Tak terasa sudah Minggu ketiga aku berada di rumah orang tuaku.
Pelan tapi pasti, aku merasa kondisi psikisku kian membaik selama tinggal di sini. Tak lagi kudengar kalimat yang membuat sakit telinga dan hati.Tak ada lagi sorot mata tajam yang kutemui. Yang ada hanya senyum ramah dan menenangkan dari orang-orang yang kusayangi.Menemani dan melihat kedua anakku tumbuh bersamaan, membuatku kian bersemangat di setiap harinya.Selama itu pula, Mas Yudha tak pernah absen bertukar kabar denganku, pun dengan kedua anakku. Seperti petang ini."Minggu ini sudah agak longgar, cuma masih ada beberapa yang harus diselesaikan segera," ujarnya pelan, seakan penuh sesal."Nanti Mas cari waktu yang tepat buat jemput kamu, ya, Dek?""Iya, Mas.""Tapi, kayaknya bakalan lama, deh, ini.""Kok lama? Masih banyak banget ya, yang perlu diselesaikan?""Ya, lumayan. Simpan dulu kangennya ya," ujarnya lalu tertawa se"Mas curang," ujarku memulai obrolan.Berdua kami duduk di halaman belakang, menikmati kerlip lampu dari desa tetangga.Suara hewan-hewan kecil, terdengar bersahutan, melengkapi suasana malam ini.Mas Yudha selalu menyukai pemandangan ini jika berada di rumah orang tuaku. Maka setelah menitipkan anak-anak pada ibu, dibawanya aku ke sini, mau lepas kangen juga."Kok, curang?"Dialihkan pandanganku ke wajahnya. Terlihat dahinya mengernyit."Iya, nggak ngasih kabar, tau-tau udah di sini aja.""Kan mau kasih surprise, Sayang. Emang nggak seneng ketemu sama Mas?""Ya seneng, cuma kalau kasih kabar dulu kan, aku bisa siapin apa gitu, Mas."Bibirku telah maju beberapa milimeter, wajahku pasti terlihat tak menarik sekarang. Mas Yudha justru tersenyum, bikin tambah manyun aja. Dirangkumnya wajahku dengan kedua tangannya."Emang mau siapin apa, sih? Rajin amat.""Enggak, nggak jadi.""C
Bus yang kami naiki memasuki terminal di jam satu pagi. Rupanya hujan tak sampai ke daerah ini, terbukti tak ada genangan air sedikit pun di sini.Mas Yudha justru mencari hotel untuk menginap, bukannya mencari bus kedua yang akan membawa kami ke kotanya."Kita istirahat dulu, biar kamu sama Dinar nggak kelelahan," ujarnya saat menunggu taxi datang menjemput kami.Kupatuhi pintanya. Kuucapkan terima kasih sebab peduli pada kami berdua.Tak lama kemudian, taxi yang kami tunggu tiba, lantas mengantar kami ke tujuan. Dinar segera kubaringkan begitu sampai. Kuselimuti badannya dengan selimut putih yang tersedia di atas kasur. Bergantian aku dan Mas Yudha membersihkan diri.Ia telah bersantai sambil menikmati acara televisi."Mas, capek nggak? Kupijit punggungnya, ya?" ujarku menawarkan.Ia mengangguk. Aku segera mendekat, lalu mulai memijit bahu dan punggungnya."Sudah cukup, Dek. Makasih, ya," ujarnya set
Meski berat, kuikuti juga langkah kaki Mas Yudha memasuki rumah ibu mertua.Pintu toko masih terbuka lebar. Nampaknya beliau masih berada di dalamnya.Terpisahnya bangunan toko dan rumah, membuatku sedikit lega, sebab tak langsung bertemu muka dengan wajah beliau saat sampai di sini.Jantungku berdegup kencang saat melewati pintu depan, lantas melihat kursi panjang yang ada di ruang tamu. Di sana terlihat jelas bagaimana aku disambut hari itu, hari pertama aku menginjakkan kaki di sini."Apa tujuanmu mendekati anakku?"Aku terkesiap mendapat pertanyaan dari Bu Elis, ibu Mas Yudha. Apa maksudnya bertanya begini?"Ibu mana yang rela jika anaknya beristri janda?" tanya beliau sebelum aku sempat menjawab.Baru saja Mas Yudha pamit ke belakang mengambilkan minum untuk kami, tiba-tiba aku disodori pertanyaan mengejutkan dari sang ibu. Mas Yudha awalnya memang teman kerja yang telah jatuh hati padaku. Meski telah kujelaskan bahwa aku seorang janda deng
"Rumah itu belum dibersihkan, dan juga belum ada isinya, Dek."Mas Yudha mencoba memberikan pengertian padaku, yang sejak memasuki rumah ini lebih banyak membisu.Kubiarkan saja ia membawa Dinar untuk digendong ibu mertua meski hati tak rela. Teringat lagi ucapan ibu hari itu, yang membuat aku memantapkan hati meninggalkan rumah ini."Dek, tolong mengerti, untuk sementara kita di sini dulu. Sambil jalan, kita isi rumah itu pelan-pelan, baru kita tempati."Entah kenapa aku menolak setuju pada argumennya kali ini. Jelas-jelas di sana ada dipan dan juga kasur. Lemari sama meja kecil juga kulihat ada di dapur. Perabot lain kan bisa diisi sambil menempati rumah itu.Aku mencoba mengendalikan gemuruh sebab merasa didustai olehnya kali ini. Bagiku, keluar dari rumah ini, itu yang utama."Aku tak masalah sama sekali, meski menempati rumah dengan perabotan seadanya," ujarku akhirnya. Mas Yudha terdiam. Mungkin memikirkan apa yang kusampaikan.Aku me
Malam sudah semakin larut. Suara kendaraan yang lalu lalang di jalan raya, masih terdengar tanpa henti.Dinar pun perlu adaptasi lagi dengan kondisi di rumah ini. Ia telah terbiasa dalam kondisi sunyi selama tiga Minggu kemarin, sedangkan di sini, aktivitas di jalanan seakan tanpa henti.Beberapa kali ia terjaga, sebab suara-suara yang mengganggu telinga. Aku sendiri tetap terjaga, bergantian dengan Mas Yudha berusaha menenangkan dan membuat ia tetap nyaman.Lewat jam dua belas ia baru benar-benar terlelap."Tidurlah, Dek. Nanti Mas bangunkan kalau dia butuh ASI, kalau cuma nangis, Mas masih bisa tenangkan, kok," pinta Mas Yudha.Aku patuh, lantas berbaring di samping bayiku yang kini pulas tertidur. Semoga saja nggak terjaga lagi hingga pagi ya, Nak.Suara hujan yang jatuh di atap rumah, sukses membuatku terjaga. Ada beberapa titik di rumah ini yang rawan banjir jika hujan turun dengan derasnya. Setidaknya itu yang kuk
"Aduh, gimana, sih, masa udah siang begini masih tidur? Apa nggak masak, apa nyuci gitu?" tanya si tetangga lagi.Nah, kan ... . Pasti begini tanggapan tetangga kanan kiri. Percaya saja dengan ucapan ibu, tanpa tau kebenarannya, langsung saja mereka berkomentar tanpa permisi.Selalu begini, selalu seperti ini. Ibu pintar sekali memutarbalikkan fakta, hingga aku terlihat sebagai istri dan menantu yang tak baik di mata tetangga."Udah biasa. Nanti siang paling bangunnya. Coba nggak ada saya, gimana anak ini," sahut ibu lagi. Aku hanya bisa menggelengkan kepala mendengar penuturan beliau. Ingin rasanya kuambil sekarang juga anakku yang berada dalam gendongannya, tapi aku takut khilaf.Kulirik ke kamar, di mana Mas Yudha masih terlelap. Kuharap ia segera bangun, lalu memenuhi janji membawaku jalan-jalan hari ini. Semakin ditahankan, semakin tak nyaman saja di sini.Kuambil segelas air, lantas menyeruput hingga tandas. Kudatangi Mas
Tak sabar rasanya ingin segera menempati rumah ini. Tak masalah bagiku meski harus bersih-bersih dulu.Tenagaku banyak, badanku juga sehat. Tak peduli habis melakukan perjalanan jauh dan baru sampai di kota ini tadi malam. Bagiku, selama bisa dikerjakan sekarang, kenapa harus ditunda-tunda? Lebih cepat lebih baik, kan gitu konsepnya.Hanya saja, sekarang ini ada Mas Yudha, suami sekaligus pemimpin dalam rumah tanggaku. Tak mungkin aku membuat keputusan sendiri. Lain halnya jika aku masih belum bersuami, semua bebas kuputuskan sendiri."Istriku sayang, kamu sudah nggak sabar, ya?" tanyanya dengan menyusupkan jari jemarinya di antara jemariku. Rasa nyaman perlahan menyusup ke dalam hatiku. Untuk beberapa saat kami saling menggenggam dan bertukar pandang."Iya, Mas. Kita bersihkan saja sendiri, lalu kita pindah ke sini. Nggak perlu repotin yang punya rumah," bujukku, berharap Mas Yudha setuju.Dinar yang sejak tadi anteng, kini mul
Seperti yang disampaikan Mas Yudha semalam, Mas Angga datang bersama keluarga kecilnya sore ini.Rumah menjadi ramai oleh suara Lusi dan Dani. Mereka segera sibuk bertanya kabar adiknya yang tergolek dengan mata terbuka.Setelah berbicara beberapa saat, Mas Angga dan kedua anaknya ikut ibu ke toko. Mas Yudha sendiri memilih berbaring di kamar.Tak kulihat mereka berbincang layaknya saudara sekandung pada umumnya. Yang kulihat Mas Yudha menarik diri dari kakaknya.Aku tak mengerti apa yang terjadi dengan dua kakak beradik itu selama aku pergi. Sependek pengetahuanku, memang mereka sering berselisih pandang. Mbak Andin masih menemani Dinar, sesekali mengajak bicara.Kesempatan itu kugunakan untuk bicara dengan kakak iparku yang sejak datang lebih banyak diam.Ia hanya bertanya kapan aku datang, lalu menjauh dari ibu yang sibuk mengobrol dengan kedua cucunya.Dalam hati aku meyakini kalau ada banyak pertanyaan yang ing