Share

Bab 6 Kapan Dia Demam?

Author: Bunga Bakung
"Hal apa?" tanya Nadia kepada ibunya.

Karin membuka matanya, melihat ke langit-langit, lalu menarik napas dalam-dalam.

"Nad, sebenarnya kamu bukan ...."

"Karin!"

Perkataan Karin terpotong oleh seseorang. Orang itu muncul mendadak dan terlihat sempoyongan di pintu kamar.

Ketika Karin dan Nadia menoleh, pria itu sudah masuk ke dalam.

Tubuh pria itu diselimuti bau alkohol dan rokok. Wajahnya ditutupi janggut yang belum dicukur. Dia berjalan ke samping tempat tidur dan duduk di seberang Nadia.

"Kak Rudi nggak mengusikmu, 'kan?" tanya pria itu.

"Ngapain kamu ke sini? Apa kamu nggak tahu, kamu sudah menimbulkan banyak masalah untuk kami!" seru Karin dengan kesal.

Pria yang bernama Wino Jihan ini berdecak, lalu melirik ke arah Nadia sambil berkata, "Nak, kamu keluar dulu. Ada yang ingin Ayah bicarakan dengan ibumu. Hanya sebentar."

Nadia menoleh ke Karin dengan cemas. Karin membalas tatapan Nadia dengan anggukan.

Nadia tidak punya pilihan selain mengikuti keinginan ibunya. Sambil menatap Wino Jihan dengan dingin, dia berkata, "Jangan buat Ibu marah."

Wino mengangguk setuju. Kemudian, setelah tiga kali menoleh dengan cemas, Nadia baru keluar dari kamar rawat ibunya.

Tepat pintu kamar tertutup, kekhawatiran di wajah Wino langsung menghilang.

Sorot matanya menatap Karin dengan dingin sambil berkata dengan suara rendah, "Bisa nggak kamu nggak bicara macam-macam?"

Seketika, sorot mata Karin dipenuhi amarah. Dia menggertakkan gigi, lalu berkata, "Jangan berpikir untuk memperalat Nadia lagi!"

"Aku sudah menghabiskan uang untuk membesarkannya. Apa salahnya sekarang aku minta kembali uang-uang itu? Selama kamu diam, aku nggak akan melakukan apa pun! Tapi kalau kamu mengatakan sesuatu yang nggak seharusnya dikatakan, jangan salahkan aku kalau aku buat Nadia kehilangan pekerjaannya!" ujar Wino.

Karin gemetar. Tangannya menggenggam seprai, lalu berkata, "Wino! Kamu sama sekali bukan manusia!"

Wino terlihat tidak peduli dan berkata, "Memang benar, jadi tutup mulutmu itu! Kalau kamu mengusikku, aku juga akan menarikmu untuk menderita bersama!"

Selesai berbicara, Wino langsung keluar dari kamar tanpa menoleh ke belakang.

Ketika membuka pintu dan melihat Nadia masih berdiri di depan, Wino langsung mengubah ekspresinya dengan cepat.

"Nad, ayah pergi dulu! Untuk masalah hari ini, anggap saja ayah pinjam uang darimu," ujar Wino.

Mendengar itu, Nadia menengadah. Namun, sebelum dia dapat berbicara, Wino sudah berjalan pergi.

Nadia hanya menghela napas. Dia memperbaiki postur tubuhnya dengan berdiri tegak dan bersiap kembali ke kamar rawat.

Tepat pada saat itu, ponsel di sakunya bergetar.

Melihat panggilan itu dari Gio, Nadia jadi gugup dan tanpa sadar menjawab panggilan tersebut.

"Di mana?" Suara dari ujung ponsel itu terdengar sangat dingin.

"Aku ada urusan mendesak," jawab Nadia dengan berbisik.

Gio membisu sejenak, lalu berkata, "Aku suruh kamu pergi ke Divisi Desain untuk bantu Yuvira, tapi kamu nggak melakukannya, 'kan?"

Mendengar itu, hati Nadia terasa pilu. 'Dia telepon hanya untuk menyalahkanku?'

'Tapi, ya, nggak salah juga. Selain menjadi mainannya, aku juga adalah sekretarisnya.'

'Jadi, memang kesalahanku nggak melakukan apa yang dia perintahkan.'

Nadia menjawab dengan suara rendah, "Maaf, Pak Gio. Sekarang, aku akan memberi tahu Ketua Divisi Desain."

"Nggak perlu ...."

"Nadia."

Sebelum Gio selesai bicara, terdengar suara Sam datang dari belakang Nadia.

Begitu Nadia menoleh, Sam menyodorkan obat kepadanya.

"Obat penurun demam. Minumlah. Wajahmu terlihat pucat sekali," ujar Sam.

Nadia tersenyum, lalu meminum obat itu dan berkata, "Terima kasih, Dokter Sam. Aku akan bayar uang obat ini nanti."

Sam tersenyum sambil menunjuk ke ponsel Nadia dan berkata, "Kamu selesaikan kerjaanmu dulu."

Nadia membalasnya dengan anggukan. Fokus Nadia kembali ke ponselnya dan bertanya, "Pak Gio, Anda tadi bilang apa?"

Setelah menunggu beberapa saat dan tidak mendengar suara, Nadia menurunkan ponselnya dan melihat ke layar.

Tidak tahu kapan panggilan itu berakhir.

Nadia mengerti bahwa Gio pasti marah.

Namun, sesuai permintaan Gio, Nadia tetap memberi tahu Ketua Divisi Mode.

Ketua Divisi Mode bernama Sena Yoan, dia dan Nadia lulus dari universitas yang sama.

Sejak kuliah, hubungan mereka sangat baik, jadi bukan hal besar bagi Nadia untuk memberi tahu Sena agar tidak menyusahkan Yuvira.

Suara Sena di ujung ponsel terdengar kesal, "Nad, kamu masih khawatir dia? Dia pulang lebih cepat dari siapa pun."

Nadia membisu.

'Kalau begitu, apa maksud panggilan Gio tadi?' pikir Nadia dalam hati.

Pada saat ini.

Setelah menutup ponselnya, Gio duduk di dalam mobil dengan wajah muram. Aura di sekelilingnya lebih dingin daripada biasanya.

'Pria itu menyuruh Nadia untuk minum obat penurun demam. Kapan dia demam?'

'Dia demam, tapi nggak ambil cuti sakit. Malah beri tahu pria lain dia sedang sakit?'

'Dokter Sam ....'

'Siapa dia?'

Setelah termenung, Gio tiba-tiba menatap Yuda yang sedang mengemudi dan bertanya, "Apa ada keluarga Nadia yang sedang dirawat di rumah sakit?"

"Saya pernah dengar bahwa ibunya Bu Nadia dirawat di rumah sakit karena mengidam kanker rahim. Kalau kondisinya sekarang, saya kurang tahu," jawab Yuda dengan jujur.

Seketika, Gio mengernyit dan berkata, "Dia sama sekali nggak pernah bilang padaku."

Yuda tidak bisa menahan diri untuk tidak mengejek di dalam hati, 'Siapa suruh Anda terlalu fokus mencari wanita pujaan hati itu. Sedangkan perhatianmu pada Bu Nadia selalu berubah nggak menentu.'

Yuda kemudian memutuskan untuk menggunakan kesempatan ini untuk memuji Nadia di depan Gio, "Pak Gio, sebenarnya hidup Bu Nadia sangat sulit. Keluarganya ...."

Sebelum selesai bicara, tiba-tiba terdengar dering ponsel Gio.

Panggilan dari Yuvira.

Untuk merayakan pertemuan dengan wanita yang selalu ingin ditemuinya itu, Gio sudah menyuruh Yuda untuk reservasi meja di sebuah restoran malam ini.

Pada saat ini, mobil Maybach sudah berhenti di depan restoran.

Gio menghilangkan rasa khawatir yang semestinya tidak ada terhadap Nadia. Kemudian, dia turun dari mobil dengan ekspresi dingin seperti biasa.

"Nanti antarkan obat pada Nadia, lalu beri tahu pihak HRD Nadia cuti tiga hari."

Gio terdiam sesaat, lalu menambahkan, "Carikan pelayan untuk mengurus makanan dan keperluan sehari-harinya."

"Baik, Tuan Gio!"

Yuda mengangguk, lalu tanpa sengaja melihat ke jendela restoran kelas atas itu.

Di sana ada Yuvira sedang duduk sambil memesan makanan dengan sangat gembira. Melihat ini, perasaan Yuda sedikit bercampur aduk.

Malam itu, Nadia tidak pulang ke vila Gio.

Sebaliknya, dia tidur di ranjang rumah sakit setelah minum obat sampai terbangun dengan sendirinya.

Ketika hendak membalikkan badan ke samping, Nadia melihat ada sebuah jarum menancap di punggung tangannya.

Melihat Nadia bangun, Karin buru-buru berkata, "Nad, jangan bergerak. Kamu demam. Dokter Sam yang memberimu infus."

Nadia mengangguk, lalu dengan susah payah bangkit untuk duduk di ranjang.

"Sudah tahu demam, tapi masih pakai baju setipis ini."

Meskipun Karin sedang memarahinya, hati Nadia terasa hangat saat mendengar itu.

Nadia mengerutkan kening sambil menatap Karin dengan manja, lalu berkata, "Ibu, aku lapar."

Karin memelototi Nadia, lalu berkata, "Nanti suster akan bawakan makanan. Kamu tahan dulu. Kamu tuh selalu lupa waktu untuk makan, makanya sekarang jatuh sakit, 'kan?"

Selesai bicara, seorang suster masuk sambil membawakan kotak makan.

Melihat Nadia sudah bangun, dia pun bertanya, "Nad, ada dua pria tinggi dan tampan di depan pintu. Mereka temanmu?"

Nadia tercengang dan berkata, "Teman?"

Sosok Gio terlintas di benaknya. Seketika, Nadia duduk dengan tegak.

Sebelum Nadia berbicara, Yuda muncul di depan pintu dan berkata, "Bu Nadia, mohon keluar sebentar."

Nadia mengangguk, lalu mencabut jarum infus di tangannya itu dan turun dari ranjang.

Melihat itu, Karin berteriak dengan cemas, "Nad, kamu ngapain?"

"Nanti baru aku jelaskan!" seru Nadia kepada Karin.

Nadia keluar dari kamar dan mengikuti Yuda menuju koridor area orang duduk beristirahat.

Gio sedang merokok di sana. Wajah tampannya menunjukkan ekspresi masam, seakan-akan seseorang sudah menyinggungnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Setelah Berhenti Kerja, Direktur Tak Bisa Hidup Tanpaku   Bab 169 Kenapa Tidak Pernah Ketahuan?

    Setelah berpikir selama beberapa saat, Nadia tiba-tiba bangkit berdiri dan berjalan menuju kamar anak-anaknya.Timmy kaget sekali saat Nadia membuka pintu kamar, dia refleks menutup layar laptop.Nadia menatap laptop itu, lalu bertanya dengan nada serius, "Kamu lagi nonton apa, Timmy?""Kartun, Ibu," jawab Timmy dengan perasaan bersalah."Kalau cuma kartun, terus kenapa kamu mematikan laptopmu dengan panik begitu?" tanya Nadia.Timmy langsung memutar otak mencari alasan. "Aku nggak mau Ibu merasa aku nggak membuat kemajuan."Selama ini, Nadia tidak pernah memaksa Timmy mengaku.Nadia beranggapan bahwa anak-anak harus diberikan ruang privasi tersendiri.Akan tetapi, masalah hari ini bukanlah masalah sepele.Orang dewasa saja pasti akan merasa malu melihat adegan tidak senonoh dalam video itu, apalagi anak-anak yang pola pikirnya masih dalam proses perkembangan?Karena Timmy masih belum mau mengaku, Nadia pun menarik napas dalam-dalam. Dia melangkah menghampiri anaknya, lalu duduk di seb

  • Setelah Berhenti Kerja, Direktur Tak Bisa Hidup Tanpaku   Bab 168 Siapa yang Membocorkannya?

    "Wah, wah, memang putri Keluarga Wren beda kelas, ya," puji para selebriti itu sambil tertawa."Tentu saja, Yuvira itu bukan cuma lembut dan baik hati, tapi pendidikannya juga nggak main-main ...."Yuvira tersenyum bangga mendengar semua pujian itu.Ya, semua ini memang harusnya menjadi miliknya!Hanya dia yang pantas disanjung seperti ini!Yuvira berjalan turun bersama para selebriti itu dengan sepatu hak tingginya, lalu dengan anggun lanjut menuju panggung tempat foto-fotonya ditampilkan.Yuvira berdiri di depan mikrofon, lalu memberikan kata sambutan, "Terima kasih sudah datang ke pesta ulang tahunku ...."Sementara itu, di Vila Harmonisa.Timmy duduk di depan laptop sambil menonton rekaman kamera pengawas di tempat acara pesta ulang tahun Yuvira. Dia juga menggunakan headphone untuk memudahkan berkomunikasi dengan Ivan."Ya ampun, dia pintar banget bicara," komentar Timmy dengan gusar."Dia pasti bangga banget karena ada banyak orang yang mendukungnya," sahut Ivan dengan nada datar

  • Setelah Berhenti Kerja, Direktur Tak Bisa Hidup Tanpaku   Bab 167 Akan Kuhancurkan Reputasinya

    Gio berusaha menahan amarahnya, lalu memerintahkan dengan dingin, "Cari tahu kapan Kiano pulang ke tanah air!"Yuda sontak tertegun. Tuan Muda Kiano sudah kembali?Gawat, Brian benar-benar sudah mengusik batas kesabaran Gio.Brian paling sayang dengan Kiano yang merupakan anak sulung. Seandainya bukan karena skandal yang menghebohkan itu, sekarang Kiano pasti sudah menjadi satu-satunya pewaris Keluarga Cakra.Walaupun Gio adalah adik kandung satu ayah dengan Kiano, Yuda tahu betapa Gio membenci Kiano.Sebagai asisten pribadi Gio, Yuda tahu betul betapa Gio ingin sekali membunuh Kiano.Yuda pun diam-diam menghela napas. Seandainya saja Kiano menurut dan tetap tinggal di luar negeri, Gio pasti bersedia mengampuni nyawa Kiano.Sementara itu, di Vila Harmonisa.Mona menatap kakaknya yang terus sibuk dengan laptopnya, lalu berkata dengan kesal sambil cemberut, "Kak, Kakak sibuk banget sih! Kakak bahkan sudah nggak mau main lagi dengan Mona!"Timmy menghentikan aktivitasnya sejenak, lalu mem

  • Setelah Berhenti Kerja, Direktur Tak Bisa Hidup Tanpaku   Bab 166 Mengusik Batas Kesabaran

    Gio mengambil serbet yang diletakkan di atas meja, lalu menyeka tangannya sambil menjawab, "Ivan mengalami gangguan mental karena disiksa oleh Yuvira.""Yuvira menyiksa Ivan? Dia 'kan ibunya Ivan! Menyiksa bagaimana maksudmu?" tanya Tuan Besar Brian dengan kaget.Gio pun melirik ke arah Tuan Besar Brian yang terlihat gelisah. "Dengan memukul dan memakinya."Tuan Besar Brian sontak menggebrak meja dan berseru dengan marah, "'Kan sudah kubilang dari dulu kalau wanita itu nggak layak menjadi menantu Keluarga Cakra!""Jadi, kenapa Anda menyuruhku pulang malam ini?" tanya Gio mengalihkan topik pembicaraan, sorot tatapannya dengan kesal."Mantan pacarmu masih hidup?" tanya Tuan Besar Brian."Apa hubungannya itu dengan Anda?" tanya Gio, sorot tatapannya terlihat dingin."Jangan berani-beraninya kamu pacaran sama seorang pembunuh! Nanti reputasi Keluarga Cakra jadi rusak!""Apa gara-gara dia juga kamu membatalkan kontrak di Kota Herna dan bergegas pulang ke Kota Mesia?" tanya Tuan Besar Brian

  • Setelah Berhenti Kerja, Direktur Tak Bisa Hidup Tanpaku   Bab 165 Akan Kubuat Dia Tersiksa dan Jatuh Miskin

    Saat sedang istirahat dari jam pelajaran, Ivan mengajak Timmy untuk melihat informasi yang dia temukan.Timmy membaca-baca informasi itu sebentar, sorot tatapannya terlihat marah. "Apa ini semua adalah perseteruan Ibu dengan Yuvira?"Ivan mengangguk. "Tapi, aku nggak tahu apa ada yang terlewat atau nggak.""Yuvira benar-benar orang jahat! Bisa-bisanya dia mencuri posisi Ibu sebagai penyelamat Ayah!" ujar Timmy dengan marah."Dia bahkan berpura-pura menjadi adik Paman! Yang lebih jahatnya lagi, dia yang menculikmu!"Walaupun Ivan tidak berkomentar apa-apa, ekspresinya juga terlihat kesal."Masih ada lagi."Ivan berujar, lalu menunjukkan gambar lain di layar laptopnya.Kali ini, Ivan memperlihatkan sebuah rekaman kamera pengawas.Itu adalah rekaman Nadia yang memasuki sebuah kafe pada lima tahun lalu. Tidak sampai setengah jam kemudian, tiba-tiba ada dua orang yang tidak dikenal menggendong Nadia, lalu memasukkan Nadia ke dalam sebuah mobil berwarna hitam melalui pintu belakang.Ivan jug

  • Setelah Berhenti Kerja, Direktur Tak Bisa Hidup Tanpaku   Bab 164 Aku Bisa Memberimu Kompensasi

    "Dia adalah dewiku!" puji Alva dengan bersemangat."Coba jelaskan," kata Yosef sambil mengangkat alisnya.Alva menghela napas, "Nadia itu hidupnya menyedihkan banget. Waktu aku bertemu dengannya, dia bahkan nggak sempat makan.""Dia belajar sambil bekerja paruh waktu dan masih harus mengurus kedua anaknya.""Dia berusaha sebisa mungkin untuk memberikan anak-anaknya makanan enak, sedangkan dia sendiri cuma ala kadarnya.""Aku bertemu dengannya di lomba desain pakaian.""Aku masih ingat ucapannya waktu itu. Dia bilang dia akan membantuku memenangkan perlombaan asalkan aku menggajinya 1.500 dolar.""Lomba itu mempertaruhkan reputasiku yang kudapatkan setelah bekerja keras selama sepuluh tahun. Jangankan 1.500 dolar, 10 ribu dolar saja aku rela keluarkan!""Setelah itu, dia mengubah hasil rancangan karya-karyaku sehingga salah satu lawanku yang meniru langsung kalah.""Sejak saat itulah Nadia menjadi dewiku!"Gio dan Yosef sontak terdiam.Yosef akhirnya mengerti maksud kata-kata Nadia sore

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status