"Kita ketemu anak-anak aku dulu, ya," ajak Wisnu pada sang istri."Tapi aku mau ke kamar mandi dulu, Mas."Dita seketika pergi walau sang suami belum berkata iya. Ingin diri Wisnu mengejar, tapi kedatangan Safia yang sudah tak berjarak membuat langkah lelaki itu terhenti. "Papa baru sampai?""Iya, Kak.""Yuk Pa, adik sama Mas Hamid udah nunggu di sana."Akhirnya Wisnu mengabaikan Dita lalu kakinya melangkah mengikuti Safia yang menuntunnya menuju ke atas pelaminan. Tempat dimana Dila dan Farhan baru saja mengucap ijab qabul pernikahan mereka.Wisnu dan Safia kini duduk tak jauh dari Dila dan Farhan yang tampak saling bersalaman. Lalu kedua tangan mereka bergandengan dan menghadap diri ke arah para tamu undangan untuk mengabadikan moment foto-foto.Tanpa sengaja pandangan Wisnu bertemu dengan Dila. Lelaki itu menyunggingkan selarik senyum dan sang mantan istri pun membalasnya."Kasihan banget ya nasib peselingkuh. Pasti perih tuh melihat mantan nikah sama lelaki yang lebih segalanya d
Mas Farhan tersenyum begitu melihatku."Kok nunggunya di sini, Mas?""Em takut aja dari kamar ini ke kamar itu ada yang menghadang.""Menghadang? Siapa?"Aku tersenyum menanggapi ucapan Mas Farhan, membuat lelaki itu ikut tersenyum dan mengusap rambutnya.Beberapa detik kemudian, dia bergerak mendekati diri ini."Masuk kamar yuk, udah malam."Aku menarik napas dalam saat lengannya menyentuh lenganku dan mengajak memasuki kamar kami. Dia membuka pintu, hingga mata ini bisa melihat sebuah ruangan kecil dengan beberapa sofa saling berhadapan. Jemari ini kembali ditarik lebih dalam hingga terlihat di pandangan, sebuah ranjang dengan taburan mawar merah di seluruh badannya.Aku berdecak kagum, sangat terkesima dengan apa yang dihadiahkan Mas Farhan untukku."Bagaimana, suka?" tanyanya sembari menatap diri ini.Kuanggukkan kepala tapi dada mulai berdegup lebih kencang."Mau coba?""Hem?"Dia menggenggam jemari ini dan mengajakku naik ke atas ranjang tersebut. Aroma mawar seketika menguar d
Dita menatap gamis syar'i yang diberikan Wisnu lengkap dengan hijab dan niqab warna senada. Sungguh indah dipandang mata, tapi sangat berat saat dikenakan. Karena keinginan yang mendasari wanita itu memakai pakaian syar'i bukan berdasarkan niatnya akan ridha Allah. Tapi hanya untuk menyenangkan hati Wisnu semata."Gimana, kamu suka nggak?" tanya Wisnu pada wanita itu.Dita masih terdiam."Aku takut nggak bisa istiqamah, Mas.""Pelan-pelan, ikut kajian bersama muslimah bercadar lainnya, kamu pasti akan sangat mencintai pakaian ini nantinya."Dita memilih bergeming, tak mau berdebat akhirnya ia mengenakan jua pakaian itu. Wisnu yang mendapati sang istri tampak anggun dalam busana syar'i dan cadarnya, tersenyum puas. Ia sedang mencari cara menghadirkan rasa cinta yang lebih untuk sang istri. Agar ia bisa sempurna melupakan cinta masa lalu, yang ia ketahui sudah tak mungkin ia dapatkan kembali.Sudah satu minggu ini pula Wisnu ikut berguru pada seorang Ustadz yang banyak membuka pikirann
Bapak tidak bisa membatalkan begitu saja Pak perjanjian kita kemarin, karena sudah masuk ke dalam akad jual beli dan sudah sah dimana sebelumnya Bapak juga sudah memberi DP atas pemesanan tersebut."Wisnu berucap pelan dan hati-hati pada lelaki tua yang terkenal sangat cepat tersulut emosi itu."Saya membatalkan juga ada yang mendasari Pak Wisnu. Coba Bapak bayangkan saja, perjanjian kita barang sampai dua hari yang lalu, tapi sampai hari ini saya masih diminta menunggu. Gimana coba? Sedang saya 'kan butuh cepat, berapa banyak waktu saya terbuang hanya untuk mengurusi urusan seperti ini. Makanya saya putuskan untuk beralih ke Doni saja Pak Wisnu, di sana semua sudah tersedia lo Pak. Bahkan kalau saya mau ambil hari ini pun barangnya sudah ada gitu lo. Dan Pak Wisnu coba deh main-main ke sana, lihat berapa perbedaan harga yang Bapak letakkan pada barang di toko Bapak dengan barangnya Pak Doni. Selisihnya luar biasa. Maaf ya Pak, sebenarnya saya tidak ingin membandingkan, tapi karena se
[Ma, Kakak mau ke tempat Papa.][Ke tempat Papa? Beda pulau, Nak.][Naik pesawat Ma, Hamid juga katanya mau ikut. Boleh 'kan, Ma?]Dila terdiam sejenak. Bagaimana mungkin dia mengiyakan, melepas anak gadis dan bujang yang bahkan sekalipun belum pernah keluar kota seorang diri, apalagi jika naik pesawat. Sungguh tidak diterima akal pikirannya.[Jangan Kak, bahaya. Kakak nggak tahu pasti 'kan alamatnya di sana. Jauh perjalanannya, kalau dari Bandara sampai lebih lima jam supaya bisa sampai ke desa tempat tinggalnya Papa.][Nanti Kakak pedoman sama Google Map, Ma.][Bukan masalah Google Map nya Kak, tapi keselamatan Kakak. Siapa yang mau jamin? Nunggu aja dulu ya, siapa tahu besok Papa udah sadar.]Safia terdiam sejenak, masih ingin berdebat tapi sangat tahu jika wanita itu tidak akan mengijinkan ia pergi jauh seorang diri.[Nggak papa, Mama yakin pasti Papa akan sadar. Yang penting kalian terus berdoa ya untuk kesembuhan Papa. Nanti biar Mama telpon Dita untuk nanyakan kabarnya.][Kaka
Sudah empat hari dari berita Mas Wisnu koma berlalu. Bu Rena memberi kabar bahwa keadaan mantan suamiku itu belum juga membaik. Jujur, aku memang mengkhawatirkan keadaan Mas Wisnu, terlebih jika melihat Safia yang selalu merengek minta ditemani menjenguk sang papa. Tapi perasaan itu hanya sebatas mengkhawatirkan seorang kerabat. Tidak lebih.Tapi yang membuatku sangat kesal, kenapa Dita sampai tega meninggalkan Mas Wisnu. Padahal di saat seperti ini, kehadiran seorang istri tentu sangat berpengaruh. Siapa tahu dengan dirawat oleh tangannya sendiri, Mas Wisnu justru bisa sadarkan diri.Belum ada yang tahu kenapa Dita pergi dan kemana dia menghilang. Bahkan untuk biaya rumah sakit yang tak sedikit, wanita itu benar-benar lepas tangan. Syukur Bu Rena punya inisiatif untuk menjual mobil, untuk menutupi hutang-hutang Mas Wisnu serta kebutuhan lainnya.Dan yang paling kusyukuri adalah kemudahan yang diberikan oleh Allah, dimana Bu Rena mau menjaga Mas Wisnu selama ia terbaring tak sadarkan
"Tentu Mas bersedia, 'kan sudah pernah Mas bilang dahulu.""Iya, Mas. Dila cuma merasa nggak yakin aja sama jawaban Mas saat itu.""Tapi sekarang udah yakin 'kan?"Farhan menggerakkan kembali tangannya memeluk sang istri, lalu mengecup di kening. Dila menerima dengan perasaan bahagia."In Syaa Allah jika untuk kebahagiaan anak-anak, Mas akan mendukung.""Safia pasti akan sangat bahagia, Mas."Mereka saling membalas senyum."Habis makan malam nanti kita beritahu anak-anak akan hal ini. Sebaiknya kita langsung berangkat besok.""Besok?""Mumpung weekend. Tapi malam senin harus langsung balik. Mas belum bisa cuti.""Iya, Mas. Aku setuju."Dila memeluk suaminya penuh bahagia. Perasaan sayang dan cinta semakin subur tumbuh di dalam dada. Sebuah perjuangan berat tapi berbuah bahagia. Ia kini mendapat pendamping yang benar-benar bisa mencintai tidak hanya pada dirinya sendiri tapi juga pada anak-anak sambung dari pernikahan pertamanya.*Perjalanan satu jam lebih tidak membuat Dila dan anak-
Aku menarik napas panjang membaca pesan yang dikirimkan Dita ke ponsel. Hanya sampai di sinikah perjuangannya?Pikiran kini tertuju pada Mas Wisnu, kasihan kamu Mas jika tahu Dita tak siap hidup susah bersamamu. Kuputuskan untuk membalas pesannya.[Semoga kamu tidak menyesal dengan keputusanmu ini, Dit.]Tak ingin basa basi, sebab jika untuk memberi nasihat dulu saat dia mendatangi rumah di Jakarta. Aku sudah cukup banyak memberinya nasihat yang kuyakini dapat membuat rumah tangga mereka akan sampai Jannah. Ternyata, semua tak seperti harapan.Kusimpan ponsel dalam tas, langkah kembali tergerak menuju tempat tujuan semula. Bertemu Rabb pemilik seluruh alam. Usai melaksanakan shalat empat rakaat, aku kembali mengangkat dua tangan memohon kesembuhan untuk Mas Wisnu.Setelah selesai shalat, diri kembali ke depan ruang ICU. Betapa terkejut saat Safia berlari menghampiri membawa kabar gembira."Ma, Papa sudah sadar."Kedatangan Safia diikuti Bu Rena, beliau menatapku di kejauhan. Dua netr