Ketika ambisi orang tua bersebrangan dengan anak dan menantu. Akankah anak-anak menemukan bahagia dengan tuntutan orang tua yang selalu merasa paling benar?
View More"Ayo, a' lagi, Sayang."
Kedua mataku membeliak, melihat ibu mertua memegang sendok dan sebuah pisang raja. Sendok yang sudah berisi itu siap masuk ke mulut anakku."Stop, ibu!"Aku memekik, lalu berusaha meraih anakku dalam pangkuan beliau. Ibu terperanjat, begitu pula anakku.Bayiku mulai menangis, hingga mulutnya terbuka lebar. Kulihat di dalam mulutnya masih ada benda lumat berwarna putih. Gegas kuambil dengan ujung jariku.Tak kupedulikan tangisan bayi tiga bulan dalam gendonganku, sampai kupastikan kalau mulutnya telah bersih dari sisa buah pisang."Apa yang kamu lakukan, Rin? Lihat, anakmu kembali menangis!" seru ibu dengan kedua mata membelalak lebar."Maaf, Bu. Umur Dinar baru tiga bulan, belum boleh makan pisang, Bu," jawabku, mencoba tetap tenang.Aku hanya pamit sebentar untuk buang air kecil tadi. Tak kusangka beliau menyuapi anakku tanpa ijin."Anakmu nangis, sini biar ibu suapi, biar nggak nangis lagi," pinta beliau dengan berusaha mengambil bayiku. Aku memundurkan badan, juga bayiku."Maaf, Bu. Biar Dinar saya beri ASI saja, ya. Dia belum boleh mengkonsumsi selain ASI, Bu.""Walah, sok tau kamu. Bapaknya dulu juga makan pisang, kok, waktu bayi. Nyatanya dia hidup sampai sekarang," jawab ibu ketus.Aku tak menjawab lagi perkataan beliau. Pasti akan panjang dan melebar ke mana-mana. Aku lebih memilih menyusui bayiku."Bu Elis, beli gula," seru seseorang terdengar memanggil ibu. Beliau segera menuju ke toko.Aku menghela napas lega. Setidaknya, untuk sementara waktu, aku bisa menyusui bayiku dengan tenang.Aku harap, lambung dan usus anakku tak bermasalah setelah ini, meski tak dapat dipungkiri, kalau hatiku was-was, sebab belum saatnya ia menerima asupan selain ASI.Bayiku telah kembali tenang, hingga lama kelamaan ia tertidur dalam pangkuan. Kuletakkan ia di kamar, setelah memastikan ia benar-benar nyenyak dan kenyang.Gegas aku beranjak ke dapur. Perutku selalu meminta diisi ulang setelah memberi ASI untuk bayiku."Mimpi apa dulu anakku bisa punya istri pembangkang!"Aku baru menyuapkan dua sendok nasi, saat ibu muncul dan bicara di belakangku. Aku masih diam di tempatku.Kudengar beliau mengumpulkan ludah dengan suara keras, lantas terdengar sentakan suara 'juh' di dekat tempatku duduk.Ada banyak tempat di rumah ini, termasuk kamar mandi, kalau hanya untuk membuang ludah. Lantas, kenapa beliau melakukan itu tepat di belakangku?"Punya mantu nggak bisa diatur. Manalah badannya sekarang sebesar gajah. Kayak gitu kok anakku mau. Bikin sakit mata yang lihat aja."Ibu masih menggerutu, lalu kembali ke depan. Lagi-lagi karena ada yang memanggil.Rasa laparku telah menguap, berganti dengan rasa yang tak bisa kujelaskan. Gegas kuberanjak, dengan membawa piring ke belakang.Tanpa menunggu lagi, kuberikan isi piringku pada ayam yang berkeliaran di halaman belakang rumah ini.Kembali ke kamar, kulihat bayiku masih tidur dengan nyenyak.Tas besar di atas lemari kuturunkan. Kuhela napas panjang setelahnya."Aku tak bisa seperti ini terus. Lebih baik aku yang pergi dari sini, dari pada mental dan hatiku sakit diperlakukan begini sama ibu," ujarku lirih.Satu persatu pakaian kumasukkan ke dalam tas. Air mataku ikut luruh bersamaan dengan pakaian anakku yang kumasukkan kemudian.Aku telah bertahan setahun setengah di rumah ini. Mendapat makian dan sindiran dari ibu mertua sudah menjadi makanan sehari-hari.Dulu aku tak masalah, sebab hanya aku sendiri di sini. Namun, sekarang kondisinya lain. Aku telah memiliki seorang anak. Aku merasa tak punya muka, sudah menjadi seorang ibu, tapi masih dimarahi oleh ibu suamiku.Kudengar derap langkah kaki mendekat, lalu berhenti di depan pintu kamar ini."Mau ke mana kamu, kok pakaian cucuku dimasukkan ke dalam tas?"Kuhentikan gerakanku, lalu menoleh ke sumber suara. Terlihat olehku, Ibu berkacak pinggang, kedua alisnya bertaut, serta kening beliau terlipat."Maaf, Bu. Saya mau pergi dari sini," jawabku singkat dan apa adanya.Aku memang telah berniat pergi sejak lama, hanya saja kutahankan. Namun kali ini, rasanya aku tak bisa bertahan lagi, setelah melihat ibu menyuapi anakku.Beliau bukan orang yang mudah menyerah. Bukan tak mungkin setelah ini akan mengulangi lagi perbuatannya, menyuapi bayiku dengan makanan tanpa sepengetahuanku."Silakan pergi dari sini. Tapi ingat, jangan bawa cucuku!"Aku terkesiap, lalu menatap ke dalam mata beliau."Cukup, Bu. Sudah cukup selama ini saya diam. Jika saya pergi, maka saya akan membawa serta anak ini.""Ibu tidak mengijinkan!" sahut beliau cepat."Anak ini binti Yudha Prasetyo! Apa pun yang terjadi, ibu tidak mengijinkan dia ke luar dari rumah ini!" tambah beliau lagi.Kedua mata ibu berkilat-kilat. Tatapan kebencian sangat terlihat dari sana."Bu Elis!"Suara seseorang memanggil beliau. Ibu menoleh ke luar sebentar, lantas kembali menatapku."Pergilah dari sini. Aku tak sudi melihatmu lagi di rumah ini. Tempatmu bukan di sini," ujar beliau dengan menggeram, serta telunjuknya menunjuk tepat di depan hidungku.Panggilan dari luar yang berulang, membuat beliau berlalu pergi dari hadapanku.Aku kembali memasukkan beberapa keperluan anakku, berniat pergi dari sini sekarang juga.Kuambil gendongan, dengan air mata yang mulai berjatuhan."Kita pergi dari sini ya, Nak," ujarku dengan mendekap anakku..BersambungTiga bulan kemudian ….Kalimat takbir dan tahmid tak henti terucap dari bibir wanita berjilbab merah marun usai mendengar putusan sidang. Tubuh yang terbalut gamis berwarna senada dengan jilbabnya itu tersungkur di lantai keramik yang dingin, melakukan sujud syukur.Setengah tak rela Bu Elis membiarkan Karin menyerahkan Lusi dan Dani pada ibu kandungnya. Hak asuh atas kedua anak itu mutlak diberikan kepada Andin, mengingat usia mereka yang masih balita. Rasa haru tak bisa disembunyikan oleh Andin yang didampingi oleh Bu Ida dan juga Raya, pengacara rekomendasi dari Pak Tomo untuk memenangkan kasus Andin.Angga menerima keputusan sidang dengan lapang dada. Ditatapnya wajah wanita yang kini bergelar mantan istri. Wajah yang bersimbah air mata sembari memeluk dua buah hati setelah sekian lamanya tidak berjumpa. Wanita itu terus menghujani ciuman di wajah Lusi dan Dani secara bergantian, seakan tak pernah cukup untuk mengungkapkan betapa besar tumpukan rindu y
Satu Minggu, dua Minggu, hingga lima Minggu, obrolan Bu Elis berpusat pada rencana pernikahan Angga dan Mira. Karin dan Yudha yang kebagian dengar nyaris setiap hari setiap saat, merasa gerah dan memilih tidak menanggapi pada akhirnya. Pihak keluarga sudah menegur ketika kabar perpisahan Angga dan Andin tersiar, dan secepat itu pula merencanakan pernikahan. Namun, Bu Elis seakan menutup telinga. Jaminan sertifikat sawah yang dipegang Mira membuat wanita yang selalu mengenakan banyak perhiasan itu merasa wajib menjadikan Mira sebagai menantu.Terlebih lagi, peran Mira yang membuat Angga akhirnya berpisah dengan Andin, perempuan yang notabene tidak disukai sejak awal, membuat Bu Elis semakin dekat dengan Mira, merencanakan beberapa hal menyangkut penyelesaian bangunan rumah dan toko Angga, serta lahan yang masih luas hendak dimanfaatkan untuk apa.Keberadaan Lusi dan Dani di rumahnya, membuat semangat Bu Elis naik berlipat-lipat. Melihat ketiga cucu yang tu
Di tempat lain ….Mira menyeringai melihat dua bocah kecil yang sedang asyik menonton film animasi. Kegiatan yang selalu dibatasi oleh kedua orang tuanya, kini bisa bebas dilakukan selama yang mereka inginkan. Sebuah es krim berbeda rasa, berada di tangan masing-masing anak. Sedikit belepotan, tapi, tak masalah bagi sosok berbaju biru yang pikirannya tengah berkelana membayangkan jadi pemilik tunggal lahan seluas satu hektar di tepi jalan, beserta satu petak sawah yang sudah diincar oleh kontraktor pabrik.Sebuah foto diambil, lantas dikirimkan kepada Bu Elis, wanita yang melancarkan aksinya membawa dua bocah kecil itu, tak lain untuk kepentingannya sendiri."Jaga mereka baik-baik, kami segera ke sana." Bunyi pesan yang langsung masuk sebagai jawaban, diiringi sebuah foto seorang lelaki yang tengah menyalakan sepeda motor.Mira menarik salah satu sudut bibirnya. Sebentar lagi, impiannya akan terwujud. Tinggal menunggu drama dimainkan seb
Ibu dan anak itu menegakkan kepala dan menatap berang padanya. Harga diri yang selama ini dijunjung tinggi merasa terluka mendengar kalimat terakhir yang meluncur dari wanita yang berdiri di ujung teras dengan wajah tenang."Kamu pikir saya miskin hingga kamu beri sedekah?!" geram Bu Elis melotot tak terima.Tangan menggenggam erat, wujud dari geramnya hati dengan jawaban dari wanita yang berdiri tegak di depannya. Tanpa sadar kalau beberapa bagian yang runcing dari perhiasan yang ia pegang menusuk-nusuk kulit."Maaf, Bu. Saya tidak pernah berpikir demikian," jawab Andin singkat, lantas memasukkan beberapa benda yang tercecer. Merapikan kembali tas yang tidak terlalu besar, menyampirkan talinya di pundak. "Saya pamit. Assalamu'alaikum."Menganggukkan kepala, lantas melangkah pergi. Bu Elis menjawab salam Andin dengan suara ketus."Wa'alaikumsalam."Bu Elis menatap kepergian menantu pertamanya dengan senyuman sinis. Lega
Andin terkejut ketika sampai di rumah dan mendapati Angga memberi tatapan tajam padanya. "Mas, kamu, sudah pulang? Bukannya biasanya jam setengah lima paling cepet?" tanya Andin beruntun.Lelaki yang ia tanya masih mengeraskan rahang dengan bahu naik turun. Di belakangnya, Bu Elis menarik salah satu sudut bibirnya.Andin menelisik isi rumah, berharap ia hanya melewatkan melihat anaknya yang berada di kamar saat ia pergi. Ya, dalam keputusasaan tak menemukan kedua buah hatinya, dia berharap mereka berada di salah satu ruang dalam rumah mungilnya. Ia bergegas pulang saat membuat kesimpulan sendiri, dan belum berniat memberi kabar pada suaminya karena tak mau membuat lelaki itu cemas di jam kerja. Tak dinyana kalau suaminya telah lebih dulu sampai sebelum ia berhasil menemukan anaknya."Kau sembunyikan di mana anakku?" tanya Angga penuh penekanan."Apa? Menyembunyikan?" tanya Andin tak mengerti. Tatapannya menyorot wanita paruh ba
Bu Elis menuju dapur, memeriksa semua benda yang ada di sana. Wanita itu memekikkan nama menantunya."Andin! Ke sini, kamu!"Andin terjingkat, lantas beranjak ke dapur.Melihat ibu mertuanya berkacak pinggang dengan tatapan tajam, keningnya mengernyit heran."Ada apa, Bu?" tanya Andin dengan suara pelan. "Tidak ada makanan sama sekali! Kau beri makan apa cucuku?" ketus Bu Elis.Andin membulatkan mulut. Di dapurnya memang sudah tidak ada makanan selain nasi. Beberapa stok cemilan sudah dia keluarkan untuk menyambut tamunya. Dia yakin kalau yang dimaksud ibu mertuanya adalah lauk untuk teman makan nasi. Sementara telur tinggal dua biji. "Tadi anak-anak makan sama sup udang, tapi, sudah habis, Bu," jawab Andin membuat Bu Elis menelengkan kepala."Udang?"Andin mengangguk mengiyakan."Lalu nanti kalau mereka lapar lagi, kamu kasih apa?" selidik Bu Elis. Kali ini suaranya lebih pelan.And
"Kamu nggak pengen tau, ke mana saja suami kamu beberapa hari ini?"Itulah pertanyaan yang diajukan pertama kali usai Andin menyalami Bu Elis. Bukan wanita paruh baya itu yang bertanya, melainkan si calon menantu idaman, Mira."Enggak," jawab Andin santai.Mira memutar bola mata."Kamu nggak curiga dia berbuat serong? Nggak penasaran kenapa sering pulang terlambat?"Andin terkekeh pelan. Yang diucapkan Mira memang benar. Suaminya sering pulang terlambat. Tak dipungkiri kalau hatinya kadang merasa cemas. Namun, dia memilih menutup mata.Bukankah semakin mencari tau, maka akan semakin sakit hati jika mengetahui sesuatu yang tidak diharapkan?Maka Andin memilih diam, terus melangitkan doa untuk suami dan keluarga kecilnya. Menitipkan penjagaan pada Rabb-nya lah yang ia lakukan jika berjauhan dengan lelaki yang menjadi suaminya. Ia sadar sepenuhnya bahwa Angga sudah seperti orang asing meski tinggal di bawah atap yang sama.
Membawa langkah ke kamar anak-anak. Diciuminya bergantian hingga kedua menggeliat lucu, tapi masih enggan membuka mata.Berada di kamar, membuat Andin merasakan kantuk, sedangkan hari masih terlalu pagi untuk tidur lagi. Masih ada beberapa pekerjaan rumah yang harus ia kerjakan. Namun, wanita itu ikut berbaring di samping si bungsu Dani. Aroma harum dari tubuh kecil itu telah menjadi candu baginya.Diulang berapa kali pun ia tak merasa bosan. Oh, sesungguhnya ia takut jika kebersamaan dengan mereka akan segera direnggut, seperti yang pernah diucapkan sang suami beberapa waktu lalu.Dihirupnya dalam-dalam aroma yang menguat dari kepala dan tengkuk anaknya, sampai bocah berambut cepak itu membuka mata karena geli."Ibu, ayah mana?" tanya Dani begitu bersitatap dengan sang ibu."Ayah kerja, Sayang," jawab Andin, kembali mengecup kening anaknya."Mau jajan, sama ayah … ," rengek Dani, masih malas-malasan di tempat tidur."Iy
Sudah satu jam lamanya Andin duduk diam sambil menatapi layar ponselnya yang menampilkan lembar kosong di notepad, tempat ia biasa menuangkan ide-idenya ke dalam sebuah cerita bersambung.Pikirannya masih dipenuhi dengan pembicaraan dengan suaminya, serta permintaan tak masuk akal dari ibu mertuanya. Bukan kali pertama Bu Elis memberi saran untuk berpisah dengan Angga jika Andin tak mau menuruti keinginannya. Namun, waktu pertama kali mengatakan hal tersebut, Angga tak mengetahuinya. Sementara kali ini, secara terang-terangan beliau meminta, bahkan membawa serta seorang perempuan yang telah dipilih.Suara tiang besi yang diketuk satu kali membuat Andin memilih menyudahi kegundahan hatinya. Gegas membawa langkah ke kamar mandi dan mengambil wudhu. Ia mengadu di atas sajadah yang dibentangkan di lantai keramik dingin di kamar belakang..Pagi-pagi sekali, Andin sudah berkutat di dapur, menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anaknya. Meski pern
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments