Share

Bab 2 Izinkan Aku, Mas!

"Kita pergi dari sini ya, Nak," ujarku dengan mendekap anakku.

Aku menyapu pandang pada seluruh isi kamar, sebelum beranjak meninggalkan tempat ini.

Tempat yang menjadi saksi bisu kisah hidupku selama tinggal di sini.

Pandangan mataku mengabur, saat bertemu dengan foto pernikahan yang terpajang di dinding kamar.

Terlihat di sana, Mas Yudha tersenyum serta memandangku dengan penuh cinta. Ya, hanya cinta Mas Yudha yang membuatku bertahan di rumah ini.

Kini aku menggelengkan kepala. Tidak, aku tak boleh pergi tanpa ijinnya. Aku seorang istri, tak bisa pergi begitu saja tanpa ijin suami.

Gegas kuraih ponsel, hendak menghubungi.

"Jangan telpon aku di jam kerja, kecuali aku yang nelpon dulu, oke?"

Teringat pesannya, urung kutekan tombol bergambar gagang telepon.

Bagaimana ini?

Bertahan di rumah ini, aku sudah tak tahan lagi. Pergi tanpa ijinnya juga aku takut dia khawatir jika ia pulang tapi tak menemukan aku dan bayiku.

"Bertahanlah di sini, aku tau kalau kamu wanita kuat," begitu selalu pesannya, saat melihatku berwajah muram.

Baiklah, aku akan sabar menunggu sebentar lagi. Kuhela napas panjang, lalu meletakkan kembali tas yang telah kujinjing.

Aku akan ke rumah Budhe, sambil menunggu Mas Yudha pulang kerja.

"Hallo, cah ayu," sapa Budhe Harti, begitu aku sampai. Rumahnya dekat saja, hanya selisih dua rumah. Anakku segera diambil alih.

"Habis berantem, Rin?" tanya Budhe dengan menelisik wajahku.

Beliau pasti melihat bekas tangisan di wajah ini. Aku hanya tersenyum menanggapi.

"Biasa, Budhe."

"Sabar-sabarno, Rin, ibumu ya memang begitu orangnya. Sudah rahasia umum, kalau mulutnya itu ... ."

Budhe tak melanjutkan kalimatnya, sebab Mbak Heni datang dengan membawa Riska, anaknya.

Riska mulai mencolek pipi anakku, lalu menciumi dengan sukacita.

"Kenapa, Rin? Habis perang sama Mak Lampir?" tanya Mbak Heni, lalu tertawa kecil. Aku menggelengkan kepala melihat tingkahnya.

"Hush, sembarangan nyebut orang tua, kamu, Hen!" tegur Budhe. Mbak Heni nyengir.

"Aku mau pamit, Mbak," jawabku, kemudian melihat Budhe dan Mbak Heni bergantian.

"Pamit ke mana? Mau pulang?" tanya Mbak Heni dengan melebarkan mata.

"Beneran pulang?"

Budhe mendekat, lalu memegang bahuku. Aku mengangguk.

"Nanti Mak Lampir nggak ada lawannya, dong!" cetus Mbak Heni lagi.

"Iya, Mbak, sudah nggak sanggup aku. Ini numpang di sini dulu, ya, sambil nunggu Mas Yudha pulang kerja," jawabku, yang segera diiyakan oleh mereka.

Di sinilah aku selalu, jika di rumah mulai berseteru dengan ibu mertua.

Kami lalu melanjutkan berbincang ringan. Sesekali tertawa, hingga sedikit membuatku melupakan pertikaian dengan ibu beberapa saat tadi.

Aku pamit setelah mendengar adzan Ashar berkumandang.

Gegas kumandikan anakku. Ia harus sudah wangi dan bersih saat ayahnya pulang nanti.

Ibu segera menyambar anakku, begitu aku beranjak menjemur handuk. Rasa tak rela, tapi mau mencegah juga tak bisa. Hanya anakku satu-satunya cucu yang tinggal di dekat beliau.

"Lakukan saja tugasmu, bersihkan rumah sebelum Yudha pulang kerja!" titah ibu, lantas beliau mulai mengajak anakku ke luar sambil mengajak berbincang.

Kupatuhi titah beliau. Entah bagaimana nanti jika aku tak lagi tinggal di sini, sebab sehari-hari, Ibu hanya sibuk mengurus toko sembako di depan rumah.

Yang Ibu tau, rumah ini bersih dan rapi saat beliau kembali dari toko. Jika ada debu yang menempel sedikit saja, maka siapkan saja telinga untuk mendengar kalimat berjilid-jilid.

Suara deru kendaraan bermotor, berhenti di halaman rumah ini, tepat saat aku selesai membersihkan diri.

Setengah berlari aku menuju teras, lalu menyambut suamiku dengan senyum terbaik. Wajahnya terlihat keruh, lalu menatapku dengan sorot mata bertanya.

Di belakangnya, kulihat ibu tersenyum miring. Kurasa beliau telah mengatakan sesuatu pada suamiku.

Mengabaikan Ibu, kuajak suamiku masuk, lantas kusiapkan air mandi. Aku akan mengajak ia bicara setelah lelahnya berkurang nanti.

"Ini ngapain, ada tas besar di sini?" tanyanya dengan menunjuk tas yang kuletakkan di dekat pintu kamar.

"Mau pulang dia," sambar ibu, sebelum sempat aku menjawab pertanyaan suamiku.

Geram sekali aku melihat kemunculan beliau yang tiba-tiba. Mas Yudha melihatku dengan alis bertaut. Dipegangnya lenganku.

"Kalian, habis berantem?"

Ia bertanya setelah ibu berlalu ke luar rumah. Aku mengangguk.

"Biasa juga baikan lagi, kan. Ngapain pulang? Nanti Mas sama siapa di sini?"

"Mas, tolong ijinkan aku pulang ke rumah orang tuaku. Ak-aku, kangen sama Silvi," ujarku terbata.

Silvi anak pertamaku dari pernikahan terdahulu.

Ya, aku seorang janda beranak satu saat menikah dengan Mas Yudha. Hal itu yang membuat ibu mertua membenciku, sebab statusku, serta sebab beliau telah memilih calon menantu selainku.

"Kalau kangen kan bisa nelpon. Kita telpon aja, ya?"

Ia hendak mengambil ponsel di atas nakas, tapi kucegah.

"Aku hanya mau pulang, Mas. Aku sudah tak sanggup lagi tinggal di sini," ujarku dengan suara yang mulai parau.

"Dek, apa yang terjadi? Biasanya kamu kan nggak gini? Biasanya kamu selalu kuat, kan?" tanyanya beruntun.

Ingin kukatakan kalau ibu telah mengusirku dari sini. Ingin juga kukatakan soal buah pisang itu. Tapi, aku takut kalau Mas Yudha akan semakin berselisih dengan Ibu.

Hubungan keduanya tak terlalu baik selama ini. Rasa iba sebab tak ada yang menemani tinggal, membuat ia mengajakku bertahan tinggal di sini.

Aku sendiri mengabaikan rasa sakit yang kuterima sebab perlakuan dan intimidasi dari Ibu.

"Maaf Mas, kali ini aku tak bisa bertahan lagi. Atau, kamu mau melihatku mati berdiri, jika memaksa aku bertahan lebih lama lagi?"

.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status