"Alhamdulillah, Sah."
Sebuah caption yang ditulis Dita, teman akrabku semasa SMA di status I* disertai foto pernikahannya. Aku biasa melihat wajah pengantin wanita ditutupi stiker karena tak ingin wajahnya terlihat di media sosial, tapi di foto Dita justru wajah pengantin lelaki yang ditutupi stiker.
Ah, jadi penasaran seperti apa wajah lelaki yang berhasil merebut hati Dita, janda beranak satu, cantik dan kaya raya.
Saking penasarannya, dengan cepat aku menekan nomor Dita untuk klarifikasi.
Tut ...
Alhamdulillah, langsung diangkat.
[Hallo, Dit. Alhamdulillah, selamat ya Dit atas pernikahanmu, aku ikut senang. Semoga SAMAWA ya.]
[Makasih Dil atas doanya.]
[Ohya Dit, aku kok nggak diundang sih? Mentang-mentang jauh, jadi dilupain?] sindirku padanya.
[Maaf Dil, bukannya lupa, tapi emang acaranya dibuat kecil-kecilan]
[Kok kecil-kecilan, kamu 'kan biasanya suka yang mewah-mewah?]
[Iya, ini emang permintaan suamiku. Dia orangnya sederhana banget, jadi nggak suka yang mewah-mewahlah.]
[Wow, luar biasa. Eh tapi wajah lakimu kok ditutup stiker, Dit? 'Kan jadi penasaran?]
Dita tertawa di seberang sana.
[Permintaan beliau sendiri, Dil.]
[Kenapa? Emang tampan banget ya sampai takut dilihatin banyak orang?]
Aku membercandainya.
[Alhamdulillah orangnya tampan banget, Dil. Baik lagi. Tapi bukan itu alasannya beliau minta ditutupi wajahnya.]
[Terus kenapa?]
[Em, gimana ya cara ngomongnya? Begini Dil, aku sama si Mas itu masih nikah bawah tangan.]
[Lo kok nikah siri? Aturan jangan mau donk. Nikah siri itu 'kan nggak menguntungkan pihak wanita. Lelaki yang suka nikah siri biasanya udah beristri. Kamu jangan sampai ketipu, Dit.]
[Lha emang benar. Suamiku udah menikah.]
[Lha, jadi kamu mau aja dijadiin istri keduanya?]
[Iya, Dil. Hihihi.]
[Lha, kok mau, Dit? Kasihan istri pertamanya?]
[Gini lo Dil, aku mau menikah sama beliau itu ada alasannya. Pertama karena udah cinta banget. Kedua karena kasihan. Dia itu LDRan sama istrinya. Tiap kali ngajak si istri ikut ke Kalimantan, si istri selalu nolak. Katanya malas lah pindah, udah enak di sana. Lha, tahu-tahunya si istri nggak mau ikut, karena asyik selingkuh. Padahal di sini, suaminya pontang panting nyari uang buat ngidupin istri dan anaknya.]
Mendengar kata LDR-an, aku jadi bergidik sendiri. Soalnya aku dan Mas Wisnu juga LDR sudah hampir dua tahun. Sebenarnya aku merasa takut juga pas pertama kali berjauhan, sampai nangis-nangis minta ikut. Tapi karena si sulung sudah duduk di kelas lima. Jadinya nanggung sekali kalau pindah tahun ini. Alhasil aku setuju untuk menyusulnya tahun depan. Setelah Sulung tamat di sekolah dasar.
[Dit, kamu jangan percaya gitu aja sama lelaki. Takutnya dia beralasan aja itu.]
[In Syaa Allah nggak Dil, aku kenal sama si Mas udah setahunan. Alhamdulillah, udah paham benar kelebihan dan kekurangan beliau. Yang paling aku suka beliau itu pekerja keras. Beliau juga nerima Hadi, anakku dengan baik.]
[Yah, aku nggak bisa bilang apa lagi kalau emang kamu udah cinta banget. Aku ngingatin begini, karena takut terjadi apa-apa gitu nantinya.]
[Makasih Dil, tenang aja aku nggak akan apa-apa kok.]
[Yaudah kalau gitu, pokoknya selamat ya. Ohya, aku berencana ke sana, pengen ketemu kamu. Kebetulan suamiku juga di sana.]
[Benaran Dil, wah aku senang banget. Kapan rencananya?]
[Kalau diijinin, besok aku langsung berangkat, ya.]
[Oke siap, aku tungguin ya.]
Kututup telpon dari Dita dengan perasaan sedikit tak enak. Lalu lekas menelpon Mas Wisnu untuk mengecek keadaannya.
Tut ...
Tak diangkat, kenapa ya? Apa sedang di lapangan? Coba sekali lagi.
Tut ...
[Hallo Ma.]
Alhamdulillah diangkat.
[Papa lagi dimana? Kok lama angkat telponnya?]
[Ini Papa lagi di lapangan.]
Alhamdulillah, sesuai dugaan.
[Pa, aku mau ke Kalimantan besok.]
[Apa, mau kemari? Anak-anak gimana?]
[Anak-anak ada Mama yang ngurus, kebetulan beliau ke Jakarta semenjak kemarin.]
[Udah kangen lagi? 'Kan kita baru ketemu minggu kemarin?]
[Mama mau mengunjung tempat teman karibku semasa SMA di sana, kebetulan dia baru nikah. Sekalian silaturrahmi, udah lama nggak ketemu.]
[Bulan depan aja gimana, biar Papa yang jemput.]
[Nggak usah, Pa. Mama pergi sendiri aja, tar Papa jemput Mama di Bandara, ya.]
[Tapi Papa nggak bisa bawa Mama kemana-mana, soalnya untuk beberapa hari Papa akan turun lapangan. Bahkan, malam pun bisa jadi nggak akan pulang jika memang pabrik mengharuskan lembur.]
[Gitu ya, Pa? Yaudah nggak papa deh, nanti Mama minta jemput sama Dita aja pas di sana. Pokoknya Mama udah semangat empat lima Pa, mau pergi besok. Mumpung ada Nenek yang jagain anak-anak di sini.]
Mas Wisnu terdengar diam sejenak.
[Boleh ya, Pa?]
[Yaudah baik, Ma. Besok kabari lagi ya. Tiketnya dipesan terus.]
[Iya, Pa. Terima kasih Papa Sayang.]
Aku menutup telpon, lalu lekas mengecek tiket pesawat untuk kepergian esok hari. Setelah selesai memesan via online, langkah kembali terangkat untuk menjemput si Sulung dari sekolahnya.
*
Keesokan hari, perjalanan ke lain pulau dimulai. Tak ada yang aneh, selain tangisan si Tengah yang minta ikut ke tempat Papanya. In Syaa Allah kepergianku tidak akan lama, kuperkirakan hanya tiga hari. Jadi biarpun menangis, aku tetap tidak bisa membawanya turut serta.
Satu jam tiga puluh menit, aku sampai di Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan Internasional Airport. Seperti arahan Mas Wisnu, diri kembali melanjutkan perjalanan menuju mess di Kota Tabalong. Sampai di sana, Mas Wisnu sudah menanti dengan senyum terindahnya.
Kami berpelukan sejenak, melepas rindu.
Meski minggu kemarin baru bertemu, tapi rasa rinduku sudah sedalam lautan. Tapi tak sama halnya dengan suamiku, pelukannya terkesan cepat. Seperti sangat buru-buru.
"Ma, Papa buru-buru. Harus balik ke lapangan. Nanti malam Papa usahakan pulang, tapi agak telat, ya. Mama beranikan tidur sendirian dulu. Tenang aja, di sini aman kok."
Kuanggukkan kepala meski terasa sedikit sedih.
"Padahal Mama masih kangen, Pa" godaku padanya.
"Nanti malam, ya? Sekarang Papa harus pergi dulu. Oya, Mama kapan mau ke rumah teman Mama itu?"
"Kemungkinan satu jam lagi lah."
"Kalau gitu Papa pesan mobil langganan terus, ya. Nanti Mama tinggal sebutkan alamatnya kemana."
"Iya, Pa. Makasih ya Pa."
Mas Wisnu mengecup keningku lalu membuka pintu rumah.
"Ini dia tempat tinggal Papa selama setahun ini."
Ruangannya lumayan luas, cocok untuk sendiri. Tapi bau seperti lama tak ditempati.
"Nanti kalau aku dan anak-anak jadi pindah, kita bakalan tinggal dimana, Pa?"
"Masalah itu nanti kita pikirkan lagi. Papa harus pergi sekarang, udah telat."
Kuanggukkan kepala dan mengantarnya kembali hingga sampai di pintu keluar. Kuperhatikan baik-baik kepergian lelaki itu. Ia menaiki mobil pribadi yang di dalamnya juga ada beberapa lelaki lain. Mungkin saja teman satu divisi di kantornya. Aku tak seberapa paham dan tidak bisa bertanya lebih jauh. Soalnya kalau ditanya, Mas Wisnu suka menyudahi.
Sebenarnya jika saja Mas Wisnu tidak diPHK dari kantornya di Jakarta, saat ini, tentu kami masih tinggal serumah tanpa LDR-an yang membuat hati selalu dilanda rindu. Namun, demi mencukupi belanja rumah, serta untuk dapat terus membiayai adik dan ibunya, aku terpaksa merelakan kepergian suamiku ke kota ini.
Kulirik jam di tangan yang sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Segera tangan menelpon Dita untuk memberi tahu bahwa aku sudah sampai di Kalimantan. Semoga dia tidak ada kegiatan apapun hari ini.
[Hallo, Dit. Aku udah di Tabalong ini. Kamu ada di rumah?]
[Ada donk. Kamu mau naik apa kemari? Atau aku suruh supir pribadiku aja menjemput kamu, gimana?]
[Nggak usah, Dit. Aku aja yang ke sana, kebetulan suami udah pesan mobil.]
[Yaudah deh. Tak tungguin.]
Menunggu sekitar tiga puluh menit, akhirnya mobil pesanan Mas Wisnu sampai. Awalnya aku risih karena supirnya lelaki, tetapi ternyata di dalam kendaraan itu juga sudah ada beberapa penumpang lainnya yang mungkin punya tujuan yang berbeda.
Kini aku sudah di dalam angkutan umum, bersiap bertemu teman karib yang sudah lama diperantauan ikut almarhum suaminya.
Aku diantar sampai ke tempat tujuan. Turun dari kendaraan tersebut, diri disambut oleh Dita di depan rumahnya. Dia terlihat semakin cantik dan seksi. Badannya langsing proporsional. Masya Allah, aku yang sudah seperti buah labu ini jadi tergerak untuk melakukan diet.
"Dita, aku kangen banget sama kamu. Apa kabar?"
Kami berpelukan sejenak.
"Baik, Dit. Kamu tambah cantik saja."
"Alhamdulillah. Karunia Allah. Kamu juga semakin cantik dan semakin berisi."
"Duh, kamu jangan ngejek sahabatmu ini, Dit. Semakin tambah umur, aku semakin kelihatan tua yo? Dan tentunya semakin berisi. Kasih tahu donk perawatan tubuh bisa mulus kayak kamu ini."
"Iya, nanti aku kasih tahu. Masuk dulu yok."
Aku dan Dita masuk ke dalam rumah. Rumahnya cukup mewah, berlantai dua dengan perabotan yang pastinya bernilai puluhan juta rupiah.
"Nggak ada suamimu, to?"
"Nggak ada, Dil. Keluar sebentar katanya mau jemput boss."
"Oh gitu. Kerja dimana suamimu, Dit?"
"Dia supir di pertambangan, Dil. Biarpun supir, tapi orangnya sangat menarik Dil. Kamu kalau lihat, jangan sampai jatuh cinta, ya."
"Jadi suamimu kerja di pertambangan, sama donk sama suamiku. Sudah hampir dua tahun beliau di Tabalong ini. Kerja di pertambangan juga."
"Oya, siapa tahu suami kita saling kenal ya, Dil?"
"Emang nama suamimu siapa, Dit?"
Belum selesai Dita menjawab, dari luar terdengar suara klakson.
"Nah, itu beliau sudah pulang."
"Duh, nggak papa aku ke rumahmu, Dit?"
"Nggak papa."
"Tapi kenapa tiba-tiba aku merasa tak enak, ya? Takut mengganggu bulan madu kalian."
"Ah, jangan begitu ah. Santai aja. Bentar ya, aku sambut beliau dulu."
Dita berjalan ke pintu lalu keluar ke teras. Karena penasaran, aku menyusulnya. Sampai di teras aku berdiri di sebelah sahabatku itu.
Terlihat sebuah mobil sudah berhenti di halaman. Pengemudinya belum turun. Tiba-tiba ...
"Lo, mobilnya kok mundur?"
"Mas, Mas ...," panggil Dita sembari mengejar mobil itu, tapi kendaraan yang dinaiki suaminya tak lekas berhenti. Justru kini sudah keluar dari pagar.
Aku memerhatikan kendaraan itu. Kenapa terasa ada yang mengganjal di hati. Lekas kukeluarkan ponsel untuk mengecek foto Mas Wisnu yang dikirim bulan lalu ke ponselku. Dia berdiri di sisi sebuah mobil. Mata ini tertuju pada plat kendaraan Mas Wisnu.
Astaghfirullah! Kenapa bisa sama dengan mobil yang dikendarai suaminya Dita?
***
Bersambung
Terima kasih.
Utamakan baca Al-Quran.
"Semua salah Papa, Kak. Papa yang sudah membuat keluarga kita hancur."Wisnu berucap dengan suara bergetar dan dua matanya yang basah. Hal itu membuat Safia ikut menangis. Terenyuh dengan keadaan, Dila mendekati sang anak dan memeluknya."Sudah jangan menangis, Nak."Ia mengusap kepala sang anak yang berbalut hijab."Benarkah tidak ada kesempatan kedua untuk Papa, Ma?"Dila menghela napas dalam, wajahnya menatap Wisnu sejenak."Mama sudah pernah mengatakan hal ini, Kak. Kesempatan kedua selalu ada, tapi masalahnya saat ini Mama adalah seorang janda dari lelaki lain. Perasaan Mama sudah berbeda, ada cinta yang berusaha ingin Mama jaga untuk almarhum Abi Farhan. Tapi seandainya saat ini Mama tidak pernah dipertemukan Allah dalam sebuah mahligai yang suci bersama Abi, mungkin Mama akan menerima untuk kembali bersama Papa."Dia memberi jeda pada ucapannya."Mas Wisnu, apa Mas ridha dengan keputusan saya ini?"Wisnu menatap Dila lalu berpindah pada sang anak, detik berikutnya dia mengangg
Perasaan Dila seketika berubah, yang tadi sepenuhnya diliputi bahagia kini berganti cemas. Dia menutup telpon."Kenapa, Ma?"Hamid bertanya juga dengan perasaan khawatir."Safia sedang menemani Papa di rumah sakit.""Rumah sakit, Papa kenapa, Ma?""Mama belum tahu, Nak."Mereka terdiam sejenak."Yaudah gini aja, Papa biarkan sama Safia. Nanti setelah semua tamu undangan meninggalkan rumah ini, kita sama-sama ke rumah sakit ya."Dila memberi solusi."Jangan Ma, Mama ke rumah sakit aja nemani Safia. Kalau Papa parah, pastinya dia ketakutan. Di sini biar aku sepenuhnya yang handle."Dila menghela napas berat, situasi ini benar-benar tidak dia kehendaki. Tapi inilah yang dinamakan takdir, ia harus ikhlas dan mencoba melakukan yang terbaik. Hamid benar, di sana Safia pasti ketakutan. Terdengar dari suaranya di telpon yang bergetar. Dila tidak mungkin membiarkan anak gadis itu berjuang seorang diri. Meski tidak untuk melakukan apapun, tapi setidaknya bisa mendampingi buah hati tercinta.*
Detik berikutnya ia menghela napas berat."Menikah bukan perkara mudah Kak, umur Mama sekarang sudah lima puluh tahun. Sudah tidak cocok lagi untuk menikah.""Kenapa Ma, bahagia 'kan tidak perlu memikirkan orang lain. Jika kita bahagia, umur tujuh puluh tahun pun boleh menikah.""Iya Sayang, tapi permasalahannya nggak semudah yang Kakak pikir. Mama bahkan masih merasa Abi membersamai Mama hingga detik ini. Jadi Mama tidak bisa menikah kembali dengan Papa. Mama mohon Kakak sama anak Mama yang lain bisa mengerti ya, Nak."Safia menatap wajah sang ibu dengan tatap kekecewaan, tapi diusia yang kini sudah menginjak 21 tahun, dia tentu memahami perasaan sang ibu. Ya, mungkin cinta Mama ke Abi masih terlalu besar, hingga tak mampu jika harus kembali pada papa. Ia kembali melipat rapat keinginan melihat Mama-Papanya bisa tersenyum bersama dalam satu rumah.*Dila berbaring di atas ranjang, pandangannya lurus menatap langit-langit kamar yang hanya bersinarkan cahaya remang lampu tidur. Permin
Mereka duduk di teras villa milik Wisnu, sejenak hening. Keduanya benar-benar diliputi kecanggungan."Mas mau bicara apa?" tanya Dila terlihat begitu tenang. Sedang di tempatnya, Wisnu merasa teramat berdebar. Seakan kembali ke jaman dahulu saat hendak meminta sang wanita menjadi istri, kini perasaan itu kembali membersamai."Apa kabar?"Bingung mau menanyakan apa, akhirnya Wisnu berbasa basi menanyakan kabar.Dila justru tersenyum. "Mas 'kan hampir setiap minggu ketemu saya. Apa Mas menemukan saya dalam keadaan tidak baik?"Mereka saling memandang, detik berikutnya sama-sama tertawa kecil. Alhamdulillah, setidaknya ini awal yang baik setelah tadi sempat memanas. Hati Wisnu berkata."Maksud Mas bukan kabar yang itu?""Jadi kabar apa lagi?"Wisnu memaksakan diri untuk tersenyum. Sepertinya dengan bertambah umur, kosakata jadi berkurang? Lelaki itu menarik napas dalam."Maksud Mas kabar hati kamu. Yah, setelah Farhan tiada?""Beginilah Mas, sepi. Sebab dia adalah lelaki yang bisa memb
"Kamarmya luas banget ya, Ma. Duh, sepi kalau cuma kita berdua. Coba aja ada Adek, Faro sama Papa.""Kak."Dila tampak tak senang dengan perandaian sang anak anak. Membuat Safia tersenyum mengatup mulut, merasa salah berucap yang pada akhirnya membuat mamanya tak suka. Gadis itu memilih mengganti topik pembicaraan."Gimana kalau kita ke kolam renang, Ma?"Dila menghela napas dalam."Yaudah, yuk."Dila mencoba menghubungi Fatma dan mengajak ke kolam renang, tapi wanita itu menolak secara halus karena anak-anak sama ayahnya lagi ada kegiatan di kamar. Mereka berencana menyusul sekitar satu jam kemudian.Safia tampak menerima telpon.[Iya Mas, lagi dimana?][...][Hah? Di sini juga. Sama siapa?][....][Oh gitu, jadi ramai-ramai sama teman?][...][Sama keluarga.][....][Ketemuan?]Safia menatap sang Mama.[Lain kali aja deh, lagi family time soalnya.][...][Sorry yah.][...]Safia menutup telpon dengan perasaa tidak enak. Selama ini memang sang Mama kerap mengingatkan untuk tidak terl
Tujuh tahun, rasanya masih kurang waktuku mendampinginya. Mas Farhan, lelaki yang selama ini menemani dengan penuh kasih dan cinta akhirnya menutup mata diusia ke lima puluh lima tahun.Sedih? Ya. Jiwaku seperti kembali menemukan kehampaan. Selama pernikahan kami, dia memberi apa yang kubutuhkan. Tak ada satu hal pun yang membuatnya bisa menaruh amarah padaku, dia terlalu baik dan bahkan bagiku jelmaan bidadara.Bersamanya, hanya ada Ammar yang kini berusia enam tahun dua bulan. Meskipun baru duduk di kelas satu SD, tapi dia sangat paham akan kehilangan yang kami semua rasakan. Dua hari terlewati, putraku tersebut masih berteman dengan kebisuan.Ya, bagaimanapun selama ini dia begitu dekat dengan Abinya. Perpisahan ini tentu meninggalkan goresan dalam sanubari. Aku mencoba menghibur, tapi dia justru memintaku untuk membiarkannya sendiri.Ya Allah ...Semoga keadaan segera membaik. Juga hati ini, semoga segera menemukan kembali ketenangan dan keceriaan. Karena bagaimanapun, bahagia an
"Assalamualaikum Pak Wisnu, saya boleh menumpang di mobil Bapak tidak? Kebetulan mobil saya mogok. Dan sore ini saya harus sudah punya sebuah hadiah yang akan saya berikan untuk Uminya anak-anak. Kebetulan hari ini adalah hari milad beliau.""Tentu boleh Ustadz. Mari masuk.""Ini entah sejalan atau tidak, tapi saya minta diantar sampai ke toko sepatu saja Pak Wisnu."Wisnu terhenyak saat mendapati Ustadz Syafiq memintanya mengantar ke toko sepatu. Mimpi beberapa malam lalu kembali terlintas. Ah, tapi ia abaikan ingatan itu. Menurutnya mimpi hanya bunga tidur, tidak usah terlalu dipercaya.Lelaki itu kembali menjalankan mobil, sampai di depan sebuah toko sepatu Ustadz Syafiq turun dan berterima kasih telah memberi tumpangan."Ustadz yakin saya tidak perlu menunggu?""In Syaa Allah Pak, nanti saya naik taksi saja. Terima kasih sekali sudah mau mengantar sampai di sini.""Sama-sama Ustadz, yasudah saya pamit duluan ya."Wisnu kembali menjalankan mobilnya tapi seketika terhenti saat melih
Hamid telah selesai menjalani bakti di PMDG Ponorogo. Setelah melalui serangkaian acara pelepasan dari ponpes, akhirnya Dila dapat memeluk kembali putra pertamanya itu. Walau hanya sebentar karena setelah ini justru dia akan kehilangan sang putra lebih lama dan besar kemungkinan untuk tidak dapat dijenguk seperti dahulu saat masih di Gontor. Karena Hamid telah dinyatakan lulus pada seleksi ujian masuk ke Universitas Al-Azhar, Mesir.Dila sekeluarga kompak dengan pakaian berwarna hijau muda. Mereka terlihat begitu bahagia, memeluk sang anak dan menyempatkan diri berfoto untuk terakhir kali di ponpes tersebut.Sementara itu Hamid terlihat gelisah, ia terus melirik jam di pergelangan tangan. Seseorang yang janjinya juga akan datang belum jua sampai. Ia masih menunggu kehadiran sang Papa. Karena diliputi rasa khawatir, akhirnya ia meminta ponsel yang dititip pada sang mama selama mengikuti pendidikan. Tujuannya hanya satu, menelpon papa.Pamit sebentar ke tempat yang lebih sepi, Hamid me
Satu tahun kemudian ...Tangis bayi terdengar membelah langit subuh kala itu. Air mata Dila jatuh di kedua pipi. Sang suami mengusap perlahan. Rasa sakit karena kontraksi yang terus menerjang rahim terbayar sudah dengan merasakan gerakan jemari kecil sang bayi yang kini diletakkan di atas perut untuk mencari-cari puting susunya.Farhan mengusap bulir keringat yang membasahi pelipis, pelan mengecup kening sang istri dengan lembut."Makasih ya, Ma. Kamu sudah menyempurnakanku sebagai seorang ayah."Dila menanggapinya dengan senyuman serta usapan pada pipi sang suami."Mau diberi nama apa Ma bayinya?"Dila kembali menatap sang suami. "Mama serahkan sama Abi aja, karena tebakan Mama salah."Dila mengulum senyum, selama hamil mereka memang sepakat untuk tidak mencari tahu jenis kelamin.Namun, mereka menyiapkan dua nama, jika perempuan Dila yang beri nama. Dan jika lelaki maka Farhanlah yang memberi nama anak mereka.Farhan terlihat berpikir sejenak. Sebuah nama memang kerap melintas di b