Share

2. Pengakuan Supir Pribadi Dita

Jantung sudah berdenyut hebat, sedang napas terasa tercekat di tenggorokan. Apa yang harus kulakukan jika benar yang dikatakan Dita bahwa lelaki beristri yang sudah menikahinya adalah Mas Wisnu, suamiku? 

Ah, aku tidak boleh berprasangka buruk. Lebih baik aku mengulik lebih dalam dari sahabatku itu. 

Dengan perasaan tak karuan, aku melihat Dita mengambil ponsel dan menelpon suaminya.

[Mas, kok putar balik?]

[...]

[Oh gitu, yaudah Mas hati-hati, ya.]

[....]

[Lo kok bisa? Kita 'kan baru nikah, Mas?]

[....]

[Makanya aku bilang, Mas berhenti aja. Ikut jualan sama aku ngurus toko peninggalan suami aku beres. Daripada gini, diperintah terus sama orang lain 'kan?]

[....]

Aku melihat Dita tersipu malu. Lalu dia mengangguk dan menutup telpon. Wajahnya kini tertuju padaku.

"Suamiku nggak jadi pulang, katanya boss minta diantar lagi. Yah, begitulah kalau kerja jadi bawahan orang lain, Dil. Udah lama aku minta dia berhenti kerja, lalu kerja sama aku aja ngurusi semua toko-toko peninggalan suamiku, tapi dia nggak mau. Memang kalau nikah sama lelaki pekerja keras, kudu sabar, ya."

Aku memaksakan diri tersenyum, sedang hati meletup-letup karena penasaran. Bagaimana ya caranya bertanya supaya tidak terkesan ingin tahu.

Kuhela napas berat.

"Dil, suamimu asli orang Balik Papan?"

Pandangan Dita tertuju padaku.

"Bukan, emang kenapa?"

"Ah, nggak. Aku cuma penasaran aja."

Ayo Dit, jawab.

"Eh, masuk lagi yuk. Kita nostalgia sambil karaoke. Kamu masih suka nyanyi 'kan?"

Duh, pertanyaanku diabaikan. Dita kini menarik tanganku dan membawa ke sebuah ruangan kedap suara.

"Di sini aku kerap menumpahkan segala emosi. Ini ambil kamu satu."

"Anakmu mana, Dit?"

"Sekolah dia, udah ayuk kamu duluan."

Kutarik napas berat. Oke tak mengapa sejenak aku mengikuti kemauannya. Setelah ini aku akan kembali mencari tahu.

*

Sudah sepuluh lagu kami jambani berdua. Karena lelah, Dita mengajakku makan. Dia masih sering menatap ponsel. Sepertinya satu-satunya cara untuk tahu siapa suami Dita, hanya dengan melihat ponselnya. 

Kami sudah selesai makan.

"Kok kamu kelihatan resah gitu, Dit?" tanyaku melihatnya yang masih saja terus memerhatikan ponsel.

"Kangen aku Dil sama suamiku. Ah, mana malam ini dia nggak bisa nginap di rumah lagi."

"Kenapa?" tanyaku penasaran.

"Barusan dia kirim pesan, katanya ada saudara yang datang berkunjung."

"Emang suamimu tinggal dimana, Dit?"

"Tadinya di Mess khusus untuk pekerja di pertambangan. Tapi beberapa bulan lalu, aku membelikannya rumah. Jadi sekarang dia udah tinggal di rumah itu, di daerah Tanjung."

Alhamdulillah, dugaanku keliru. Mas Wisnu 'kan masih tinggal di mess pertambangan.

"Emang nama suamimu siapa, Dit?"

Dua netranya menatapku tajam. Membuat jantung ini berdegup cepat.

"Dari tadi kamu nanya suamiku terus, emang ada apa sih?"

"Enggak Dit, aku cuma waspada aja. Takutnya suamiku sama suamimu malah orang yang sama. 'Kan tadi kamu bilang suamimu udah beristri, ya?"

"Idih kamu, emang suamimu tipe nggak setia, ya?"

"Ya laki mana tahu Dit, jauh sama istri takutnya tergoda. Apalagi aku sama Mas Wisnu udah LDR selama dua tahun."

Dita terhenyak.

"Kenapa, Dit?"

"Nggak papa," jawabnya dengan mimik wajah berubah.

"Tapi kalau aku sama suami, nggak seperti yang kamu ceritakan itu. In Syaa Allah aku nggak pernah mengabaikan Mas Wisnu walaupun kamu berjauhan. Aku malah yang selalu minta ikut, tapi dia yang minta aku bersabar. Nunggu anak pertama kami selesai menuntut ilmu di sekolah dasarnya."

"Oh gitu. Oh iya, Dil. Aku lupa harus jemput anakku di sekolahnya. Kamu mau nungguin aku di rumah? Tapi habis jemput dia, aku harus singgah ke toko sebentar. Mau ngecek kata karyawan ada barang baru masuk. Gimana?"

Aku menatap Dita yang kelihatan tergesa-gesa bangkit, tak seperti tadi dia terlihat sangat semangat dengan kedatanganku. Kini justru nampak keberatan.

"Aku pulang aja, Dit."

"Yah, padahal baru sebentar kita ketemu. Tapi yaudah deh, semoga bisa ketemu lain kali, ya."

Dita kok nggak ngelarang aku pulang, ya? Padahal kupikir pertemuan sama Dita bakalan seru seperti yang dulu-dulu, mana jauh-jauh lagi datang dari Jakarta sampai merogoh isi dompet yang tidak seberapa. Duh, nasib. Sampai sini malah bawaannya jadi curigaan.

"Oya Dil, kamu diantar supirku aja ya sampai ke Tabalong. Biar nggak kerepotan naik angkutan umum."

"Ah, jangan Dit. Nanti malah ngerepotin supirmu."

"Nggaklah. Yuk bareng supirku aja ya. Tapi bentar, aku ganti pakaian dulu."

Kuanggukkan kepala lalu memilih duduk di sofa tepat di depan ruang karaoke. Sedang Dita berjalan menuju kamarnya. Selepas kepergian Dita, dua netraku menatap sebuah benda yang tanpa sengaja diletakkan begitu saja di atas meja.

Ponsel.

Dada terasa berdebar, kala aku memutuskan untuk bangkit dan menyentuh benda pipih itu.

Dengan melihat kontak suami Dita di ponsel ini, aku pasti bisa tahu siapa sebenarnya lelaki yang sudah memperistri sahabatku itu. 

Ponsel kini sudah di tangan, tapi mata kugunakan kembali untuk memastikan apakah ada yang memantau.

Bismillah.

Aku menghidupkan ponsel itu, syukur tidak terkunci. Lanjut jemari ini lalu menekan tombol menu hingga terlihat seluruh aplikasi. 

Tujuanku cuma satu, W******p.

Dada semakin berdebar, tapi kucoba untuk tetap tenang. Aplikasi berwarna hijau itu kini sudah kubuka. Selangkah lagi diri akan tahu siapa suami Dita sebenarnya.

Paling atas, aku menemukan sebuah nama yang membuat jantung ini seketika berdegup sangat kencang.

My lovely hubby. 

Foto profilnya pernikahan mereka, dimana wajah lelaki yang menjadi suami Dita tertutup stiker. Aku mencoba mengecek nomor ponsel.

Ya Allah, dada ini berdegup tak karuan. Takut jika dugaanku menjadi kenyataan. 

Fuih ...

Aku membuang napas lega, saat tahu bahwa nomor yang tertera di nama ini bukanlah nomor Mas Wisnu suamiku. Tapi aku harus lebih jauh mencari tahu. Kembali tangan ini menscroll pesan dalam akun tersebut.

Semua isinya hanya sebatas percakapan suami istri. Ya Allah, sepertinya kecurigaan sungguh-sungguh tak beralasan.

Dengan segera aku keluar dari aplikasi tersebut, apalagi setelah mendapati mereka berbicara lebih pribadi soal urusan ranjang.

Kini jemari pindah ke galeri foto. Siapa tahu ada satu saja foto suami Dita yang jelas terlihat wajahnya. Tentunya, supaya dugaan burukku sempurna patah.

Tapi, tak ada satupun foto suami Dita yang tidak dipakaikan stiker. Kenapa masih terasa mengganjal di hati ya Allah?

Aku menghela napas berat. Lalu meletakkan kembali ponsel Dita di atas meja.

"Lama nunggu, Dil?"

Aku terhenyak, untung saja ponsel Dita sudah kuletakkan pada tempatnya semula.

"Yuk kuantar kamu sampai ke mobil."

Lekas tubuh mengikuti langkah Dita hingga sampai di mobilnya.

"Pak, tolong antar sahabat saya ke Tabalong."

"Iya baik, Mbak."

Aku berpamitan pada Dita, lalu menaiki mobilnya. Ah, hati masih penuh tanda tanya. Padahal sudah jelas 'kan bukan Mas Wisnu suami Dita. Tapi perasaan ini kenapa masih tidak tenang?

Sudah lima belas menit perjalanan, aku hanya terdiam sembari membuka-buka ponsel. Hingga supir mobil ini melempar pertanyaan.

"Mbak asli orang Tabalong?"

"Nggak Pak, saya orang Jakarta."

"Wah, jauh juga melancong sampai ke Kalimantan?"

"Iya, Pak. Udah lama nggak ketemu Dita. Pas lihat dia posting foto pernikahan, jadi pengen ketemu. Pas kebetulan, suami saya juga kerja di Tabalong, yaudah sekali bisa ke tempat beliau," jawabku panjang lebar.

"Oh begitu. Mbak di Jakarta mananya?Suami Mbak Dita juga orang Jakarta."

"Orang Jakarta?"

Aku sedikit terhenyak mendapati ucapan lelaki itu.

"Iya, Mbak. Saya dengar sih begitu."

"Bapak punya fotonya nggak, kok saya jadi penasaran ya? Tadi justru lupa minta lihat foto orangnya sama Dita."

"Wah, kalau foto, semua foto Pak Wisnu diminta pakaikan stiker, Mbak."

"Wisnu? Nama suami Dita Wisnu?"

Ya Allah, hatiku semakin cenat cenut. Dan semakin kemari terasa sangat takut jika ternyata benar Mas Wisnu sudah mengkhianati diri ini.

"Iya, Mbak. Wisnu Pratama."

Astaghfirullah, kenapa namanya bisa sama? Tapi Dita kenapa diam saja tadi saat kusebut nama suamiku Wisnu?

"Bapak benar-benar nggak punya fotonya satupun yang tanpa stiker?"

"Sebenarnya ada, Mbak. Foto yang saya ambil diam-diam. Tapi ya itu saya nggak berani nyebarin atau perlihatkan sama siapapun. Karena ini sesuai perintah Mbak Dita."

"Sama saya saja kok, Pak. Saya janji tidak akan memberitahu pada siapapun juga pada Dita. Saya penasaran banget, Pak. Padahal jauh-jauh dari Jakarta ke Kalimantan pengen kenal sama lelaki yang sudah berhasil memperistri Dita. Sampai sini malah lupa, keasyikan karaoke tadi," bujukku dengan segala cara.

Dan sepertinya kali ini, lelaki paruh baya itu tampak setuju. Sambil sebelah tangan memegang setir, tangannya yang lain mengambil hp dari saku tali pinggang lalu membuka galeri dan memperlihatkan sebuah foto yang berhasil membuat tubuh ini seolah tersengat aliran listrik beribu-ribu volt.

"Mas Wisnu? Jadi benar dugaanku, Mas Wisnu sudah menikahi wanita lain? 

Astaghfirullah, kenapa Mas? Kenapa sampai begini?"

"Boleh saya lihat secara dekat, Pak?" tawarku pada lelaki itu.

Tiba-tiba mobil yang ada di depan mobil kami mengerem mendadak. Ponsel di tangan supir itu jatuh ke bawah. Lekas aku mengambil ponsel tersebut, dan mengirimkan foto secara cepat ke ponselku.

Dengan bukti foto ini, Mas Wisnu tidak bisa lagi mengelak.

Tunggu kamu, Mas. Kamu berani bermain api, maka bersiaplah untuk terbakar.

***

Bersambung

Terima kasih.

Utamakan baca Al-Quran.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Anggiria Dewi
ini othor baek banget ...selalu mengingat kan tuk baca al qur an ...semoga sukses berkarya thor
goodnovel comment avatar
Binti Suciati
Alhamdulillah udah mengingat kan, insyaallah one day one juz
goodnovel comment avatar
Windi Sumarni
dasa laki3 ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status