Bus yang kami naiki memasuki terminal di jam satu pagi. Rupanya hujan tak sampai ke daerah ini, terbukti tak ada genangan air sedikit pun di sini.
Mas Yudha justru mencari hotel untuk menginap, bukannya mencari bus kedua yang akan membawa kami ke kotanya."Kita istirahat dulu, biar kamu sama Dinar nggak kelelahan," ujarnya saat menunggu taxi datang menjemput kami.Kupatuhi pintanya. Kuucapkan terima kasih sebab peduli pada kami berdua.Tak lama kemudian, taxi yang kami tunggu tiba, lantas mengantar kami ke tujuan.Dinar segera kubaringkan begitu sampai. Kuselimuti badannya dengan selimut putih yang tersedia di atas kasur. Bergantian aku dan Mas Yudha membersihkan diri.Ia telah bersantai sambil menikmati acara televisi."Mas, capek nggak? Kupijit punggungnya, ya?" ujarku menawarkan.Ia mengangguk. Aku segera mendekat, lalu mulai memijit bahu dan punggungnya."Sudah cukup, Dek. Makasih, ya," ujarnya setMeski berat, kuikuti juga langkah kaki Mas Yudha memasuki rumah ibu mertua.Pintu toko masih terbuka lebar. Nampaknya beliau masih berada di dalamnya.Terpisahnya bangunan toko dan rumah, membuatku sedikit lega, sebab tak langsung bertemu muka dengan wajah beliau saat sampai di sini.Jantungku berdegup kencang saat melewati pintu depan, lantas melihat kursi panjang yang ada di ruang tamu. Di sana terlihat jelas bagaimana aku disambut hari itu, hari pertama aku menginjakkan kaki di sini."Apa tujuanmu mendekati anakku?"Aku terkesiap mendapat pertanyaan dari Bu Elis, ibu Mas Yudha. Apa maksudnya bertanya begini?"Ibu mana yang rela jika anaknya beristri janda?" tanya beliau sebelum aku sempat menjawab.Baru saja Mas Yudha pamit ke belakang mengambilkan minum untuk kami, tiba-tiba aku disodori pertanyaan mengejutkan dari sang ibu. Mas Yudha awalnya memang teman kerja yang telah jatuh hati padaku. Meski telah kujelaskan bahwa aku seorang janda deng
"Rumah itu belum dibersihkan, dan juga belum ada isinya, Dek."Mas Yudha mencoba memberikan pengertian padaku, yang sejak memasuki rumah ini lebih banyak membisu.Kubiarkan saja ia membawa Dinar untuk digendong ibu mertua meski hati tak rela. Teringat lagi ucapan ibu hari itu, yang membuat aku memantapkan hati meninggalkan rumah ini."Dek, tolong mengerti, untuk sementara kita di sini dulu. Sambil jalan, kita isi rumah itu pelan-pelan, baru kita tempati."Entah kenapa aku menolak setuju pada argumennya kali ini. Jelas-jelas di sana ada dipan dan juga kasur. Lemari sama meja kecil juga kulihat ada di dapur. Perabot lain kan bisa diisi sambil menempati rumah itu.Aku mencoba mengendalikan gemuruh sebab merasa didustai olehnya kali ini. Bagiku, keluar dari rumah ini, itu yang utama."Aku tak masalah sama sekali, meski menempati rumah dengan perabotan seadanya," ujarku akhirnya. Mas Yudha terdiam. Mungkin memikirkan apa yang kusampaikan.Aku me
Malam sudah semakin larut. Suara kendaraan yang lalu lalang di jalan raya, masih terdengar tanpa henti.Dinar pun perlu adaptasi lagi dengan kondisi di rumah ini. Ia telah terbiasa dalam kondisi sunyi selama tiga Minggu kemarin, sedangkan di sini, aktivitas di jalanan seakan tanpa henti.Beberapa kali ia terjaga, sebab suara-suara yang mengganggu telinga. Aku sendiri tetap terjaga, bergantian dengan Mas Yudha berusaha menenangkan dan membuat ia tetap nyaman.Lewat jam dua belas ia baru benar-benar terlelap."Tidurlah, Dek. Nanti Mas bangunkan kalau dia butuh ASI, kalau cuma nangis, Mas masih bisa tenangkan, kok," pinta Mas Yudha.Aku patuh, lantas berbaring di samping bayiku yang kini pulas tertidur. Semoga saja nggak terjaga lagi hingga pagi ya, Nak.Suara hujan yang jatuh di atap rumah, sukses membuatku terjaga. Ada beberapa titik di rumah ini yang rawan banjir jika hujan turun dengan derasnya. Setidaknya itu yang kuk
"Aduh, gimana, sih, masa udah siang begini masih tidur? Apa nggak masak, apa nyuci gitu?" tanya si tetangga lagi.Nah, kan ... . Pasti begini tanggapan tetangga kanan kiri. Percaya saja dengan ucapan ibu, tanpa tau kebenarannya, langsung saja mereka berkomentar tanpa permisi.Selalu begini, selalu seperti ini. Ibu pintar sekali memutarbalikkan fakta, hingga aku terlihat sebagai istri dan menantu yang tak baik di mata tetangga."Udah biasa. Nanti siang paling bangunnya. Coba nggak ada saya, gimana anak ini," sahut ibu lagi. Aku hanya bisa menggelengkan kepala mendengar penuturan beliau. Ingin rasanya kuambil sekarang juga anakku yang berada dalam gendongannya, tapi aku takut khilaf.Kulirik ke kamar, di mana Mas Yudha masih terlelap. Kuharap ia segera bangun, lalu memenuhi janji membawaku jalan-jalan hari ini. Semakin ditahankan, semakin tak nyaman saja di sini.Kuambil segelas air, lantas menyeruput hingga tandas. Kudatangi Mas
Tak sabar rasanya ingin segera menempati rumah ini. Tak masalah bagiku meski harus bersih-bersih dulu.Tenagaku banyak, badanku juga sehat. Tak peduli habis melakukan perjalanan jauh dan baru sampai di kota ini tadi malam. Bagiku, selama bisa dikerjakan sekarang, kenapa harus ditunda-tunda? Lebih cepat lebih baik, kan gitu konsepnya.Hanya saja, sekarang ini ada Mas Yudha, suami sekaligus pemimpin dalam rumah tanggaku. Tak mungkin aku membuat keputusan sendiri. Lain halnya jika aku masih belum bersuami, semua bebas kuputuskan sendiri."Istriku sayang, kamu sudah nggak sabar, ya?" tanyanya dengan menyusupkan jari jemarinya di antara jemariku. Rasa nyaman perlahan menyusup ke dalam hatiku. Untuk beberapa saat kami saling menggenggam dan bertukar pandang."Iya, Mas. Kita bersihkan saja sendiri, lalu kita pindah ke sini. Nggak perlu repotin yang punya rumah," bujukku, berharap Mas Yudha setuju.Dinar yang sejak tadi anteng, kini mul
Seperti yang disampaikan Mas Yudha semalam, Mas Angga datang bersama keluarga kecilnya sore ini.Rumah menjadi ramai oleh suara Lusi dan Dani. Mereka segera sibuk bertanya kabar adiknya yang tergolek dengan mata terbuka.Setelah berbicara beberapa saat, Mas Angga dan kedua anaknya ikut ibu ke toko. Mas Yudha sendiri memilih berbaring di kamar.Tak kulihat mereka berbincang layaknya saudara sekandung pada umumnya. Yang kulihat Mas Yudha menarik diri dari kakaknya.Aku tak mengerti apa yang terjadi dengan dua kakak beradik itu selama aku pergi. Sependek pengetahuanku, memang mereka sering berselisih pandang. Mbak Andin masih menemani Dinar, sesekali mengajak bicara.Kesempatan itu kugunakan untuk bicara dengan kakak iparku yang sejak datang lebih banyak diam.Ia hanya bertanya kapan aku datang, lalu menjauh dari ibu yang sibuk mengobrol dengan kedua cucunya.Dalam hati aku meyakini kalau ada banyak pertanyaan yang ing
Derap langkah kaki bergerak mendekat, membuat pandangan teralihkan. Senyum tersungging di bibir, melihat Mbak Andin kembali memasuki rumah ini. Dani berada dalam gendongannya."Kenapa dia, Mbak?" tegurku, lalu mendekat hendak mencium keponakanku. Ia malam menyembunyikan wajah, membuat diri ini tergelak."Mau pipis katanya, bentar ya, Te," jawab Mbak Andin, lantas berlalu ke belakang.Melihat mereka berdua menghilang di ujung pintu dapur, membuat aku membayangkan jika ibu punya kamar mandi sendiri di belakang toko.Beliau tentu tak akan sering di rumah ini, sebab sudah punya kamar mandi dan kamar tidur sendiri. Aku juga lebih bisa punya privasi. Pun bisa menata isi rumah ini sesuai mauku. Tak seperti sekarang, benda besar tersebar di seluruh penjuru rumah. Menggelengkan kepala, membulatkan tekad bahwa lebih baik tinggal terpisah dan tak saling terlihat dengan ibu dari suamiku.Sebaiknya kubujuk saja Mbak Andin
Suara lalu lalang kendaraan masih ramai terdengar. Mas Angga muncul di depan pintu."Bu, ayo siap-siap," titahnya."Sekarang?" tanya Mbak Andin.Mas Angga mengangguk, lalu kembali ke depan."Mbak harus pulang," ujar Mbak Andin, beralih padaku. "Kamu yang sabar, ya. Mbak do'akan semoga semua lancar. Banyak berdo'a semoga ibu sama Masmu dilembutkan hatinya. Percayalah, Allah Maha membolak-balikkan hati hambaNya."Kuaminkan ucapannya. Kadang aku berpikir kalau kakak iparku ini sok alim, sebab kalau pakai jilbab pasti kebesaran, menyerupai mukena. Namun, kadang bener juga yang diomongin. Ingin kubalikkan kata-kata barusan, supaya ia mau tinggal di sini,tapi, apa sopan berbuat demikian?Mengambil sebungkus makanan khas daerahku yang kusiapkan untuknya."Mbak, ini, maaf cuma sedikit. Kemarin mendadak soalnya, jadi nggak sempat buat apa-apa," ujarku penuh sesal."Nggak apa-apa. Terima kasih, Dek," ujarnya, la