Share

Setelah Diusir Ibu Mertua
Setelah Diusir Ibu Mertua
Penulis: Nisa Khair

Bab 1 Bertengkar

"Ayo, a' lagi, Sayang."

Kedua mataku membeliak, melihat ibu mertua memegang sendok dan sebuah pisang raja. Sendok yang sudah berisi itu siap masuk ke mulut anakku.

"Stop, ibu!"

Aku memekik, lalu berusaha meraih anakku dalam pangkuan beliau. Ibu terperanjat, begitu pula anakku.

Bayiku mulai menangis, hingga mulutnya terbuka lebar. Kulihat di dalam mulutnya masih ada benda lumat berwarna putih. Gegas kuambil dengan ujung jariku.

Tak kupedulikan tangisan bayi tiga bulan dalam gendonganku, sampai kupastikan kalau mulutnya telah bersih dari sisa buah pisang.

"Apa yang kamu lakukan, Rin? Lihat, anakmu kembali menangis!" seru ibu dengan kedua mata membelalak lebar.

"Maaf, Bu. Umur Dinar baru tiga bulan, belum boleh makan pisang, Bu," jawabku, mencoba tetap tenang.

Aku hanya pamit sebentar untuk buang air kecil tadi. Tak kusangka beliau menyuapi anakku tanpa ijin.

"Anakmu nangis, sini biar ibu suapi, biar nggak nangis lagi," pinta beliau dengan berusaha mengambil bayiku. Aku memundurkan badan, juga bayiku.

"Maaf, Bu. Biar Dinar saya beri ASI saja, ya. Dia belum boleh mengkonsumsi selain ASI, Bu."

"Walah, sok tau kamu. Bapaknya dulu juga makan pisang, kok, waktu bayi. Nyatanya dia hidup sampai sekarang," jawab ibu ketus.

Aku tak menjawab lagi perkataan beliau. Pasti akan panjang dan melebar ke mana-mana. Aku lebih memilih menyusui bayiku.

"Bu Elis, beli gula," seru seseorang terdengar memanggil ibu. Beliau segera menuju ke toko.

Aku menghela napas lega. Setidaknya, untuk sementara waktu, aku bisa menyusui bayiku dengan tenang.

Aku harap, lambung dan usus anakku tak bermasalah setelah ini, meski tak dapat dipungkiri, kalau hatiku was-was, sebab belum saatnya ia menerima asupan selain ASI.

Bayiku telah kembali tenang, hingga lama kelamaan ia tertidur dalam pangkuan. Kuletakkan ia di kamar, setelah memastikan ia benar-benar nyenyak dan kenyang.

Gegas aku beranjak ke dapur. Perutku selalu meminta diisi ulang setelah memberi ASI untuk bayiku.

"Mimpi apa dulu anakku bisa punya istri pembangkang!"

Aku baru menyuapkan dua sendok nasi, saat ibu muncul dan bicara di belakangku. Aku masih diam di tempatku.

Kudengar beliau mengumpulkan ludah dengan suara keras, lantas terdengar sentakan suara 'juh' di dekat tempatku duduk.

Ada banyak tempat di rumah ini, termasuk kamar mandi, kalau hanya untuk membuang ludah. Lantas, kenapa beliau melakukan itu tepat di belakangku?

"Punya mantu nggak bisa diatur. Manalah badannya sekarang sebesar gajah. Kayak gitu kok anakku mau. Bikin sakit mata yang lihat aja."

Ibu masih menggerutu, lalu kembali ke depan. Lagi-lagi karena ada yang memanggil.

Rasa laparku telah menguap, berganti dengan rasa yang tak bisa kujelaskan. Gegas kuberanjak, dengan membawa piring ke belakang.

Tanpa menunggu lagi, kuberikan isi piringku pada ayam yang berkeliaran di halaman belakang rumah ini.

Kembali ke kamar, kulihat bayiku masih tidur dengan nyenyak.

Tas besar di atas lemari kuturunkan. Kuhela napas panjang setelahnya.

"Aku tak bisa seperti ini terus. Lebih baik aku yang pergi dari sini, dari pada mental dan hatiku sakit diperlakukan begini sama ibu," ujarku lirih.

Satu persatu pakaian kumasukkan ke dalam tas. Air mataku ikut luruh bersamaan dengan pakaian anakku yang kumasukkan kemudian.

Aku telah bertahan setahun setengah di rumah ini. Mendapat makian dan sindiran dari ibu mertua sudah menjadi makanan sehari-hari.

Dulu aku tak masalah, sebab hanya aku sendiri di sini. Namun, sekarang kondisinya lain. Aku telah memiliki seorang anak. Aku merasa tak punya muka, sudah menjadi seorang ibu, tapi masih dimarahi oleh ibu suamiku.

Kudengar derap langkah kaki mendekat, lalu berhenti di depan pintu kamar ini.

"Mau ke mana kamu, kok pakaian cucuku dimasukkan ke dalam tas?"

Kuhentikan gerakanku, lalu menoleh ke sumber suara. Terlihat olehku, Ibu berkacak pinggang, kedua alisnya bertaut, serta kening beliau terlipat.

"Maaf, Bu. Saya mau pergi dari sini," jawabku singkat dan apa adanya.

Aku memang telah berniat pergi sejak lama, hanya saja kutahankan. Namun kali ini, rasanya aku tak bisa bertahan lagi, setelah melihat ibu menyuapi anakku.

Beliau bukan orang yang mudah menyerah. Bukan tak mungkin setelah ini akan mengulangi lagi perbuatannya, menyuapi bayiku dengan makanan tanpa sepengetahuanku.

"Silakan pergi dari sini. Tapi ingat, jangan bawa cucuku!"

Aku terkesiap, lalu menatap ke dalam mata beliau.

"Cukup, Bu. Sudah cukup selama ini saya diam. Jika saya pergi, maka saya akan membawa serta anak ini."

"Ibu tidak mengijinkan!" sahut beliau cepat.

"Anak ini binti Yudha Prasetyo! Apa pun yang terjadi, ibu tidak mengijinkan dia ke luar dari rumah ini!" tambah beliau lagi.

Kedua mata ibu berkilat-kilat. Tatapan kebencian sangat terlihat dari sana.

"Bu Elis!"

Suara seseorang memanggil beliau. Ibu menoleh ke luar sebentar, lantas kembali menatapku.

"Pergilah dari sini. Aku tak sudi melihatmu lagi di rumah ini. Tempatmu bukan di sini," ujar beliau dengan menggeram, serta telunjuknya menunjuk tepat di depan hidungku.

Panggilan dari luar yang berulang, membuat beliau berlalu pergi dari hadapanku.

Aku kembali memasukkan beberapa keperluan anakku, berniat pergi dari sini sekarang juga.

Kuambil gendongan, dengan air mata yang mulai berjatuhan.

"Kita pergi dari sini ya, Nak," ujarku dengan mendekap anakku.

.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status