terima kasih banyak, Pak Rinto." Suara Emak terdengar bergetar.

"Hutangmu hanya lima ratus, Ros. Sisanya itu anggap saja sedekahku untuk Rindu. Aku turut menggantungkan harapan padanya. Semoga cita-citanya menjadi dokter dapat terwujud. Kalau ada keperluan, jangan sungkan untuk mengatakan. Jika aku sanggup, Insya Allah akan kubantu."

Mengendap-endap aku berjalan meninggalkan bonsai persembunyian. Berjalan sangat cepat agar segera sampai di rumah. Di sini, di dadaku ini ... sebongkah daging merah seakan sedang diperas.

~••°••~

To be continue!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status