Home / Rumah Tangga / Setelah Diusir Ibu Mertua / Bab 2 Izinkan Aku, Mas!

Share

Bab 2 Izinkan Aku, Mas!

Author: Nisa Khair
last update Last Updated: 2022-09-16 14:46:10

"Kita pergi dari sini ya, Nak," ujarku dengan mendekap anakku.

Aku menyapu pandang pada seluruh isi kamar, sebelum beranjak meninggalkan tempat ini.

Tempat yang menjadi saksi bisu kisah hidupku selama tinggal di sini.

Pandangan mataku mengabur, saat bertemu dengan foto pernikahan yang terpajang di dinding kamar.

Terlihat di sana, Mas Yudha tersenyum serta memandangku dengan penuh cinta. Ya, hanya cinta Mas Yudha yang membuatku bertahan di rumah ini.

Kini aku menggelengkan kepala. Tidak, aku tak boleh pergi tanpa ijinnya. Aku seorang istri, tak bisa pergi begitu saja tanpa ijin suami.

Gegas kuraih ponsel, hendak menghubungi.

"Jangan telpon aku di jam kerja, kecuali aku yang nelpon dulu, oke?"

Teringat pesannya, urung kutekan tombol bergambar gagang telepon.

Bagaimana ini?

Bertahan di rumah ini, aku sudah tak tahan lagi. Pergi tanpa ijinnya juga aku takut dia khawatir jika ia pulang tapi tak menemukan aku dan bayiku.

"Bertahanlah di sini, aku tau kalau kamu wanita kuat," begitu selalu pesannya, saat melihatku berwajah muram.

Baiklah, aku akan sabar menunggu sebentar lagi. Kuhela napas panjang, lalu meletakkan kembali tas yang telah kujinjing.

Aku akan ke rumah Budhe, sambil menunggu Mas Yudha pulang kerja.

"Hallo, cah ayu," sapa Budhe Harti, begitu aku sampai. Rumahnya dekat saja, hanya selisih dua rumah. Anakku segera diambil alih.

"Habis berantem, Rin?" tanya Budhe dengan menelisik wajahku.

Beliau pasti melihat bekas tangisan di wajah ini. Aku hanya tersenyum menanggapi.

"Biasa, Budhe."

"Sabar-sabarno, Rin, ibumu ya memang begitu orangnya. Sudah rahasia umum, kalau mulutnya itu ... ."

Budhe tak melanjutkan kalimatnya, sebab Mbak Heni datang dengan membawa Riska, anaknya.

Riska mulai mencolek pipi anakku, lalu menciumi dengan sukacita.

"Kenapa, Rin? Habis perang sama Mak Lampir?" tanya Mbak Heni, lalu tertawa kecil. Aku menggelengkan kepala melihat tingkahnya.

"Hush, sembarangan nyebut orang tua, kamu, Hen!" tegur Budhe. Mbak Heni nyengir.

"Aku mau pamit, Mbak," jawabku, kemudian melihat Budhe dan Mbak Heni bergantian.

"Pamit ke mana? Mau pulang?" tanya Mbak Heni dengan melebarkan mata.

"Beneran pulang?"

Budhe mendekat, lalu memegang bahuku. Aku mengangguk.

"Nanti Mak Lampir nggak ada lawannya, dong!" cetus Mbak Heni lagi.

"Iya, Mbak, sudah nggak sanggup aku. Ini numpang di sini dulu, ya, sambil nunggu Mas Yudha pulang kerja," jawabku, yang segera diiyakan oleh mereka.

Di sinilah aku selalu, jika di rumah mulai berseteru dengan ibu mertua.

Kami lalu melanjutkan berbincang ringan. Sesekali tertawa, hingga sedikit membuatku melupakan pertikaian dengan ibu beberapa saat tadi.

Aku pamit setelah mendengar adzan Ashar berkumandang.

Gegas kumandikan anakku. Ia harus sudah wangi dan bersih saat ayahnya pulang nanti.

Ibu segera menyambar anakku, begitu aku beranjak menjemur handuk. Rasa tak rela, tapi mau mencegah juga tak bisa. Hanya anakku satu-satunya cucu yang tinggal di dekat beliau.

"Lakukan saja tugasmu, bersihkan rumah sebelum Yudha pulang kerja!" titah ibu, lantas beliau mulai mengajak anakku ke luar sambil mengajak berbincang.

Kupatuhi titah beliau. Entah bagaimana nanti jika aku tak lagi tinggal di sini, sebab sehari-hari, Ibu hanya sibuk mengurus toko sembako di depan rumah.

Yang Ibu tau, rumah ini bersih dan rapi saat beliau kembali dari toko. Jika ada debu yang menempel sedikit saja, maka siapkan saja telinga untuk mendengar kalimat berjilid-jilid.

Suara deru kendaraan bermotor, berhenti di halaman rumah ini, tepat saat aku selesai membersihkan diri.

Setengah berlari aku menuju teras, lalu menyambut suamiku dengan senyum terbaik. Wajahnya terlihat keruh, lalu menatapku dengan sorot mata bertanya.

Di belakangnya, kulihat ibu tersenyum miring. Kurasa beliau telah mengatakan sesuatu pada suamiku.

Mengabaikan Ibu, kuajak suamiku masuk, lantas kusiapkan air mandi. Aku akan mengajak ia bicara setelah lelahnya berkurang nanti.

"Ini ngapain, ada tas besar di sini?" tanyanya dengan menunjuk tas yang kuletakkan di dekat pintu kamar.

"Mau pulang dia," sambar ibu, sebelum sempat aku menjawab pertanyaan suamiku.

Geram sekali aku melihat kemunculan beliau yang tiba-tiba. Mas Yudha melihatku dengan alis bertaut. Dipegangnya lenganku.

"Kalian, habis berantem?"

Ia bertanya setelah ibu berlalu ke luar rumah. Aku mengangguk.

"Biasa juga baikan lagi, kan. Ngapain pulang? Nanti Mas sama siapa di sini?"

"Mas, tolong ijinkan aku pulang ke rumah orang tuaku. Ak-aku, kangen sama Silvi," ujarku terbata.

Silvi anak pertamaku dari pernikahan terdahulu.

Ya, aku seorang janda beranak satu saat menikah dengan Mas Yudha. Hal itu yang membuat ibu mertua membenciku, sebab statusku, serta sebab beliau telah memilih calon menantu selainku.

"Kalau kangen kan bisa nelpon. Kita telpon aja, ya?"

Ia hendak mengambil ponsel di atas nakas, tapi kucegah.

"Aku hanya mau pulang, Mas. Aku sudah tak sanggup lagi tinggal di sini," ujarku dengan suara yang mulai parau.

"Dek, apa yang terjadi? Biasanya kamu kan nggak gini? Biasanya kamu selalu kuat, kan?" tanyanya beruntun.

Ingin kukatakan kalau ibu telah mengusirku dari sini. Ingin juga kukatakan soal buah pisang itu. Tapi, aku takut kalau Mas Yudha akan semakin berselisih dengan Ibu.

Hubungan keduanya tak terlalu baik selama ini. Rasa iba sebab tak ada yang menemani tinggal, membuat ia mengajakku bertahan tinggal di sini.

Aku sendiri mengabaikan rasa sakit yang kuterima sebab perlakuan dan intimidasi dari Ibu.

"Maaf Mas, kali ini aku tak bisa bertahan lagi. Atau, kamu mau melihatku mati berdiri, jika memaksa aku bertahan lebih lama lagi?"

.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Ending

    Tiga bulan kemudian ….Kalimat takbir dan tahmid tak henti terucap dari bibir wanita berjilbab merah marun usai mendengar putusan sidang. Tubuh yang terbalut gamis berwarna senada dengan jilbabnya itu tersungkur di lantai keramik yang dingin, melakukan sujud syukur.Setengah tak rela Bu Elis membiarkan Karin menyerahkan Lusi dan Dani pada ibu kandungnya. Hak asuh atas kedua anak itu mutlak diberikan kepada Andin, mengingat usia mereka yang masih balita. Rasa haru tak bisa disembunyikan oleh Andin yang didampingi oleh Bu Ida dan juga Raya, pengacara rekomendasi dari Pak Tomo untuk memenangkan kasus Andin.Angga menerima keputusan sidang dengan lapang dada. Ditatapnya wajah wanita yang kini bergelar mantan istri. Wajah yang bersimbah air mata sembari memeluk dua buah hati setelah sekian lamanya tidak berjumpa. Wanita itu terus menghujani ciuman di wajah Lusi dan Dani secara bergantian, seakan tak pernah cukup untuk mengungkapkan betapa besar tumpukan rindu y

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Jelang Ending 3

    Satu Minggu, dua Minggu, hingga lima Minggu, obrolan Bu Elis berpusat pada rencana pernikahan Angga dan Mira. Karin dan Yudha yang kebagian dengar nyaris setiap hari setiap saat, merasa gerah dan memilih tidak menanggapi pada akhirnya. Pihak keluarga sudah menegur ketika kabar perpisahan Angga dan Andin tersiar, dan secepat itu pula merencanakan pernikahan. Namun, Bu Elis seakan menutup telinga. Jaminan sertifikat sawah yang dipegang Mira membuat wanita yang selalu mengenakan banyak perhiasan itu merasa wajib menjadikan Mira sebagai menantu.Terlebih lagi, peran Mira yang membuat Angga akhirnya berpisah dengan Andin, perempuan yang notabene tidak disukai sejak awal, membuat Bu Elis semakin dekat dengan Mira, merencanakan beberapa hal menyangkut penyelesaian bangunan rumah dan toko Angga, serta lahan yang masih luas hendak dimanfaatkan untuk apa.Keberadaan Lusi dan Dani di rumahnya, membuat semangat Bu Elis naik berlipat-lipat. Melihat ketiga cucu yang tu

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Jelang Ending 2

    Di tempat lain ….Mira menyeringai melihat dua bocah kecil yang sedang asyik menonton film animasi. Kegiatan yang selalu dibatasi oleh kedua orang tuanya, kini bisa bebas dilakukan selama yang mereka inginkan. Sebuah es krim berbeda rasa, berada di tangan masing-masing anak. Sedikit belepotan, tapi, tak masalah bagi sosok berbaju biru yang pikirannya tengah berkelana membayangkan jadi pemilik tunggal lahan seluas satu hektar di tepi jalan, beserta satu petak sawah yang sudah diincar oleh kontraktor pabrik.Sebuah foto diambil, lantas dikirimkan kepada Bu Elis, wanita yang melancarkan aksinya membawa dua bocah kecil itu, tak lain untuk kepentingannya sendiri."Jaga mereka baik-baik, kami segera ke sana." Bunyi pesan yang langsung masuk sebagai jawaban, diiringi sebuah foto seorang lelaki yang tengah menyalakan sepeda motor.Mira menarik salah satu sudut bibirnya. Sebentar lagi, impiannya akan terwujud. Tinggal menunggu drama dimainkan seb

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Jelang Ending

    Ibu dan anak itu menegakkan kepala dan menatap berang padanya. Harga diri yang selama ini dijunjung tinggi merasa terluka mendengar kalimat terakhir yang meluncur dari wanita yang berdiri di ujung teras dengan wajah tenang."Kamu pikir saya miskin hingga kamu beri sedekah?!" geram Bu Elis melotot tak terima.Tangan menggenggam erat, wujud dari geramnya hati dengan jawaban dari wanita yang berdiri tegak di depannya. Tanpa sadar kalau beberapa bagian yang runcing dari perhiasan yang ia pegang menusuk-nusuk kulit."Maaf, Bu. Saya tidak pernah berpikir demikian," jawab Andin singkat, lantas memasukkan beberapa benda yang tercecer. Merapikan kembali tas yang tidak terlalu besar, menyampirkan talinya di pundak. "Saya pamit. Assalamu'alaikum."Menganggukkan kepala, lantas melangkah pergi. Bu Elis menjawab salam Andin dengan suara ketus."Wa'alaikumsalam."Bu Elis menatap kepergian menantu pertamanya dengan senyuman sinis. Lega

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Talak

    Andin terkejut ketika sampai di rumah dan mendapati Angga memberi tatapan tajam padanya. "Mas, kamu, sudah pulang? Bukannya biasanya jam setengah lima paling cepet?" tanya Andin beruntun.Lelaki yang ia tanya masih mengeraskan rahang dengan bahu naik turun. Di belakangnya, Bu Elis menarik salah satu sudut bibirnya.Andin menelisik isi rumah, berharap ia hanya melewatkan melihat anaknya yang berada di kamar saat ia pergi. Ya, dalam keputusasaan tak menemukan kedua buah hatinya, dia berharap mereka berada di salah satu ruang dalam rumah mungilnya. Ia bergegas pulang saat membuat kesimpulan sendiri, dan belum berniat memberi kabar pada suaminya karena tak mau membuat lelaki itu cemas di jam kerja. Tak dinyana kalau suaminya telah lebih dulu sampai sebelum ia berhasil menemukan anaknya."Kau sembunyikan di mana anakku?" tanya Angga penuh penekanan."Apa? Menyembunyikan?" tanya Andin tak mengerti. Tatapannya menyorot wanita paruh ba

  • Setelah Diusir Ibu Mertua   Hanya Titipan

    Bu Elis menuju dapur, memeriksa semua benda yang ada di sana. Wanita itu memekikkan nama menantunya."Andin! Ke sini, kamu!"Andin terjingkat, lantas beranjak ke dapur.Melihat ibu mertuanya berkacak pinggang dengan tatapan tajam, keningnya mengernyit heran."Ada apa, Bu?" tanya Andin dengan suara pelan. "Tidak ada makanan sama sekali! Kau beri makan apa cucuku?" ketus Bu Elis.Andin membulatkan mulut. Di dapurnya memang sudah tidak ada makanan selain nasi. Beberapa stok cemilan sudah dia keluarkan untuk menyambut tamunya. Dia yakin kalau yang dimaksud ibu mertuanya adalah lauk untuk teman makan nasi. Sementara telur tinggal dua biji. "Tadi anak-anak makan sama sup udang, tapi, sudah habis, Bu," jawab Andin membuat Bu Elis menelengkan kepala."Udang?"Andin mengangguk mengiyakan."Lalu nanti kalau mereka lapar lagi, kamu kasih apa?" selidik Bu Elis. Kali ini suaranya lebih pelan.And

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status