Share

Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan
Setelah Dua Belas Tahun Pernikahan
Penulis: Wahyuni SST

1. Mobil Yang Sama

"Alhamdulillah, Sah."

Sebuah caption yang ditulis Dita, teman akrabku semasa SMA di status I* disertai foto pernikahannya. Aku biasa melihat wajah pengantin wanita ditutupi stiker karena tak ingin wajahnya terlihat di media sosial, tapi di foto Dita justru wajah pengantin lelaki yang ditutupi stiker.

Ah, jadi penasaran seperti apa wajah lelaki yang berhasil merebut hati Dita, janda beranak satu, cantik dan kaya raya. 

Saking penasarannya, dengan cepat aku menekan nomor Dita untuk klarifikasi.

Tut ...

Alhamdulillah, langsung diangkat.

[Hallo, Dit. Alhamdulillah, selamat ya Dit atas pernikahanmu, aku ikut senang. Semoga SAMAWA ya.]

[Makasih Dil atas doanya.]

[Ohya Dit, aku kok nggak diundang sih? Mentang-mentang jauh, jadi dilupain?] sindirku padanya. 

[Maaf Dil, bukannya lupa, tapi emang acaranya dibuat kecil-kecilan]

[Kok kecil-kecilan, kamu 'kan biasanya suka yang mewah-mewah?]

[Iya, ini emang permintaan suamiku. Dia orangnya sederhana banget, jadi nggak suka yang mewah-mewahlah.]

[Wow, luar biasa. Eh tapi wajah lakimu kok ditutup stiker, Dit? 'Kan jadi penasaran?]

Dita tertawa di seberang sana.

[Permintaan beliau sendiri, Dil.]

[Kenapa? Emang tampan banget ya sampai takut dilihatin banyak orang?]

Aku membercandainya.

[Alhamdulillah orangnya tampan banget, Dil. Baik lagi. Tapi bukan itu alasannya beliau minta ditutupi wajahnya.]

[Terus kenapa?]

[Em, gimana ya cara ngomongnya? Begini Dil, aku sama si Mas itu masih nikah bawah tangan.]

[Lo kok nikah siri? Aturan jangan mau donk. Nikah siri itu 'kan nggak menguntungkan pihak wanita. Lelaki yang suka nikah siri biasanya udah beristri. Kamu jangan sampai ketipu, Dit.]

[Lha emang benar. Suamiku udah menikah.]

[Lha, jadi kamu mau aja dijadiin istri keduanya?]

[Iya, Dil. Hihihi.]

[Lha, kok mau, Dit? Kasihan istri pertamanya?]

[Gini lo Dil, aku mau menikah sama beliau itu ada alasannya. Pertama karena udah cinta banget. Kedua karena kasihan. Dia itu LDRan sama istrinya. Tiap kali ngajak si istri ikut ke Kalimantan, si istri selalu nolak. Katanya malas lah pindah, udah enak di sana. Lha, tahu-tahunya si istri nggak mau ikut, karena asyik selingkuh. Padahal di sini, suaminya pontang panting nyari uang buat ngidupin istri dan anaknya.]

Mendengar kata LDR-an, aku jadi bergidik sendiri. Soalnya aku dan Mas Wisnu juga LDR sudah hampir dua tahun. Sebenarnya aku merasa takut juga pas pertama kali berjauhan, sampai nangis-nangis minta ikut. Tapi karena si sulung sudah duduk di kelas lima. Jadinya nanggung sekali kalau pindah tahun ini. Alhasil aku setuju untuk menyusulnya tahun depan. Setelah Sulung tamat di sekolah dasar.

[Dit, kamu jangan percaya gitu aja sama lelaki. Takutnya dia beralasan aja itu.]

[In Syaa Allah nggak Dil, aku kenal sama si Mas udah setahunan. Alhamdulillah, udah paham benar kelebihan dan kekurangan beliau. Yang paling aku suka beliau itu pekerja keras. Beliau juga nerima Hadi, anakku dengan baik.]

[Yah, aku nggak bisa bilang apa lagi kalau emang kamu udah cinta banget. Aku ngingatin begini, karena takut terjadi apa-apa gitu nantinya.]

[Makasih Dil, tenang aja aku nggak akan apa-apa kok.]

[Yaudah kalau gitu, pokoknya selamat ya. Ohya, aku berencana ke sana, pengen ketemu kamu. Kebetulan suamiku juga di sana.]

[Benaran Dil, wah aku senang banget. Kapan rencananya?]

[Kalau diijinin, besok aku langsung berangkat, ya.]

[Oke siap, aku tungguin ya.]

Kututup telpon dari Dita dengan perasaan sedikit tak enak. Lalu lekas menelpon Mas Wisnu untuk mengecek keadaannya.

Tut ...

Tak diangkat, kenapa ya? Apa sedang di lapangan? Coba sekali lagi.

Tut ...

[Hallo Ma.]

Alhamdulillah diangkat.

[Papa lagi dimana? Kok lama angkat telponnya?]

[Ini Papa lagi di lapangan.]

Alhamdulillah, sesuai dugaan.

[Pa, aku mau ke Kalimantan besok.]

[Apa, mau kemari? Anak-anak gimana?]

[Anak-anak ada Mama yang ngurus, kebetulan beliau ke Jakarta semenjak kemarin.]

[Udah kangen lagi? 'Kan kita baru ketemu minggu kemarin?]

[Mama mau mengunjung tempat teman karibku semasa SMA di sana, kebetulan dia baru nikah. Sekalian silaturrahmi, udah lama nggak ketemu.]

[Bulan depan aja gimana, biar Papa yang jemput.]

[Nggak usah, Pa. Mama pergi sendiri aja, tar Papa jemput Mama di Bandara, ya.]

[Tapi Papa nggak bisa bawa Mama kemana-mana, soalnya untuk beberapa hari Papa akan turun lapangan. Bahkan, malam pun bisa jadi nggak akan pulang jika memang pabrik mengharuskan lembur.]

[Gitu ya, Pa? Yaudah nggak papa deh, nanti Mama minta jemput sama Dita aja pas di sana. Pokoknya Mama udah semangat empat lima Pa, mau pergi besok. Mumpung ada Nenek yang jagain anak-anak di sini.]

Mas Wisnu terdengar diam sejenak.

[Boleh ya, Pa?]

[Yaudah baik, Ma. Besok kabari lagi ya. Tiketnya dipesan terus.]

[Iya, Pa. Terima kasih Papa Sayang.]

Aku menutup telpon, lalu lekas mengecek tiket pesawat untuk kepergian esok hari. Setelah selesai memesan via online, langkah kembali terangkat untuk menjemput si Sulung dari sekolahnya.

*

Keesokan hari, perjalanan ke lain pulau dimulai. Tak ada yang aneh, selain tangisan si Tengah yang minta ikut ke tempat Papanya. In Syaa Allah kepergianku tidak akan lama, kuperkirakan hanya tiga hari. Jadi biarpun menangis, aku tetap tidak bisa membawanya turut serta.

Satu jam tiga puluh menit, aku sampai di Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan Internasional Airport. Seperti arahan Mas Wisnu, diri kembali melanjutkan perjalanan menuju mess di Kota Tabalong. Sampai di sana, Mas Wisnu sudah menanti dengan senyum terindahnya.

Kami berpelukan sejenak, melepas rindu. 

Meski minggu kemarin baru bertemu, tapi rasa rinduku sudah sedalam lautan. Tapi tak sama halnya dengan suamiku, pelukannya terkesan cepat. Seperti sangat buru-buru.

"Ma, Papa buru-buru. Harus balik ke lapangan. Nanti malam Papa usahakan pulang, tapi agak telat, ya. Mama beranikan tidur sendirian dulu. Tenang aja, di sini aman kok."

Kuanggukkan kepala meski terasa sedikit sedih.

"Padahal Mama masih kangen, Pa" godaku padanya.

"Nanti malam, ya? Sekarang Papa harus pergi dulu. Oya, Mama kapan mau ke rumah teman Mama itu?"

"Kemungkinan satu jam lagi lah."

"Kalau gitu Papa pesan mobil langganan terus, ya. Nanti Mama tinggal sebutkan alamatnya kemana."

"Iya, Pa. Makasih ya Pa."

Mas Wisnu mengecup keningku lalu membuka pintu rumah.

"Ini dia tempat tinggal Papa selama setahun ini."

Ruangannya lumayan luas, cocok untuk sendiri. Tapi bau seperti lama tak ditempati. 

"Nanti kalau aku dan anak-anak jadi pindah, kita bakalan tinggal dimana, Pa?"

"Masalah itu nanti kita pikirkan lagi. Papa harus pergi sekarang, udah telat."

Kuanggukkan kepala dan mengantarnya kembali hingga sampai di pintu keluar. Kuperhatikan baik-baik kepergian lelaki itu. Ia menaiki mobil pribadi yang di dalamnya juga ada beberapa lelaki lain. Mungkin saja teman satu divisi di kantornya. Aku tak seberapa paham dan tidak bisa bertanya lebih jauh. Soalnya kalau ditanya, Mas Wisnu suka menyudahi.

Sebenarnya jika saja Mas Wisnu tidak diPHK dari kantornya di Jakarta, saat ini, tentu kami masih tinggal serumah tanpa LDR-an yang membuat hati selalu dilanda rindu. Namun, demi mencukupi belanja rumah, serta untuk dapat terus membiayai adik dan ibunya, aku terpaksa merelakan kepergian suamiku ke kota ini.

Kulirik jam di tangan yang sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Segera tangan menelpon Dita untuk memberi tahu bahwa aku sudah sampai di Kalimantan. Semoga dia tidak ada kegiatan apapun hari ini.

[Hallo, Dit. Aku udah di Tabalong ini. Kamu ada di rumah?]

[Ada donk. Kamu mau naik apa kemari? Atau aku suruh supir pribadiku aja menjemput kamu, gimana?]

[Nggak usah, Dit. Aku aja yang ke sana, kebetulan suami udah pesan mobil.]

[Yaudah deh. Tak tungguin.]

Menunggu sekitar tiga puluh menit, akhirnya mobil pesanan Mas Wisnu sampai. Awalnya aku risih karena supirnya lelaki, tetapi ternyata di dalam kendaraan itu juga sudah ada beberapa penumpang lainnya yang mungkin punya tujuan yang berbeda.

Kini aku sudah di dalam angkutan umum, bersiap bertemu teman karib yang sudah lama diperantauan ikut almarhum suaminya.

Aku diantar sampai ke tempat tujuan. Turun dari kendaraan tersebut, diri disambut oleh Dita di depan rumahnya. Dia terlihat semakin cantik dan seksi. Badannya langsing proporsional. Masya Allah, aku yang sudah seperti buah labu ini jadi tergerak untuk melakukan diet.

"Dita, aku kangen banget sama kamu. Apa kabar?"

Kami berpelukan sejenak.

"Baik, Dit. Kamu tambah cantik saja."

"Alhamdulillah. Karunia Allah. Kamu juga semakin cantik dan semakin berisi."

"Duh, kamu jangan ngejek sahabatmu ini, Dit. Semakin tambah umur, aku semakin kelihatan tua yo? Dan tentunya semakin berisi. Kasih tahu donk perawatan tubuh bisa mulus kayak kamu ini."

"Iya, nanti aku kasih tahu. Masuk dulu yok."

Aku dan Dita masuk ke dalam rumah. Rumahnya cukup mewah, berlantai dua dengan perabotan yang pastinya bernilai puluhan juta rupiah.

"Nggak ada suamimu, to?"

"Nggak ada, Dil. Keluar sebentar katanya mau jemput boss."

"Oh gitu. Kerja dimana suamimu, Dit?"

"Dia supir di pertambangan, Dil. Biarpun supir, tapi orangnya sangat menarik Dil. Kamu kalau lihat, jangan sampai jatuh cinta, ya."

"Jadi suamimu kerja di pertambangan, sama donk sama suamiku. Sudah hampir dua tahun beliau di Tabalong ini. Kerja di pertambangan juga."

"Oya, siapa tahu suami kita saling kenal ya, Dil?"

"Emang nama suamimu siapa, Dit?"

Belum selesai Dita menjawab, dari luar terdengar suara klakson.

"Nah, itu beliau sudah pulang."

"Duh, nggak papa aku ke rumahmu, Dit?"

"Nggak papa."

"Tapi kenapa tiba-tiba aku merasa tak enak, ya? Takut mengganggu bulan madu kalian."

"Ah, jangan begitu ah. Santai aja. Bentar ya, aku sambut beliau dulu."

Dita berjalan ke pintu lalu keluar ke teras. Karena penasaran, aku menyusulnya. Sampai di teras aku berdiri di sebelah sahabatku itu. 

Terlihat sebuah mobil sudah berhenti di halaman. Pengemudinya belum turun. Tiba-tiba ...

"Lo, mobilnya kok mundur?"

"Mas, Mas ...," panggil Dita sembari mengejar mobil itu, tapi kendaraan yang dinaiki suaminya tak lekas berhenti. Justru kini sudah keluar dari pagar.

Aku memerhatikan kendaraan itu. Kenapa terasa ada yang mengganjal di hati. Lekas kukeluarkan ponsel untuk mengecek foto Mas Wisnu yang dikirim bulan lalu ke ponselku. Dia berdiri di sisi sebuah mobil. Mata ini tertuju pada plat kendaraan Mas Wisnu.

Astaghfirullah! Kenapa bisa sama dengan mobil yang dikendarai suaminya Dita?

***

Bersambung

Terima kasih.

Utamakan baca Al-Quran.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Putry Ismayanti
hahahahaha
goodnovel comment avatar
Anggiria Dewi
seru nih kek nya
goodnovel comment avatar
Mornijar Musa
kkkkkkkkkkkkkkkkk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status